Kisah Kerajaan Kediri: Permata Tersembunyi dari Abad Ke-12

 


Kerajaan Kediri, juga dikenal sebagai Kerajaan Panjalu, adalah sebuah kerajaan besar yang berdiri pada abad ke-12 antara tahun 1042-1222. Kerajaan ini merupakan bagian dari Kerajaan Mataram Kuno dan bercorak Hindu. Kerajaan ini dikenal dengan karya sastranya yang dihasilkan, terutama dalam bentuk kakawin, yang sangat penting dan bermutu tinggi. Bahkan masa pemerintahan Kerajaan Kediri disebut sebagai zaman keemasan Jawa kuno.

Pusat pemerintahan Kerajaan Kediri berada di Daha, atau sekitar Kota Kediri sekarang. Pusat Kerajaan Kediri tersebut terletak di tepi Sungai Brantas, yang masa itu sudah menjadi jalur pelayaran yang ramai. Wilayah kerajaan Raja Airlangga dikenal sebagai Kahuripan. Pembagian kerajaan tersebut dilakukan Brahmana sakti bernama Empu Bharada. Kedua kerajaan tersebut dikenal sebagai Kerajaan Jenggala (Kahuripan) dan Panjalu (Kediri).


Arti dan Asal Usul Nama

Nama "Kediri" memiliki sejarah dan makna yang mendalam, yang terkait erat dengan asal-usul dan perkembangan Kerajaan Kediri itu sendiri. Nama ini berasal dari nama kerajaan Panjalu yang berpusat di Daha. 

Kerajaan Panjalu adalah salah satu dari dua kerajaan yang muncul dari pembagian Kerajaan Kahuripan oleh Raja Airlangga. Dalam proses ini, putra pertama Raja Airlangga, Sri Samarawijaya, mendapatkan kerajaan barat yang dikenal sebagai Panjalu, dengan pusat pemerintahan di kota baru, Daha. 

Seiring waktu, Kerajaan Panjalu atau Daha ini lebih sering disebut dengan nama "Kediri". Ada beberapa pendapat tentang asal-usul nama "Kediri". Menurut Kamus Jawa Kuno Wojo Wasito, "Kedi" berarti orang Kebiri Bidan atau Dukun. Namun, menurut Soekarton Kartoadmodjo, nama "Kediri" tidak ada kaitannya dengan "Kedi". Sebaliknya, ia berpendapat bahwa nama ini berasal dari kata "diri" yang berarti "adeg" (berdiri) yang mendapat awalan "Ka" yang dalam bahasa Jawa Kuno berarti "Menjadi Raja". Dengan demikian, "Kediri" dapat berarti mandiri atau berdiri tegak, berkepribadian atau berswasembada.

Dengan demikian, nama "Kediri" mencerminkan karakteristik kerajaan ini sebagai entitas politik yang mandiri dan berdaulat, yang berdiri tegak dan berkepribadian kuat di tengah dinamika politik dan budaya Jawa pada masa itu. Nama ini juga mencerminkan perjalanan sejarah kerajaan, dari asal-usulnya sebagai bagian dari Kerajaan Kahuripan, melalui pembagian oleh Raja Airlangga, hingga menjadi kerajaan yang kuat dan berpengaruh dengan identitasnya sendiri sebagai Kerajaan Kediri.


Pendiri dan Sejarahnya

Sebelum turun takhta pada tahun 1042, Raja Airlangga dari Kerajaan Kahuripan dihadapkan pada masalah persaingan antara kedua putranya, Sri Samarawijaya dan Mapanji Garasakan. Untuk menghindari konflik, Airlangga membagi wilayah kerajaannya menjadi dua, yaitu Panjalu (Kediri) dan Janggala. Sri Samarawijaya kemudian memperoleh wilayah di bagian barat yang kemudian berdiri dengan nama Kerajaan Kadiri (Panjalu), berpusat di Daha.

Meskipun wilayah kekuasaan Kerajaan Kahuripan sudah dibagi sama rata, namun polemik antara Kerajaan Panjalu atau Kediri dengan Kerajaan Janggala masih kerap terjadi. Salah satu bukti terjadinya perang saudara tersebut adalah dengan Prasasti Ngantang. Di prasasti ini tercatat tulisan "Panjalu Jayati" yang artinya “Panjalu menang”. Catatan tersebut diperkirakan merujuk kepada kemenangan Panjalu atas Janggala.

Adanya unsur "Teguh" dalam gelar Samarawijaya, menunjukkan kalau ia adalah putra Airlangga yang dilahirkan dari putri Dharmawangsa Teguh. Sedangkan Mapanji Garasakan adalah putra dari istri kedua.

Dengan demikian, Sri Samarawijaya tidak hanya merupakan pendiri Kerajaan Kediri, tetapi juga tokoh penting dalam sejarah Jawa yang membantu membentuk peta politik dan budaya Jawa pada masa itu. Warisan sejarahnya masih dapat kita lihat dan rasakan hingga hari ini dalam bentuk peninggalan-peninggalan sejarah Kerajaan Kediri.


Daftar Nama Raja dan Peranannya

Berikut adalah daftar raja Kerajaan Kediri dan peran mereka, Sri Samarawijaya: Pendiri Kerajaan Kediri, Sri Jayawarsa: Raja yang memperkenalkan Kerajaan Kediri melalui Prasasti Sirah Keting tahun 1104, dan Raja Jayabaya (1135-1159): Masa kejayaan Kediri berlangsung pada periode pemerintahannya.


Masa Keruntuhan

Keruntuhan Kerajaan Kediri pada tahun 1222 merupakan akhir dari era kejayaan Wangsa Isyana yang telah memerintah selama tiga abad. Keruntuhan ini dipicu oleh serangan Ken Arok, pendiri Kerajaan Singasari.

Pada masa pemerintahan Kertajaya (1185-1222), Kerajaan Kediri mengalami konflik internal yang signifikan. Konflik ini berawal dari ambisi Kertajaya yang ingin disembah oleh para brahmana Hindu dan Buddha di kerajaan Kediri. Para brahmana merespons permintaan tersebut dengan penolakan. Penolakan ini menyebabkan Kertajaya murka dan melakukan tindakan sewenang-wenang terhadap kaum brahmana.

Untuk menghindari ancaman dari Kertajaya, kaum brahmana melarikan diri dari pusat kerajaan Kediri menuju ke daerah Tumapel untuk meminta perlindungan kepada Ken Arok. Sepanjang perjalanan menuju Tumapel, kaum brahmana menyebarkan kesesatan Kertajaya kepada rakyat kerajaan Kediri. Tujuan mereka adalah untuk menghimpun kekuatan demi melakukan perlawanan terhadap Kertajaya.

Setelah tiba di Tumapel, kaum brahmana membuat aliansi dengan Ken Arok untuk melakukan perlawanan terhadap Kertajaya. Pada tahun 1222, Ken Arok menyatakan Tumapel sebagai kerajaan berdaulat yang terpisah dari pengaruh kerajaan Kediri. Deklarasi sepihak dari Ken Arok dan kaum brahmana membuat Kertajaya geram. Kertajaya mengirimkan pasukan kerajaan Kediri untuk menangkap Ken Arok dan kaum brahmana. Namun, upaya dari Kertajaya tersebut mengalami kegagalan.

Keberhasilan Ken Arok menaklukan Kediri pada tahun 1222 menandai runtuhnya kerajaan Kediri. Dengan demikian, berakhirlah masa kekuasaan Wangsa Isyana dan dimulailah era baru dalam sejarah Jawa dengan berdirinya Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Ken Arok.


Peninggalan Sejarah

Candi Penataran, juga dikenal sebagai Candi Palah, adalah salah satu peninggalan paling signifikan dari Kerajaan Kediri. Candi ini terletak di Desa Penataran, Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar, Jawa Timur. Candi ini berada di lereng barat daya Gunung Kelud, menunjukkan hubungan erat antara kerajaan dan alam sekitarnya.

Candi Penataran dibangun pada masa pemerintahan Raja Srengga (1190-1200) pada sekitar abad ke-12. Uniknya, Candi Penataran digunakan pada masa Kerajaan Majapahit, dibuktikan dengan keterangan di Kitab Negarakertagama. Dalam Kitab Negarakretagama, candi ini disebut Candi Palah, yang dikunjungi Raja Hayam Wuruk dalam perjalanannya keliling Jawa Timur.

Para ahli arkeologi meyakini bahwa Candi Penataran dulunya dinamakan sebagai Candi Palah. Hal ini didukung dengan narasi pada Prasasti Palah yang berangka 1194. Tujuan dibangunnya Candi Penataran adalah sebagai candi gunung untuk upacara pemujaan guna menangkal bahaya Gunung Kelud. Fungsi Candi Penataran sebagai tempat ibadah juga masih digunakan pada masa Raja Hayam Wuruk dari Majapahit.

Dengan demikian, Candi Penataran bukan hanya merupakan peninggalan fisik dari Kerajaan Kediri, tetapi juga simbol dari kepercayaan, budaya, dan tradisi masyarakat pada masa itu. Candi ini menjadi saksi bisu dari kejayaan dan keruntuhan Kerajaan Kediri, dan hingga kini tetap berdiri tegak sebagai bukti sejarah yang tak terhapuskan oleh waktu.

Kerajaan Kediri, sebuah kerajaan yang memiliki daya tarik dan keunikan tersendiri, serta meninggalkan peninggalan sejarah yang masih dapat kita nikmati hingga saat ini. segala kebenaran detailnya kita kembalikan kepada Allah, tuhan sang pemilik kisah kehidupan.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Asal Usul Suku Mentawai, Tertua di Indonesia, Warisan Budaya yang Menawan

Sejarah Asal Usul Pulau Sumatera, Pulau Emas yang Menawan di Nusantara

Sejarah Asal Usul Pekalongan: Kota Batik yang Menawan di Jawa Tengah