Kisah Sayyidina ALi dan Kakek Tua Nasrani, Alasan Malaikat Menahan Fajar



Fajar baru saja menyingsing di kota Madinah, mengusir kegelapan malam dengan cahaya lembutnya. Sayyidina Ali bin Abi Thalib, seorang pria yang dikenal karena keberaniannya dan kebijaksanaannya, berjalan dengan langkah cepat menuju masjid. Udara pagi yang segar membelai wajahnya, namun pikirannya dipenuhi dengan kekhawatiran. Waktu untuk salat Subuh hampir habis, dan matahari hampir terbit.

Ali tahu betul pentingnya salat berjamaah, terutama salat Subuh. Rasulullah pernah berkata, “Barangsiapa yang melaksanakan salat Subuh berjamaah, maka dia berada dalam perlindungan Allah.” Oleh karena itu, Ali berusaha sekuat tenaga untuk tidak ketinggalan salat berjamaah Subuh.

Namun, hari itu tampaknya berbeda. Matahari tampaknya terburu-buru untuk muncul, seolah-olah ingin mengakhiri waktu salat Subuh lebih awal. Ali merasa waktu semakin mendesak. Dia berlari secepat mungkin, berharap bisa sampai di masjid sebelum adzan Subuh berakhir.


Udara pagi masih semilir sejuk menyapu wajah Sayyidina Ali. Kota Madinah mulai bersahut-sahutan dengan hiruk-pikuk kehidupan. Suara adzan subuh masih membekas di telinga, namun derap langkah para pedagang yang mulai menjajakan dagangannya dan tawa riang anak-anak yang bermain telah menggantikannya. Di tengah keramaian itu, sebuah sosok menarik perhatian Ali.

Seorang kakek renta dengan rambut putih seputih awan berjalan perlahan di depannya. Tongkat kayu usang menjadi teman setia dalam setiap langkahnya. Kulit wajahnya yang keriput bagaikan buku sejarah yang penuh cerita. Meski langkahnya lambat, namun ada aura khusyuk yang terpancar dari setiap gerakannya. Tatapan matanya yang sayu seolah menembus waktu, menyimpan rahasia-rahasia kehidupan yang panjang.

Ali tertegun sejenak. Hatinya tersentuh oleh ketegaran sang kakek. Dalam benaknya, ia membayangkan betapa banyak pengalaman hidup yang telah dilalui oleh orang tua itu. Segala suka duka, pahit manis kehidupan pasti telah dirasakannya.

Pada hari itu, Ali merasakan sebuah panggilan dalam hatinya untuk menunjukkan penghormatan yang tulus kepada sang kakek. Meskipun waktu Subuh semakin mendesak dan ia harus segera menuju masjid, Ali memilih untuk tidak mendahuluinya. Dengan langkah ringan, ia berjalan di belakang kakek tersebut. Setiap langkahnya penuh dengan hormat, seakan mengikuti irama kehidupan yang telah dilalui oleh sang kakek.


Setelah berjalan cukup jauh, Sayyidina Ali dan kakek renta itu akhirnya sampai di masjid. Masjid itu tampak indah dengan menara-menaranya yang menjulang tinggi dan kubah-kubahnya yang berkilauan di bawah sinar matahari pagi. Suasana di sekitarnya sangat damai dan menenangkan, seolah-olah waktu berhenti sejenak.

Sayyidina Ali merasa lega. Dia telah berhasil sampai di masjid tepat waktu, meski dia harus berjalan dengan langkah yang lambat. Dia merasa bersyukur karena dia telah diberikan kesempatan untuk menunaikan salat Subuh berjamaah, sebuah ibadah yang sangat penting dalam Islam.

Namun, ketika dia hendak memasuki masjid, kakek renta itu memilih untuk tidak masuk. Ali merasa bingung. Dia bertanya-tanya mengapa kakek itu tidak ingin masuk ke masjid. Setelah berbicara dengannya, Ali baru menyadari bahwa kakek itu adalah seorang Nasrani. 


Setelah memasuki masjid, Sayyidina Ali melihat sesuatu yang tidak biasa. Rasulullah, pemimpin umat Islam dan orang yang paling dia hormati, sedang dalam posisi ruku’ dalam salatnya. Namun, ruku’ itu tampak lebih lama dari biasanya. Biasanya, ruku’ hanya berlangsung beberapa detik, namun kali ini, Rasulullah tampaknya berada dalam posisi tersebut lebih lama.

Ali merasa bingung. Dia tahu bahwa Rasulullah adalah orang yang paling mengerti tentang ajaran Islam, dan dia selalu melakukan segala sesuatu dengan alasan yang jelas. Jadi, pasti ada alasan mengapa Rasulullah memanjangkan ruku’nya kali ini.

Namun, Ali tidak ingin mengganggu salat Rasulullah. Dia tahu bahwa salat adalah momen yang sangat penting, saat seseorang berkomunikasi langsung dengan Allah Oleh karena itu, dia memilih untuk bergabung dalam salat, meski dia merasa bingung.

Ali mengikuti gerakan salat dengan penuh khusyuk. Dia merasa sangat beruntung karena dia bisa berada di masjid pada waktu itu, dan bisa melihat langsung bagaimana Rasulullah melaksanakan salat. Meski dia merasa bingung, dia tetap berusaha untuk khusyuk dalam salatnya.

Setelah salat selesai, Ali masih merasa bingung. Dia bertanya-tanya mengapa Rasulullah memanjangkan ruku’nya. Apakah ada sesuatu yang dia lewatkan? Apakah ada sesuatu yang dia tidak mengerti? Dia merasa penasaran, dan dia ingin mencari tahu jawabannya.


Dengan penuh rasa hormat, Ali mendekati Rasulullah. “Ya Rasulullah,” kata Ali dengan suara yang lembut. “Saya melihat Anda memanjangkan ruku’ Anda selama salat Subuh tadi. Apakah ada alasan khusus mengapa Anda melakukannya?”

Rasulullah menoleh ke arah Ali, senyum lembut terukir di wajahnya. “Ya Ali,” jawab Rasulullah. “Ada alasan khusus mengapa saya memanjangkan ruku’ saya.”

Ali merasa lega. Dia tahu bahwa Rasulullah selalu memiliki alasan yang baik untuk setiap tindakannya. Dia merasa beruntung karena dia bisa belajar langsung dari Rasulullah, dan dia merasa bersemangat untuk mendengar penjelasannya.

Rasulullah kemudian menjelaskan bahwa Malaikat Jibril telah menahan beliau dalam keadaan ruku’. Ali merasa terkejut. Dia tidak pernah mendengar tentang hal semacam ini sebelumnya. Namun, dia tahu bahwa Rasulullah selalu mengatakan kebenaran, dan dia merasa bersyukur karena dia diberi kesempatan untuk mendengar penjelasan ini.


Rasulullah melanjutkan penjelasannya. Dia mengatakan bahwa Allah memerintahkan Malaikat Jibril untuk menahan beliau dalam keadaan ruku’ hingga Ali dapat mendapati salat Subuh. Ini berarti bahwa Allah telah memberikan waktu ekstra kepada Ali untuk bisa menunaikan salat Subuh berjamaah.

Ali merasa sangat beruntung. Dia merasa sangat bersyukur karena Allah begitu peduli padanya. Dia merasa sangat bersyukur karena dia telah diberikan kesempatan untuk menunaikan salat Subuh berjamaah, meski dia harus berjalan dengan langkah yang lambat.

Saat Rasulullah menjelaskan kepada Sayyidina Ali tentang alasan di balik ruku’ yang panjang, ada satu detail yang sangat mengejutkan dan menakjubkan. Rasulullah mengungkapkan bahwa bukan hanya Malaikat Jibril yang terlibat dalam peristiwa tersebut, tetapi juga Malaikat Mikail.

Rasulullah menjelaskan bahwa Allah telah memerintahkan Malaikat Mikail untuk menahan matahari dengan sayapnya. Ali merasa terkejut dan kagum. Dia tidak pernah mendengar tentang hal semacam ini sebelumnya. Bagaimana mungkin malaikat bisa menahan matahari, benda langit yang begitu besar dan panas?

Namun, Ali tahu bahwa Allah memiliki kekuasaan atas segala sesuatu. Jika Allah berkehendak, maka pasti akan terjadi. Ali merasa sangat bersyukur karena dia diberi kesempatan untuk mendengar penjelasan ini langsung dari Rasulullah. 

Demikianlah kisah ini diceritakan, semoga dapat menghibur dan menambah wawasan, WAllahu A’lam Bishawab.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Asal Usul Suku Mentawai, Tertua di Indonesia, Warisan Budaya yang Menawan

Kisah Gunung Sumbing: Sejarah, Legenda dan Cerita Mistis

Sejarah Asal Usul Kabupaten Nduga, Papua, Jejak Keindahan dan Tantangan