Asal Usul Kota Kediri dan Legenda Raja Airlangga
Kota Kediri, yang terletak di
provinsi Jawa Timur, Indonesia, adalah sebuah kota yang sarat dengan kekayaan
sejarah dan budaya. Terletak di tepi Sungai Brantas yang megah, Kediri menjadi
pusat ekonomi dan budaya yang penting di wilayah ini. Kota ini dikenal dengan
panorama alamnya yang memukau, seperti pegunungan, air terjun, dan kebun teh
yang luas. Kediri juga terkenal dengan produk lokalnya yang unik, seperti tahu
takwa dan rokok kretek. Namun, yang membuat Kota Kediri semakin menarik adalah
kisah legenda asal usulnya yang penuh misteri dan intrik. Legenda-legenda ini
tidak hanya memperkaya budaya lokal tetapi juga memberikan wawasan yang
mendalam tentang sejarah dan nilai-nilai masyarakat Kediri.
Pada zaman dahulu kala, di tengah
gemah ripah loh jinawi tanah Jawa, berdirilah Dinasti Isyana yang berjaya dari
Mataram di Jawa Tengah hingga meluas ke timur, mendirikan kerajaan baru yang
dikenal dengan nama Medang Kamulan. Di sana, di tengah kemakmuran dan keindahan
alam, lahirlah seorang putra mahkota yang kelak akan menjadi raja besar,
bernama Airlangga. Darah bangsawan mengalir deras dalam dirinya, mewarisi
kebijaksanaan dan keberanian dari nenek moyangnya.
Namun, takdir berkata lain.
Medang Kamulan yang makmur harus berhadapan dengan serangan musuh yang kejam.
Kerajaan pun runtuh, istana megah luluh lantak, rakyat tercerai-berai.
Airlangga muda terpaksa melarikan diri, menyusuri hutan belantara, menghindari
kejaran musuh yang ingin merebut takhtanya.
Dalam pelariannya, Airlangga
bertapa di lereng Gunung Penanggungan, memohon petunjuk dan kekuatan kepada
dewa-dewa. Di sana, ia bertemu dengan para petapa sakti yang membimbingnya
dalam olah kanuragan dan ilmu pemerintahan. Mereka mengajarkannya segala hal
yang perlu diketahui untuk menjadi raja yang bijaksana dan tangguh.
Setelah bertahun-tahun lamanya,
Airlangga muncul kembali dengan semangat yang berkobar. Ia bersumpah akan
membangun kembali kejayaan kerajaannya. Dengan kekuatan dan kebijaksanaan yang
dimilikinya, ia berhasil mempersatukan kembali rakyat yang tercerai-berai dan
mengusir para musuh. Di kaki Gunung Penanggungan, Airlangga mendirikan sebuah
kerajaan baru yang megah, yang dinamakannya Kahuripan. Kerajaan ini menjadi
pusat pemerintahan yang baru, menandai era baru bagi Dinasti Isyana.
Meskipun Kahuripan adalah
kerajaan yang didirikan oleh Airlangga, ia tetap menghormati Medang Kamulan
sebagai kerajaan asalnya. Kahuripan dibangun di atas fondasi yang sama,
mewarisi nilai-nilai luhur dan tradisi dari Medang Kamulan. Airlangga
memerintah Kahuripan dengan bijaksana, membawa kerajaan menuju puncak kejayaan.
Namanya terukir dalam sejarah sebagai raja besar yang berhasil bangkit dari
keterpurukan dan menciptakan era keemasan bagi kerajaannya.
Dengan kegigihannya, Airlangga
menunjukkan bahwa meskipun runtuh, sebuah kerajaan bisa bangkit kembali lebih
kuat dari sebelumnya. Kisahnya menjadi inspirasi dan teladan bagi generasi
berikutnya, menunjukkan bahwa dengan kebijaksanaan dan keberanian, segala tantangan
bisa diatasi dan kejayaan bisa diraih kembali. Demikianlah kisah kejayaan
Dinasti Isyana dan Raja Airlangga yang akan selalu diingat dalam sejarah Jawa.
Meskipun dikenal sebagai raja
yang adil dan pemberani, Raja Airlangga selalu membawa beban berat di hatinya.
Ia memiliki dua orang putra yang sangat dicintainya, namun mereka memiliki sifat
dan ambisi yang berbeda jauh.
Putra pertama, Mapanji Garasakan,
adalah seorang pemuda yang lembut hati, bijaksana, dan mencintai kedamaian.
Kecenderungan hatinya lebih tertarik pada ilmu agama, kesenian, dan
kesejahteraan rakyat. Sementara itu, putra kedua, Sri Samarawijaya, memiliki
sifat yang bertolak belakang. Ia adalah pemuda yang gagah berani, ambisius, dan
haus akan kekuasaan. Sri Samarawijaya gemar berlatih ilmu kanuragan dan
strategi perang, serta bercita-cita memperluas wilayah kekuasaan Kahuripan.
Airlangga sadar bahwa perbedaan
sifat kedua putranya bisa menimbulkan konflik di kemudian hari. Ia khawatir
jika salah satu dari mereka naik tahta, akan terjadi perselisihan yang bisa
memecah belah kerajaan. Setelah bertahun-tahun merenung dan memohon petunjuk
dari Yang Maha Kuasa, Airlangga akhirnya mengambil keputusan yang berat.
Pada tahun 1045 Masehi, Airlangga
memanggil kedua putranya dan para pejabat kerajaan. Di hadapan mereka, ia
mengumumkan keputusannya untuk membagi Kahuripan menjadi dua kerajaan.
"Wahai putraku tercinta," ucap Airlangga dengan suara tegas namun
penuh harapan, "Demi menghindari perselisihan dan mempertahankan kedamaian
negeri kita, ayahanda telah memutuskan untuk membagi Kahuripan menjadi dua
bagian."
Sri Samarawijaya, yang memang
mendambakan kekuasaan, menerima keputusan itu dengan senang hati. Ia
mendapatkan kerajaan Janggala di sebelah timur, dengan ibukota Kahuripan.
Janggala meliputi daerah Malang dan delta Sungai Brantas dengan pelabuhan
Surabaya, Rembang, dan Pasuruhan. Ia segera mempersiapkan diri untuk menjadi raja
di kerajaan barunya.
Sementara itu, Mapanji Garasakan
justru menolak tawaran ayahnya. "Ampun ayahanda," ucapnya dengan
santun, "Hamba merasa belum pantas untuk memimpin sebuah kerajaan.
Izinkanlah hamba untuk memperdalam ilmu agama dan mengabdi kepada rakyat."
Airlangga terkejut mendengar
penolakan putranya, namun ia menghormati keputusan tersebut. Akhirnya, ia menyerahkan
kepemimpinan Panjalu, kerajaan di sebelah barat, kepada seorang patih yang
bijaksana.
Namun, setelah pembagian
tersebut, Panjalu dan Janggala sering terjebak dalam konflik yang penuh intrik
politik, peperangan, dan ambisi. Pada masa itu, Panjalu dipimpin oleh seorang
raja yang bijaksana dan berwibawa bernama Jayabaya. Raja Jayabaya dikenal luas
karena kebijaksanaannya yang adil dan pro-rakyat, yang membuatnya dicintai oleh
masyarakat Panjalu. Ia memperkuat kerajaan dan memperluas pengaruhnya, sehingga
Panjalu menjadi kerajaan yang kuat dan makmur. Sementara itu, di sisi lain,
Janggala mengalami kemunduran akibat konflik internal dan serangan dari
kerajaan lain.
Melihat situasi tersebut,
Jayabaya melihat peluang untuk menyatukan kembali kedua kerajaan yang dulunya
bersatu di bawah Kahuripan. Namun, Jayabaya memilih jalan yang berbeda dari kebanyakan
raja pada masa itu. Alih-alih menggunakan kekuatan militer secara langsung, ia
memilih jalan diplomasi dan pernikahan politik. Jayabaya menjalin hubungan baik
dengan bangsawan-bangsawan Janggala dan menawarkan perdamaian kepada mereka.
Puncak dari strategi penyatuan
Jayabaya adalah pernikahan antara putra Jayabaya dan putri raja Janggala.
Pernikahan ini menjadi simbol persatuan yang dinantikan oleh kedua kerajaan.
Dengan penuh harapan dan semangat baru, Janggala akhirnya bergabung dengan
Panjalu di bawah kepemimpinan Jayabaya. Kerajaan yang bersatu ini kemudian
dikenal dengan nama Kerajaan Kediri.
Dalam satu masa, Raja Jayabaya
berhasil menyatukan kembali dua bagian yang terpisah, membawa kedamaian dan
kemakmuran bagi rakyatnya. Kerajaan Kediri yang bersatu menjadi saksi bisu dari
kebesaran dan keagungan seorang raja bijaksana yang mengukir sejarah dengan tindakan
yang penuh kebijaksanaan.
Nama Kediri, yang telah menjadi
identitas dari sebuah kota dan kabupaten di Jawa Timur, menyimpan beragam kisah
dan makna yang menarik untuk diungkap. Seperti banyak nama tempat di Indonesia,
asal-usul nama Kediri memiliki beberapa versi dan interpretasi yang unik.
Salah satu versi yang memiliki
akar sejarah yang kuat berasal dari kata "kedi," yang dalam bahasa
Jawa Kuno berarti "mandul" atau "wanita yang tidak berdatang
bulan." Meskipun terdengar negatif, dalam konteks simbolik,
"mandul" di sini bisa melambangkan kekuatan dan kemandirian. Nama ini
pertama kali muncul dalam Prasasti Kwak (879 M), menunjukkan bahwa wilayah
Kediri sudah ada sejak zaman Mataram Kuno.
Versi lain dari asal usul nama
Kediri berkaitan dengan legenda Dewi Kilisuci, putri Raja Airlangga, yang
memilih hidup sebagai pertapa di Gua Selomangleng. Dalam konteks ini,
"kedi" diartikan sebagai "suci" atau "wadad"
(pendeta), dan nama Kediri diberikan sebagai penghormatan atas kesucian hati
Dewi Kilisuci. Dewi Kilisuci dianggap sebagai simbol kesucian dan
spiritualitas, dan nama Kediri mengingatkan masyarakat akan pentingnya menjaga
kesucian hati.
Ada pula interpretasi yang
menekankan pada kemandirian dan keteguhan masyarakat Kediri. Dalam bahasa Jawa
Kuno, "diri" bisa diartikan sebagai "berdiri tegak" atau
"mandiri." Nama Kediri mencerminkan semangat masyarakatnya yang
mandiri, ulet, dan tangguh dalam menghadapi berbagai tantangan.
Selain itu, beberapa ahli bahasa
mengaitkan nama Kediri dengan kata "kāḍiri" dalam bahasa Jawa Kuno,
yang berarti "bisa berdiri sendiri," "mandiri,"
"berdiri tegak," "berkepribadian," atau
"berswasembada." Interpretasi ini sejalan dengan versi
"diri" yang menekankan pada kemandirian dan identitas kuat masyarakat
Kediri.
Dengan demikian, nama Kediri
memiliki banyak makna yang mendalam, baik dari segi sejarah, simbolisme, maupun
spiritualitas. Semua interpretasi ini memperkaya warisan budaya dan identitas
kota Kediri yang kita kenal hari ini.
Demikianlah kisah ini
diceritakan, segala kebenaran detailnya kita kembalikan kepada Awloh, tuhan
pemilik kisah kehidupan.
Komentar
Posting Komentar