Legenda Siluman Nenek Pakande, Cerita Rakyat Sulawesi

 


Di wilayah Soppeng yang terhampar di jantung Sulawesi Selatan, kedamaian dan kemakmuran bersemi di antara sawah-sawah yang menghijau. Para petani dengan hati yang gembira mengolah tanah, menanam benih harapan untuk masa depan yang lebih baik.

Namun, di balik ketenangan itu, tersembunyi kisah yang menggugah ketakutan. Seorang nenek yang dikenal sebagai Nenek Pakande, bukanlah sosok biasa. Ia adalah siluman yang namanya saja sudah cukup untuk membuat bulu kuduk berdiri. Kekuatan gaibnya yang luar biasa dan selera yang mengerikan—daging manusia segar, terutama dari anak-anak yang polos—menjadikannya mimpi buruk yang nyata bagi masyarakat Bugis.

Setiap senja, saat cahaya matahari mulai pudar dan kegelapan merayap masuk, Nenek Pakande akan merangkak keluar dari persembunyiannya. Anak-anak yang riang, tak menyadari bahaya, menjadi sasaran empuk bagi hasratnya yang kelam. Oleh karena itu, setiap orang tua di desa itu berlomba-lomba memastikan anak mereka aman di rumah sebelum langit berubah menjadi kelabu.


Pada suatu petang yang mendung, Nenek Pakande menemukan mangsa yang sempurna—seorang anak kecil yang nakal, yang menolak panggilan orang tuanya untuk pulang. Dalam kesunyian yang tiba-tiba, Nenek Pakande mengambil kesempatan itu. Dengan gerakan yang cepat, ia menculik anak itu dan menghilang ke dalam bayang-bayang.

Ketika ibu anak itu menyadari bahwa putranya hilang, kepanikan merebak. Teriakannya memecah kesunyian malam, mengundang para tetangga untuk berkumpul dan mendengarkan cerita pilu sang ibu. Mereka semua, dengan hati yang berat, menyisir setiap sudut desa, namun anak itu seolah ditelan bumi.

Keesokan harinya, dengan matahari yang baru terbit, pencarian dilanjutkan, namun tetap tanpa hasil. Dan malam itu, tragedi serupa terulang, kali ini seorang bayi menjadi korban. Hilangnya bayi itu, saat orang tuanya terlelap, menambah derita dan kecemasan yang sudah ada. Warga desa, yang sebelumnya tenang, kini terjaga sepanjang malam, berjaga-jaga atas ancaman yang tak kasat mata namun begitu nyata.


Di tengah kegelisahan yang merajalela di Negeri Soppeng, para dukun yang bijaksana mengumpulkan kekuatan mereka untuk mengungkap misteri penculikan yang mengejutkan. Dengan pengetahuan mistis yang mereka miliki, mereka berhasil mengungkap bahwa pelaku yang menyeret bayang-bayang ketakutan itu adalah Nenek Pakande. Kabar ini mengejutkan seluruh warga, karena Nenek Pakande bukanlah sosok asing bagi mereka, melainkan sumber teror yang tak terduga.

Seorang dukun yang penuh wibawa kemudian mengungkapkan bahwa Nenek Pakande adalah siluman yang kekuatannya melampaui pemahaman manusia biasa, tak terkalahkan oleh siapa pun kecuali oleh raksasa legendaris, Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale. Namun, raksasa tersebut telah lama menghilang, meninggalkan desa dalam keputusasaan.

Ketika kebingungan mencapai puncaknya, suara dari sudut ruangan yang paling tidak terduga terdengar. La Beddu, seorang pemuda yang cerdik dan berani, berdiri dan menyatakan bahwa dia memiliki rencana untuk mengakhiri teror Nenek Pakande.

Suasana pertemuan itu tiba-tiba menjadi sunyi. Semua mata tertuju pada La Beddu, beberapa dengan tatapan harap, sementara yang lain dengan keraguan. Meski banyak yang skeptis karena Nenek Pakande dikenal sangat sakti, La Beddu hanya tersenyum dan dengan tenang menyatakan bahwa kekuatan sejati tidak selalu harus dihadapi dengan kekuatan.

Warga desa terpaku mendengarkan. La Beddu kemudian menjelaskan bahwa satu-satunya cara untuk mengalahkan Nenek Pakande adalah dengan kecerdikan. Karena Nenek Pakande hanya takut pada Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale, La Beddu berencana untuk menipu Nenek Pakande dengan menyamar sebagai raksasa tersebut.

Warga menjadi semakin penasaran ketika La Beddu meminta mereka untuk mengumpulkan benda-benda aneh: sebuah salaga (garu), ember penuh busa sabun, seekor kura-kura, seekor belut, selembar kulit rebung yang kering, dan sebuah batu besar.


Meskipun bingung, warga desa mempercayai La Beddu dan segera bergerak untuk memenuhi permintaannya. Mereka berburu belut di sawah, mencari kura-kura di sungai, dan menyiapkan benda-benda lainnya. Setelah semua benda terkumpul, mereka membawanya ke rumah La Beddu.

Warga desa mendesak La Beddu untuk menjelaskan tujuan dari semua benda tersebut. La Beddu dengan sabar menjelaskan bahwa salaga akan digunakan untuk meniru sisir raksasa, busa sabun sebagai ludah raksasa, dan kura-kura sebagai kutu raksasa, semua untuk menipu Nenek Pakande.

Dengan menunjukkan benda-benda ini, Nenek Pakande akan percaya bahwa mereka adalah milik Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale. Kulit rebung yang mirip terompet akan digunakan untuk memperkuat suaranya, menyerupai suara raksasa. Belut dan batu besar akan ditempatkan di depan pintu dan tangga sebagai jebakan.

Dengan strategi yang telah disiapkan, La Beddu dan warga desa bersiap untuk menjalankan rencana mereka. Dua warga ditugaskan untuk menempatkan belut dan batu besar di tempat yang telah ditentukan. Ketika senja tiba, La Beddu naik ke loteng Sao Raja, tempat persembunyiannya, membawa salaga, busa sabun, kura-kura, dan kulit rebung, sementara dua warga lainnya bersembunyi di bawah kolong Sao Raja, menunggu saat yang tepat untuk bertindak.


Warga desa telah merencanakan jebakan yang licik untuk Nenek Pakande, siluman yang telah lama menghantui malam mereka. Dengan hati-hati, mereka mengunci pintu rumah mereka, membiarkan gelap menyelimuti setiap sudut, kecuali di Sao Raja, di mana pintu terbuka lebar dan cahaya pelita berkelap-kelip menjanjikan kehangatan.

Sebuah kamar di Sao Raja disiapkan dengan bayi yang terlelap sebagai umpan, sebuah pancingan yang tak tertahankan bagi Nenek Pakande yang haus akan ketakutan.

Ketika senja turun dan langit berubah menjadi kanvas kelam, Nenek Pakande mendekati Sao Raja. Langkahnya yang berat dan hati-hati menaiki tangga, terpikat oleh aroma yang tak bisa dia tolak. Saat ia mencapai pintu, indra penciumannya yang tajam terpenuhi oleh bau yang memabukkan.

Tanpa ragu, Nenek Pakande melangkah masuk ke dalam Sao Raja, tak menyadari bahwa ini adalah awal dari akhirnya. Di bawah kolong rumah, dua warga yang bersembunyi segera melaksanakan tugas mereka dengan diam-diam, meninggalkan Nenek Pakande dalam kegelapan yang menipu.


Saat Nenek Pakande mendekati kamar bayi, suara menggelegar menghentikan langkahnya.

"Hai, Nenek Pakande! Apa yang membawa kau ke sini, ha?"

Suara itu, penuh dengan otoritas dan kekuatan, adalah La Beddu yang bersembunyi di loteng, menggunakan kulit rebung untuk memperkuat suaranya. Nenek Pakande, terkejut dan bingung, menantang suara itu.

"Siapa kau?" tanyanya dengan suara gemetar.

"Aku adalah Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale, sang raksasa yang kau takuti! Hahaha!" tawa La Beddu bergema, mengisi ruangan dengan keberanian yang menakutkan.

Nenek Pakande, yang mulai diliputi ketakutan, menuntut bukti. La Beddu, dengan cerdik, menumpahkan busa sabun dari embernya, membuat Nenek Pakande percaya bahwa itu adalah ludah raksasa.

"Masih ragu, Nenek Pakande?" tantang suara itu lagi.

Nenek Pakande, yang semakin terdesak, meminta lebih banyak bukti. La Beddu, dengan gerakan yang cepat, menjatuhkan salaga dan kura-kura, meniru sisir dan kutu raksasa. Nenek Pakande, terkejut dan ketakutan, melarikan diri dalam kepanikan.

Namun, saat ia melarikan diri, kakinya tersandung belut yang licin, dan ia terjatuh, berguling-guling menuruni tangga, kepalanya membentur batu besar yang telah disiapkan. Meskipun terluka, Nenek Pakande berhasil bangkit dan melarikan diri ke kegelapan, meninggalkan ancaman terakhir bahwa suatu hari ia akan kembali.

Cerita ini, yang telah diwariskan dari generasi ke generasi di Soppeng, Sulawesi Selatan, bukan hanya dongeng untuk menakut-nakuti anak-anak agar tidak berkeliaran di malam hari, tetapi juga pelajaran tentang kekuatan akal sehat dan kecerdikan. La Beddu, dengan bantuan warga desa, telah mengusir Nenek Pakande, membuktikan bahwa keberanian dan kecerdasan dapat mengatasi bahkan teror yang paling gelap sekalipun.  

Demikianlah kisah ini diceritakan, semoga dapat menghibur, menambah wawasan, serta membuka tabir kebesaran Tuhan yang Maha Esa.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Asal Usul Suku Mentawai, Tertua di Indonesia, Warisan Budaya yang Menawan

Sejarah Asal Usul Pulau Sumatera, Pulau Emas yang Menawan di Nusantara

Sejarah Asal Usul Pekalongan: Kota Batik yang Menawan di Jawa Tengah