Kisah Legenda Kerajaan Goa Tallo, Sulawesi
Kerajaan Gowa Tallo, sebuah kerajaan yang pernah berdiri megah di tanah Sulawesi, memiliki sejarah yang panjang dan menarik. Asal usul kerajaan ini bermula dari Kerajaan Gowa yang didirikan sekitar tahun 1300. Pada awalnya, di wilayah Gowa terdapat sembilan komunitas yang dikenal dengan nama “Bate Salapang” atau "Sembilan Bendera". Sembilan komunitas tersebut adalah Tambolo, Lakiung, Saumata, Parang-parang, Data, Agangjene, Bisei, Kalili, dan Sero.
Dengan berbagai cara, baik damai ataupun paksaan, sembilan komunitas tersebut membentuk Kerajaan Gowa. Masyarakat dan penguasa pada saat itu masih menganut kepercayaan animisme. Tomanurung Bainea kemudian diangkat menjadi raja dan mewariskan Kerajaan Gowa kepada putranya, Tumassalangga.
Kerajaan Gowa pernah terbelah menjadi dua setelah masa pemerintahan Tonatangka Lopi pada abad ke-15. Dua putra Tonatangka Lopi, Batara Gowa dan Karaeng Loe ri Sero, berebut takhta sehingga terjadilah perang saudara. Setelah Batara Gowa menang, Karaeng Loe ri Sero kemudian mendirikan kerajaan di tempat yang sama bernama Kerajaan Tallo. Pada tahun 1565, kedua kerajaan bersatu dengan adanya kebijakan Rua Karaeng na Se’re (dua raja dan satu rakyat) dan sejak saat itu disebut sebagai Kerajaan Gowa Tallo atau Kerajaan Makassar.
Raja Daeng Matanre Karaeng Tumaparisi Kallonna, adalah pendiri Kerajaan Gowa Tallo. Ia adalah seorang karaeng atau penguasa Gowa awal, yang berkuasa dari sekitar tahun 1511 sampai akhir 1546. Ia adalah penguasa pertama yang dideskripsikan secara mendetil dalam Lontara Patturioloang Gowa. Ia dikenal karena melakukan reformasi internal, yang meliputi pengenalan sabannaraq atau kepala pelabuhan, jabatan birokratik pertama di kerajaan tersebut.
Di bawah kekuasaan putra-putranya dan keturunan lainnya pada abad keenam belas, Gowa meneruskan perluasannya dan reformasi dan kemudian menjadi kekuatan menonjol di Semenanjung Sulawesi Selatan.
Kerajaan Gowa Tallo, yang berada di Sulawesi Selatan, mencapai puncak kejayaannya di bawah kepemimpinan Sultan Hasanuddin pada tahun 1653. Sultan Hasanuddin, yang lahir pada 12 Januari 1631 dan meninggal pada 12 Juni 1670, adalah Sultan Gowa ke-16 dan pahlawan nasional Indonesia. Ia dikenal dengan nama asli I Mallombasi Muhammad Bakir Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangape.
Di bawah kepemimpinannya, kerajaan ini mengalami kemajuan pesat di berbagai bidang. Salah satunya adalah pendidikan dan kebudayaan Islam. Sultan Hasanuddin mendapatkan pendidikan keagamaan di Masjid Bontoala sejak kecil. Ia juga sering diajak ayahnya untuk menghadiri pertemuan penting, dengan harapan dia bisa menyerap ilmu diplomasi dan strategi perang.
Selain itu, kerajaan ini juga mengalami kemajuan dalam perdagangan internasional. Kerajaan Gowa Tallo dikenal sebagai negara maritim yang menjadi pusat perdagangan di Indonesia bagian timur. Sultan Hasanuddin bahkan membawa kerajaan Islam Gowa mencapai puncak kejayaannya pada abad ke-16.
Sultan Hasanuddin, yang dijuluki Ayam Jantan dari Timur oleh Belanda, sangat anti terhadap dominasi asing. Ia tidak ragu untuk memimpin perang sendiri melawan VOC. Pada tahun 1660, Sultan Hasanuddin mengawali perlawanan dengan VOC. Di bawah komandonya, pasukan Kerajaan Gowa yang terkenal dengan ketangguhan armada lautnya mulai mengumpulkan kekuatan bersama kerajaan-kerajaan kecil lainnya untuk menentang dan melawan VOC.
Namun, VOC tidak tinggal diam. Mereka juga menjalin kerja sama dengan Kerajaan Bone yang sebelumnya memiliki hubungan yang kurang baik dengan Kerajaan Gowa. Kondisi ini dimanfaatkan VOC untuk menghimpun kekuatan guna menghancurkan Kerajaan Gowa. Meski demikian, armada militer Kerajaan Gowa masih terlalu tangguh untuk menghancurkan VOC dan para sekutunya.
Kerajaan Gowa Tallo, seperti banyak kerajaan Nusantara lainnya, mengalami keruntuhan akibat strategi politik yang diterapkan oleh VOC. VOC berhasil mengadu domba Kerajaan Gowa Tallo dengan Kerajaan Bone, yang menjadi awal keruntuhan Gowa Tallo.
Konflik antara Kerajaan Gowa Tallo dan Kerajaan Bone berakar dari persaingan untuk saling menguasai satu sama lain. VOC memanfaatkan konflik ini dan berhasil memecah belah kedua kerajaan tersebut. Strategi ini dikenal sebagai "Devide et Impera" atau politik adu domba.
Pada tahun 1667, setelah perang yang sengit, Sultan Hasanuddin dari Kerajaan Gowa Tallo terpaksa menandatangani Perjanjian Bungaya dengan VOC. Perjanjian ini sangat merugikan Kerajaan Gowa Tallo dan menjadi titik balik dalam sejarah kerajaan ini.
Meski Kerajaan Gowa Tallo telah runtuh, jejak kejayaannya masih bisa kita lihat hingga hari ini. Salah satu bukti kejayaan Kerajaan Gowa Tallo adalah Benteng Somba Opu. Benteng ini adalah benteng peninggalan Kesultanan Gowa yang dibangun oleh Raja Gowa ke-9 Daeng Matanre Karaeng Tumaparisi Kallonna pada tahun 1525. Benteng ini terletak di Jalan Daeng Tata, Kelurahan Benteng Somba Opu, Kecamatan Barombong, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.
Selain itu, ada juga Benteng Rotterdam atau Benteng Ujung Pandang, yang merupakan benteng peninggalan Kerajaan Gowa-Tallo. Benteng ini dibangun pada tahun 1545 oleh Raja Gowa ke-10 yang bernama I Manrigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung dengan gelar Karaeng Tunipalangga Ulaweng. Benteng ini berada di pinggir pantai sebelah barat Kota Makassar, Sulawesi Selatan.
Kerajaan Gowa Tallo, yang berada di Sulawesi Selatan, dikenal memiliki banyak legenda dan mitos yang menarik. Salah satu yang paling terkenal adalah legenda tentang Sawerigading dan We Cudai.
Sawerigading adalah seorang pangeran dari Kerajaan Luwu, kerajaan Bugis tertua yang berada di Sulawesi Selatan. Menurut legenda, Sawerigading jatuh cinta kepada We Tenriabeng, seorang putri dari Kerajaan Gowa.
Namun, cinta mereka tidak direstui oleh kedua kerajaan. Menurut legenda, Sawerigading dan We Tenriabeng adalah saudara kembar yang dibesarkan secara terpisah untuk mencegah mereka jatuh cinta. Namun, Sawerigading akhirnya mengetahui keberadaan saudara kembarnya dan jatuh cinta padanya.
Meski demikian, Sawerigading berhasil mengalahkan rasa cintanya terhadap saudara kembarnya setelah We Tenriabeng, saudara kembarnya, memberitahunya bahwa di daerah Tanete, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, mereka mempunyai saudara sepupu yang sangat mirip dengannya.
Sawerigading kemudian berlayar ke daerah tersebut dan berhasil mengawini We Cudai, yang sangat mirip dengan We Tenriabeng. Dari perkawinan itu, mereka memperoleh tiga orang anak, yaitu I La Galigo, I Tenridia, dan Tenribalobo.
Demikianlah kisah legenda Kerajaan Gowa Tallo, sebuah kerajaan yang pernah berdiri megah di tanah Sulawesi. Meski kerajaan ini telah runtuh, namun jejak kejayaannya masih bisa kita lihat dan cerita-ceritanya masih terus diceritakan dari generasi ke generasi. Segala kebenaran detailnya kita kembalikan kepada Allah, tuhan sang pemilik kisah kehidupan.
Komentar
Posting Komentar