Tidak Ada yang Sia-Sia (Tasawuf dan Makrifatullah)
Wahai jiwa yang mencari hakikat, sebuah kebenaran agung yang terhampar di
seluruh penjuru alam: "Tidak ada yang sia-sia di dunia". Kalimat ini
bukan sekadar pepatah bijak, melainkan sebuah penyingkapan rahasia tentang cara
kerja Tangan Ilahi yang Maha Indah dan Maha Teliti. Ia adalah undangan untuk
membuka mata hati, melihat melampaui kulit luar segala sesuatu, dan menyaksikan
betapa setiap zarah di alam semesta ini memiliki peran, makna, dan tujuan dalam
simfoni kehidupan yang diciptakan oleh Allah, Sang Maha Karya.
Ketika pandangan kita terbatas
pada manfaat lahiriah atau kepentingan sesaat diri sendiri, mudah sekali kita
terjebak dalam penilaian dangkal, menganggap sesuatu itu berguna atau tidak
berguna, berharga atau sia-sia. Namun, bagi mata hati yang diterangi cahaya marifat,
tidak ada satu pun ciptaan, baik yang hidup maupun yang tak hidup, yang hadir
tanpa maksud. Semuanya adalah bagian dari sebuah desain maha cerdas, sebuah
ekosistem raksasa yang saling menopang, menjalankan tugasnya masing-masing demi
terwujudnya Kehendak Sang Pencipta.
Allah menegaskan dalam Kitab
SuciNya bahwa Dia tidak menciptakan langit dan bumi serta apa yang ada di
antara keduanya secara main-main atau tanpa tujuan (laaibiin). Setiap
penciptaan dilandasi oleh Al-Haqq, yaitu kebenaran, kebijaksanaan, dan tujuan
yang pasti. Tidak ada satu atom pun yang bergerak, tidak ada sehelai daun pun
yang gugur, tidak ada seekor semut pun yang berjalan, kecuali semuanya berada
dalam Ilmu, Pengaturan, dan KehendakNya yang Maha Sempurna.
Memahami prinsip Al-Khalq bil
Haqq ini adalah langkah fundamental untuk menyadari bahwa tidak ada yang
sia-sia. Jika Sang Maha Bijaksana (Al-Hakim) yang menciptakan segalanya, maka
mustahil ada ciptaanNya yang tanpa hikmah atau tanpa fungsi. Kesia-siaan adalah
konsep yang lahir dari ketidaktahuan atau keterbatasan pandangan manusia, bukan
dari realitas penciptaan itu sendiri. Allah Maha Suci dari perbuatan yang
sia-sia.
Renungkanlah kerumitan sel
terkecil dalam tubuh kita, keteraturan pergerakan planet di angkasa raya, atau
keseimbangan rantai makanan di alam liar. Semuanya menunjukkan adanya Perancang
Agung yang Maha Teliti, yang menetapkan hukum dan ukuran bagi setiap
ciptaanNya. Tidak ada yang kebetulan, tidak ada yang tercipta percuma. Setiap
detail memiliki kontribusinya dalam menjaga harmoni alam semesta.
Oleh karena itu, melatih diri
untuk melihat segala sesuatu sebagai ciptaan yang bil haqq akan mengubah cara
kita berinteraksi dengan dunia. Kita akan lebih menghargai setiap elemen alam,
menyadari bahwa di balik setiap bentuk dan fungsi tersimpan rahasia
Kebijaksanaan Ilahi. Pandangan ini akan mengantarkan kita pada rasa takjub
(haybah) dan pengagungan (tazhim) kepada Sang Khaliq.
Setiap entitas di alam semesta
ini, sekecil atau sebesar apapun, sehidup atau semati apapun dalam pandangan
kita, sejatinya mengemban misi atau tugas spesifik dari Allah. Matahari
bertugas memberikan cahaya dan panas, awan membawa air hujan, tanah menumbuhkan
tanaman, gunung menjadi pasak bumi, bahkan virus dan bakteri pun memiliki peran
dalam keseimbangan ekologi, meskipun terkadang membawa mudarat bagi manusia
dari sudut pandang tertentu.
Para sufi seringkali menggunakan
metafora tubuh manusia. Setiap organ memiliki fungsi vitalnya masing-masing.
Jantung memompa darah, paru-paru mengambil oksigen, ginjal menyaring racun.
Tidak ada organ yang bisa dikatakan sia-sia, meskipun fungsinya berbeda-beda.
Jika salah satu organ berhenti menjalankan tugasnya, maka seluruh sistem tubuh
akan terganggu. Demikian pula alam semesta ini, ia adalah tubuh raksasa di mana
setiap elemen adalah organ yang menjalankan misi khususnya.
Bahkan benda-benda yang kita
anggap mati seperti batu atau pasir pun memiliki tugasnya. Mereka menjadi
bagian dari struktur bumi, habitat bagi makhluk lain, atau bahkan bahan baku
bagi teknologi manusia. Angin yang tak terlihat bertugas membawa serbuk sari,
menggerakkan awan, dan menyejukkan udara. Semua bergerak dalam sebuah tatanan
yang telah ditetapkan oleh Sang Maha Pengatur (Al-Mudabbir).
Menyadari bahwa setiap ciptaan
memiliki misi ilahinya masing-masing akan melahirkan rasa hormat dan kerendahan
hati. Kita akan memahami bahwa eksistensi kita sebagai manusia pun tidak
terlepas dari misi agung ini, yaitu untuk beribadah kepada Allah dan menjadi
khalifah (pengelola) yang baik di muka bumi, menjaga keseimbangan dan tidak
merusak tatanan yang sudah sempurna ini. Kita akan sadar bahwa kita bukanlah
pusat alam semesta, melainkan bagian dari jaringan kehidupan yang luas.
Ungkapan bahwa semua makhluk
membentuk "suatu ekosistem maha karya Allah yang saling mendukung"
adalah inti dari pemahaman tasawuf tentang wahdatul khalq (kesatuan ciptaan).
Alam semesta bukanlah kumpulan entitas yang terpisah dan berdiri sendiri,
melainkan sebuah jalinan jejaring kehidupan yang sangat kompleks dan saling
bergantung. Apa yang terjadi pada satu bagian akan berdampak pada bagian
lainnya, mencerminkan kesatuan dalam Rencana Ilahi.
Lihatlah bagaimana tumbuhan
menghasilkan oksigen yang dibutuhkan hewan dan manusia untuk bernapas.
Sebaliknya, hewan dan manusia mengeluarkan karbondioksida yang dibutuhkan
tumbuhan untuk fotosintesis. Lebah membantu penyerbukan bunga agar menghasilkan
buah, dan bunga memberikan nektar sebagai makanan lebah. Air menguap menjadi
awan, awan menjadi hujan yang menyirami bumi, air meresap ke tanah menghidupi
tumbuhan dan menjadi sumber mata air bagi makhluk hidup. Semuanya adalah siklus
ketergantungan yang menunjukkan Keindahan dan Keteraturan Allah.
Contoh sisa makanan yang menjadi
rezeki bagi makhluk pengurai adalah ilustrasi sempurna dari ekosistem ilahi
ini. Apa yang dianggap sampah dan tak berguna oleh manusia, ternyata adalah
sumber kehidupan bagi cacing, bakteri, jamur, dan mikroorganisme lainnya.
Mereka bertugas menguraikan materi organik kembali menjadi unsur hara yang
menyuburkan tanah, sehingga tanah bisa menumbuhkan tanaman baru. Tidak ada yang
terbuang percuma dalam sistem ini. Semuanya berputar dalam siklus manfaat yang
berkelanjutan.
Memahami ekosistem ilahi ini akan
menumbuhkan kesadaran ekologis yang mendalam, bukan hanya karena alasan
lingkungan, tetapi karena alasan spiritual. Merusak satu bagian dari ekosistem
sama saja dengan mengganggu harmoni ciptaan Allah. Menjaga kelestarian alam
adalah bentuk syukur dan pengagungan terhadap Sang Maha Pencipta yang telah
merancang semuanya dengan begitu sempurna dan saling terkait.
Salah satu tantangan terbesar
bagi akal manusia adalah melihat hikmah dan tujuan pada hal-hal yang tampak
remeh, tidak berharga, atau bahkan menjijikkan menurut standar kita. Lalat yang
mengganggu, nyamuk yang membawa penyakit, kotoran hewan, atau bangkai yang
membusuk, seringkali dianggap sebagai sesuatu yang negatif dan sia-sia. Namun,
kacamata tasawuf mengajak kita untuk melihat lebih dalam.
Setiap ciptaan, betapapun
rendahnya dalam pandangan kita, memiliki perannya dalam skema besar Ilahi.
Lalat mungkin berperan dalam penyerbukan atau sebagai bagian dari rantai
makanan. Nyamuk, meskipun membawa penyakit, juga menjadi sumber makanan bagi
makhluk lain seperti cicak atau katak. Kotoran hewan menjadi pupuk alami yang
menyuburkan tanah. Bangkai yang membusuk diuraikan oleh dekomposer,
mengembalikan nutrisi ke alam dan mencegah penumpukan yang lebih parah.
Hikmah di balik keberadaan mereka
mungkin tidak selalu langsung terlihat atau bahkan tidak menyenangkan bagi
kita, tetapi keberadaan mereka adalah bukti bahwa Allah menciptakan segala
sesuatu dengan ukuran dan tujuan. Mungkin keberadaan hal-hal yang tidak kita
sukai ini juga berfungsi sebagai ujian kesabaran, pengingat akan kerapuhan
kita, atau bahkan sebagai cara Allah menunjukkan betapa luasnya spektrum
ciptaanNya, dari yang paling indah hingga yang paling sederhana.
Oleh karena itu, hindarilah sikap
mudah meremehkan atau menghakimi ciptaan Allah hanya karena ia tidak sesuai
dengan selera atau standar estetika kita. Latihlah diri untuk mencari hikmah
tersembunyi (sirr) di balik setiap fenomena. Sikap ini akan membuka pintu marifat,
di mana kita mulai menyadari bahwa Kebijaksanaan Allah (Hikmah) meliputi segala
sesuatu, bahkan dalam hal-hal yang paling tidak kita duga sekalipun.
Bagi hati yang terbuka, seluruh
alam semesta ini adalah Ayatullah al-Manshurah, yaitu tanda-tanda kebesaran Allah
yang terhampar luas, sebuah kitab agung yang bisa dibaca oleh siapa saja yang
mau menggunakan akal dan kalbunya. Setiap detail ciptaan, dari pergerakan
bintang hingga kepakan sayap kupu-kupu, adalah huruf dan kalimat yang berbicara
tentang sifat-sifat Allah: KekuasaanNya (Qudrah), IlmuNya (Ilm), KebijaksanaanNya
(Hikmah), KeindahanNya (Jamal), KelembutanNya (Lutf), dan KeteraturanNya
(Tadbir).
Ketika kita memahami bahwa tidak
ada yang sia-sia, maka setiap pengamatan terhadap alam menjadi sebuah bentuk
dzikir dan tafakur. Melihat rumput liar yang tumbuh di sela bebatuan
mengingatkan kita akan Ar-Razzaq, Sang Maha Pemberi Rezeki yang tak pernah lupa
pada makhlukNya. Mengamati semut yang bekerja sama membawa makanan mengingatkan
kita akan pentingnya keteraturan dan kerja sama. Mendengar gemuruh petir mengingatkan
kita akan Keperkasaan (Jalal) Allah.
Para sufi adalah pembaca ulung
kitab alam ini. Mereka tidak hanya melihat fenomena fisik, tetapi menangkap
pesan-pesan ruhani di baliknya. Kesadaran bahwa tidak ada yang sia-sia membuat
setiap momen pengamatan menjadi sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah,
untuk semakin mengenalNya melalui karya-karyaNya. Alam menjadi guru yang
membimbing jiwa menuju Sang Pencipta.
Maka, bukalah mata hati kita saat
memandang alam. Jangan hanya melihat dengan mata fisik. Tanyakan pada diri
sendiri: Tanda kebesaran Allah apa yang ingin Dia tunjukkan melalui ciptaan
ini? Hikmah apa yang bisa aku petik? Bagaimana fenomena ini mencerminkan
sifat-sifatNya? Dengan begitu, setiap perjalanan, setiap pemandangan, bahkan
setiap sudut rumah kita bisa menjadi sarana untuk meningkatkan marifatullah.
Anggapan bahwa sesuatu itu
sia-sia atau mubazir seringkali lahir dari dua hal: keterbatasan ilmu
pengetahuan manusia atau sudut pandang ego-sentris yang hanya mengukur nilai
sesuatu berdasarkan manfaat langsung bagi dirinya. Kita mungkin belum
mengetahui fungsi ekologis seekor serangga tertentu, atau kita merasa sisa
makanan kita tidak ada gunanya lagi bagi kita, sehingga kita mudah menyimpulkan
bahwa itu sia-sia.
Tasawuf mengajarkan kita untuk
berhati-hati dengan kesimpulan semacam ini. Menganggap ciptaan Allah sebagai
sesuatu yang sia-sia secara tidak langsung bisa menisbatkan sifat kekurangan
atau ketidaktelitian kepada Sang Maha Pencipta, dan ini berbahaya bagi akidah.
Sebaliknya, kita diajarkan untuk mengakui keterbatasan ilmu kita dan berbaik
sangka (husnudzon) terhadap Kebijaksanaan Allah. Jika kita belum melihat
manfaatnya, bukan berarti manfaat itu tidak ada.
Sikap rendah hati di hadapan Ilmu
Allah yang meliputi segala sesuatu adalah kunci. Katakanlah, "Allah Maha
Mengetahui, sedangkan aku tidak mengetahui." Kesadaran ini akan mencegah
kita dari kesombongan intelektual dan sikap mudah menghakimi. Kita akan lebih
berhati-hati dalam menilai segala sesuatu, menyadari bahwa mungkin ada lapisan
makna dan fungsi yang belum terjangkau oleh pemahaman kita.
Contoh sisa makanan yang ternyata
menjadi rezeki bagi makhluk pengurai adalah pengingat telak akan bahaya
kesimpulan sia-sia ini. Apa yang kita buang, justru menjadi berkah bagi makhluk
lain dalam rantai kehidupan yang telah Allah tetapkan. Ini mengajarkan kita
untuk melihat lebih luas, melampaui kepentingan pribadi kita, dan menyadari
bahwa setiap elemen memiliki tempat dan perannya dalam tatanan Ilahi.
Pemahaman bahwa tidak ada yang
sia-sia dan semuanya adalah bagian dari Maha Karya Allah akan melahirkan adab
(tata krama spiritual) yang benar dalam berinteraksi dengan ciptaan. Adab ini
mencakup rasa hormat kepada setiap makhluk, rasa syukur atas segala nikmat yang
terwujud melalui mereka, dan rasa tanggung jawab untuk menjaga kelestarian dan
keseimbangan alam.
Rasa hormat muncul karena kita
sadar bahwa setiap ciptaan, betapapun kecilnya, adalah utusan Allah yang
membawa misi tertentu dan mencerminkan salah satu sifatNya. Kita tidak akan sewenang-wenang
merusak tanaman, menyakiti binatang tanpa alasan yang dibenarkan syariat, atau
mencemari lingkungan, karena kita tahu bahwa semua itu adalah bagian dari keluarga
besar ciptaan Allah yang harus dihargai.
Rasa syukur tumbuh ketika kita
menyadari betapa banyaknya nikmat Allah yang sampai kepada kita melalui
perantara ciptaan lain. Udara yang kita hirup, air yang kita minum, makanan
yang kita makan, semua berasal dari interaksi harmonis dalam ekosistem Ilahi.
Kesadaran ini membuat kita lebih menghargai sumber daya alam dan tidak boros
atau mubazir dalam menggunakannya.
Rasa tanggung jawab sebagai
khalifah di muka bumi menjadi semakin kuat. Kita sadar bahwa kita diberi amanah
oleh Allah untuk mengelola alam ini dengan bijaksana, bukan untuk mengeksploitasinya
secara membabi buta. Menjaga keseimbangan alam, melestarikan keanekaragaman
hayati, dan tidak berbuat kerusakan (fasad) adalah bagian dari ibadah dan bukti
kesetiaan kita kepada Sang Pencipta. Adab ini adalah cerminan dari kualitas
iman dan marifat seorang hamba.
Tingkatan pemahaman yang lebih
tinggi dari "tidak ada yang sia-sia" adalah kemampuan hati untuk
melihat benang merah Rencana Ilahi dan Keteraturan Allah bahkan dalam peristiwa
atau fenomena yang tampak acak, kacau, atau negatif dari sudut pandang manusia.
Bencana alam, penyakit, konflik, atau bahkan kegagalan pribadi, bagi mata hati
yang tajam, tetap merupakan bagian dari Tadbir (Pengaturan) Allah yang penuh
hikmah, meskipun hikmahnya tidak selalu mudah dipahami.
Ini bukan berarti meremehkan
penderitaan atau membenarkan kezaliman. Namun, ini adalah kemampuan untuk
melihat melampaui peristiwa itu sendiri dan menyaksikan Tangan Allah yang
sedang bekerja, mungkin untuk menguji, membersihkan, mendidik, atau mengarahkan
hambaNya menuju kebaikan yang lebih besar di masa depan atau di akhirat. Allah
berfirman bahwa bisa jadi kita membenci sesuatu padahal itu baik bagi kita, dan
menyukai sesuatu padahal itu buruk bagi kita.
Para Nabi dan Auliya memiliki
kemampuan ini. Mereka mampu melihat rahmat di balik musibah, pelajaran di balik
kesulitan, dan kebaikan di balik kejadian yang tampak buruk. Hati mereka begitu
terhubung dengan Allah sehingga mereka mampu membaca skenario Ilahi yang lebih
besar. Mereka sadar bahwa bahkan kekacauan pun berada dalam Kontrol Penuh Sang
Maha Bijaksana, dan tidak ada satu detail pun yang luput dari RencanaNya.
Mencapai tingkatan ini adalah
buah dari marifatullah yang mendalam, kesabaran yang kokoh, dan keridoan yang
tulus terhadap segala ketetapan Allah. Ini adalah puncak dari keyakinan bahwa
tidak ada yang sia-sia, karena bahkan dalam serpihan kejadian yang paling pahit
sekalipun, tersimpan mutiara hikmah bagi mereka yang mau merenung dan berserah
diri kepadaNya.
Maka, wahai pencinta Kebenaran,
pandanglah dunia ini dengan mata hati. Sadarilah bahwa setiap debu, setiap
helai daun, setiap makhluk, adalah pena yang menuliskan Keagungan Allah. Tidak
ada yang tercipta sia-sia. Semuanya bertasbih, semuanya bergerak dalam harmoni
Ilahi. Tugas kita adalah membaca kitab alam ini, memetik hikmahnya, menjalankan
peran kita dengan sebaik-baiknya, dan menyaksikan Maha Karya Sang Seniman Agung
dalam setiap jengkal ciptaanNya.
Komentar
Posting Komentar