Kisah Nabi Idris Dialog dengan Malaikat Maut

 


Nabi Idris adalah sosok istimewa dalam sejarah para Nabi. Beliau dikenal bukan hanya sebagai utusan Allah, tetapi juga sebagai manusia yang dianugerahi berbagai kepandaian dan ilmu pengetahuan pada zamannya. Beliau adalah orang pertama yang pandai menulis menggunakan pena, membaca lembaran-lembaran (suhuf), menguasai ilmu falak atau perbintangan, serta terampil dalam menjahit pakaian. Namun, keistimewaan utamanya terletak pada tingkat ketakwaan dan kedekatannya dengan Allah. Setiap helaan nafasnya seolah beriringan dengan zikir, dan setiap gerakan tangannya dalam bekerja selalu disertai ingatan kepada Sang Pencipta.

Ibadah Nabi Idris begitu khusyuk dan tak kenal lelah. Diceritakan bahwa kesibukannya menjahit tidak pernah membuatnya lalai barang sedetik pun dari mengingat Allah. Setiap kali jarumnya menusuk kain, lisannya basah oleh tasbih, tahmid, dan takbir. Amal ibadahnya begitu banyak dan berkualitas tinggi, hingga para malaikat di langit pun membicarakannya dengan penuh kekaguman. Ketaatannya yang luar biasa ini membuatnya meraih kedudukan yang sangat mulia di sisi Allah, sebagaimana ditegaskan dalam firman Nya.

Ketekunan dalam beribadah ini bukan hanya sekadar rutinitas, melainkan cerminan dari cinta dan kerinduan yang mendalam kepada Allah. Nabi Idris senantiasa merenungkan kebesaran ciptaan Nya, dari pergerakan bintang di langit hingga detail kehidupan di bumi. Ilmu pengetahuan yang dimilikinya semakin mempertebal imannya, membuatnya semakin menyadari keagungan Sang Khaliq. Kualitas ibadah dan kedalaman ilmu inilah yang menarik perhatian penghuni langit, termasuk malaikat pencabut nyawa.

Kehidupan Nabi Idris adalah teladan tentang bagaimana seharusnya seorang hamba menjalani hidup: bekerja keras dengan tangan, namun hati tetap tertambat kepada Allah. Beliau membuktikan bahwa kesibukan duniawi tidak harus melalaikan dari tujuan akhirat. Justru, setiap aktivitas bisa menjadi ladang ibadah jika diniatkan karena Allah dan diiringi dengan zikir serta rasa syukur. Kesalehan inilah yang menjadi kunci terbukanya pintu perjumpaan yang unik dengan malaikat Allah.

 

Berita tentang kesalehan dan ketekunan ibadah Nabi Idris sampai ke telinga Malaikat Izrail, sang Malaikat Maut yang bertugas mencabut nyawa setiap makhluk atas perintah Allah. Malaikat Izrail merasa kagum luar biasa terhadap hamba Allah yang satu ini. Di tengah tugasnya yang penuh dengan peristiwa kematian dan perpisahan, mendengar tentang seorang manusia yang begitu konsisten dalam ketaatan memberikan perspektif yang berbeda. Ia merasa tertarik untuk mengenal lebih dekat sosok Nabi Idris.

Rasa kagum ini bukanlah sekadar simpati biasa, melainkan sebuah bentuk apresiasi dari makhluk langit terhadap kesungguhan seorang hamba di bumi dalam menjalankan perintah Tuhannya. Malaikat Izrail, yang setiap hari menyaksikan berbagai macam akhir kehidupan manusia, melihat sesuatu yang istimewa dalam diri Nabi Idris. Ada cahaya ketakwaan yang memancar kuat, sebuah keteguhan iman yang jarang ditemui.

Malaikat Izrail pun memohon izin kepada Allah untuk dapat mengunjungi Nabi Idris. Bukan untuk menjalankan tugasnya mencabut nyawa, melainkan didorong oleh rasa ingin tahu dan kekaguman atas tingkat ibadah sang Nabi. Allah Yang Maha Mengetahui isi hati setiap makhluk Nya, mengabulkan permohonan Malaikat Izrail. Ini adalah sebuah peristiwa langka, di mana Malaikat Maut justru merasa "rindu" atau ingin bertemu dengan seorang manusia karena ketaatannya.

Izin dari Allah ini membuka jalan bagi sebuah interaksi yang tidak biasa antara seorang Nabi di bumi dan Malaikat Maut dari langit. Pertemuan ini bukanlah pertemuan antara pencabut nyawa dan orang yang akan dicabut nyawanya, melainkan pertemuan dua makhluk Allah yang didasari oleh kekaguman sang malaikat atas kesalehan sang manusia pilihan.

 

Dengan izin Allah, Malaikat Izrail turun ke bumi untuk menemui Nabi Idris. Namun, ia tidak datang dalam wujud aslinya sebagai malaikat. Ia memilih untuk menyamar sebagai seorang manusia biasa, seorang lelaki yang tampak sopan dan ramah. Tujuannya mungkin untuk mengamati Nabi Idris lebih dekat tanpa membuatnya terkejut atau takut, serta melihat secara langsung bagaimana keseharian dan ibadah sang Nabi.

Malaikat Izrail dalam wujud manusia itu mendatangi kediaman Nabi Idris dan meminta izin untuk bertamu. Nabi Idris, dengan akhlaknya yang mulia, menyambut tamunya dengan hangat dan penuh keramahan. Beliau sama sekali tidak menaruh curiga bahwa tamu yang dihadapinya adalah Malaikat Maut yang menyamar. Beliau menjamu tamunya dengan hidangan sederhana yang dimilikinya, sambil terus melanjutkan pekerjaannya menjahit dan berzikir.

Selama beberapa waktu, Malaikat Izrail tinggal bersama Nabi Idris sebagai tamu. Ia mengamati dengan saksama setiap gerak-gerik sang Nabi. Ia melihat bagaimana Nabi Idris bangun di tengah malam untuk bermunajat, bagaimana ia berpuasa di siang hari, bagaimana lisannya tak pernah kering dari zikir meskipun tangannya sibuk bekerja, dan bagaimana ia selalu adil dan bijaksana dalam berinteraksi dengan sesama. Semua yang dilihatnya semakin memperkuat kekagumannya.

Nabi Idris tetaplah Nabi Idris. Kehadiran tamu tidak mengurangi sedikit pun kualitas ibadahnya. Beliau tetap menjaga sholatnya, puasanya, zikirnya, dan pekerjaannya. Sikap ini menunjukkan ketulusan dan konsistensi imannya. Ibadahnya bukan untuk dilihat manusia, melainkan murni karena Allah. Pengamatan langsung ini membuat Malaikat Izrail semakin yakin akan kemuliaan akhlak dan kedalaman iman Nabi Idris.

 

Setelah beberapa hari bertamu dan mengamati, tibalah saatnya bagi Malaikat Izrail untuk mengungkapkan jati dirinya. Mungkin karena merasa sudah cukup melihat bukti kesalehan Nabi Idris, atau karena waktu kunjungannya memang telah ditentukan Allah. Dengan lembut, sang tamu misterius itu mulai berbicara kepada Nabi Idris, mengisyaratkan bahwa ia bukanlah manusia biasa.

Ia berkata kepada Nabi Idris, "Wahai Idris, sesungguhnya aku bukanlah manusia sepertimu. Aku adalah Malaikat Maut, Izrail, yang diutus Allah untuk mengunjungimu." Pengakuan ini tentu bisa mengejutkan siapa saja. Namun, Nabi Idris, dengan ketenangan jiwa yang bersumber dari imannya yang kokoh, menerima kabar tersebut tanpa rasa takut yang berlebihan. Beliau tahu bahwa segala sesuatu terjadi atas izin Allah.

Reaksi tenang Nabi Idris justru semakin membuat Malaikat Izrail hormat kepadanya. Tidak ada kepanikan, tidak ada teriakan ketakutan. Yang ada adalah penerimaan dan mungkin sedikit rasa ingin tahu. Nabi Idris menyambut baik kehadiran Malaikat Izrail, kini dalam kapasitasnya sebagai utusan Allah. Sejak saat itu, terjalinlah sebuah hubungan yang lebih terbuka antara keduanya.

Terungkapnya identitas Malaikat Izrail tidak mengubah sikap Nabi Idris. Beliau tetap menghormati tamunya, namun kini perbincangan mereka mulai menyentuh hal-hal yang lebih mendalam, hal-hal yang berkaitan dengan alam gaib, rahasia penciptaan, dan tugas-tugas para malaikat, terutama tugas Malaikat Izrail sendiri sebagai pencabut nyawa.

 

Perjumpaan yang unik ini membuka ruang bagi dialog-dialog mendalam antara Nabi Idris dan Malaikat Izrail. Nabi Idris, sebagai sosok yang haus akan ilmu dan pemahaman tentang kebesaran Allah, banyak bertanya kepada Malaikat Izrail. Beliau bertanya tentang bagaimana rasanya sakaratul maut, bagaimana proses ruh dicabut dari jasad, apa yang dialami oleh orang beriman dan orang kafir saat ajal menjemput, serta hal-hal lain seputar kematian dan alam barzakh.

Malaikat Izrail, dengan izin Allah, menjawab pertanyaan-pertanyaan Nabi Idris sejauh yang dibolehkan. Ia menjelaskan tentang tugasnya yang berat namun mulia, menjalankan perintah Allah tanpa pernah membantah. Ia mungkin menggambarkan betapa lembutnya ia mencabut nyawa orang-orang beriman, selembut menarik rambut dari adonan tepung, dan betapa kerasnya ia mencabut nyawa orang-orang kafir, hingga menimbulkan rasa sakit yang tak terperi.

Dialog mereka tidak hanya seputar kematian. Mereka juga berbincang tentang keagungan penciptaan Allah, tentang langit dan bumi, tentang surga dan neraka (meskipun belum melihatnya), dan tentang hikmah di balik setiap kejadian. Nabi Idris menyimak dengan penuh perhatian, dan setiap jawaban dari Malaikat Izrail semakin menambah keyakinan dan rasa takjubnya kepada Allah. Ini adalah majelis ilmu tingkat tinggi antara seorang Nabi dan seorang Malaikat.

Percakapan ini bukanlah percakapan biasa. Ia adalah pertukaran pengetahuan antara alam syahadah (alam nyata) dan alam ghaib (alam tak kasat mata). Nabi Idris mendapatkan wawasan langsung tentang proses yang pasti akan dihadapi setiap jiwa, dari sumbernya langsung, yaitu malaikat yang ditugaskan untuk itu. Dialog ini memperkaya batin Nabi Idris dan mempersiapkannya untuk tingkatan iman yang lebih tinggi lagi.

 

Semakin sering berdialog, rasa penasaran Nabi Idris semakin terfokus pada satu hal: pengalaman kematian itu sendiri. Beliau telah mendengar penjelasan Malaikat Izrail, namun penjelasan saja terkadang belum cukup untuk memuaskan dahaga jiwa yang ingin memahami lebih dalam. Beliau mulai merenungkan, bagaimana sesungguhnya "rasa" dari kematian itu? Apakah mungkin untuk memahami sensasinya tanpa benar-benar mengalaminya secara permanen?

Nabi Idris kemudian memberanikan diri mengajukan pertanyaan yang lebih spesifik dan krusial kepada Malaikat Izrail. Beliau mungkin bertanya, "Wahai Malaikat Izrail, engkau telah menjelaskan tentang lembut dan kerasnya pencabutan nyawa. Bisakah engkau memberikan gambaran yang lebih nyata tentang apa yang dirasakan saat ruh berpisah dari jasad? Adakah cara bagiku untuk memahami sebagian kecil saja dari pengalaman itu?"

Pertanyaan ini menunjukkan kedalaman perenungan Nabi Idris. Beliau tidak sedang bermain-main dengan kematian, melainkan berusaha memahami salah satu ketetapan Allah yang paling pasti dengan lebih baik, agar dapat mempersiapkan diri dan kaumnya dengan lebih sungguh-sungguh. Beliau ingin merasakan secuil saja dari pengalaman itu untuk meningkatkan ketakwaannya.

Malaikat Izrail mungkin menjelaskan kembali betapa dahsyatnya peristiwa kematian itu, bahkan bagi orang beriman sekalipun, rasa sakitnya tetap ada meskipun diringankan oleh Allah. Ia menekankan bahwa kematian adalah rahasia Allah dan prosesnya terjadi mutlak atas perintah Nya. Dialog ini menjadi semakin intens, menggali batas antara pengetahuan dan pengalaman langsung terkait misteri kematian.

 

Dalam dialog yang semakin mendalam ini, Nabi Idris mungkin mulai menyentuh wilayah kehendak. Beliau bertanya, "Apakah mungkin bagi seorang hamba, atas izin Allah, untuk merasakan sakaratul maut sejenak saja, lalu dihidupkan kembali, agar imannya semakin bertambah?" Pertanyaan ini bukanlah permintaan langsung untuk mati, melainkan sebuah penjajakan kemungkinan dalam kerangka kekuasaan Allah.

Malaikat Izrail, sebagai malaikat yang taat, menjelaskan bahwa segala sesuatu berada dalam genggaman kuasa Allah. Mencabut nyawa dan menghidupkan kembali adalah hak prerogatif Allah semata. Tugasnya hanyalah menjalankan perintah. Ia mungkin mengingatkan Nabi Idris bahwa Allah Maha Bijaksana dan mengetahui apa yang terbaik bagi hamba-hamba Nya. Apa yang dialami manusia sudah sesuai dengan takdir yang ditetapkan.

Dialog ini mencapai puncaknya pada pemahaman tentang batasan makhluk, baik manusia maupun malaikat, di hadapan kehendak mutlak Sang Pencipta. Nabi Idris memahami bahwa rasa penasarannya harus tunduk pada ketetapan Allah. Malaikat Izrail pun menegaskan posisinya sebagai pelaksana perintah semata. Keduanya berdialog dalam koridor adab dan penghormatan terhadap kekuasaan ilahi.

Meskipun dialog ini tidak langsung menghasilkan permintaan untuk merasakan kematian (yang mungkin muncul di kemudian hari sebagai bagian dari keinginan melihat Neraka), ia meletakkan dasar pemahaman yang kuat bagi Nabi Idris tentang kekuasaan Allah atas hidup dan mati. Dialog unik ini menunjukkan betapa Allah bisa mempertemukan makhluk-makhluk Nya dari alam yang berbeda untuk saling berbagi ilmu dan hikmah, sesuai dengan kehendak Nya.

 

Pertemuan dan dialog antara Nabi Idris dan Malaikat Izrail menyimpan banyak hikmah dan pelajaran berharga. Kisah ini menunjukkan bahwa tingkat ketakwaan dan kesungguhan ibadah seorang hamba dapat menarik perhatian dan bahkan kekaguman makhluk-makhluk langit. Ketaatan yang ikhlas kepada Allah akan mengangkat derajat seorang hamba ke tempat yang mulia, baik di bumi maupun di sisi Nya. Ini menjadi motivasi bagi kita untuk senantiasa meningkatkan kualitas ibadah dan kedekatan kita dengan Allah.

Dialog mereka mengajarkan pentingnya merenungkan kehidupan dan kematian. Mengingat kematian bukanlah untuk membuat kita pesimis, melainkan untuk mendorong kita agar lebih bijaksana dalam memanfaatkan waktu hidup yang tersisa, memperbanyak amal saleh, dan mempersiapkan bekal terbaik untuk akhirat. Bertanya dan berdiskusi tentang hal-hal gaib yang diizinkan syariat dapat menambah keimanan, selama dilakukan dengan adab dan niat yang benar untuk memahami kebesaran Allah.

Kisah ini juga menyoroti adab dalam berinteraksi, bahkan antara Nabi dan Malaikat. Nabi Idris bertanya dengan sopan, dan Malaikat Izrail menjawab dengan penuh hormat sesuai batas pengetahuannya dan izin Allah. Ini mengajarkan kita untuk selalu menjaga adab dalam mencari ilmu dan berdialog, terutama ketika membahas hal-hal yang berkaitan dengan keagungan dan rahasia Allah. Kita harus menyadari batasan kita sebagai makhluk dan tunduk pada kebijaksanaan Sang Pencipta.

Lebih jauh lagi, perjumpaan unik ini adalah bukti nyata kekuasaan Allah yang tak terbatas. Allah mampu mempertemukan siapa saja yang dikehendaki Nya, melintasi batas alam dan dimensi. Allah juga menganugerahkan ilmu dan pemahaman kepada siapa yang dikehendaki Nya melalui cara-cara yang kadang di luar nalar manusia biasa. Hikmah utamanya adalah untuk selalu berserah diri pada ketetapan Allah, meyakini keadilan dan kasih sayang Nya, serta terus berusaha menjadi hamba yang diridoi Nya melalui ketaatan dan pencarian ilmu yang bermanfaat.

Demikianlah kisah ini diceritakan, segala kebenaran detailnya kita kembalikan kepada Allah, tuhan pemilik kisah kehidupan.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Legenda Putri Gunung Ledang, Cerita Rakyat Malaka

Kisah Legenda Puteri Junjung Buih, Cerita Rakyat Kalimantan

Kisah Gunung Sumbing: Sejarah, Legenda dan Cerita Mistis