KISAH ASAL USUL NAMA KABUPATEN PASURUAN
Di tepian Laut Jawa yang
membentang biru, di mana ombak berbisikkan rahasia zaman purba, dahulu kala
berdiri sebuah pelabuhan yang gemilang. Sebelum mentari menorehkan nama
"Pasuruan" di peta Nusantara, tempat ini dikenal sebagai
"Paravan," permata maritim di bawah naungan Kerajaan Airlangga yang
legendaris. Tanjung Tembikar, dermaganya yang ramai, menjadi saksi bisu lalu
lalang kapal-kapal dari berbagai penjuru, membawa serta aroma rempah, kilauan
sutra, dan cerita dari negeri-negeri jauh. Para saudagar kaya, para bangsawan
dengan pakaian keemasan, semua berlabuh di sini, tertarik oleh kekayaan dan
kemakmuran yang memancar dari Paravan.
Namun, takdir memiliki jalannya
sendiri. Sebuah legenda kuno, yang dituturkan dari bibir ke bibir di antara
para nelayan dan pedagang, meramalkan kedatangan seorang raja agung dari timur,
yang akan membawa perubahan dan memberikan nama baru bagi tanah ini, sebuah
nama yang terinspirasi dari tumbuhan suci yang tumbuh subur di bumi Paravan.
Berabad-abad berlalu, dan Paravan
terus berkembang menjadi pusat perdagangan yang disegani. Namun, jauh di
pedalaman Jawa, bangkitlah sebuah kerajaan yang kekuasaannya kelak akan
meliputi seluruh Nusantara: Majapahit. Di bawah kepemimpinan Sri Rajasanagara,
yang dikenal pula sebagai Hayam Wuruk, Majapahit mencapai puncak kejayaannya.
Sang raja, seorang pemimpin yang bijaksana dan berwawasan luas, gemar melakukan
perjalanan untuk melihat langsung kondisi wilayah kekuasaannya, menjalin
hubungan dengan para penguasa lokal, dan memastikan kemakmuran rakyatnya.
Suatu ketika, kabar tentang
pelabuhan Paravan yang makmur sampai ke telinga Raja Hayam Wuruk. Tertarik
dengan potensi dan keindahan wilayah pesisir ini, sang raja memutuskan untuk
melakukan kunjungan. Perjalanan rombongan kerajaan begitu megah, diiringi oleh
para prajurit berbaju zirah, para penasihat bijak, dan para dayang-dayang yang
anggun. Kedatangan mereka disambut dengan gegap gempita oleh seluruh penduduk
Paravan.
Di antara para tokoh terkemuka di
wilayah itu, terdapat seorang tetua yang dihormati bernama Mpu Sindok. Meskipun
masa kejayaannya telah berlalu beberapa abad sebelumnya, ketika ia memimpin
Kerajaan Medang di timur Jawa, kebijaksanaannya tetap diakui. Mpu Sindok
dikenal sebagai penjaga tradisi dan memiliki pemahaman mendalam tentang
kearifan lokal. Beliau menyambut kedatangan Raja Hayam Wuruk dengan penuh
hormat, mempersiapkan jamuan yang layak bagi seorang raja agung.
Sebagai bagian dari upacara
penyambutan, Mpu Sindok mempersembahkan sirih kepada Raja Hayam Wuruk. Daun
sirih, bagi masyarakat Jawa, bukan sekadar tanaman biasa. Ia adalah simbol
penghormatan, keramah-tamahan, dan persahabatan. Dalam tradisi kuno,
menyuguhkan sirih merupakan cara untuk menyambut tamu agung dan menunjukkan
niat baik.
Ketika Raja Hayam Wuruk menerima
sirih dari tangan Mpu Sindok, sebuah keajaiban kecil terjadi. Konon, sirih yang
disuguhkan itu memiliki aroma yang sangat harum dan rasa yang begitu nikmat,
jauh melebihi sirih biasa. Sang raja merasakan kesegaran yang luar biasa dan
kegembiraan yang meluap-luap. Terpesona oleh keunikan sirih tersebut, Raja
Hayam Wuruk tanpa sadar mengucapkan kata "Pasuruhan" berulang kali.
Kata itu keluar dari hatinya, sebuah ungkapan kekaguman yang tulus.
"Pasuruhan… Pasuruhan…
Sungguh nikmat sirih ini. Di mana gerangan tanaman ini tumbuh begitu
subur?" tanya Raja Hayam Wuruk kepada Mpu Sindok.
Mpu Sindok tersenyum bijak.
"Wahai Paduka Raja," jawabnya, "di tanah inilah tanaman suruh
tumbuh dengan limpah. Bahkan, sejak dahulu kala, tempat ini memang dikenal dengan
kesuburan tanaman suruhnya."
Terinspirasi oleh ucapan spontan
sang raja dan kesuburan tanaman sirih di wilayah itu, Mpu Sindok kemudian
mengusulkan agar tempat itu dinamakan "Pasuruhan," yang berarti
"tempat tumbuhnya tanaman suruh" atau "banyak suruh." Raja
Hayam Wuruk sangat setuju dengan usulan tersebut. Beliau merasa bahwa nama itu
sangat cocok dengan karakteristik wilayah tersebut dan akan menjadi pengingat
akan kunjungan yang berkesan ini.
Maka, sejak saat itu, pelabuhan
Paravan yang gemilang dikenal dengan nama baru: Pasuruhan. Seiring berjalannya
waktu, lidah masyarakat melafalkannya menjadi lebih sederhana, dan lahirlah
nama "Pasuruan" yang kita kenal hingga kini. Legenda ini menceritakan
bagaimana sebuah kunjungan kerajaan dan kenikmatan sehelai daun sirih dapat
memberikan nama baru bagi sebuah kota yang bersejarah.
Namun, legenda tidak berhenti di
situ. Konon, tanaman sirih yang dinikmati oleh Raja Hayam Wuruk bukanlah sirih
biasa. Ia ditanam dan dirawat dengan penuh cinta oleh para dewi hutan yang
bersembunyi di balik rimbunnya pepohonan di sekitar Paravan. Para dewi ini
sangat menyukai keramah-tamahan penduduk setempat dan memberkati tanah mereka
dengan tanaman sirih yang istimewa. Aroma dan rasa sirih itu diyakini
mengandung berkah dan membawa keberuntungan bagi siapa saja yang mengunyahnya.
Selain itu, ada pula yang
mengatakan bahwa kata "suruh" dalam "Pasuruhan" tidak hanya
merujuk pada tanaman sirih, tetapi juga memiliki makna yang lebih dalam. Dalam
bahasa kuno, "suruh" juga berarti "perintah" atau
"utusan." Oleh karena itu, "Pasuruhan" juga dapat diartikan
sebagai "tempat di mana perintah kerajaan dilaksanakan" atau
"tempat tinggal para utusan kerajaan." Legenda ini mengisahkan bahwa
Pasuruan pada masa lalu memiliki peran penting sebagai pusat pemerintahan atau
tempat berkumpulnya para utusan dari berbagai wilayah di bawah kekuasaan
Majapahit.
Meskipun kisah tentang Raja Hayam
Wuruk dan sirih menjadi legenda yang paling populer, cerita-cerita lain tentang
asal usul nama Pasuruan juga terus hidup di kalangan masyarakat. Ada yang
percaya bahwa nama itu berasal dari seorang tokoh sakti yang bernama Ki Suruh,
yang memiliki kekuatan magis dan melindungi wilayah tersebut dari segala mara bahaya.
Ada pula cerita tentang suara gemuruh ombak yang menghantam pantai, yang oleh
para nelayan kuno diibaratkan seperti bisikan kata "Pasuruan."
Namun, di antara semua legenda
yang beredar, kisah tentang Raja Hayam Wuruk dan daun sirih tetap menjadi yang
paling kuat dan melekat di hati masyarakat Pasuruan. Legenda ini bukan hanya
sekadar cerita tentang asal usul sebuah nama, tetapi juga merupakan cerminan
dari nilai-nilai budaya, tradisi, dan sejarah yang dijunjung tinggi oleh
masyarakat setempat. Kisah ini mengingatkan akan pentingnya keramah-tamahan,
penghormatan kepada tamu, dan hubungan yang baik antara penguasa dan rakyat.
Hingga kini, jejak-jejak legenda
itu masih dapat dirasakan di Pasuruan. Aroma sirih yang khas masih sering
tercium di pasar-pasar tradisional. Gambar daun sirih pernah menghiasi logo
kota, menjadi simbol yang abadi dari kisah masa lalu. Dan setiap kali nama
"Pasuruan" diucapkan, terbayanglah dalam benak kita kisah tentang
seorang raja agung, seorang tetua bijaksana, dan sehelai daun sirih yang
membawa berkah dan nama bagi sebuah kota yang bersejarah. Legenda tentang asal
usul Pasuruan adalah warisan yang tak ternilai harganya, sebuah benang emas
yang menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan kota yang terletak di
tepi Laut Jawa ini.
Demikianlah kisah ini
diceritakan, segala kebenaran detailnya kita kembalikan kepada Awloh, tuhan
yang maha kuasa.
Komentar
Posting Komentar