Kisah Asal Usul Suku Banjar

 



Kisah asal usul Suku Banjar bukanlah sebuah cerita tunggal yang sederhana, melainkan sebuah proses panjang perpaduan budaya dan etnis di lanskap subur Kalimantan bagian selatan. Jauh sebelum kerajaan-kerajaan besar berdiri, wilayah yang kini dikenal sebagai tanah Banjar telah dihuni oleh berbagai kelompok masyarakat asli Pulau Kalimantan. Mereka hidup dalam komunitas-komunitas kecil, memanfaatkan kekayaan alam hutan dan sungai untuk keberlangsungan hidup, mengembangkan tradisi dan kepercayaan leluhur yang menyatu dengan alam sekitar. Kehidupan mereka terikat erat dengan aliran sungai-sungai besar seperti Barito, Martapura, dan Negara, yang menjadi jalur transportasi, sumber makanan, sekaligus pusat aktivitas sosial.

Di antara kelompok-kelompok masyarakat asli tersebut, suku Dayak Maanyan diyakini memiliki peran penting sebagai salah satu unsur pembentuk paling awal. Mereka mendiami wilayah hulu sungai, memiliki sistem kepercayaan, adat istiadat, dan bahasa tersendiri. Kehidupan mereka berpusat pada pertanian ladang berpindah, berburu, dan meramu hasil hutan. Jejak-jejak kebudayaan Maanyan, baik dalam bahasa maupun beberapa tradisi, masih dapat ditelusuri dalam kebudayaan Banjar di kemudian hari, menunjukkan adanya interaksi dan integrasi yang mendalam antara kelompok ini dengan para pendatang.

Secara bertahap, selama berabad-abad, gelombang migrasi dari luar Kalimantan mulai berdatangan, terutama dari kelompok etnis Melayu. Para pendatang Melayu ini umumnya berasal dari Sumatra dan Semenanjung Malaya, terdorong oleh berbagai faktor seperti perdagangan, pencarian lahan baru, atau dinamika politik di daerah asal mereka. Mereka cenderung mendirikan pemukiman di wilayah pesisir dan muara sungai, membawa serta kebudayaan, bahasa Melayu, dan keahlian maritim serta perdagangan yang lebih maju. Kehadiran mereka menambah keragaman etnis dan budaya di wilayah tersebut.

Interaksi antara masyarakat Dayak Maanyan di pedalaman dan para pendatang Melayu di pesisir tidak terhindarkan. Perdagangan barter hasil hutan dari pedalaman dengan barang-barang dari pesisir seperti garam, kain, dan keramik menjadi jembatan penghubung. Hubungan ini tidak hanya sebatas ekonomi, tetapi juga merambah ke ranah sosial dan budaya. Terjadilah perkawinan campur, adopsi bahasa, dan pertukaran adat istiadat secara perlahan namun pasti. Proses akulturasi dan asimilasi inilah yang menjadi fondasi awal terbentuknya masyarakat proto-Banjar.

Campuran unsur Dayak Maanyan sebagai penduduk asli dengan unsur Melayu sebagai pendatang utama, ditambah dengan pengaruh kecil dari kelompok etnis lain seperti Jawa, Bugis, dan bahkan pengaruh India melalui jalur perdagangan kuno, menciptakan sebuah substrat budaya yang unik. Masyarakat yang mendiami wilayah selatan Kalimantan ini mulai mengembangkan ciri khas tersendiri dalam bahasa, adat, dan cara hidup, meskipun belum terorganisir dalam sebuah entitas politik yang besar dan terpusat. Inilah akar rumput, benih awal dari masyarakat yang kelak dikenal sebagai Suku Banjar.

 

Dari komunitas-komunitas yang tumbuh hasil perpaduan budaya tersebut, muncullah kebutuhan akan tatanan sosial dan politik yang lebih terorganisir. Legenda dan catatan sejarah semi-mitologis mencatat berdirinya sebuah kerajaan yang dianggap sebagai salah satu cikal bakal penting bagi masyarakat Banjar, yaitu Kerajaan Negara Dipa. Konon, kerajaan ini didirikan oleh seorang tokoh legendaris bernama Empu Jatmika, yang menurut beberapa versi cerita, berasal dari Keling (India) atau merupakan pelarian bangsawan dari Majapahit. Kehadirannya menandai dimulainya era kerajaan di wilayah ini.

Empu Jatmika, dengan pengetahuan dan mungkin karisma kepemimpinannya, berhasil mempersatukan beberapa komunitas yang ada. Pusat kekuasaannya yang pertama sering dikaitkan dengan daerah Candi Agung di Amuntai. Situs Candi Agung sendiri menunjukkan adanya pengaruh kebudayaan Hindu-Buddha yang kuat pada masa itu, selaras dengan corak kerajaan-kerajaan Nusantara pada periode tersebut. Pendirian Negara Dipa menjadi tonggak penting dalam mengkonsolidasikan masyarakat dan sumber daya di wilayah hulu Sungai Negara.

Kerajaan Negara Dipa berkembang sebagai pusat kekuasaan yang mengendalikan wilayah pedalaman. Sistem pemerintahannya, meskipun mungkin masih sederhana, mulai menata kehidupan masyarakat, mengatur perdagangan, dan membangun infrastruktur awal. Pengaruh Hindu-Buddha terlihat dalam sistem kepercayaan elite kerajaan dan dalam seni arsitektur, seperti yang tersirat dari peninggalan Candi Agung. Kerajaan ini menjadi simbol persatuan dan identitas awal bagi masyarakat di sekitarnya, melampaui ikatan komunitas kecil berbasis klan atau desa.

Keberadaan Negara Dipa tidak hanya penting secara politik, tetapi juga dalam membentuk lanskap budaya. Kerajaan ini menjadi wadah interaksi yang lebih intensif antara berbagai kelompok etnis yang berada di bawah pengaruhnya. Bahasa Melayu kemungkinan mulai menjadi lingua franca atau bahasa pergaulan yang lebih luas di lingkungan kerajaan, berdampingan dengan bahasa-bahasa lokal Dayak. Tradisi dan adat istiadat mulai tersinkretisasi, menggabungkan unsur-unsur lokal dengan pengaruh luar yang dibawa oleh elite kerajaan.

Meskipun detail sejarah Negara Dipa banyak terselubung legenda, keberadaannya diakui sebagai fase krusial dalam sejarah Banjar. Ia adalah fondasi politik dan kultural tempat elemen-elemen pembentuk Suku Banjar mulai menyatu dalam sebuah entitas yang lebih besar. Negara Dipa meletakkan dasar bagi kerajaan-kerajaan selanjutnya yang akan memainkan peran lebih signifikan dalam pembentukan identitas Banjar yang kita kenal saat ini. Warisan Negara Dipa terus hidup dalam memori kolektif dan cerita rakyat Banjar sebagai titik awal kebesaran di masa lampau.

 

Seiring berjalannya waktu, pusat kekuasaan di wilayah ini mengalami pergeseran. Setelah masa Negara Dipa, munculah Kerajaan Negara Daha yang sering dianggap sebagai kelanjutan atau penerus dari Negara Dipa, meskipun dengan pusat pemerintahan yang kemungkinan berpindah lokasi, lebih ke arah hilir atau di sekitar wilayah Negara saat ini. Negara Daha mewarisi struktur sosial, budaya, dan pengaruh Hindu-Buddha dari pendahulunya, melanjutkan peran sebagai pusat kekuasaan di pedalaman Kalimantan Selatan. Kerajaan ini dipimpin oleh raja-raja yang melanjutkan dinasti sebelumnya.

Negara Daha mencapai puncak kejayaannya di bawah pemerintahan Maharaja Sukarama. Ia adalah seorang pemimpin yang disegani dan berhasil menjaga stabilitas serta kemakmuran kerajaan. Namun, menjelang akhir hayatnya, sebuah keputusan mengenai suksesi takhta memicu benih-benih konflik internal yang akan mengubah arah sejarah Banjar secara drastis. Maharaja Sukarama memiliki beberapa putra, namun ia justru mewasiatkan takhta kerajaan kepada cucunya, Pangeran Samudera, putra dari putrinya, Putri Galuh Intan, yang menikah dengan Pangeran Mangkubumi (putra sulung Sukarama).

Keputusan ini menimbulkan ketidakpuasan di kalangan putra-putra Maharaja Sukarama yang lain, terutama Pangeran Tumenggung dan Pangeran Bagalung. Mereka merasa lebih berhak atas takhta dibandingkan keponakan mereka. Setelah Maharaja Sukarama wafat, Pangeran Mangkubumi sempat naik takhta sesuai urutan, namun ia pun tak lama kemudian meninggal dunia, konon diracun oleh Pangeran Tumenggung yang ambisius. Kekosongan kekuasaan ini dimanfaatkan oleh Pangeran Tumenggung untuk merebut takhta secara paksa, mengabaikan wasiat Maharaja Sukarama.

Perebutan kekuasaan ini menciptakan situasi politik yang genting di Negara Daha. Pangeran Tumenggung, yang kini berkuasa sebagai raja, memandang Pangeran Samudera sebagai ancaman laten terhadap legitimasinya. Pangeran Samudera, meskipun masih muda, adalah pewaris sah sesuai wasiat kakeknya, dan ia memiliki potensi untuk menggalang dukungan dari pihak-pihak yang tidak puas dengan pemerintahan Pangeran Tumenggung. Keamanan Pangeran Samudera menjadi terancam di lingkungan istana Negara Daha.

Konflik internal ini bukan sekadar perebutan takhta antar individu, tetapi juga mencerminkan ketegangan dalam struktur sosial dan politik kerajaan. Perpecahan di kalangan elite kerajaan melemahkan Negara Daha dari dalam. Situasi ini memaksa Pangeran Samudera untuk mengambil langkah drastis demi menyelamatkan nyawanya dan, pada akhirnya, mencari jalan untuk merebut kembali haknya yang dirampas. Konflik di jantung Negara Daha inilah yang menjadi pemicu utama lahirnya kekuatan baru di pesisir.

 

Menyadari bahaya yang mengancam jiwanya di bawah kekuasaan pamannya, Pangeran Tumenggung, Pangeran Samudera memutuskan untuk melarikan diri dari pusat Kerajaan Negara Daha. Didampingi oleh beberapa pengikut setianya, termasuk tokoh-tokoh yang kelak menjadi penting seperti Patih Masih, ia menyusuri aliran sungai menuju wilayah hilir. Perjalanan ini bukan sekadar pelarian, tetapi juga sebuah langkah awal untuk membangun basis kekuatan baru yang terpisah dari intrik istana Negara Daha.

Pangeran Samudera dan rombongannya tiba di wilayah pesisir, tepatnya di sebuah kawasan strategis dekat pertemuan Sungai Barito dan Sungai Martapura. Daerah ini sudah dihuni oleh komunitas-komunitas yang terdiri dari campuran orang Melayu, Dayak, dan para pedagang dari berbagai daerah. Salah satu pemukiman penting di area tersebut dikenal dengan nama Kampung Kuin atau Bandar Masih, yang dipimpin oleh seorang kepala kampung berpengaruh bernama Patih Masih. Nama "Masih" sendiri konon merujuk pada komunitas orang Melayu ("Masih" dari kata "Melayu Asli" atau interpretasi lain).

Kedatangan Pangeran Samudera, seorang bangsawan pewaris takhta Negara Daha, disambut baik oleh Patih Masih dan para pemimpin lokal lainnya seperti Patih Balit dan Patih Muhur. Mereka melihat potensi dalam diri Pangeran Samudera untuk menjadi pemimpin yang dapat menyatukan berbagai kelompok di wilayah pesisir dan meningkatkan posisi tawar mereka terhadap kekuasaan Negara Daha di pedalaman. Pangeran Samudera, dengan latar belakang bangsawannya dan klaimnya atas takhta, memiliki legitimasi yang dibutuhkan untuk menjadi figur pemersatu.

Di bawah perlindungan dan dukungan para patih di pesisir, Pangeran Samudera mulai membangun basis kekuatannya di Bandar Masih (yang kelak menjadi cikal bakal Banjarmasin). Ia berhasil mengkonsolidasikan komunitas-komunitas di sekitarnya, membentuk aliansi, dan mengembangkan wilayah tersebut menjadi pusat perdagangan yang semakin ramai. Lokasinya yang strategis di jalur pelayaran dan perdagangan memberikan keuntungan ekonomis yang signifikan, menarik lebih banyak penduduk dan pedagang.

Kekuatan Pangeran Samudera yang terus berkembang di pesisir mulai menimbulkan kekhawatiran bagi Pangeran Tumenggung di Negara Daha. Keberadaan Pangeran Samudera bukan lagi sekadar pelarian, tetapi telah menjadi sebuah entitas politik tandingan yang potensial mengancam hegemoni Negara Daha. Persaingan antara kekuatan lama di pedalaman (Negara Daha) dan kekuatan baru di pesisir (Bandar Masih pimpinan Pangeran Samudera) menjadi semakin nyata, membuka jalan menuju konfrontasi yang tak terhindarkan.

 

Menyadari bahwa kekuatan militernya sendiri mungkin belum cukup untuk menghadapi pasukan Kerajaan Negara Daha yang lebih mapan, Pangeran Samudera mencari sekutu eksternal yang kuat. Pilihannya jatuh pada Kesultanan Demak di Pulau Jawa. Demak pada masa itu merupakan kekuatan maritim dan politik terbesar di Nusantara bagian barat, sekaligus menjadi pusat penyebaran agama Islam yang sangat berpengaruh. Mengirim utusan ke Demak adalah langkah strategis yang cerdas dari Pangeran Samudera.

Utusan Pangeran Samudera menyampaikan permohonan bantuan militer kepada Sultan Demak (kemungkinan Sultan Trenggana pada waktu itu). Permohonan ini didasarkan pada klaim Pangeran Samudera sebagai pewaris sah takhta Negara Daha yang dizalimi oleh pamannya. Bantuan Demak diharapkan dapat membantunya merebut kembali haknya dan mengalahkan Pangeran Tumenggung. Permintaan ini menarik bagi Demak, tidak hanya karena potensi perluasan pengaruh politik, tetapi juga karena sejalan dengan misi penyebaran agama Islam.

Kesultanan Demak menyambut baik permintaan Pangeran Samudera, namun tidak tanpa syarat. Sebagai imbalan atas bantuan militer yang akan diberikan, Demak menetapkan syarat utama: Pangeran Samudera beserta seluruh rakyat dan pengikutnya harus bersedia memeluk agama Islam. Syarat ini menunjukkan agenda politik-religius Demak yang ingin memperluas wilayah pengaruh Islam di Nusantara. Bagi Demak, membantu Pangeran Samudera adalah kesempatan emas untuk mengislamkan sebuah kerajaan penting di Kalimantan.

Pangeran Samudera dihadapkan pada pilihan yang sangat fundamental. Di satu sisi, ia harus meninggalkan agama leluhurnya (Hindu-Buddha) yang telah dianut oleh nenek moyangnya dan Kerajaan Negara Daha selama berabad-abad. Di sisi lain, menerima Islam adalah kunci untuk mendapatkan bantuan militer yang sangat ia butuhkan demi merebut kekuasaan dan menjamin kelangsungan basis politiknya di pesisir. Keputusan ini tidak hanya bersifat pribadi tetapi juga akan menentukan arah masa depan seluruh komunitas yang dipimpinnya.

Setelah melalui pertimbangan yang matang, Pangeran Samudera memutuskan untuk menerima syarat yang diajukan oleh Kesultanan Demak. Ia menyatakan kesediaannya untuk memeluk Islam bersama para pengikutnya. Keputusan ini menjadi titik balik krusial dalam sejarah Banjar. Aliansi strategis dengan Demak pun terjalin, dan persiapan untuk konfrontasi militer melawan Negara Daha segera dimulai, kini dengan dukungan kekuatan besar dari Jawa dan dengan landasan spiritual baru yang akan mengubah identitas masyarakatnya secara mendalam.

 

Dengan kesepakatan tercapai, Kesultanan Demak mengirimkan bantuan pasukan ke Bandar Masih. Selain bala tentara, Demak juga mengutus para ulama atau mubaligh untuk membimbing proses pengislaman Pangeran Samudera dan rakyatnya. Salah satu tokoh ulama yang sering disebut dalam proses ini adalah Khatib Dayan, yang berperan penting dalam mengajarkan ajaran Islam kepada Pangeran Samudera dan para pengikutnya. Kedatangan pasukan dan ulama Demak menandai dimulainya babak baru.

Gabungan pasukan Pangeran Samudera dan Demak kemudian melancarkan serangan terhadap Kerajaan Negara Daha. Terjadilah pertempuran sengit antara kekuatan pesisir yang didukung Demak melawan kekuatan pedalaman Negara Daha. Dengan strategi yang lebih matang dan kekuatan militer yang lebih unggul berkat bantuan Demak, pasukan Pangeran Samudera berhasil mengalahkan pasukan Pangeran Tumenggung. Kemenangan ini mengakhiri kekuasaan Pangeran Tumenggung dan menandai runtuhnya hegemoni Negara Daha.

Sesuai dengan janjinya, Pangeran Samudera secara resmi memeluk agama Islam. Prosesi pengislaman ini menjadi momen bersejarah yang disaksikan oleh para pengikutnya dan utusan Demak. Setelah mengucapkan dua kalimat syahadat di bawah bimbingan Khatib Dayan, Pangeran Samudera mendapatkan gelar baru yang Islami, yaitu Sultan Suriansyah. Penobatan ini tidak hanya menandai perubahan agama sang pemimpin, tetapi juga transformasi entitas politik yang dipimpinnya dari sebuah kerajaan bercorak Hindu-Buddha (sebagai pewaris Negara Daha) menjadi sebuah Kesultanan Islam.

Dengan diangkatnya Sultan Suriansyah, berdirilah secara resmi Kesultanan Banjar dengan pusat pemerintahan di Banjarmasin (nama baru untuk Bandar Masih dan sekitarnya). Tanggal peristiwa ini sering diperkirakan terjadi sekitar tahun 1526 Masehi, yang kemudian diperingati sebagai hari jadi Kota Banjarmasin. Berdirinya Kesultanan Banjar menjadi tonggak fundamental dalam pembentukan Suku Banjar. Islam ditetapkan sebagai agama resmi negara, dan proses Islamisasi mulai berjalan secara masif di kalangan masyarakat luas, meskipun sinkretisme dengan kepercayaan lama mungkin masih terjadi.

Kesultanan Banjar di bawah Sultan Suriansyah berkembang pesat. Banjarmasin menjadi ibu kota yang ramai, pusat pemerintahan, perdagangan, dan penyebaran Islam di Kalimantan bagian selatan. Masjid Sultan Suriansyah, yang konon merupakan masjid pertama di Kalimantan Selatan, dibangun sebagai simbol pusat keagamaan kesultanan. Struktur pemerintahan ditata ulang dengan pengaruh Islam dan model kesultanan Melayu-Jawa. Era baru telah dimulai, di mana identitas Banjar mulai terjalin erat dengan institusi kesultanan dan ajaran agama Islam.

 

Berdirinya Kesultanan Banjar dan diterimanya Islam sebagai agama resmi menjadi faktor kunci yang mengkristalkan identitas Suku Banjar. Jika sebelumnya masyarakat di wilayah ini merupakan campuran longgar antara Dayak, Melayu, dan unsur lain, kini mereka disatukan di bawah payung politik kesultanan dan payung spiritual agama Islam. Kesultanan Banjar memberikan kerangka identitas kolektif yang baru dan lebih kuat, melampaui batas-batas etnisitas asal. Menjadi "Orang Banjar" kini berarti menjadi bagian dari rakyat Kesultanan Banjar dan umumnya memeluk agama Islam.

Proses Islamisasi yang digalakkan oleh kesultanan secara bertahap mengubah lanskap sosial dan budaya masyarakat. Ajaran Islam mempengaruhi sistem hukum (dengan unsur hukum adat dan hukum Islam), norma sosial, ritual keagamaan (shalat, puasa, haji), perayaan hari besar Islam, serta sistem pendidikan melalui surau dan masjid. Bahasa Banjar, yang merupakan hasil perpaduan bahasa Melayu sebagai dasar dengan pengaruh kuat bahasa Dayak Maanyan serta serapan dari bahasa Jawa dan Arab, semakin berkembang dan menjadi bahasa pemersatu masyarakat Banjar.

Identitas Banjar yang terbentuk bukanlah penolakan total terhadap akar Dayak atau Melayu, melainkan sebuah sintesis yang unik. Unsur-unsur budaya Dayak, seperti beberapa kosakata, teknologi pertanian atau kerajinan, dan mungkin beberapa kepercayaan pra-Islam yang tersinkretisasi, tetap bertahan. Sementara itu, unsur Melayu sangat kental dalam bahasa, sistem kekerabatan, kesenian (seperti musik dan tari), dan tradisi maritim/perdagangan. Ditambah lagi dengan pengaruh Jawa (terutama dalam struktur pemerintahan awal dan beberapa kosakata) dan nilai-nilai Islam sebagai perekat utama.

Kesultanan Banjar, melalui kebijakan politik, ekonomi, dan keagamaannya, secara aktif mempromosikan identitas Banjar ini. Kesetiaan kepada Sultan, ketaatan pada ajaran Islam, penggunaan bahasa Banjar, dan partisipasi dalam kehidupan sosial-ekonomi kesultanan menjadi penanda utama identitas Banjar. Perbedaan antara "Orang Banjar" (yang umumnya Muslim dan hidup di bawah kesultanan) dengan "Orang Dayak" (yang umumnya masih menganut kepercayaan leluhur dan hidup di pedalaman di luar pengaruh langsung kesultanan) menjadi semakin jelas.

Dengan demikian, Suku Banjar lahir bukan semata-mata karena garis keturunan atau etnisitas murni, tetapi lebih karena proses sejarah, politik, dan sosio-religius yang kompleks. Ia adalah hasil dari akulturasi panjang berbagai unsur budaya yang dipersatukan oleh pengalaman sejarah bersama di bawah naungan Kesultanan Banjar dan diikat oleh ajaran agama Islam. Identitas ini terus berkembang dan beradaptasi sepanjang sejarah Kesultanan Banjar hingga masa kini.

 

Ciri khas yang tak terpisahkan dari Suku Banjar adalah kehidupan mereka yang sangat erat dengan sungai. Lanskap geografis Kalimantan Selatan didominasi oleh jaringan sungai-sungai besar seperti Barito, Martapura, Negara, Kapuas Murung, dan banyak anak sungainya. Sungai-sungai ini bukan sekadar fitur alam, tetapi merupakan urat nadi kehidupan, jalur transportasi utama, sumber air, tempat mencari nafkah, dan pusat interaksi sosial bagi masyarakat Banjar sejak awal terbentuknya hingga kini.

Adaptasi masyarakat Banjar terhadap lingkungan sungai terlihat jelas dalam pola pemukiman mereka. Mayoritas perkampungan Banjar secara tradisional terletak di sepanjang tepian sungai. Rumah-rumah panggung (rumah Baanjung adalah salah satu contoh ikonik) dibangun untuk mengantisipasi pasang surut air sungai dan banjir musiman. Bahkan, dikenal pula rumah lanting, yaitu rumah rakit yang mengapung di atas air, menunjukkan tingkat adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan perairan.

Sungai adalah jalan raya utama bagi Suku Banjar. Perahu dalam berbagai jenis dan ukuran, mulai dari jukung kecil untuk transportasi pribadi dan mencari ikan hingga perahu dagang yang lebih besar, menjadi sarana vital. Aktivitas sehari-hari seperti bepergian ke pasar, mengunjungi kerabat, mengangkut hasil bumi, atau sekadar berinteraksi dengan tetangga seringkali dilakukan melalui jalur air. Keahlian mendayung dan membuat perahu menjadi keterampilan dasar yang dimiliki oleh banyak orang Banjar.

Ekonomi masyarakat Banjar juga sangat bergantung pada sungai dan lingkungannya. Selain menangkap ikan yang melimpah di sungai, masyarakat Banjar memanfaatkan lahan subur di bantaran sungai untuk bertanam padi sawah pasang surut, sayuran, dan buah-buahan. Sungai juga menjadi jalur perdagangan penting yang menghubungkan wilayah pedalaman (penghasil rotan, damar, kayu, karet) dengan pusat-pusat perdagangan di pesisir atau kota, dan sebaliknya. Fenomena pasar terapung (seperti di Lok Baintan atau Muara Kuin) adalah wujud nyata dari budaya ekonomi berbasis sungai ini.

Budaya sungai ini meresap ke dalam berbagai aspek kehidupan Suku Banjar, membentuk karakter, keterampilan, dan bahkan ekspresi seni mereka. Ketergantungan pada sungai juga menumbuhkan kesadaran akan pentingnya menjaga keseimbangan alam dan siklus air. Sungai bukan hanya tempat hidup, tetapi juga sumber inspirasi dan bagian tak terpisahkan dari identitas kolektif Suku Banjar. Kehidupan di tepian sungai adalah gambaran paling otentik dari denyut nadi peradaban Banjar.

Demikianlah kisah ini diceritakan, segala kebenaran detailnya kita kembalikan kepada Awloh, tuhan pemilik kisah kehidupan.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Legenda Putri Gunung Ledang, Cerita Rakyat Malaka

Kisah Legenda Puteri Junjung Buih, Cerita Rakyat Kalimantan

Kisah Gunung Sumbing: Sejarah, Legenda dan Cerita Mistis