Legenda Batu Menangis: Kisah Tragis Kecantikan dan Keangkuhan di Bukit Senja, Cerita Rakyat Kalimantan

 


Di balik perbukitan terpencil di Kalimantan Barat, terhampar sebuah desa kecil bernama Senja. Di sanalah, terukir kisah tragis seorang gadis bernama Darmi, yang kecantikannya bagaikan bidadari, namun hatinya diliputi keangkuhan yang membawanya pada akhir yang nestapa.

Darmi tinggal bersama sang ibu, seorang janda miskin, di sebuah gubuk sederhana yang terbuat dari bambu dan atap daun rumbia. Meski hidup dalam kesederhanaan, sang ibu tak pernah henti bersyukur dan bekerja keras untuk menghidupi Darmi. Kasih sayang dan pengorbanannya tak terhitung jumlahnya. Namun, Darmi tak pernah menghargai kasih sayang sang ibu. Kecantikannya yang luar biasa membuatnya menjadi gadis yang angkuh dan sombong. Ia hanya mementingkan penampilannya dan tak pernah membantu sang ibu dalam pekerjaan rumah tangga. Setiap hari, ia hanya sibuk berdandan dan mengagumi wajahnya di cermin, tak peduli dengan jerih payah sang ibu yang membanting tulang di ladang.


Suatu hari, Darmi datang kepada sang ibu dengan wajah yang cemberut. Alat-alat kecantikannya telah habis dan ia meminta sang ibu untuk membelikannya lagi. Sang ibu, yang tak tahu apa-apa tentang alat kecantikan, mengajak Darmi ke pasar. Di perjalanan, Darmi malu berjalan beriringan dengan sang ibu yang berpakaian lusuh. Ia pun meminta sang ibu berjalan di belakangnya.

Sesampainya di pasar, semua mata tertuju pada kecantikan Darmi. Para pemuda desa terpesona dan mengagumi kecantikannya, bahkan beberapa di antara mereka memberanikan diri untuk mendekatinya. Darmi pun dengan sombong mengatakan kepada mereka bahwa sang ibu adalah pembantunya. Hati sang ibu pedih mendengar perkataan Darmi, namun ia tetap tegar dan tersenyum. Ia tak ingin menunjukkan kesedihannya di depan orang lain. Namun, di dalam hatinya, ia merasa hancur dan terpukul.

Kesombongan Darmi mencapai puncaknya saat ia melihat seorang pemuda tampan bernama Ario yang terpesona oleh kecantikannya. Ario adalah putra kepala desa yang terkenal dengan kebaikan dan keramahannya. Darmi pun berusaha untuk menarik perhatian Ario dengan bersikap angkuh dan meremehkan orang lain. Ario yang melihat tingkah laku Darmi merasa muak dan jijik. Ia tak terpesona oleh kecantikannya, tetapi justru merasa sedih melihat sikapnya yang angkuh dan durhaka kepada sang ibu.


Suatu sore, saat Darmi sedang berjalan pulang dari pasar, ia bertemu dengan seorang nenek tua yang sedang duduk di pinggir jalan. Nenek tua itu menatap Darmi dengan tatapan tajam dan berkata, "Kecantikanmu memang luar biasa, Nak. Tapi ingatlah, kecantikan itu tak kekal. Suatu hari nanti, kau akan menyesali sikapmu yang angkuh dan durhaka kepada ibumu." Darmi merasa kesal dengan perkataan nenek tua itu. Ia pun langsung pergi meninggalkannya tanpa menoleh. Namun, perkataan nenek tua itu terus terngiang di telinganya.

Keesokan harinya, Darmi kembali bersikap angkuh kepada sang ibu. Ia bahkan berani membentak dan menghina sang ibu di depan orang lain. Sang ibu yang sudah tak tahan lagi dengan sikap Darmi, akhirnya berdoa kepada Tuhan dengan berlinang air mata. "Ya Tuhan, ampunilah dosa anakku ini. Dia telah durhaka dan melukaiku. Aku mohon, berikanlah dia pelajaran yang setimpal agar dia bisa sadar dan kembali ke jalan yang benar," doa sang ibu dengan penuh kesedihan.

Tiba-tiba, langit yang cerah berubah menjadi gelap gulita. Awan hitam menggumpal dan petir menyambar dengan dahsyat. Hujan turun dengan derasnya, seolah-olah alam ikut berduka atas sikap Darmi yang durhaka. Darmi yang ketakutan berusaha untuk berlindung, namun kakinya tiba-tiba terasa kaku dan tak bisa digerakkan. Perlahan-lahan, kakinya mulai berubah menjadi batu, dan kemudian menjalar ke seluruh tubuhnya. Darmi menjerit ketakutan dan memohon ampun kepada sang ibu, namun sudah terlambat.

Hukuman yang menimpa Darmi menjadi pengingat bagi semua orang di desa Senja tentang pentingnya berbakti kepada orang tua. Murka orang tua, terutama ibu, tak boleh disepelekan. Doa dan harapan mereka patut dihormati dan dihargai.


Hukuman yang menimpa Darmi menjadi tragedi yang tak terlupakan bagi seluruh masyarakat desa Senja. Darmi yang dulunya gadis cantik jelita kini telah berubah menjadi batu yang dingin dan kaku. Ia terpaku di atas bukit, seolah dirantai oleh penyesalan dan keangkuhannya.

Sang ibu yang tak kuasa menahan kesedihan, setiap hari datang ke bukit untuk menemani Darmi. Ia duduk di samping batu Darmi dan menceritakan kisah masa kecil mereka, tentang kebahagiaan dan keceriaan yang pernah mereka rasakan bersama. Air matanya terus mengalir, membasahi batu Darmi dengan harapan suatu saat nanti batu itu akan kembali hangat dan Darmi akan kembali menjadi manusia. 

Ario, pemuda yang pernah dihina oleh Darmi, juga tak bisa melupakan tragedi ini. Ia merasa bersalah karena tak bisa berbuat apa-apa untuk menghentikan Darmi dari kesombongannya. Ario pun sering datang ke bukit untuk menemani Darmi dan sang ibu. Ia membacakan puisi dan menyanyikan lagu untuk menghibur mereka.


Suatu hari, Ario datang ke bukit dengan membawa sebuah buku tua. Ia menunjukkan buku itu kepada sang ibu dan berkata, "Bu, saya menemukan buku ini di rumah kakek saya. Dikatakan bahwa buku ini berisi mantra-mantra kuno yang bisa menghidupkan kembali orang yang telah mati." Sang ibu yang mendengar perkataan Ario langsung berbinar-binar mata. Ia tak ingin kehilangan harapan. Ia pun memohon kepada Ario untuk membacakan mantra dalam buku itu.

Ario pun mulai membacakan mantra dengan penuh keyakinan. Suaranya menggema di seluruh bukit, diiringi dengan desiran angin dan kicauan burung. Sang ibu tak henti-hentinya berdoa, berharap mantra itu akan berhasil menghidupkan kembali Darmi. Namun, setelah mantra selesai dibacakan, tak ada perubahan yang terjadi. Darmi tetap menjadi batu yang dingin dan kaku. Sang ibu pun kecewa dan putus asa. Ia terduduk di samping batu Darmi dan menangis sesenggukan.

Ario yang melihat kesedihan sang ibu berusaha untuk menenangkannya. Ia berkata, "Bu, jangan sedih. Mungkin mantra itu tidak berhasil karena Darmi telah melakukan dosa yang besar. Tapi, yakinlah bahwa Darmi telah mendapatkan pelajaran yang berharga. Dan, dia akan selalu hidup dalam kenangan kita." Sang ibu perlahan-lahan mulai menerima kenyataan. Ia pun memeluk batu Darmi dengan erat dan berkata, "Maafkan Ibu, Nak. Ibu tak bisa membantumu. Tapi, Ibu akan selalu mencintaimu dan tak akan pernah melupakanmu."

Sejak saat itu, sang ibu dan Ario sering datang ke bukit untuk menemani batu Darmi. Mereka menceritakan kisah-kisah baru dan berbagi cerita tentang kehidupan mereka. Batu Darmi pun menjadi saksi bisu atas persahabatan dan kasih sayang mereka.

Demikianlah kisah ini diceritakan, semoga dapat menghibur dan menambah wawasan. Untuk kebenaran detail kisah tentu kita kembalikan kepada Allah, sang pemilik kisah kehidupan.











Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Asal Usul Suku Mentawai, Tertua di Indonesia, Warisan Budaya yang Menawan

Sejarah Asal Usul Pulau Sumatera, Pulau Emas yang Menawan di Nusantara

Sejarah Asal Usul Pekalongan: Kota Batik yang Menawan di Jawa Tengah