Kisah Legenda Ciung Wanara
Di hamparan tanah Pasundan yang
subur, berdirilah sebuah kerajaan besar bernama Galuh Pakuan. Kerajaan ini
diperintah oleh seorang raja yang adil dan bijaksana, Prabu Permana Di Kusumah.
Sang Prabu dikenal arif dalam memerintah, membawa kedamaian dan kemakmuran bagi
rakyatnya. Kharismanya terpancar, membuat segenap penduduk hormat dan tunduk
pada titahnya. Istana Galuh berdiri megah, menjadi pusat pemerintahan dan
kebudayaan di masa itu.
Prabu Permana Di Kusumah memiliki
dua orang permaisuri yang cantik jelita. Permaisuri pertama bernama Dewi
Naganingrum, seorang wanita berhati lembut, baik budi, dan sangat disayangi
oleh Prabu. Permaisuri kedua adalah Dewi Pangrenyep, yang meskipun juga
rupawan, memiliki sifat iri hati dan ambisi yang tersembunyi di balik senyum
manisnya. Kehidupan di istana berjalan dengan tenang di permukaan, namun ada
benih persaingan di antara kedua permaisuri tersebut, terutama dalam hal
melahirkan penerus tahta kerajaan.
Seiring berjalannya waktu, Prabu
Permana Di Kusumah merasakan panggilan jiwa untuk mendekatkan diri kepada Sang
Pencipta. Ia merasa tugasnya sebagai raja telah cukup dan ingin menyerahkan
urusan duniawi untuk fokus pada pertapaan, mencari ketenangan batin dan
pencerahan spiritual. Keputusan ini tentu mengejutkan banyak pihak, namun tekad
Sang Prabu sudah bulat. Ia merasa perlu melepaskan diri dari gemerlap takhta
untuk mencapai tujuan spiritualnya yang lebih tinggi.
Sebelum benar-benar meninggalkan
istana untuk bertapa di tempat terpencil, Prabu Permana Di Kusumah mengumpulkan
para pembesar kerajaan dan kedua permaisurinya. Saat itu, kedua permaisuri
tengah mengandung buah hati Sang Prabu. Beliau menitipkan pesan penting: barang
siapa di antara kedua permaisuri yang kelak melahirkan anak laki-laki terlebih
dahulu, maka putranyalah yang berhak mewarisi takhta Kerajaan Galuh. Pesan ini
menjadi penentu nasib kerajaan selanjutnya dan tanpa disadari menyulut api
persaingan yang lebih besar.
Dengan berat hati namun penuh
keyakinan, Prabu Permana Di Kusumah menyerahkan urusan pemerintahan sementara
kepada para menteri kepercayaannya dan berangkat menuju tempat pertapaannya.
Kepergian Sang Prabu meninggalkan kekosongan di singgasana dan menciptakan
suasana penantian yang penuh harap sekaligus tegang di dalam istana, terutama
bagi Dewi Naganingrum dan Dewi Pangrenyep yang tengah menunggu kelahiran putra
mereka, sang calon pewaris takhta.
Berita kehamilan kedua permaisuri
dan pesan terakhir Sang Prabu sebelum bertapa menjadi perbincangan hangat di
seluruh penjuru istana. Dewi Naganingrum menyambut kehamilannya dengan penuh
syukur dan harapan akan lahirnya seorang putra yang kelak memimpin Galuh dengan
bijaksana. Namun, bagi Dewi Pangrenyep, kabar ini membangkitkan rasa iri dan
kecemasan yang mendalam. Ia sangat berambisi agar putranyalah yang menjadi
raja, bukan putra dari Dewi Naganingrum.
Rasa iri hati Dewi Pangrenyep
semakin membara setiap harinya. Ia takut jika Dewi Naganingrum melahirkan anak
laki-laki lebih dulu, maka pupuslah harapannya untuk melihat putranya duduk di
singgasana. Ambisi menguasai takhta melalui putranya telah membutakan hati
nuraninya. Ia mulai memikirkan cara-cara licik untuk menyingkirkan potensi
ancaman dari putra Dewi Naganingrum, memastikan putranyalah yang kelak menjadi
penguasa Galuh.
Dewi Pangrenyep kemudian mulai
menyusun sebuah rencana jahat. Ia tahu bahwa ia membutuhkan sekutu untuk
melancarkan niat busuknya. Dengan bujuk rayu dan janji imbalan kedudukan, ia
berhasil mempengaruhi seorang bidan istana atau beberapa dayang kepercayaan
untuk membantunya. Mereka bersekongkol dalam keheningan malam, merancang sebuah
fitnah keji yang akan menghancurkan Dewi Naganingrum dan putranya.
Rencana mereka sungguh kejam.
Ketika Dewi Naganingrum melahirkan nanti, mereka akan segera menukarkan bayi
yang baru lahir itu dengan seekor anak anjing. Bayi pangeran yang asli akan
dibuang jauh-jauh agar tidak pernah ditemukan. Setelah itu, mereka akan
menyebarkan berita bohong bahwa Dewi Naganingrum telah melahirkan seekor
anjing, sebuah pertanda kutukan atau perbuatan sihir yang memalukan kerajaan.
Dengan rencana jahat yang telah
tersusun rapi, Dewi Pangrenyep merasa sedikit tenang, meskipun hatinya dipenuhi
kegelisahan akan dosa yang akan dilakukannya. Ia menunggu dengan tidak sabar
saat persalinan Dewi Naganingrum tiba, siap menjalankan skenario liciknya demi
memuluskan jalan putranya menuju takhta Kerajaan Galuh. Atmosfer istana yang
semula penuh harap kini diselimuti awan gelap konspirasi.
Hari yang ditunggu-tunggu pun
tiba. Dewi Naganingrum merasakan tanda-tanda akan melahirkan. Dengan bantuan
bidan istana yang telah bersekongkol dengan Dewi Pangrenyep, proses persalinan
pun berlangsung. Dewi Naganingrum, dalam kelemahan setelah berjuang melahirkan,
akhirnya berhasil mengeluarkan seorang bayi laki-laki yang tampan dan sehat.
Seharusnya ini menjadi momen kebahagiaan, namun takdir berkata lain.
Sesuai rencana jahat yang telah
disusun, bidan istana dengan cepat mengambil bayi pangeran tersebut dan
menggantinya dengan seekor anak anjing yang telah disiapkan sebelumnya. Bayi
mungil itu segera dimasukkan ke dalam sebuah peti atau kandaga yang kokoh. Dewi
Naganingrum yang masih dalam keadaan lemah dan setengah sadar tidak menyadari
penukaran yang terjadi di hadapannya. Ia hanya merasakan kelegaan setelah
proses persalinan selesai.
Ketika Dewi Naganingrum tersadar
sepenuhnya dan bertanya tentang bayinya, bidan istana dan Dewi Pangrenyep (yang
berpura-pura datang menjenguk) menunjukkan anak anjing tersebut kepadanya.
Mereka dengan licik mengatakan bahwa Dewi Naganingrum telah melahirkan seekor
anjing, bukan manusia. Berita ini segera disebarkan ke seluruh istana,
menimbulkan kegemparan dan rasa ngeri. Dewi Naganingrum dituduh telah melakukan
perbuatan tercela atau terkena kutukan.
Fitnah keji ini sampai ke telinga
para penasihat kerajaan dan pejabat tinggi yang mewakili Prabu Permana Di
Kusumah. Terhasut oleh laporan palsu dan bukti anak anjing tersebut, mereka
terpaksa mengambil tindakan tegas sesuai hukum adat yang berlaku. Dewi
Naganingrum yang malang, tanpa bisa membela diri dan dalam kondisi fisik serta
mental yang terguncang, dijatuhi hukuman berat. Ia dituduh membawa aib bagi
kerajaan.
Sesuai keputusan yang diambil
berdasarkan fitnah tersebut, Dewi Naganingrum diusir dari istana dan diasingkan
ke hutan belantara (dalam versi lain, ia dihukum mati namun diselamatkan oleh
algojo yang iba). Sementara itu, peti berisi bayi pangeran yang tak berdosa
dihanyutkan ke aliran Sungai Citanduy, dibiarkan terbawa arus entah ke mana.
Dewi Pangrenyep tersenyum puas, merasa rencananya berhasil dengan sempurna.
Beberapa waktu kemudian, ia melahirkan putranya sendiri, Hariang Banga, yang
disambut sebagai calon tunggal pewaris takhta.
Peti yang membawa sang pangeran
kecil terombang-ambing di aliran Sungai Citanduy yang deras. Arus sungai
membawanya semakin jauh dari pusat kerajaan, menuju ke daerah pedesaan yang
tenang. Peti itu terus mengapung, melindungi sang bayi dari ganasnya air
sungai, seolah ada kekuatan gaib yang menjaganya. Nasib sang pangeran berada di
ujung tanduk, bergantung pada keajaiban dan belas kasihan alam.
Di hilir sungai, di sebuah desa
kecil yang damai, hiduplah sepasang suami istri tua yang baik hati bernama Aki
Balangantrang dan Nini Balangantrang. Mereka hidup sederhana sebagai nelayan
atau petani, mencari ikan dan menggarap ladang untuk menyambung hidup. Meskipun
hidup dalam kesederhanaan, mereka dikenal sebagai orang yang jujur dan penuh
kasih sayang. Satu-satunya kesedihan mereka adalah belum dikaruniai seorang
anak.
Suatu pagi, ketika Aki Balangantrang
sedang memasang jala ikannya di tepi Sungai Citanduy seperti biasa, ia
merasakan jalanya tersangkut sesuatu yang berat. Ia mengira mendapatkan
tangkapan ikan yang besar atau sebatang kayu. Dengan susah payah, ia menarik
jalanya ke tepi. Betapa terkejutnya Aki Balangantrang ketika melihat bukan ikan
atau kayu yang tersangkut, melainkan sebuah peti kayu yang tampak kokoh dan
indah ukirannya.
Dengan hati-hati dan penuh rasa
penasaran, Aki Balangantrang membuka peti tersebut. Alangkah terkejutnya ia
mendapati sesosok bayi laki-laki mungil yang masih hidup di dalamnya,
terbungkus kain halus. Bayi itu tampak sehat dan tampan, meskipun baru saja
mengalami perjalanan berbahaya di sungai. Aki Balangantrang merasa iba
sekaligus takjub. Ia segera membawa bayi itu pulang ke gubuknya untuk
ditunjukkan kepada istrinya, Nini Balangantrang.
Nini Balangantrang menyambut bayi
itu dengan air mata haru. Mereka berdua merasa bahwa kehadiran bayi ini adalah
jawaban atas doa-doa mereka selama ini, sebuah anugerah dari Allah. Tanpa ragu,
mereka memutuskan untuk merawat dan membesarkan bayi itu seperti anak kandung
mereka sendiri. Mereka memberinya nama Ciung Wanara. Nama ini konon
terinspirasi dari suara burung Ciung dan kera (Wanara) yang terdengar saat bayi
itu ditemukan, atau memiliki makna lain yang berkaitan dengan harapan dan
keberanian.
Di bawah asuhan Aki dan Nini
Balangantrang yang penuh kasih sayang, Ciung Wanara tumbuh menjadi seorang
pemuda yang berbeda dari anak-anak desa lainnya. Fisiknya tegap, kuat, dan tangkas.
Wajahnya tampan memancarkan aura kepemimpinan. Selain itu, ia juga cerdas,
cepat belajar, dan memiliki keberanian yang luar biasa. Meskipun hidup
sederhana, darah biru yang mengalir dalam dirinya tampak bersinar melalui sikap
dan perilakunya.
Ciung Wanara sangat menyayangi
Aki dan Nini Balangantrang, begitu pula sebaliknya. Ia membantu pekerjaan
mereka sehari-hari, berburu di hutan, dan belajar berbagai keterampilan hidup
di desa. Namun, terkadang ia merenung dan bertanya-tanya tentang asal-usulnya yang
sebenarnya. Aki dan Nini pun menceritakan bagaimana ia ditemukan di dalam peti
di sungai, namun tidak mengetahui lebih jauh tentang latar belakangnya.
Suatu hari, ketika Ciung Wanara
sedang berada di hutan, ia menemukan sebuah telur ayam yang aneh atau (dalam
versi lain) ia menangkap seekor anak ayam hutan yang istimewa. Telur atau anak
ayam itu kemudian dipeliharanya dengan baik hingga tumbuh menjadi seekor ayam
jago yang gagah perkasa. Ayam jago ini bukanlah ayam biasa. Ia memiliki bulu
yang indah, suara kokok yang menggelegar, dan kekuatan bertarung yang tak
terkalahkan.
Keajaiban ayam jago itu tidak
berhenti sampai di situ. Suatu ketika, ayam jago itu berkokok dengan suara yang
aneh dan seolah berbicara. Melalui kokoknya, ayam jago itu mulai mengungkap
sedikit demi sedikit rahasia masa lalu Ciung Wanara. Ia memberitahu bahwa Ciung
Wanara bukanlah anak Aki dan Nini Balangantrang, melainkan seorang pangeran
dari Kerajaan Galuh yang dibuang karena fitnah keji. Ayam jago itu mendesak
Ciung Wanara untuk pergi ke ibu kota kerajaan.
Mendengar penuturan ayam jago
saktinya, Ciung Wanara merasa terkejut sekaligus tertantang. Teka-teki mengenai
asal-usulnya mulai terkuak. Didorong oleh keinginan untuk mengetahui kebenaran
sepenuhnya dan mungkin menuntut haknya, Ciung Wanara memutuskan untuk mengikuti
saran ayam jagonya. Setelah berpamitan dan meminta Rido dari Aki dan Nini
Balangantrang, ia berangkat menuju ibu kota Kerajaan Galuh, hanya berbekal
keberanian dan ayam jago ajaibnya.
Perjalanan Ciung Wanara menuju
ibu kota Kerajaan Galuh bukanlah perjalanan yang mudah. Ia harus melewati hutan
lebat, mendaki bukit, dan menyeberangi sungai. Namun, dengan ketangguhan fisik
dan mental yang dimilikinya, serta ditemani ayam jago saktinya, ia berhasil
mengatasi semua rintangan. Sepanjang perjalanan, ia mendengar kabar bahwa Raja
Galuh (Prabu Permana Di Kusumah telah kembali atau digantikan sementara oleh
Patih Barma Wijaya yang pro-Pangrenyep, atau bahkan Hariang Banga sendiri) sangat
gemar menyabung ayam.
Setibanya di alun-alun ibu kota
Galuh, Ciung Wanara segera menarik perhatian banyak orang. Penampilannya yang
gagah dan ayam jago yang dibawanya tampak istimewa. Ia mendengar bahwa raja
memiliki seekor ayam jago jawara yang belum pernah terkalahkan dalam arena
sabung ayam. Kabar tentang kehebatan ayam jago sang raja sudah tersohor ke
mana-mana, membuat para pemilik ayam lain gentar untuk menantangnya.
Dengan keberanian luar biasa,
Ciung Wanara memberanikan diri untuk menantang ayam jago milik raja. Berita
tentang pemuda desa tak dikenal yang berani menantang ayam jawara raja segera
menyebar dan sampai ke telinga penguasa istana. Sang Raja, merasa tertantang
dan penasaran dengan pemuda serta ayam jagonya itu, menerima tantangan tersebut.
Namun, ia menetapkan taruhan yang sangat tinggi dan tidak main-main.
Taruhannya adalah: jika ayam jago
Ciung Wanara kalah, maka Ciung Wanara harus menyerahkan nyawanya sebagai
hukuman atas kelancangannya. Sebaliknya, jika ayam jago Ciung Wanara berhasil
menang melawan ayam jago raja, maka Ciung Wanara berhak mendapatkan hadiah yang
sangat besar, yaitu setengah dari wilayah Kerajaan Galuh (atau kekayaan yang
setara). Ciung Wanara, yakin akan kesaktian ayam jagonya dan takdir yang
menuntunnya, menyanggupi taruhan berat tersebut.
Pertarungan sabung ayam akbar pun
digelar di alun-alun kerajaan, disaksikan oleh raja, para pembesar istana, dan
seluruh rakyat. Suasana sangat tegang. Kedua ayam jago segera dilepas ke arena.
Ayam jago raja yang lebih besar dan tampak garang langsung menyerang dengan
brutal. Namun, ayam jago Ciung Wanara dengan gesit menghindar dan membalas
dengan patukan serta taji yang mematikan. Setelah pertarungan sengit, ayam jago
raja akhirnya terkapar kalah, bahkan mati. Seluruh penonton terkesima, termasuk
sang Raja.
Sesaat setelah kemenangannya yang
gemilang, ayam jago sakti milik Ciung Wanara tidak berhenti di situ. Ia
melompat ke atas pagar arena atau tempat yang lebih tinggi, lalu berkokok
dengan suara lantang yang menggema ke seluruh penjuru alun-alun. Namun,
kokoknya kali ini bukanlah kokok biasa. Melalui kokoknya, ayam jago itu
menyanyikan atau meneriakkan sebuah syair yang mengungkap seluruh kebenaran
yang selama ini tersembunyi.
Ayam jago itu berkokok tentang
seorang pangeran tampan bernama Ciung Wanara, putra sah Prabu Permana Di
Kusumah dan Permaisuri Dewi Naganingrum. Ia menceritakan fitnah keji Dewi
Pangrenyep yang menukar sang pangeran dengan seekor anak anjing saat lahir. Ia
mengungkap kisah pembuangan sang pangeran ke Sungai Citanduy dalam sebuah peti,
penemuannya oleh Aki dan Nini Balangantrang, serta penderitaan Dewi Naganingrum
yang diasingkan karena tuduhan palsu. Kokok itu terdengar jelas oleh semua yang
hadir.
Mendengar penuturan ayam jago
tersebut, Raja (Prabu Permana Di Kusumah yang telah kembali atau penguasa saat
itu) dan seluruh hadirin terperanjat. Sang Raja segera memerintahkan
penyelidikan ulang atas peristiwa kelahiran putra Dewi Naganingrum belasan
tahun silam. Tekanan dari kebenaran yang terungkap dan mungkin kesaksian dari
orang-orang yang dulu terlibat membuat bidan istana atau dayang yang membantu
Pangrenyep akhirnya mengakui perbuatan mereka di masa lalu.
Dengan terungkapnya kebenaran dan
bukti-bukti yang menguatkan, Sang Raja diliputi penyesalan yang mendalam atas
ketidakadilannya terhadap Dewi Naganingrum dan putranya. Ia segera
memerintahkan pencarian Dewi Naganingrum di tempat pengasingannya. Akhirnya,
ibu dan anak yang terpisah belasan tahun itu dipertemukan kembali dalam suasana
haru. Sang Raja secara resmi mengakui Ciung Wanara sebagai putra kandungnya dan
pangeran Kerajaan Galuh.
Sebagai konsekuensi atas
kejahatannya, Dewi Pangrenyep beserta para kaki tangannya yang terlibat dalam
konspirasi jahat itu ditangkap dan diadili. Mereka tidak bisa mengelak lagi
dari perbuatan mereka. Hukuman setimpal pun dijatuhkan sesuai dengan beratnya
kejahatan yang telah mereka lakukan, biasanya berupa hukuman mati atau
pengasingan seumur hidup. Keadilan akhirnya ditegakkan di Kerajaan Galuh, dan
nama baik Dewi Naganingrum dipulihkan sepenuhnya.
Pengakuan Ciung Wanara sebagai
pangeran sah Kerajaan Galuh ternyata menimbulkan masalah baru. Hariang Banga,
putra Dewi Pangrenyep yang selama ini dibesarkan sebagai calon tunggal pewaris
takhta, merasa sangat terpukul dan iri hati. Ia tidak bisa menerima kenyataan
bahwa posisi yang selama ini ia dambakan kini harus dibagi, atau bahkan
terancam direbut oleh saudara tiri yang baru saja muncul dari kalangan rakyat
jelata. Kebencian dan ambisi ibunya seolah menurun kepadanya.
Ketegangan antara Ciung Wanara
dan Hariang Banga semakin meruncing dari hari ke hari. Masing-masing memiliki
pendukung di kalangan pejabat dan prajurit istana. Prabu Permana Di Kusumah
berusaha mendamaikan kedua putranya, namun persaingan memperebutkan pengaruh dan
takhta terlalu kuat. Perbedaan karakter dan latar belakang juga memperkeruh
suasana. Konflik terbuka pun tak terhindarkan, membawa kerajaan ke ambang
perang saudara yang memilukan.
Untuk mencegah pertumpahan darah
yang lebih besar dan kehancuran total Kerajaan Galuh, Prabu Permana Di Kusumah
mengambil keputusan yang berat namun bijaksana. Ia memutuskan untuk membagi
Kerajaan Galuh menjadi dua bagian yang sama besar. Sungai Cipamali (Sungai
Pemali) ditetapkan sebagai batas alaminya. Ciung Wanara diberikan kekuasaan
atas wilayah kerajaan di sebelah barat Sungai Cipamali, sementara Hariang Banga
mendapatkan wilayah di sebelah timur sungai tersebut.
Kisah Ciung Wanara ini memberikan
pelajaran berharga tentang bahaya iri hati dan ambisi kekuasaan yang membabi buta,
seperti yang ditunjukkan oleh Dewi Pangrenyep, yang membawa kehancuran bagi
dirinya dan perpecahan dalam kerajaan. Legenda ini juga menekankan bahwa
kebenaran dan keadilan, meskipun tersembunyi atau tertindas, pada akhirnya akan
terungkap berkat pertolongan Allah dan keberanian untuk mencarinya. Kesabaran
dalam menghadapi cobaan, keberanian seperti Ciung Wanara, serta pentingnya
mengakui kesalahan dan berbuat adil menjadi inti sari moral cerita ini,
mengingatkan bahwa setiap perbuatan akan mendapatkan balasannya.
Demikianlah kisah ini
diceritakan, segala kebenaran detailnya kita kembalikan kepada Allah, Tuhan
yang Maha Kuasa.
Komentar
Posting Komentar