Kisah Nabi Musa Menampar Malaikat Maut
Pada suatu hari yang biasa, di tengah hiruk pikuk kehidupan dunia, terjadi sebuah peristiwa yang luar biasa. Malaikat Maut, yang memiliki tugas suci untuk mencabut nyawa setiap makhluk hidup, diutus oleh Allah untuk menemui Nabi Musa. Malaikat Maut, yang biasanya tidak terlihat oleh mata manusia, kali ini datang dalam wujud seorang manusia.
Malaikat Maut mendekati Nabi Musa dan berkata dengan suara yang lembut namun jelas, "Penuhilah panggilan Tuhanmu!". Kata-kata ini, meski disampaikan dengan sopan, mengejutkan Nabi Musa. Sebagai seorang nabi yang memiliki keberanian dan kekuatan, reaksi spontannya adalah menampar malaikat tersebut. Tamparan itu begitu kuat hingga kedua mata malaikat tersebut copot.
Malaikat Maut, yang merasa terkejut dan bingung, kembali kepada Tuhannya. Ia berkata dengan suara gemetar, "Engkau telah mengutusku kepada seorang hamba yang tidak menginginkan kematian.". Allah, yang Maha Pengasih dan Penyayang, kemudian mengembalikan penglihatan malaikat tersebut.
Setelah insiden tersebut, Allah berfirman kepada Malaikat Maut, "Kembalilah dan katakan padanya agar ia meletakkan tangannya di atas punggung sapi, maka pada setiap bulu yang ia sentuh dengan tangannya akan ditangguhkan satu tahun dari umurnya." Ini adalah tawaran dari Allah, sebuah kesempatan bagi Nabi Musa untuk memperpanjang hidupnya. Mendengar itu, Nabi Musa bertanya, "Lalu apa setelah itu?" Allah menjawab dengan bijaksana, "Kemudian akan datang kematian." Meski diberi kesempatan untuk memperpanjang hidupnya, Nabi Musa menyadari bahwa kematian adalah takdir yang tidak bisa dihindari. Nabi Musa kemudian memilih untuk segera bersanding di sisi Tuhannya dan meninggalkan kepenatan dan hiruk-pikuk kehidupan dunia. Ia memutuskan untuk menerima panggilan Tuhan dan bersiap untuk perjalanan terakhirnya.
Sebelum meninggalkan dunia, Nabi Musa memohon kepada Allah agar kuburnya didekatkan dengan Tanah Suci (Baitul Maqdis) sejauh lemparan batu. Ini adalah permohonan terakhir Nabi Musa, sebuah harapan untuk tetap dekat dengan tanah yang ia cintai meski telah berpulang ke rahmatullah. Kisah ini mengajarkan kita tentang keberanian dalam menghadapi kematian, tentang pengorbanan dalam menjalankan tugas, dan tentang cinta kepada tanah air. Meski tampaknya keras, Nabi Musa hanya bereaksi sebagai manusia biasa yang dihadapkan pada kenyataan kematian. Sementara Malaikat Maut, meski memiliki tugas yang berat, tetap menjalankannya dengan penuh dedikasi dan taat kepada perintah Tuhan.
Kisah Nabi Musa menampar Malaikat Maut memang menimbulkan kontroversi dan perdebatan di kalangan ulama dan penafsir. Bagaimana mungkin seorang manusia, meski dia adalah seorang nabi, bisa menampar malaikat, makhluk yang diciptakan Allah dari cahaya dan tidak tampak oleh mata manusia biasa? Sebagian ulama mempertanyakan kualitas hadis ini, menganggapnya mustahil dan bertentangan dengan akal sehat. Mereka berpendapat bahwa mungkin ada kesalahan dalam riwayat atau penafsiran hadis tersebut. Namun, sebagian ulama lainnya tetap menganggap hadis ini shahih, atau autentik. Mereka berpendapat bahwa kisah ini harus dipahami dalam konteks yang lebih luas dan simbolis, bukan secara harfiah.
Dalam kitab al-Minhaj Syarah Shahih Muslim, salah satu kitab tafsir hadis yang paling dihormati dalam tradisi Islam, disebutkan beberapa pendapat tentang bagaimana memahami hadis ini. Pendapat pertama adalah bahwa tamparan Nabi Musa kepada Malaikat Maut merupakan bentuk ujian bagi malaikat tersebut. Allah, dalam hikmah-Nya yang tak terbatas, mungkin telah mengizinkan Nabi Musa untuk menampar malaikat tersebut sebagai bagian dari ujian atau pelajaran bagi malaikat tersebut. Pendapat kedua adalah bahwa tamparan tersebut sebenarnya merupakan bentuk majazi, atau konotatif. Dalam arti ini, tamparan bisa diartikan sebagai bentuk penolakan atau penyangkalan. Jadi, mungkin saat itu Nabi Musa sedang "berdebat" atau "menyangkal" Malaikat Maut dalam suatu diskusi teologis atau filosofis.
Kedua pendapat ini menunjukkan bahwa kisah Nabi Musa menampar Malaikat Maut, meski kontroversial, memiliki banyak hikmah dan pelajaran yang bisa kita petik. Ini mengajarkan kita tentang pentingnya memahami teks-teks agama dengan bijaksana dan mendalam, serta menghargai keragaman pendapat dan tafsiran dalam tradisi intelektual Islam. Demikianlah kisah ini diceritakan, segala kebenaran detailnya kita kembalikan kepada Allah, tuhan yang maha esa, pemilik kisah kehidupan.
Komentar
Posting Komentar