Kisah Legenda Sibontar Mudar, Dipersunting Siluman, Cerita Masyarakat Sumatera


Pada zaman dahulu kala, di sebuah perkampungan kecil yang tersembunyi di lebatnya hutan Bakkara, Sumatera, hiduplah enam marga yang bersatu padu: Sihite, Manullang, Sinambela, Bakkara, Marbun, dan Simamora. Mereka hidup dalam harmoni, saling mendukung satu sama lain seperti saudara.

Setiap awal tahun, mereka mengadakan sebuah tradisi sakral, Pesta Gendang Mula Tahun, sebuah pesta besar yang dimaksudkan untuk memohon kesuburan tanah dan kemakmuran hidup kepada dewa-dewa. Pesta ini selalu berlangsung meriah, dengan tabuhan gendang yang menggema di seluruh penjuru kampung, tarian yang menggembirakan, dan sajian makanan yang melimpah.

Namun, kali ini giliran melaksanakan pesta jatuh kepada marga Simamora, marga yang terkenal miskin dan kecil jumlahnya. Marga Simamora merasa tertekan dan cemas karena mereka tahu bahwa mereka tidak memiliki cukup sumber daya untuk melaksanakan pesta semeriah yang biasa diadakan oleh marga-marga lainnya.

Malam demi malam, marga Simamora berkumpul untuk berdiskusi. Mereka berusaha keras mencari jalan keluar namun selalu menemui jalan buntu. Beban moral dan rasa malu mulai menghantui mereka. Dalam keputusasaan, mereka akhirnya mengambil keputusan berat untuk meninggalkan Bakkara di malam hari, berharap tidak menimbulkan kemarahan lima marga lainnya dan menjaga keharmonisan di antara mereka semua.

Dengan hati yang berat dan langkah yang terpaksa, mereka meninggalkan kampung halaman tercinta, menyusuri hutan lebat dengan harapan bisa menemukan tempat baru di mana mereka bisa hidup tanpa rasa malu dan tekanan. Namun, mereka tahu bahwa tindakan ini tidak hanya mengubah nasib mereka, tetapi juga meninggalkan sebuah noda dalam sejarah persatuan marga di Bakkara.


Saat keluarga Simamora tengah berjalan menyusuri hutan yang gelap dan penuh misteri, suasana hati mereka yang berat semakin mencekam. Bayangan akan kemarahan lima marga lainnya terus menghantui pikiran mereka. Namun, di tengah perjalanan yang penuh ketidakpastian itu, tiba-tiba mereka bertemu dengan sosok yang tak terduga, Guru Sodungdangon. Sosok misterius ini dikenal sebagai manusia setan yang kebal terhadap segala jenis siksaan, dan kehadirannya kerap menimbulkan rasa takut di hati orang-orang.

Namun, alih-alih menunjukkan wujudnya yang menakutkan, Guru Sodungdangon tampak tenang dan penuh kebijaksanaan. Dia memandang keluarga Simamora dengan tatapan penuh empati. Melihat penderitaan dan kesulitan yang dialami oleh mereka, hatinya pun tersentuh. Guru Sodungdangon pun menawarkan bantuan dengan menjamin bahwa semua keperluan untuk pesta gendang mula tahun akan tersedia. Keputusannya didasarkan pada rasa kasih dan tanggung jawabnya sebagai penjaga adat dan budaya leluhur.

Dengan perasaan yang campur aduk antara ketidakpercayaan dan harapan, keluarga Simamora memutuskan untuk kembali ke kampung. Mereka menyusuri jalan pulang dengan semangat yang baru, berharap apa yang dijanjikan oleh Guru Sodungdangon benar adanya. Sesampainya di kampung, mereka terkejut melihat pemandangan yang luar biasa: segala keperluan untuk pesta telah tersedia dengan sempurna. Peralatan musik, bahan makanan, dan segala hal yang dibutuhkan untuk merayakan pesta besar sudah berada di tempatnya, seolah-olah semuanya muncul secara ajaib.

Marga Simamora merasa sangat bersyukur dan penuh haru. Mereka segera menyiapkan pelaksanaan Pesta Gendang Mula Tahun dengan penuh semangat. Tabuhan gendang bergema meriah, tarian dan nyanyian menggema di seluruh kampung, dan semua orang larut dalam suasana gembira. Tidak ada yang menyangka bahwa marga Simamora yang sederhana dan miskin mampu menyelenggarakan pesta yang begitu megah dan meriah.


Setelah pesta Gendang Mula Tahun yang meriah, ketenangan mulai kembali ke perkampungan Bakkara. Namun, suasana hati keluarga Simamora masih penuh harap dan rasa terima kasih atas bantuan Guru Sodungdangon. Di antara mereka, ada Sunggu Marpasang yang memiliki sebuah keinginan baru: membangun rumah yang lebih layak untuk keluarganya.

Sunggu Marpasang pun memberanikan diri meminta bantuan dari Guru Sodungdangon. Dengan kebijaksanaan dan kemurahan hatinya, Guru Sodungdangon memberikan petunjuk yang jelas. Ia mengarahkan Sunggu Marpasang untuk mengambil bahan bangunan di hutan Silemeleme, sebuah tempat yang terkenal dengan kayunya yang kuat dan berkualitas. Guru Sodungdangon juga mengajarkan cara mengangkut bahan tersebut dengan efisien, sehingga pekerjaan itu menjadi lebih ringan dan cepat.

Dengan bimbingan dari Guru Sodungdangon, rumah baru keluarga Simamora mulai berdiri dengan kokoh. Kesulitan yang mereka hadapi sebelumnya seolah sirna, digantikan dengan kebanggaan dan rasa syukur yang mendalam.

Saat rumah itu hampir selesai dibangun, sebuah kejutan besar datang. Guru Sodungdangon menyampaikan niatnya untuk melamar Si Bontar Mudar, putri cantik Sunggu Marpasang. Lamaran ini disambut dengan perasaan campur aduk oleh keluarga Simamora. Setelah melalui mufakat dan diskusi yang panjang, keluarga akhirnya menerima lamaran tersebut, melihat betapa besar jasa Guru Sodungdangon bagi mereka dan kampung.

Pernikahan Si Bontar Mudar dengan Guru Sodungdangon diatur dengan penuh kemegahan. Namun, setelah menyampaikan lamarannya, Guru Sodungdangon tidak muncul selama satu tahun penuh. Keluarga Sunggu Marpasang mulai khawatir dan hampir melupakannya, menganggap mungkin lamaran tersebut hanya angin lalu.


Sementara itu, jauh dari perkampungan Bakkara, di Kerajaan Tuanku Barus, suasana riuh pesta gendang menggetarkan bumi. Kerajaan tersebut merayakan sebuah tradisi agung, pesta gendang selama tujuh hari tujuh malam, untuk memilih calon istri bagi Pangeran. Seluruh rakyat dari berbagai penjuru kerajaan berkumpul di alun-alun istana yang megah, menyaksikan perayaan yang penuh warna dan semarak.

Para gadis dari setiap pelosok negeri diharapkan untuk ikut serta dalam tarian yang megah. Dengan kostum indah dan gerakan yang mempesona, mereka menari mengikuti irama gendang yang menggema. Setiap gerakan tarian mereka bagaikan melodi alam yang menghipnotis semua yang hadir. Namun, hingga hari ketujuh, meskipun banyak gadis yang menari dengan segala kecantikan dan keanggunan, tidak ada satu pun yang mampu menarik hati sang Pangeran. Hati Pangeran masih merasa kosong, seolah belum menemukan bintang yang bersinar paling terang di antara mereka.

Di tengah keputusasaan itu, Pangeran memutuskan untuk mengubah cara pencarian calon istrinya. Ia memerintahkan pengawal kerajaan untuk menyiapkan sebuah layang-layang yang terbuat dari kain sutra paling halus dan indah. Layang-layang itu diberi hiasan permata yang berkilauan dan benang emas yang memancar di bawah sinar matahari. Dengan penuh harap, Pangeran menerbangkan layang-layang tersebut ke langit biru.

Layang-layang sutra itu melayang dengan anggun, meliuk-liuk mengikuti hembusan angin, seolah memiliki kehendak sendiri. Semua mata tertuju pada layang-layang tersebut, menunggu dengan antisipasi tinggi. Pangeran mengumumkan bahwa barang siapa yang dihinggapi oleh layang-layang itu, dialah yang akan menjadi istri Pangeran.

Selama beberapa saat, layang-layang itu terbang tak menentu, membuat semua orang merasa cemas dan tegang. 


Layang-layang sutra itu melayang tinggi di angkasa, mengikuti arah angin yang membawanya jauh dari kerajaan. Dalam perjalanannya, layang-layang itu dengan anggun terbang melewati hutan, sungai, dan perkampungan hingga akhirnya tiba di Bakkara. Di sana, layang-layang tersebut mendarat tepat di hadapan Si Bontar Mudar, putri Sunggu Marpasang, yang saat itu sedang mengambil air di pancuran.

Dengan kegembiraan yang meluap-luap, Pangeran dan rombongannya segera bergegas mengikuti arah layang-layang tersebut hingga mencapai perkampungan Bakkara. Ketika Pangeran tiba, ia melihat Si Bontar Mudar yang cantik dengan wajah tenangnya. Pangeran meminta seteguk air darinya sebagai bentuk penghormatan dan perkenalan.

Setelah menyerahkan air kepada Pangeran, Si Bontar Mudar mendengar pengumuman yang mengejutkan dari mulut Pangeran sendiri. Pangeran menyatakan bahwa layang-layang yang hinggap padanya menandakan bahwa dialah calon istrinya yang dipilih oleh takdir. Dengan penuh keyakinan dan keberanian, Pangeran menjelaskan kepada keluarga Sunggu Marpasang tentang tradisi layang-layang sutra di kerajaannya dan niat tulusnya untuk menikahi Si Bontar Mudar.

Mendengar penjelasan tersebut, keluarga Sunggu Marpasang berkumpul untuk bermufakat. Mereka menyadari bahwa Si Bontar Mudar sebelumnya telah terikat janji dengan Guru Sodungdangon yang tidak datang selama setahun. Namun, melihat ketulusan dan niat baik Pangeran, serta takdir yang tampaknya sudah tertulis, mereka akhirnya setuju dengan lamaran tersebut.

Persiapan pesta pernikahan pun dilakukan dengan sangat megah. Pangeran dan rombongannya menyiapkan segala kebutuhan pesta dalam jumlah besar, menghadirkan kemewahan dan kebahagiaan yang meliputi seluruh perkampungan Bakkara. Pesta tersebut dilaksanakan dengan penuh sukacita, diiringi musik, tarian, dan jamuan yang melimpah, menyatukan dua dunia yang berbeda dalam ikatan pernikahan.

Setelah pesta selesai, rombongan Pangeran beserta Si Bontar Mudar berangkat menuju Kerajaan Tuanku Barus untuk melangsungkan pernikahan. Meski Si Bontar Mudar harus berpisah dengan keluarganya, ia melangkah dengan penuh keyakinan dan harapan akan masa depan yang cerah bersama Pangeran. 


Kebahagiaan yang meliputi rombongan Pangeran dan Si Bontar Mudar berubah drastis ketika mereka menyeberangi sungai Sibundong. Di tengah perjalanan, mereka dicegat oleh sosok yang tak terduga, Guru Sodungdangon. Dengan wajah penuh amarah, Guru Sodungdangon menantang Tuanku Barus untuk bertarung, mengklaim bahwa Si Bontar Mudar adalah calon istrinya yang sah.

Pertarungan antara Guru Sodungdangon dan Tuanku Barus berlangsung sengit dan lama. Keduanya menunjukkan kekuatan dan keahlian yang luar biasa, namun tidak ada yang mampu mengalahkan satu sama lain. Pertarungan itu seolah-olah tidak akan pernah berakhir, hingga akhirnya Guru Sodungdangon mengambil keputusan yang mengejutkan. Dalam kemarahannya, ia memutuskan untuk membagi tubuh Si Bontar Mudar agar tidak ada yang memilikinya.

Dengan tindakan yang kejam, Guru Sodungdangon memancung Si Bontar Mudar dan menyerahkan kepalanya kepada Tuanku Barus. Pangeran merasa sangat sedih dan terpukul melihat kejadian tersebut. Namun, keajaiban terjadi ketika kepala Si Bontar Mudar mulai berbicara. Dengan suara lembut namun tegas, kepala Si Bontar Mudar memberikan petunjuk kepada Pangeran tentang cara menyatukan kembali tubuhnya.

Mendengar petunjuk tersebut, Tuanku Barus dan rombongannya segera mempercepat perjalanan mereka menuju Barus. Mereka membawa kepala Si Bontar Mudar dengan hati-hati, berharap bisa menemukan tubuhnya yang hilang. Setelah perjalanan yang panjang dan penuh tantangan, mereka akhirnya menemukan tubuh Si Bontar Mudar di laut.

Dengan penuh harap dan doa, kepala dan tubuh Si Bontar Mudar disatukan kembali. Tubuh yang telah disatukan itu kemudian dimasukkan ke dalam peti mayat yang indah dan diletakkan di tingkat atas rumah. Meskipun peristiwa ini penuh dengan kesedihan dan penderitaan, Pangeran dan rombongannya tetap berusaha menjaga kehormatan dan martabat Si Bontar Mudar, berharap suatu hari keajaiban akan mengembalikan kehidupan yang telah hilang.


Setelah peristiwa tragis yang menimpa Si Bontar Mudar, Pangeran merasa sangat terpukul. Dengan penuh harap dan doa, ia menanti tujuh hari tujuh malam di dekat peti mayat yang berisi tubuh dan kepala Si Bontar Mudar. Setiap hari yang berlalu terasa seperti abad yang panjang, namun keyakinannya tidak pernah goyah.

Pada hari ketujuh, dengan hati yang berdebar-debar, Pangeran memutuskan untuk membuka peti mayat. Saat peti itu terbuka, keajaiban pun terjadi. Si Bontar Mudar, yang sebelumnya telah terpisah tubuhnya, hidup kembali dengan penuh kesadaran dan kehidupan. Keluarga dan sanak famili yang menyaksikan kebangkitan ini diliputi oleh kegembiraan dan keharuan yang tak terhingga.

Untuk merayakan kebangkitan ajaib Si Bontar Mudar, keluarga dan seluruh warga perkampungan mengadakan pesta gendang yang berlangsung selama tiga hari tiga malam. Suasana perayaan penuh dengan tarian, nyanyian, dan tabuhan gendang yang menggema di seluruh Bakkara. Kegembiraan dan sukacita melingkupi semua yang hadir, menyatukan mereka dalam kebahagiaan yang mendalam.

Setelah melewati berbagai cobaan dan keajaiban, Pangeran dan Si Bontar Mudar akhirnya hidup rukun dan damai. Mereka dikaruniai anak laki-laki dan perempuan yang melengkapi kebahagiaan mereka. Kehidupan mereka menjadi contoh bagi semua orang tentang arti kesetiaan, perjuangan, dan keajaiban yang membawa kebahagiaan serta kehidupan yang harmonis.

Demikianlah kisah ini diceritakan, semoga dapat menghibur dan menambah wawasan, segala kebenaran detailnya, kita kembalikan kepada Awloh, Tuhan pemilik kisah kehidupan.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Legenda Putri Gunung Ledang, Cerita Rakyat Malaka

Kisah Gunung Sumbing: Sejarah, Legenda dan Cerita Mistis

Kisah Legenda Puteri Junjung Buih, Cerita Rakyat Kalimantan