Kisah Legenda Maling Aguna (Brandhal Lokajaya), Perjalanan Hidup Sunan Kalijaga (Tuban)

 



Di Kadipaten Tuban yang ramai sebagai bandar niaga di pesisir utara Jawa, hiduplah seorang Adipati bernama Tumenggung Wilatikta. Ia memiliki seorang putra yang gagah dan cerdas bernama Raden Mas Said, atau lebih dikenal sebagai Raden Said. Sebagai putra adipati, Raden Said hidup dalam lingkungan istana yang serba berkecukupan, mengenyam pendidikan yang baik, dan dipersiapkan untuk meneruskan kepemimpinan ayahandanya kelak.

Namun, di balik kemewahan hidupnya, hati Raden Said muda seringkali merasa gelisah dan prihatin. Ia tidak bisa menutup mata terhadap kondisi rakyat Tuban di luar tembok istana. Banyak di antara mereka yang hidup dalam kemiskinan dan kesulitan. Pajak yang tinggi, yang konon harus disetorkan sebagai upeti kepada Kerajaan Majapahit yang berkuasa saat itu, semakin mencekik leher rakyat kecil.

Raden Said sering menyaksikan sendiri bagaimana para petani harus menyerahkan sebagian besar hasil panen mereka kepada petugas pajak kadipaten. Ia melihat wajah-wajah lesu para nelayan yang pendapatannya tak menentu, dan anak-anak yang kekurangan gizi. Hatinya teriris melihat kontras antara kehidupan nyaman di istana dengan penderitaan rakyat jelata.

Jiwa muda Raden Said yang penuh idealisme bergolak. Ia merasa ada ketidakadilan yang terjadi di negerinya. Ia mencoba menyampaikan keprihatinannya kepada ayahandanya, namun sang Adipati terikat oleh aturan dan kewajiban kepada pemerintah pusat Majapahit. Raden Said merasa gemas dan tidak sabar, ia ingin melakukan sesuatu untuk meringankan beban rakyat secara langsung.

Keprihatinan yang mendalam ini terus menghantuinya. Ia merasa bertanggung jawab sebagai putra penguasa untuk turut merasakan dan mengatasi penderitaan rakyatnya. Namun, ia belum menemukan cara yang tepat dan benar untuk menyalurkan kepeduliannya tersebut dalam struktur kekuasaan yang ada.

 

Kegelisahan Raden Said mencapai puncaknya ketika ia melihat lumbung-lumbung padi milik kadipaten penuh terisi hasil penarikan pajak, sementara di desa-desa banyak rakyat yang terancam kelaparan karena gagal panen atau hasil bumi mereka habis untuk membayar pajak. Hatinya memberontak melihat ketimpangan ini. Ia merasa harta kadipaten itu sejatinya adalah milik rakyat yang seharusnya dikembalikan kepada mereka yang membutuhkan.

Didorong oleh niat tulus untuk membantu namun dilandasi pemikiran yang salah kaprah dan jiwa muda yang gegabah, Raden Said mengambil keputusan nekat. Secara diam-diam, pada malam hari, ia menyelinap masuk ke dalam gudang penyimpanan hasil bumi milik Kadipaten Tuban. Dengan keterampilannya, ia berhasil mengambil sejumlah besar beras dan bahan makanan lainnya tanpa diketahui penjaga.

Setelah berhasil membawa keluar hasil curiannya, Raden Said tidak menggunakannya untuk kepentingan pribadi. Ia segera membagi-bagikan bahan makanan tersebut kepada penduduk desa yang paling miskin dan membutuhkan. Ia melakukannya secara sembunyi-sembunyi, seringkali meletakkan karung beras di depan pintu rumah warga pada malam hari, sehingga mereka tidak tahu siapa pemberinya.

Aksi ini dilakukannya berulang kali. Rakyat miskin yang menerima bantuan misterius itu merasa sangat bersyukur, seolah mendapat pertolongan dari langit. Namun, mereka tidak menyadari bahwa bantuan itu berasal dari tindakan yang melanggar hukum yang dilakukan oleh putra adipati mereka sendiri. Raden Said merasa puas bisa membantu, meskipun caranya keliru.

Ia berpikir bahwa tindakannya adalah bentuk keadilan versinya sendiri, mengambil dari yang berlebih (meskipun itu milik negara/kadipaten) untuk diberikan kepada yang kekurangan. Ia belum memahami bahwa tujuan yang baik tidak menghalalkan cara yang salah dalam pandangan ajaran agama maupun hukum negara.

 

Sepandai-pandainya tupai melompat, akhirnya jatuh juga. Aksi nekat Raden Said yang mencuri dari gudang kadipaten tidak bisa selamanya dirahasiakan. Petugas gudang mulai curiga karena persediaan bahan makanan berkurang secara tidak wajar. Mereka memperketat penjagaan dan akhirnya berhasil memergoki Raden Said saat sedang melancarkan aksinya kembali.

Betapa terkejutnya para petugas ketika mengetahui bahwa pelaku pencurian adalah putra junjungan mereka sendiri, Raden Said. Berita ini segera dilaporkan kepada Adipati Tumenggung Wilatikta. Sang Adipati merasa bagaikan disambar petir di siang bolong. Ia sangat marah, malu, dan kecewa luar biasa atas perbuatan putranya.

Adipati Wilatikta memanggil Raden Said untuk menghadap. Di hadapan ayahandanya, Raden Said mengakui perbuatannya. Ia menjelaskan alasannya melakukan hal itu adalah karena rasa iba kepada rakyat miskin dan ketidaksetujuannya pada sistem pajak yang memberatkan. Ia berharap ayahandanya bisa memahami niat baiknya.

Namun, bagi Adipati Wilatikta, hukum harus tetap ditegakkan tanpa pandang bulu. Mencuri adalah kejahatan, siapapun pelakunya, termasuk putranya sendiri. Meskipun ia memahami keprihatinan Raden Said, cara yang ditempuh putranya itu salah besar dan mencoreng nama baik keluarga serta kadipaten. Ia merasa gagal mendidik putranya menjadi pribadi yang taat hukum.

Dengan berat hati dan demi menegakkan wibawa hukum serta memberikan pelajaran keras, Adipati Wilatikta mengambil keputusan tegas. Raden Said diusir dari istana Kadipaten Tuban. Ia tidak lagi diakui sebagai bagian dari keluarga adipati dan harus meninggalkan tanah kelahirannya. Keputusan ini sangat menyakitkan bagi keduanya, namun sang Adipati merasa tidak punya pilihan lain.

 

Diusir dari istana dan kehilangan status kebangsawanannya, Raden Said muda merasa terpukul, marah, dan kecewa. Ia merasa niat baiknya disalahpahami dan pengorbanannya sia-sia. Dengan hati yang terluka, ia meninggalkan Tuban dan berjalan tanpa tujuan yang jelas, hingga akhirnya masuk ke dalam hutan belantara yang lebat dan sunyi.

Di tengah kesunyian hutan, jauh dari peradaban, jiwa Raden Said yang terluka semakin liar dan memberontak. Rasa kecewanya terhadap ketidakadilan dan pengusiran dirinya membuatnya memilih jalan hidup yang lebih ekstrem. Ia memutuskan untuk melanjutkan "perjuangannya" membela kaum lemah dengan caranya sendiri, cara yang kini lebih keras dan terbuka.

Ia mulai mengumpulkan orang-orang yang bernasib sama dengannya, para pelarian, orang-orang yang merasa terpinggirkan oleh sistem, atau mereka yang sekadar mencari petualangan. Bersama kelompoknya ini, Raden Said memulai karir barunya sebagai seorang perampok atau brandhal. Ia memilih hutan Jatiwangi sebagai markas operasinya.

Untuk menyembunyikan identitas aslinya sebagai putra Adipati Tuban, ia menggunakan nama samaran yang gagah dan terdengar angker: Brandhal Lokajaya. "Brandhal" berarti perampok atau penjahat, sementara "Lokajaya" bisa diartikan sebagai penguasa dunia atau penakluk jagad, mencerminkan ambisi dan keberaniannya.

Dalam waktu singkat, nama Brandhal Lokajaya menjadi terkenal dan ditakuti di wilayah Tuban dan sekitarnya. Ia dan kelompoknya menjadi momok bagi para pejabat korup dan saudagar kaya yang melewati jalur hutan. Brandhal Lokajaya memulai babak baru dalam hidupnya, babak kelam sebagai seorang penjahat yang dicari-cari oleh hukum kadipaten.

 

Kelompok Brandhal Lokajaya tidak merampok sembarang orang. Target utama mereka adalah para saudagar kaya raya yang dianggapnya serakah dan para pejabat kadipaten yang dikenal korup serta menindas rakyat kecil. Lokajaya merasa tindakannya ini adalah bentuk penegakan keadilan versinya sendiri, mengambil kembali harta yang dianggapnya sebagai hak rakyat yang dirampas oleh orang-orang kaya dan penguasa zalim.

Dalam setiap aksinya, Lokajaya menunjukkan keberanian, kecerdikan, dan kelincahan yang luar biasa. Ia mampu menyusun strategi perampokan yang matang dan seringkali berhasil memperdaya korbannya serta menghindari kejaran petugas kadipaten. Kemahirannya dalam bertarung dan kecepatannya dalam bergerak membuatnya sulit ditaklukkan.

Karena kelihaian dan kesaktiannya yang seolah tak tertandingi oleh manusia biasa dalam melakukan aksi perampokan, Brandhal Lokajaya mendapatkan julukan baru dari masyarakat: "Maling Aguna". Julukan ini berarti "Pencuri Sakti" atau "Pencuri yang Memiliki Kekuatan Lebih". Namanya semakin melegenda sebagai sosok perampok yang lihai sekaligus misterius.

Sebagian dari hasil rampokan yang diperoleh Brandhal Lokajaya dan kelompoknya konon dibagikan kepada penduduk desa miskin yang tinggal di sekitar hutan. Hal ini membuatnya, di mata sebagian rakyat kecil, dianggap sebagai pahlawan atau sosok Robin Hood versi Jawa. Mereka merasa terbantu oleh pemberian Lokajaya, meskipun tahu bahwa harta itu berasal dari hasil kejahatan.

Namun, tindakan Lokajaya tetaplah salah di mata hukum dan ajaran agama. Merampok adalah dosa besar, dan membagikan hasil rampokan tidak serta merta menghapus dosa tersebut. Lokajaya masih terperangkap dalam pemahaman yang keliru bahwa tujuan mulia dapat menghalalkan segala cara, betapapun salahnya cara tersebut. Ia belum menemukan jalan kebenaran yang sesungguhnya.

 

Takdir akhirnya mempertemukan Brandhal Lokajaya dengan jalan perubahan. Suatu hari, ketika Lokajaya sedang mengintai mangsa di dalam hutan Jatiwangi, ia melihat seorang lelaki tua berjalan sendirian. Lelaki tua itu berjubah putih sederhana, namun membawa sebuah tongkat yang tampak berkilauan, beberapa versi menyebutnya terbuat dari emas murni. Penampilan lelaki tua itu tampak tenang dan damai.

Melihat tongkat yang berharga itu, naluri perampok Lokajaya segera bangkit. Ia menganggap lelaki tua itu sebagai mangsa yang empuk. Dengan cepat ia menghadang lelaki tua itu dan dengan nada mengancam meminta agar tongkat berharga itu diserahkan kepadanya. Ia berpikir ini akan menjadi pekerjaan yang mudah.

Namun, lelaki tua itu tampak tenang saja, tidak menunjukkan rasa takut sedikitpun. Ia menolak menyerahkan tongkatnya. Lokajaya yang tidak sabar mencoba merebut paksa tongkat tersebut. Anehnya, sekuat tenaga ia mencoba, tongkat itu tidak bergeming sedikitpun dari genggaman lelaki tua itu. Bahkan, tubuh Lokajaya seolah terpental ketika ia mengerahkan kekuatannya.

Lokajaya terkejut dan menyadari bahwa lelaki tua di hadapannya bukanlah orang sembarangan. Ia pasti memiliki kesaktian yang jauh lebih tinggi darinya. Lelaki tua itu kemudian menunjukkan sebuah keajaiban lain (beberapa versi menyebut ia mengubah buah aren menjadi emas) untuk menyadarkan Lokajaya betapa tidak berartinya harta duniawi yang dikejarnya melalui jalan kejahatan. Lelaki tua itu tak lain adalah Sunan Bonang, salah satu Wali Songo, yang sengaja menyamar.

Merasa kalah telak dan menyadari kekerdilannya di hadapan orang tua sakti tersebut, kesombongan Brandhal Lokajaya luntur seketika. Ia merasa malu atas perbuatannya dan penasaran dengan sosok lelaki tua misterius yang penuh wibawa itu. Pertemuan ini menjadi titik balik penting dalam hidupnya.

 

Melihat Lokajaya yang tertegun dan kehilangan kata-kata, Sunan Bonang mulai memberikan nasihat dengan lembut namun penuh makna. Beliau menjelaskan bahwa perbuatan Lokajaya merampok adalah salah besar di mata Awloh, meskipun niatnya untuk membantu orang miskin. "Wahai anak muda," kata Sunan Bonang, "Apakah engkau pikir bisa membersihkan pakaian kotor dengan menggunakan air kencing? Tentu tidak. Begitu pula perbuatanmu, niat baikmu menolong sesama ternodai oleh caramu yang salah."

Sunan Bonang melanjutkan, "Harta hasil rampasan tidak akan membawa berkah, baik bagi dirimu maupun bagi orang yang menerimanya. Jika engkau benar-benar ingin membantu sesama dan mencari Rido Awloh, lakukanlah dengan cara yang halal dan benar. Bekerjalah, dan sedekahkan sebagian dari hasil jerih payahmu yang halal." Kata-kata bijak Sunan Bonang itu bagaikan air sejuk yang menyirami hati Lokajaya yang selama ini gersang oleh dendam dan kesesatan.

Untuk pertama kalinya, Lokajaya merasa ada yang menyentuh nuraninya begitu dalam. Ia menyadari sepenuhnya kesalahan jalan hidup yang telah ditempuhnya selama ini. Ia merasa sangat menyesal atas semua dosa dan kejahatan yang telah dilakukannya. Air mata penyesalan mengalir di pipinya. Ia bersimpuh di kaki Sunan Bonang, memohon ampunan dan meminta kesediaan Sunan Bonang untuk menerimanya sebagai murid.

Lokajaya berjanji akan meninggalkan dunia hitamnya dan bertaubat nasuha. Ia ingin belajar ilmu agama yang benar dan menempuh jalan lurus yang diridoi Awloh di bawah bimbingan Sunan Bonang. Melihat kesungguhan penyesalan dan niat baik Lokajaya, Sunan Bonang merasa iba dan bersedia memberinya kesempatan kedua untuk memperbaiki diri.

Pertobatan Lokajaya di hadapan Sunan Bonang menjadi langkah awal transformasinya dari seorang brandhal yang ditakuti menjadi calon penyebar ajaran Islam yang dihormati. Ini adalah bukti bahwa pintu taubat selalu terbuka bagi siapa saja yang bersungguh-sungguh ingin kembali ke jalan yang benar.

 

Sunan Bonang ingin menguji sejauh mana kesungguhan dan keteguhan hati Raden Said (Lokajaya) dalam bertaubat dan menuntut ilmu. Sebagai ujian pertama, Sunan Bonang membawa Raden Said ke tepi sebuah sungai. Di sana, Sunan Bonang menancapkan tongkatnya di tanah dekat tepi sungai tersebut. Ia kemudian memerintahkan Raden Said untuk menjaga tongkat itu dan tidak boleh beranjak sedikitpun dari tempat itu sebelum Sunan Bonang kembali.

Raden Said menerima ujian tersebut dengan penuh kepatuhan dan keikhlasan. Ia duduk bersila di samping tongkat Sunan Bonang, memusatkan pikiran dan hatinya untuk berdzikir dan bertafakur, menjaga amanah gurunya. Hari berganti hari, minggu berganti minggu, bulan berganti bulan, hingga tahun berganti tahun. Sunan Bonang tak kunjung kembali. Namun, Raden Said tetap teguh pada posisinya, menjaga tongkat itu dengan setia. Tubuhnya sampai ditumbuhi lumut dan rerumputan liar, menyatu dengan alam sekitar, namun imannya tak goyah sedikitpun.

Setelah waktu yang sangat lama (konon mencapai tiga tahun), Sunan Bonang akhirnya kembali ke tepi sungai itu. Beliau mendapati Raden Said masih duduk bersila dalam keadaan bertapa, tubuhnya hampir tertutup oleh tanaman rambat, namun tetap terjaga dan setia pada tugasnya. Sunan Bonang sangat terkesan dengan keteguhan, kesabaran, dan kepasrahan muridnya itu. Raden Said telah lulus ujian dengan gemilang. Sejak saat itu, karena kesetiaannya menjaga tongkat di tepi sungai (kali), Sunan Bonang memberinya nama baru yang mulia: Sunan Kalijaga, yang berarti "Sang Penjaga Sungai".

Kisah Brandhal Lokajaya yang bertransformasi menjadi Sunan Kalijaga ini mengandung pelajaran moral yang sangat dalam. Ia mengajarkan bahwa niat baik harus selalu disertai dengan cara yang baik dan benar sesuai ajaran agama. Pintu taubat selalu terbuka bagi siapa saja yang bersungguh-sungguh menyesali kesalahannya dan bertekad memperbaiki diri. Kesabaran, ketekunan, dan kepasrahan dalam menjalani ujian hidup serta menuntut ilmu di jalan Awloh akan membawa seseorang pada derajat yang mulia. Kisah ini juga menunjukkan bahwa dengan bimbingan guru yang tepat dan Rido Awloh, seorang penjahat sekalipun dapat berubah menjadi seorang wali atau kekasih Awloh.

Demikianlah kisah ini diceritakan, segala kebenaran detailnya kita kembalikan kepada Awloh, Tuhan yang Maha Kuasa.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Legenda Putri Gunung Ledang, Cerita Rakyat Malaka

Kisah Legenda Puteri Junjung Buih, Cerita Rakyat Kalimantan

Kisah Gunung Sumbing: Sejarah, Legenda dan Cerita Mistis