Kisah Asal Usul Suku Banjar
Kisah asal usul Suku Banjar
bukanlah sebuah cerita tunggal yang sederhana, melainkan sebuah proses panjang
perpaduan budaya dan etnis di lanskap subur Kalimantan bagian selatan. Jauh
sebelum kerajaan-kerajaan besar berdiri, wilayah yang kini dikenal sebagai
tanah Banjar telah dihuni oleh berbagai kelompok masyarakat asli Pulau
Kalimantan. Mereka hidup dalam komunitas-komunitas kecil, memanfaatkan kekayaan
alam hutan dan sungai untuk keberlangsungan hidup, mengembangkan tradisi dan
kepercayaan leluhur yang menyatu dengan alam sekitar. Kehidupan mereka terikat
erat dengan aliran sungai-sungai besar seperti Barito, Martapura, dan Negara,
yang menjadi jalur transportasi, sumber makanan, sekaligus pusat aktivitas
sosial.
Di antara kelompok-kelompok
masyarakat asli tersebut, suku Dayak Maanyan diyakini memiliki peran penting
sebagai salah satu unsur pembentuk paling awal. Mereka mendiami wilayah hulu
sungai, memiliki sistem kepercayaan, adat istiadat, dan bahasa tersendiri.
Kehidupan mereka berpusat pada pertanian ladang berpindah, berburu, dan meramu
hasil hutan. Jejak-jejak kebudayaan Maanyan, baik dalam bahasa maupun beberapa
tradisi, masih dapat ditelusuri dalam kebudayaan Banjar di kemudian hari,
menunjukkan adanya interaksi dan integrasi yang mendalam antara kelompok ini
dengan para pendatang.
Secara bertahap, selama
berabad-abad, gelombang migrasi dari luar Kalimantan mulai berdatangan,
terutama dari kelompok etnis Melayu. Para pendatang Melayu ini umumnya berasal
dari Sumatra dan Semenanjung Malaya, terdorong oleh berbagai faktor seperti
perdagangan, pencarian lahan baru, atau dinamika politik di daerah asal mereka.
Mereka cenderung mendirikan pemukiman di wilayah pesisir dan muara sungai,
membawa serta kebudayaan, bahasa Melayu, dan keahlian maritim serta perdagangan
yang lebih maju. Kehadiran mereka menambah keragaman etnis dan budaya di
wilayah tersebut.
Interaksi antara masyarakat Dayak
Maanyan di pedalaman dan para pendatang Melayu di pesisir tidak terhindarkan.
Perdagangan barter hasil hutan dari pedalaman dengan barang-barang dari pesisir
seperti garam, kain, dan keramik menjadi jembatan penghubung. Hubungan ini
tidak hanya sebatas ekonomi, tetapi juga merambah ke ranah sosial dan budaya.
Terjadilah perkawinan campur, adopsi bahasa, dan pertukaran adat istiadat
secara perlahan namun pasti. Proses akulturasi dan asimilasi inilah yang
menjadi fondasi awal terbentuknya masyarakat proto-Banjar.
Campuran unsur Dayak Maanyan
sebagai penduduk asli dengan unsur Melayu sebagai pendatang utama, ditambah
dengan pengaruh kecil dari kelompok etnis lain seperti Jawa, Bugis, dan bahkan
pengaruh India melalui jalur perdagangan kuno, menciptakan sebuah substrat
budaya yang unik. Masyarakat yang mendiami wilayah selatan Kalimantan ini mulai
mengembangkan ciri khas tersendiri dalam bahasa, adat, dan cara hidup, meskipun
belum terorganisir dalam sebuah entitas politik yang besar dan terpusat. Inilah
akar rumput, benih awal dari masyarakat yang kelak dikenal sebagai Suku Banjar.
Dari komunitas-komunitas yang
tumbuh hasil perpaduan budaya tersebut, muncullah kebutuhan akan tatanan sosial
dan politik yang lebih terorganisir. Legenda dan catatan sejarah semi-mitologis
mencatat berdirinya sebuah kerajaan yang dianggap sebagai salah satu cikal
bakal penting bagi masyarakat Banjar, yaitu Kerajaan Negara Dipa. Konon,
kerajaan ini didirikan oleh seorang tokoh legendaris bernama Empu Jatmika, yang
menurut beberapa versi cerita, berasal dari Keling (India) atau merupakan
pelarian bangsawan dari Majapahit. Kehadirannya menandai dimulainya era
kerajaan di wilayah ini.
Empu Jatmika, dengan pengetahuan
dan mungkin karisma kepemimpinannya, berhasil mempersatukan beberapa komunitas
yang ada. Pusat kekuasaannya yang pertama sering dikaitkan dengan daerah Candi
Agung di Amuntai. Situs Candi Agung sendiri menunjukkan adanya pengaruh
kebudayaan Hindu-Buddha yang kuat pada masa itu, selaras dengan corak
kerajaan-kerajaan Nusantara pada periode tersebut. Pendirian Negara Dipa
menjadi tonggak penting dalam mengkonsolidasikan masyarakat dan sumber daya di
wilayah hulu Sungai Negara.
Kerajaan Negara Dipa berkembang
sebagai pusat kekuasaan yang mengendalikan wilayah pedalaman. Sistem
pemerintahannya, meskipun mungkin masih sederhana, mulai menata kehidupan
masyarakat, mengatur perdagangan, dan membangun infrastruktur awal. Pengaruh
Hindu-Buddha terlihat dalam sistem kepercayaan elite kerajaan dan dalam seni
arsitektur, seperti yang tersirat dari peninggalan Candi Agung. Kerajaan ini
menjadi simbol persatuan dan identitas awal bagi masyarakat di sekitarnya,
melampaui ikatan komunitas kecil berbasis klan atau desa.
Keberadaan Negara Dipa tidak
hanya penting secara politik, tetapi juga dalam membentuk lanskap budaya.
Kerajaan ini menjadi wadah interaksi yang lebih intensif antara berbagai
kelompok etnis yang berada di bawah pengaruhnya. Bahasa Melayu kemungkinan
mulai menjadi lingua franca atau bahasa pergaulan yang lebih luas di lingkungan
kerajaan, berdampingan dengan bahasa-bahasa lokal Dayak. Tradisi dan adat
istiadat mulai tersinkretisasi, menggabungkan unsur-unsur lokal dengan pengaruh
luar yang dibawa oleh elite kerajaan.
Meskipun detail sejarah Negara
Dipa banyak terselubung legenda, keberadaannya diakui sebagai fase krusial
dalam sejarah Banjar. Ia adalah fondasi politik dan kultural tempat
elemen-elemen pembentuk Suku Banjar mulai menyatu dalam sebuah entitas yang
lebih besar. Negara Dipa meletakkan dasar bagi kerajaan-kerajaan selanjutnya
yang akan memainkan peran lebih signifikan dalam pembentukan identitas Banjar
yang kita kenal saat ini. Warisan Negara Dipa terus hidup dalam memori kolektif
dan cerita rakyat Banjar sebagai titik awal kebesaran di masa lampau.
Seiring berjalannya waktu, pusat
kekuasaan di wilayah ini mengalami pergeseran. Setelah masa Negara Dipa,
munculah Kerajaan Negara Daha yang sering dianggap sebagai kelanjutan atau
penerus dari Negara Dipa, meskipun dengan pusat pemerintahan yang kemungkinan
berpindah lokasi, lebih ke arah hilir atau di sekitar wilayah Negara saat ini.
Negara Daha mewarisi struktur sosial, budaya, dan pengaruh Hindu-Buddha dari
pendahulunya, melanjutkan peran sebagai pusat kekuasaan di pedalaman Kalimantan
Selatan. Kerajaan ini dipimpin oleh raja-raja yang melanjutkan dinasti
sebelumnya.
Negara Daha mencapai puncak
kejayaannya di bawah pemerintahan Maharaja Sukarama. Ia adalah seorang pemimpin
yang disegani dan berhasil menjaga stabilitas serta kemakmuran kerajaan. Namun,
menjelang akhir hayatnya, sebuah keputusan mengenai suksesi takhta memicu
benih-benih konflik internal yang akan mengubah arah sejarah Banjar secara
drastis. Maharaja Sukarama memiliki beberapa putra, namun ia justru mewasiatkan
takhta kerajaan kepada cucunya, Pangeran Samudera, putra dari putrinya, Putri
Galuh Intan, yang menikah dengan Pangeran Mangkubumi (putra sulung Sukarama).
Keputusan ini menimbulkan
ketidakpuasan di kalangan putra-putra Maharaja Sukarama yang lain, terutama
Pangeran Tumenggung dan Pangeran Bagalung. Mereka merasa lebih berhak atas
takhta dibandingkan keponakan mereka. Setelah Maharaja Sukarama wafat, Pangeran
Mangkubumi sempat naik takhta sesuai urutan, namun ia pun tak lama kemudian
meninggal dunia, konon diracun oleh Pangeran Tumenggung yang ambisius.
Kekosongan kekuasaan ini dimanfaatkan oleh Pangeran Tumenggung untuk merebut
takhta secara paksa, mengabaikan wasiat Maharaja Sukarama.
Perebutan kekuasaan ini
menciptakan situasi politik yang genting di Negara Daha. Pangeran Tumenggung,
yang kini berkuasa sebagai raja, memandang Pangeran Samudera sebagai ancaman
laten terhadap legitimasinya. Pangeran Samudera, meskipun masih muda, adalah
pewaris sah sesuai wasiat kakeknya, dan ia memiliki potensi untuk menggalang
dukungan dari pihak-pihak yang tidak puas dengan pemerintahan Pangeran
Tumenggung. Keamanan Pangeran Samudera menjadi terancam di lingkungan istana
Negara Daha.
Konflik internal ini bukan
sekadar perebutan takhta antar individu, tetapi juga mencerminkan ketegangan
dalam struktur sosial dan politik kerajaan. Perpecahan di kalangan elite
kerajaan melemahkan Negara Daha dari dalam. Situasi ini memaksa Pangeran
Samudera untuk mengambil langkah drastis demi menyelamatkan nyawanya dan, pada
akhirnya, mencari jalan untuk merebut kembali haknya yang dirampas. Konflik di
jantung Negara Daha inilah yang menjadi pemicu utama lahirnya kekuatan baru di
pesisir.
Menyadari bahaya yang mengancam
jiwanya di bawah kekuasaan pamannya, Pangeran Tumenggung, Pangeran Samudera
memutuskan untuk melarikan diri dari pusat Kerajaan Negara Daha. Didampingi
oleh beberapa pengikut setianya, termasuk tokoh-tokoh yang kelak menjadi
penting seperti Patih Masih, ia menyusuri aliran sungai menuju wilayah hilir.
Perjalanan ini bukan sekadar pelarian, tetapi juga sebuah langkah awal untuk
membangun basis kekuatan baru yang terpisah dari intrik istana Negara Daha.
Pangeran Samudera dan
rombongannya tiba di wilayah pesisir, tepatnya di sebuah kawasan strategis
dekat pertemuan Sungai Barito dan Sungai Martapura. Daerah ini sudah dihuni
oleh komunitas-komunitas yang terdiri dari campuran orang Melayu, Dayak, dan
para pedagang dari berbagai daerah. Salah satu pemukiman penting di area
tersebut dikenal dengan nama Kampung Kuin atau Bandar Masih, yang dipimpin oleh
seorang kepala kampung berpengaruh bernama Patih Masih. Nama "Masih"
sendiri konon merujuk pada komunitas orang Melayu ("Masih" dari kata
"Melayu Asli" atau interpretasi lain).
Kedatangan Pangeran Samudera,
seorang bangsawan pewaris takhta Negara Daha, disambut baik oleh Patih Masih
dan para pemimpin lokal lainnya seperti Patih Balit dan Patih Muhur. Mereka
melihat potensi dalam diri Pangeran Samudera untuk menjadi pemimpin yang dapat
menyatukan berbagai kelompok di wilayah pesisir dan meningkatkan posisi tawar
mereka terhadap kekuasaan Negara Daha di pedalaman. Pangeran Samudera, dengan
latar belakang bangsawannya dan klaimnya atas takhta, memiliki legitimasi yang
dibutuhkan untuk menjadi figur pemersatu.
Di bawah perlindungan dan
dukungan para patih di pesisir, Pangeran Samudera mulai membangun basis
kekuatannya di Bandar Masih (yang kelak menjadi cikal bakal Banjarmasin). Ia berhasil
mengkonsolidasikan komunitas-komunitas di sekitarnya, membentuk aliansi, dan
mengembangkan wilayah tersebut menjadi pusat perdagangan yang semakin ramai.
Lokasinya yang strategis di jalur pelayaran dan perdagangan memberikan
keuntungan ekonomis yang signifikan, menarik lebih banyak penduduk dan
pedagang.
Kekuatan Pangeran Samudera yang
terus berkembang di pesisir mulai menimbulkan kekhawatiran bagi Pangeran
Tumenggung di Negara Daha. Keberadaan Pangeran Samudera bukan lagi sekadar
pelarian, tetapi telah menjadi sebuah entitas politik tandingan yang potensial
mengancam hegemoni Negara Daha. Persaingan antara kekuatan lama di pedalaman
(Negara Daha) dan kekuatan baru di pesisir (Bandar Masih pimpinan Pangeran
Samudera) menjadi semakin nyata, membuka jalan menuju konfrontasi yang tak
terhindarkan.
Menyadari bahwa kekuatan
militernya sendiri mungkin belum cukup untuk menghadapi pasukan Kerajaan Negara
Daha yang lebih mapan, Pangeran Samudera mencari sekutu eksternal yang kuat.
Pilihannya jatuh pada Kesultanan Demak di Pulau Jawa. Demak pada masa itu
merupakan kekuatan maritim dan politik terbesar di Nusantara bagian barat,
sekaligus menjadi pusat penyebaran agama Islam yang sangat berpengaruh.
Mengirim utusan ke Demak adalah langkah strategis yang cerdas dari Pangeran
Samudera.
Utusan Pangeran Samudera
menyampaikan permohonan bantuan militer kepada Sultan Demak (kemungkinan Sultan
Trenggana pada waktu itu). Permohonan ini didasarkan pada klaim Pangeran
Samudera sebagai pewaris sah takhta Negara Daha yang dizalimi oleh pamannya.
Bantuan Demak diharapkan dapat membantunya merebut kembali haknya dan
mengalahkan Pangeran Tumenggung. Permintaan ini menarik bagi Demak, tidak hanya
karena potensi perluasan pengaruh politik, tetapi juga karena sejalan dengan
misi penyebaran agama Islam.
Kesultanan Demak menyambut baik
permintaan Pangeran Samudera, namun tidak tanpa syarat. Sebagai imbalan atas
bantuan militer yang akan diberikan, Demak menetapkan syarat utama: Pangeran
Samudera beserta seluruh rakyat dan pengikutnya harus bersedia memeluk agama
Islam. Syarat ini menunjukkan agenda politik-religius Demak yang ingin
memperluas wilayah pengaruh Islam di Nusantara. Bagi Demak, membantu Pangeran
Samudera adalah kesempatan emas untuk mengislamkan sebuah kerajaan penting di
Kalimantan.
Pangeran Samudera dihadapkan pada
pilihan yang sangat fundamental. Di satu sisi, ia harus meninggalkan agama
leluhurnya (Hindu-Buddha) yang telah dianut oleh nenek moyangnya dan Kerajaan
Negara Daha selama berabad-abad. Di sisi lain, menerima Islam adalah kunci
untuk mendapatkan bantuan militer yang sangat ia butuhkan demi merebut
kekuasaan dan menjamin kelangsungan basis politiknya di pesisir. Keputusan ini
tidak hanya bersifat pribadi tetapi juga akan menentukan arah masa depan
seluruh komunitas yang dipimpinnya.
Setelah melalui pertimbangan yang
matang, Pangeran Samudera memutuskan untuk menerima syarat yang diajukan oleh
Kesultanan Demak. Ia menyatakan kesediaannya untuk memeluk Islam bersama para
pengikutnya. Keputusan ini menjadi titik balik krusial dalam sejarah Banjar.
Aliansi strategis dengan Demak pun terjalin, dan persiapan untuk konfrontasi
militer melawan Negara Daha segera dimulai, kini dengan dukungan kekuatan besar
dari Jawa dan dengan landasan spiritual baru yang akan mengubah identitas
masyarakatnya secara mendalam.
Dengan kesepakatan tercapai,
Kesultanan Demak mengirimkan bantuan pasukan ke Bandar Masih. Selain bala
tentara, Demak juga mengutus para ulama atau mubaligh untuk membimbing proses
pengislaman Pangeran Samudera dan rakyatnya. Salah satu tokoh ulama yang sering
disebut dalam proses ini adalah Khatib Dayan, yang berperan penting dalam
mengajarkan ajaran Islam kepada Pangeran Samudera dan para pengikutnya.
Kedatangan pasukan dan ulama Demak menandai dimulainya babak baru.
Gabungan pasukan Pangeran
Samudera dan Demak kemudian melancarkan serangan terhadap Kerajaan Negara Daha.
Terjadilah pertempuran sengit antara kekuatan pesisir yang didukung Demak
melawan kekuatan pedalaman Negara Daha. Dengan strategi yang lebih matang dan
kekuatan militer yang lebih unggul berkat bantuan Demak, pasukan Pangeran
Samudera berhasil mengalahkan pasukan Pangeran Tumenggung. Kemenangan ini
mengakhiri kekuasaan Pangeran Tumenggung dan menandai runtuhnya hegemoni Negara
Daha.
Sesuai dengan janjinya, Pangeran
Samudera secara resmi memeluk agama Islam. Prosesi pengislaman ini menjadi
momen bersejarah yang disaksikan oleh para pengikutnya dan utusan Demak.
Setelah mengucapkan dua kalimat syahadat di bawah bimbingan Khatib Dayan,
Pangeran Samudera mendapatkan gelar baru yang Islami, yaitu Sultan Suriansyah.
Penobatan ini tidak hanya menandai perubahan agama sang pemimpin, tetapi juga
transformasi entitas politik yang dipimpinnya dari sebuah kerajaan bercorak
Hindu-Buddha (sebagai pewaris Negara Daha) menjadi sebuah Kesultanan Islam.
Dengan diangkatnya Sultan
Suriansyah, berdirilah secara resmi Kesultanan Banjar dengan pusat pemerintahan
di Banjarmasin (nama baru untuk Bandar Masih dan sekitarnya). Tanggal peristiwa
ini sering diperkirakan terjadi sekitar tahun 1526 Masehi, yang kemudian
diperingati sebagai hari jadi Kota Banjarmasin. Berdirinya Kesultanan Banjar
menjadi tonggak fundamental dalam pembentukan Suku Banjar. Islam ditetapkan
sebagai agama resmi negara, dan proses Islamisasi mulai berjalan secara masif
di kalangan masyarakat luas, meskipun sinkretisme dengan kepercayaan lama
mungkin masih terjadi.
Kesultanan Banjar di bawah Sultan
Suriansyah berkembang pesat. Banjarmasin menjadi ibu kota yang ramai, pusat
pemerintahan, perdagangan, dan penyebaran Islam di Kalimantan bagian selatan.
Masjid Sultan Suriansyah, yang konon merupakan masjid pertama di Kalimantan
Selatan, dibangun sebagai simbol pusat keagamaan kesultanan. Struktur
pemerintahan ditata ulang dengan pengaruh Islam dan model kesultanan
Melayu-Jawa. Era baru telah dimulai, di mana identitas Banjar mulai terjalin
erat dengan institusi kesultanan dan ajaran agama Islam.
Berdirinya Kesultanan Banjar dan
diterimanya Islam sebagai agama resmi menjadi faktor kunci yang mengkristalkan
identitas Suku Banjar. Jika sebelumnya masyarakat di wilayah ini merupakan
campuran longgar antara Dayak, Melayu, dan unsur lain, kini mereka disatukan di
bawah payung politik kesultanan dan payung spiritual agama Islam. Kesultanan
Banjar memberikan kerangka identitas kolektif yang baru dan lebih kuat,
melampaui batas-batas etnisitas asal. Menjadi "Orang Banjar" kini
berarti menjadi bagian dari rakyat Kesultanan Banjar dan umumnya memeluk agama
Islam.
Proses Islamisasi yang digalakkan
oleh kesultanan secara bertahap mengubah lanskap sosial dan budaya masyarakat.
Ajaran Islam mempengaruhi sistem hukum (dengan unsur hukum adat dan hukum
Islam), norma sosial, ritual keagamaan (shalat, puasa, haji), perayaan hari
besar Islam, serta sistem pendidikan melalui surau dan masjid. Bahasa Banjar,
yang merupakan hasil perpaduan bahasa Melayu sebagai dasar dengan pengaruh kuat
bahasa Dayak Maanyan serta serapan dari bahasa Jawa dan Arab, semakin
berkembang dan menjadi bahasa pemersatu masyarakat Banjar.
Identitas Banjar yang terbentuk
bukanlah penolakan total terhadap akar Dayak atau Melayu, melainkan sebuah
sintesis yang unik. Unsur-unsur budaya Dayak, seperti beberapa kosakata,
teknologi pertanian atau kerajinan, dan mungkin beberapa kepercayaan pra-Islam
yang tersinkretisasi, tetap bertahan. Sementara itu, unsur Melayu sangat kental
dalam bahasa, sistem kekerabatan, kesenian (seperti musik dan tari), dan
tradisi maritim/perdagangan. Ditambah lagi dengan pengaruh Jawa (terutama dalam
struktur pemerintahan awal dan beberapa kosakata) dan nilai-nilai Islam sebagai
perekat utama.
Kesultanan Banjar, melalui
kebijakan politik, ekonomi, dan keagamaannya, secara aktif mempromosikan
identitas Banjar ini. Kesetiaan kepada Sultan, ketaatan pada ajaran Islam,
penggunaan bahasa Banjar, dan partisipasi dalam kehidupan sosial-ekonomi
kesultanan menjadi penanda utama identitas Banjar. Perbedaan antara "Orang
Banjar" (yang umumnya Muslim dan hidup di bawah kesultanan) dengan
"Orang Dayak" (yang umumnya masih menganut kepercayaan leluhur dan
hidup di pedalaman di luar pengaruh langsung kesultanan) menjadi semakin jelas.
Dengan demikian, Suku Banjar
lahir bukan semata-mata karena garis keturunan atau etnisitas murni, tetapi
lebih karena proses sejarah, politik, dan sosio-religius yang kompleks. Ia adalah
hasil dari akulturasi panjang berbagai unsur budaya yang dipersatukan oleh
pengalaman sejarah bersama di bawah naungan Kesultanan Banjar dan diikat oleh
ajaran agama Islam. Identitas ini terus berkembang dan beradaptasi sepanjang
sejarah Kesultanan Banjar hingga masa kini.
Ciri khas yang tak terpisahkan
dari Suku Banjar adalah kehidupan mereka yang sangat erat dengan sungai.
Lanskap geografis Kalimantan Selatan didominasi oleh jaringan sungai-sungai
besar seperti Barito, Martapura, Negara, Kapuas Murung, dan banyak anak
sungainya. Sungai-sungai ini bukan sekadar fitur alam, tetapi merupakan urat
nadi kehidupan, jalur transportasi utama, sumber air, tempat mencari nafkah,
dan pusat interaksi sosial bagi masyarakat Banjar sejak awal terbentuknya
hingga kini.
Adaptasi masyarakat Banjar
terhadap lingkungan sungai terlihat jelas dalam pola pemukiman mereka.
Mayoritas perkampungan Banjar secara tradisional terletak di sepanjang tepian
sungai. Rumah-rumah panggung (rumah Baanjung adalah salah satu contoh ikonik)
dibangun untuk mengantisipasi pasang surut air sungai dan banjir musiman.
Bahkan, dikenal pula rumah lanting, yaitu rumah rakit yang mengapung di atas
air, menunjukkan tingkat adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan perairan.
Sungai adalah jalan raya utama
bagi Suku Banjar. Perahu dalam berbagai jenis dan ukuran, mulai dari jukung
kecil untuk transportasi pribadi dan mencari ikan hingga perahu dagang yang
lebih besar, menjadi sarana vital. Aktivitas sehari-hari seperti bepergian ke
pasar, mengunjungi kerabat, mengangkut hasil bumi, atau sekadar berinteraksi
dengan tetangga seringkali dilakukan melalui jalur air. Keahlian mendayung dan
membuat perahu menjadi keterampilan dasar yang dimiliki oleh banyak orang
Banjar.
Ekonomi masyarakat Banjar juga
sangat bergantung pada sungai dan lingkungannya. Selain menangkap ikan yang
melimpah di sungai, masyarakat Banjar memanfaatkan lahan subur di bantaran
sungai untuk bertanam padi sawah pasang surut, sayuran, dan buah-buahan. Sungai
juga menjadi jalur perdagangan penting yang menghubungkan wilayah pedalaman
(penghasil rotan, damar, kayu, karet) dengan pusat-pusat perdagangan di pesisir
atau kota, dan sebaliknya. Fenomena pasar terapung (seperti di Lok Baintan atau
Muara Kuin) adalah wujud nyata dari budaya ekonomi berbasis sungai ini.
Budaya sungai ini meresap ke
dalam berbagai aspek kehidupan Suku Banjar, membentuk karakter, keterampilan,
dan bahkan ekspresi seni mereka. Ketergantungan pada sungai juga menumbuhkan
kesadaran akan pentingnya menjaga keseimbangan alam dan siklus air. Sungai
bukan hanya tempat hidup, tetapi juga sumber inspirasi dan bagian tak
terpisahkan dari identitas kolektif Suku Banjar. Kehidupan di tepian sungai
adalah gambaran paling otentik dari denyut nadi peradaban Banjar.
Demikianlah kisah ini diceritakan,
segala kebenaran detailnya kita kembalikan kepada Awloh, tuhan pemilik kisah
kehidupan.
Komentar
Posting Komentar