Legenda Asal Usul Kabupaten Blora, Kisah Raja Airlangga

 


Di tengah hiruk-pikuk zaman, di mana kejayaan dan misteri bersatu dalam tarian sejarah, terukir kisah yang menggema hingga kini. Kisah ini adalah legenda yang melahirkan nama Blora, sebuah kabupaten yang terletak di Jawa Tengah, yang namanya terpatri dalam ingatan sebagai simbol keberanian dan kebijaksanaan.

Pada masa Kerajaan Kahuripan, di bawah kepemimpinan Prabu Airlangga, terdapat tiga anak yang merupakan pusat dari legenda ini. Sang putri, yang namanya tercatat dalam prasasti-prasasti kuno sebagai simbol kebijaksanaan, seharusnya menjadi penerus takhta yang agung. Namun, panggilan jiwanya tidak terletak pada mahkota emas atau tahta yang dilapisi permata, melainkan pada kehidupan spiritual di lereng Gunung Penanggungan.

Dengan tekad yang tak tergoyahkan, sang putri memilih untuk mengabdikan dirinya pada kehidupan sebagai brahmani, mengejar pencerahan dan kedamaian batin yang hanya bisa ditemukan dalam kesunyian alam dan kedalaman meditasi. Keputusannya ini bukanlah tanpa konsekuensi, karena dengan langkahnya yang mantap meninggalkan istana, ia juga meninggalkan kekosongan takhta yang memicu pertikaian.


Di kerajaan Kahuripan yang megah, di mana gemerlap tahta dan gemuruh kekuasaan bergema, terjadi sebuah pertikaan yang mengubah sejarah. Prabu Airlangga, sang raja yang bijaksana, dihadapkan pada dilema yang membelah hatinya. Kedua putranya, yang seharusnya menjadi penopang kerajaan, malah terjerat dalam pertengkaran yang memecah belah.

Kabar tentang keputusan sang putri untuk tidak mengambil alih takhta telah menyebar seperti angin kencang yang tak terbendung. Putra pertama, yang bersemangat seperti api dan memiliki ambisi yang membara, merasa bahwa takhta adalah haknya. Sementara itu, putra kedua, yang tenang namun tak kalah pemberani, juga mengklaim hak yang sama. Pertengkaran mereka bukan hanya tentang kekuasaan, tetapi juga tentang kehormatan dan warisan.

Kerajaan yang sebelumnya damai dan makmur kini dilanda kegaduhan. Rakyat Kahuripan yang setia menjadi saksi atas perselisihan yang mengoyak tatanan mereka. Prabu Airlangga, yang hatinya terluka oleh pertikaian anak-anaknya, mencari jalan untuk mengembalikan kedamaian di kerajaannya.


Dalam keputusasaan, sang putri yang bijak mengusulkan solusi yang belum pernah terpikirkan sebelumnya. Dengan suara yang lembut namun penuh kekuatan, ia berkata, "Bagilah kerajaan ini, Ayahanda, agar setiap putra dapat memimpin dengan adil dan bijaksana." Usulannya adalah obat bagi luka yang mendalam, sebuah pengorbanan demi keutuhan kerajaan.

Prabu Airlangga, dengan berat hati, menyetujui pembagian kerajaan. Dari keputusan inilah, menurut cerita rakyat, nama Blora muncul. Ada yang mengatakan bahwa nama Blora berasal dari kata Bhurara, yang berarti tanah yang diberikan raja kepada anak atau orang yang berjasa kepada negara. Namun, ada pula yang menyebutkan bahwa nama Blora berasal dari kata Belor, yang artinya lumpur, menggambarkan kondisi kerajaan yang kacau balau saat itu.

Versi lain menyatakan bahwa Blora berasal dari kata Wai dan Lorah, di mana Wai berarti air dan Lorah berarti jurang atau tanah rendah. Dalam perkembangannya, pengucapan Wai Lorah berubah menjadi Bailorah, dan akhirnya menjadi Blora. Setiap versi cerita ini membawa kita pada pemahaman yang sama: bahwa nama Blora adalah warisan dari masa lalu yang penuh dengan kejayaan dan misteri, serta pengingat akan pentingnya kebijaksanaan dan persatuan.


Dalam lipatan sejarah Jawa, terukir kisah dua putra mahkota yang nasibnya terentang antara kejayaan dan pertikaian. Sri Samarawijaya dan Mapanji Garasakan, putra-putra Prabu Airlangga, menerima warisan kerajaan yang terbagi, namun hati mereka tetap terikat pada ambisi yang sama: menguasai seluruh Jawa.

Sri Samarawijaya, sang putra sulung, mengambil alih wilayah barat, mendirikan Kerajaan Kadiri yang megah dengan Daha sebagai pusat kekuasaannya. Ia membangun Kadiri menjadi pusat perdagangan dan kebudayaan, menarik para sastrawan, pedagang, dan seniman dari berbagai penjuru. Namun, di balik kemegahan istananya, tersembunyi rasa tidak puas yang menggebu-gebu, karena separuh kerajaan yang lain berada di bawah kendali adiknya.

Di sisi lain, Mapanji Garasakan, sang adik, memerintah Kerajaan Jenggala di timur dengan kebijaksanaan dan keberanian. Jenggala berkembang subur, dikenal dengan kesenian dan keramahannya. Namun, seperti halnya Samarawijaya, Garasakan juga merasa bahwa takhta yang sejati adalah takhta yang utuh, tidak terbelah.

Pertikaian antara Kadiri dan Jenggala tidak terelakkan. Selama 60 tahun, kedua kerajaan itu terlibat dalam konflik yang tak kunjung usai. Peperangan demi peperangan menguras sumber daya dan menimbulkan penderitaan bagi rakyat. Namun, dari pertumpahan darah dan air mata, muncul kebijaksanaan yang tak terduga.


Pada akhirnya, di bawah pemerintahan Raja Jayabaya yang legendaris, kedua kerajaan itu kembali bersatu. Jayabaya, dengan kearifannya, berhasil menyatukan kembali Kadiri dan Jenggala, mengakhiri pertikaian yang telah lama membelah tanah Jawa. Ia memulihkan perdamaian dan memperkuat fondasi kerajaan yang lebih besar, yang akan dikenang sebagai salah satu masa paling makmur dalam sejarah Jawa.

Raja Jayabaya adalah sosok yang sangat terkenal dalam sejarah Jawa, terutama karena ramalan-ramalannya yang legendaris. Ia merupakan raja dari Kerajaan Kediri pada abad ke-12 dan dikenal sebagai seorang raja yang bijaksana dan visioner.

Silsilah Raja Jayabaya bermula dari Prabu Airlangga, raja besar yang memerintah Kerajaan Kahuripan. Setelah membagi kerajaannya menjadi dua, yaitu Kerajaan Jenggala dan Kerajaan Kadiri, kedua putranya, Sri Samarawijaya dan Mapanji Garasakan, masing-masing memimpin kerajaan tersebut. Dari garis keturunan Samarawijaya, lahirlah raja-raja yang memerintah Kadiri, salah satunya adalah Jayabaya.

Raja Jayabaya dikenal karena kebijaksanaannya dalam memimpin dan juga karena Kitab Jangka Jayabaya, sebuah karya sastra yang berisi ramalan tentang masa depan Nusantara. Ramalan-ramalan ini, menurut kepercayaan masyarakat, telah banyak yang menjadi kenyataan dan masih dipercaya akan terus terwujud di masa yang akan datang.

Keputusan Prabu Airlangga untuk membagi kerajaannya adalah upaya bijaksana untuk menghindari pertikaian, namun ternyata tidak sepenuhnya menghilangkan konflik di antara keturunannya. Kisah ini menggambarkan dinamika kekuasaan dan hubungan keluarga dalam sejarah Jawa, serta menunjukkan bagaimana keputusan seorang raja dapat berdampak jangka panjang terhadap struktur politik dan sosial kerajaannya. Kisah ini, yang telah diwariskan dari generasi ke generasi, menjadi pengingat akan pentingnya persatuan dan kebijaksanaan dalam memimpin sebuah bangsa. 

Demikianlah kisah ini diceritakan, semoga dapat menghibur, menambah wawasan, segala kebenaran detailnya kita kembalikan kepada Allah, pemilik kisah kehidupan.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Asal Usul Suku Mentawai, Tertua di Indonesia, Warisan Budaya yang Menawan

Sejarah Asal Usul Pulau Sumatera, Pulau Emas yang Menawan di Nusantara

Sejarah Asal Usul Pekalongan: Kota Batik yang Menawan di Jawa Tengah