Sejarah Asal Usul Kabupaten Gresik
Di pesisir utara Pulau Jawa, di
mana ombak Laut Jawa menyapu pantai berpasir putih, terhampar sebuah kota yang
menyimpan sejuta kisah: Gresik. Dikenal sebagai "Kota Wali" berkat
peran Sunan Giri dalam menyebarkan agama Islam, Gresik juga merupakan kota
industri yang penting, rumah bagi pabrik semen pertama dan terbesar di
Indonesia. Namun, di balik hiruk-pikuk modernitasnya, Gresik menyimpan pesona
sejarah yang memikat. Dari Giri Kedaton yang agung hingga kawasan Pecinan yang
eksotis, Gresik menawarkan perjalanan melintasi waktu, mengungkap kisah-kisah
perkampungan nelayan yang sederhana, perdagangan internasional yang ramai, dan
perjuangan para wali dalam menyebarkan agama Islam. Mari kita telusuri
perjalanan panjang Gresik, mutiara dari Jawa Timur yang kaya akan sejarah,
budaya, dan semangat untuk terus berkembang.
Ratusan tahun yang lalu, sekitar
abad ke-11, ketika Pulau Jawa masih diselimuti hutan lebat dan misteri, di
tepiannya, berbatasan dengan hamparan Laut Jawa yang luas, tersembunyi sebuah
perkampungan nelayan sederhana bernama Giri Gisik. Nama yang indah, bukan?
"Giri" berarti gunung, dan "Gisik" berarti pantai. Seperti
namanya, perkampungan ini diapit oleh perbukitan hijau yang menawan dan garis
pantai berpasir putih yang membentang luas.
Pagi di Giri Gisik selalu diawali
dengan simfoni alam yang menenangkan. Suara debur ombak berpadu dengan kicauan
burung dan kokok ayam jantan, membangunkan penduduk desa dari tidurnya. Para
nelayan, dengan kulit kecokelatan terbakar matahari, mulai melaut dengan
perahu-perahu kayu sederhana. Jala-jala mereka tebar, berharap mendapatkan
tangkapan ikan yang melimpah untuk kelangsungan hidup keluarga. Sementara itu,
para perempuan sibuk menenun kain di bawah rumah panggung mereka, sesekali
bercanda dan berbagi cerita. Anak-anak kecil, dengan riang gembira, bermain di
tepi pantai, membangun istana pasir atau berkejaran di antara ombak.
Giri Gisik, meski jauh dari hiruk
pikuk kota besar, memiliki daya tarik tersendiri. Letaknya yang strategis di
jalur perdagangan laut, membuatnya menjadi persinggahan bagi para pedagang dari
berbagai penjuru dunia. Sekitar abad ke-12, kapal-kapal jung China yang megah
berlayar dari timur, membawa sutra halus, porselen indah, dan teh yang harum. Para
saudagar Arab, dengan jubah dan sorban khas mereka, datang dari barat membawa
rempah-rempah eksotis, karpet mewah, dan kain-kain indah berwarna-warni.
Pelabuhan Giri Gisik pun menjadi
tempat yang sangat hidup. Para pedagang dari berbagai bangsa berinteraksi,
menawarkan barang dagangan mereka, dan berbagi cerita tentang negeri asal
mereka. Bahasa dan budaya yang berbeda bercampur baur, menciptakan atmosfer
yang unik dan kosmopolitan. Bahkan, para pelaut Portugis yang menjelajahi dunia
pun mencatat keberadaan Giri Gisik dalam peta kuno mereka. Mereka menyebutnya
dengan nama-nama asing seperti "Gerwarace" dan "Agati",
menambah warna dalam sejarah perkampungan nelayan yang sederhana ini.
Giri Gisik, yang awalnya hanya
sebuah titik kecil di peta dunia, mulai dikenal dan berkembang pesat. Interaksi
dengan dunia luar membawa perubahan signifikan bagi kehidupan masyarakat Giri
Gisik. Mereka mulai mengenal teknologi baru, barang-barang mewah, dan
gagasan-gagasan baru.
Kabar tentang Giri Gisik,
pelabuhan yang ramai dan makmur, tersebar hingga ke negeri-negeri seberang.
Salah satunya sampai ke telinga seorang putri cantik jelita dari Champa, negeri
yang kini dikenal sebagai Vietnam Selatan. Legenda menyebutnya Putri Cempo,
seorang perempuan dengan paras ayu, hati yang mulia, dan keimanan yang kuat
kepada Awloh SWT.
Ia adalah seorang muslimah di tengah kerajaan yang mayoritas beragama Hindu.
Konon, sekitar awal abad ke-15,
Putri Cempo melarikan diri dari negerinya karena terjadi konflik dan perebutan
kekuasaan. Ia mengarungi lautan luas dengan sebuah kapal kecil, mencari tempat
yang aman dan damai untuk berlindung. Takdir membawanya ke Giri Gisik,
pelabuhan yang penuh dengan kehidupan dan harmoni. Putri Cempo terpikat oleh
keindahan alam Giri Gisik dan keramahan penduduknya. Ia pun memutuskan untuk
menetap di sana, mencari ketenangan dan memulai hidup baru.
Dengan kedermawanannya, Putri
Cempo membantu masyarakat Giri Gisik. Ia membagikan ilmunya, membantu mereka
yang membutuhkan, dan menyebarkan ajaran agama Islam dengan penuh kelembutan.
Putri Cempo dikenal sebagai sosok yang bijaksana dan berwibawa, sehingga
penduduk Giri Gisik sangat menghormatinya.
Putri Cempo memilih sebuah bukit
yang tenang sebagai tempat tinggalnya. Bukit itu kemudian dikenal sebagai Giri
Kedaton, yang berarti "istana di atas bukit". Di Giri Kedaton, Putri
Cempo membangun sebuah rumah sederhana dan sebuah mushola kecil. Tempat ini
menjadi pusat kegiatan keagamaan dan pendidikan, di mana Putri Cempo
mengajarkan ajaran Islam kepada penduduk Giri Gisik.
Tak lama kemudian, Putri Cempo
dikaruniai seorang putra yang diberi nama Raden Paku. Raden Paku tumbuh menjadi
pemuda yang cerdas dan berakhlak mulia. Ia mewarisi kebijaksanaan dan keimanan
ibunya. Setelah dewasa, Raden Paku melanjutkan perjuangan ibunya dalam
menyebarkan agama Islam. Ia mendirikan sebuah pesantren di Giri Kedaton, yang
menarik para santri dari berbagai penjuru Jawa. Raden Paku kemudian dikenal
sebagai Sunan Giri, salah satu dari Wali Songo, penyebar agama Islam di tanah
Jawa.
Di bawah kepemimpinan Sunan Giri,
Giri Kedaton berkembang menjadi pusat ilmu dan agama yang berpengaruh. Sunan
Giri mengajarkan agama Islam dengan bijaksana, menyesuaikannya dengan budaya
lokal. Ia juga dikenal sebagai seorang pemimpin yang adil dan bijaksana, sehingga
kerajaannya dihormati oleh kerajaan-kerajaan lain di Jawa. Giri Gisik, yang
kini lebih dikenal sebagai Gresik, pun semakin dikenal dengan sebutan
"Kota Wali", sebuah kota yang diberkahi oleh kehadiran para wali Awloh.
Berabad-abad berlalu, zaman pun berganti.
Pada akhir abad ke-15, kekuasaan di Nusantara berpindah tangan, dari
kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha, Islam, kemudian ke tangan para penjajah Eropa.
Bendera merah-putih-biru berkibar di langit Gresik, menandai dimulainya era
kolonial Belanda. Namun, meski di bawah kekuasaan asing, semangat Gresik tak
pernah padam. Kota pelabuhan ini tetap menjadi urat nadi perdagangan,
menghubungkan berbagai pulau di Nusantara dengan dunia luar.
Kapal-kapal besar berlabuh di
pelabuhan Gresik, membawa berbagai komoditas seperti rempah-rempah, kopi, gula,
dan tembakau. Para pedagang dari berbagai bangsa — Eropa, China, Arab, dan
India — tetap berdatangan, mencari keuntungan di kota yang tak pernah tidur
ini. Suasana di pelabuhan Gresik selalu ramai, penuh dengan hiruk pikuk
aktivitas bongkar muat barang, tawar-menawar harga, dan pertemuan antar budaya.
Di tengah hiruk pikuk
perdagangan, Gresik juga menjadi saksi bisu pergolakan politik dan perjuangan
kemerdekaan. Para pejuang Indonesia berkumpul secara diam-diam, merencanakan
strategi untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan. Semangat nasionalisme
menyala di hati penduduk Gresik, menginspirasi mereka untuk berjuang demi masa
depan yang lebih baik.
Di awal abad ke-20, Gresik
mencatatkan sejarah baru yang menggemparkan. Sebuah pabrik semen didirikan di
kota ini, pabrik semen pertama dan terbesar di Indonesia. "Semen
Gresik", demikianlah namanya, menjadi tonggak awal perkembangan industri
di negeri ini. Pabrik ini tidak hanya menghasilkan semen berkualitas tinggi,
tetapi juga membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat Gresik dan sekitarnya.
Asap mengepul dari cerobong pabrik, menjadi simbol kemajuan dan optimisme di
tengah masa penjajahan.
Berdirinya pabrik semen menandai
transformasi Gresik dari kota pelabuhan menjadi kota industri. Roda
perekonomian berputar lebih cepat, membawa kemajuan dan kesejahteraan bagi
masyarakat. Gresik, yang telah melewati berbagai zaman, terus beradaptasi dan
berkembang, menunjukkan ketahanan dan semangatnya yang tak pernah padam.
Waktu terus bergulir, membawa
Gresik menuju era modern. Kini, "Giri Gisik" yang dulu hanyalah
perkampungan nelayan sederhana, telah menjelma menjadi kota metropolitan yang
ramai. Gedung-gedung pencakar langit menjulang tinggi, berdampingan dengan
pabrik-pabrik modern dan pusat perbelanjaan yang megah. Jalan-jalan raya yang
lebar membelah kota, dipadati kendaraan yang hilir mudik. Lampu-lampu kota
berkerlap-kerlip di malam hari, menciptakan pemandangan yang gemerlap.
Namun di balik gemerlap
modernitasnya, Gresik tak pernah melupakan akar sejarahnya. Jejak-jejak masa
lalu masih terukir indah di setiap sudut kota, mengingatkan kita akan
perjalanan panjang yang telah dilalui.
Di atas bukit Giri Kedaton, makam
Sunan Giri tetap berdiri dengan anggun. Kompleks makam ini selalu ramai
dikunjungi peziarah dari berbagai penjuru Nusantara. Mereka datang untuk
berdoa, meneladani kebijaksanaan dan keimanan sang wali. Suasana khusyuk
menyelimuti area makam, membawa kedamaian bagi setiap hati yang datang.
Tak jauh dari Giri Kedaton, Masjid
Jami' Gresik berdiri kokoh sebagai saksi bisu perkembangan Islam di kota ini.
Masjid kuno ini memiliki arsitektur khas Jawa dengan atap tajug bertingkat
tiga. Di dalamnya, ukiran kayu dan kaligrafi Arab menghiasi dinding-dindingnya.
Masjid Jami' Gresik bukan hanya tempat ibadah, tetapi juga pusat kegiatan
sosial dan pendidikan bagi masyarakat Gresik.
Di kawasan Pecinan, kita dapat
menemukan jejak-jejak peran etnis Tionghoa dalam perkembangan Gresik.
Klenteng-klenteng berusia ratusan tahun masih berdiri kokoh, dihiasi
ornamen-ornamen khas Tiongkok. Rumah-rumah bergaya Tionghoa kuno berjajar di
sepanjang jalan, menciptakan suasana yang unik dan menarik. Aroma masakan khas
Tionghoa menyebar dari kedai-kedai makanan, menggugah selera para pengunjung.
Gresik adalah mutiara dari Jawa
Timur, sebuah kota yang kaya akan sejarah, budaya, dan semangat untuk terus
berkembang. Gresik adalah cermin Indonesia mini, tempat berbagai budaya dan
agama hidup berdampingan dalam harmoni. Gresik adalah kisah tentang perjalanan,
perjuangan, dan keberagaman. Sebuah kisah yang akan terus berlanjut,
menciptakan masa depan yang gemilang.
Demikianlah kisah ini
diceritakan, segala kebenaran detailnya kita kembalikan kepada Awloh, Tuhan pemilik
kisah kehidupan.
Komentar
Posting Komentar