Kisah Umar dan Wanita yang Mengadukan Suaminya Karena Terlalu Taat Beribadah



Sayyidina Umar adalah salah satu sahabat Nabi Muhammad yang menjadi khalifah kedua Islam. Beliau dikenali dengan nama Umar bin Khattab. Beliau berasal dari suku Bani Adi yang termasuk dalam kabilah Quraisy. Beliau dilahirkan pada tahun 584 M di Makkah, 13 tahun selepas kelahiran Nabi Muhammad.

Sebelum memeluk Islam, Umar adalah seorang penentang keras ajaran Islam. Beliau mempertahankan tradisi masyarakat Quraisy yang menyembah berhala. Beliau juga mempunyai kekuatan dan keberanian yang tinggi. Beliau pernah menjadi pendamai dan ahli diplomatik antara kabilah yang bermusuhan. Beliau juga terkenal dengan sifat tegas dan adil.

Umar memeluk Islam pada tahun 616 M, setelah mendengar bacaan ayat-ayat Al-Quran dari saudara perempuannya, Fatimah binti Khattab, yang telah masuk Islam bersama suaminya, Said bin Zaid. Umar terkesan dengan keindahan dan kebenaran Al-Quran, dan memutuskan untuk menemui Nabi Muhammad di rumah Arqam bin Abi Arqam. Di situ, beliau mengucap dua kalimah syahadah dan diterima oleh Nabi Muhammad dan para sahabat.


Suatu hari yang cerah di Madinah, seorang wanita berjalan dengan langkah cepat menuju kediaman Umar bin Khattab, Amirul Mukminin saat itu. Wajahnya tampak cemas, namun ada semacam kelegaan ketika dia akhirnya berdiri di depan Umar. "Wahai Amirul Mukminin," katanya dengan suara gemetar, "Suamiku siang hari puasa dan malam hari sholat. Dia setiap hari menjalankan ketaatannya kepada Allah." Ada nada keputusasaan dalam suaranya, seolah dia telah menahan beban ini dalam hati untuk waktu yang lama.

Umar mendengarkan dengan penuh perhatian, namun dia tidak langsung menjawab. Sebaliknya, dia hanya berkata, "Sebaik-baik suami adalah suamimu." Dia berusaha memahami maksud di balik kata-kata wanita itu, mencoba merasakan apa yang dia rasakan.

Wanita itu tampak bingung dengan jawaban Umar. Dia mengulangi perkataannya, dan Umar pun mengulang jawabannya. Mereka terjebak dalam siklus ini, sampai akhirnya Ka’ab bin Suwari al-Asadi, seorang sahabat yang bijaksana, berbicara. "Wahai Amirul Mu’minin," katanya, "wanita ini mengadukan suaminya karena sang suami menjauhi dirinya dalam (urusan) ranjang."

Mendengar penjelasan Ka’ab al-Asadi, Umar akhirnya mengerti. Dia menatap wanita itu dengan ekspresi yang berubah, dan berkata, “Sebagaimana engkau telah memahami ucapan wanita ini, maka putuskanlah perkara antara keduanya.”


Suami wanita itu kemudian dipanggil. Dia berdiri di depan Umar dan Ka’ab al-Asadi, tampak bingung dan sedikit takut. Ka’ab al-Asadi berkata kepadanya, “Istrimu telah mengadukanmu kepada Amirul Mukminin.” Suami itu bertanya, "Apakah dalam urusan makan atau minum?” Ka'ab al-Asadi menggeleng, "Bukan.”

Wanita itu kemudian menjelaskan duduk perkaranya melalui syair yang indah namun menyayat hati. Dia berbicara tentang bagaimana suaminya telah menjauh dari ranjang mereka, bagaimana dia merasa ditinggalkan dan tidak dihargai. Suaminya, sebaliknya, menjelaskan alasan dia menjauhi istrinya dengan syair yang sama-sama indah. Dia berbicara tentang bagaimana dia telah terpesona oleh keindahan Surat an-Nahl dan tujuh Surat yang panjang, bagaimana dia merasa takut dan kagum pada saat yang sama.

Setelah mendengar pengakuan dari kedua belah pihak, Ka’ab al-Asadi memutuskan pertikaian mereka dengan syair yang bijaksana. Dia menegaskan bahwa suami itu memiliki kewajiban terhadap istrinya, bahwa dia harus memberikan haknya. Kemudian Ka’ab al-Asadi menambahkan, “Sesungguhnya Allah telah menghalalkan kamu menikah dua, tiga atau empat perempuan. Tiga malamnya menjadi hakmu untuk menyembah Tuhanmu. Dan satu malam menjadi hak istrimu”.


Setelah mendengar keputusan Ka’ab al-Asadi, Umar bin Khattab tampak terkejut. Dia berkata, “Demi Allah, aku tidak tahu, mana yang lebih menakjubkanku; apakah karena kepahamanmu akan masalah mereka berdua, atau kah karena keputusanmu atas mereka berdua. Pergilah! Aku telah mengangkatmu menjadi qadhi (hakim) di Bashrah."

Ka’ab al-Asadi pun berangkat ke Bashrah dengan rasa syukur dan bangga. Dia telah menyelesaikan perkara yang rumit dengan hikmah dan keadilan. Dia juga telah mendapatkan kepercayaan dan penghargaan dari Amirul Mukminin.

Sementara itu, wanita itu kembali ke rumahnya dengan hati yang lega dan bahagia. Dia telah mendapatkan haknya sebagai istri yang dicintai dan dihormati. Dia juga merasa bangga dengan suaminya yang taat dan saleh.

Suami wanita itu juga kembali ke rumahnya dengan hati yang tenang dan bersih. Dia telah menyadari kesalahannya dan memperbaiki hubungannya dengan istrinya. Dia juga tetap menjaga ketaatannya kepada Allah.

Mereka berdua pun hidup berbahagia dan harmonis. Mereka saling mencintai dan menghormati. Mereka juga saling membantu dan mendukung. Mereka adalah contoh pasangan yang ideal dalam Islam.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Legenda Putri Gunung Ledang, Cerita Rakyat Malaka

Kisah Gunung Sumbing: Sejarah, Legenda dan Cerita Mistis

Kisah Legenda Puteri Junjung Buih, Cerita Rakyat Kalimantan