Kisah Sayyidina Ali ( Perang Siffin )

 


Setelah wafatnya Khalifah Utsman bin Affan dalam sebuah tragedi pemberontakan yang memilukan, kaum muslimin secara mayoritas membaiat Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah keempat. Namun, situasi politik umat Islam saat itu sedang berada dalam kondisi yang sangat genting dan penuh gejolak. Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi Khalifah Ali adalah tuntutan untuk segera mengadili para pembunuh Utsman. Di antara mereka yang paling vokal menyuarakan tuntutan ini adalah Muawiyah bin Abi Sufyan, gubernur Syam yang juga memiliki hubungan kekerabatan dengan Utsman.

Muawiyah, dengan kekuatan politik dan militer yang dimilikinya di Syam, menolak untuk memberikan baiat (sumpah setia) kepada Khalifah Ali sebelum para pembunuh Utsman ditangkap dan dihukum. Ia menggunakan isu qisas atas darah Utsman sebagai alat untuk menggalang dukungan dan menentang kekhalifahan Ali. Bagi Muawiyah, penundaan pengadilan terhadap pembunuh Utsman dianggap sebagai kelemahan atau bahkan indikasi adanya keterlibatan pihak-pihak tertentu yang dilindungi oleh Khalifah Ali, meskipun tuduhan ini tidak berdasar.

Khalifah Ali, di sisi lain, memiliki pandangan yang berbeda. Beliau sangat ingin menegakkan keadilan dan menghukum mereka yang bersalah, namun situasi di Madinah dan wilayah Islam lainnya saat itu masih sangat kacau. Para pemberontak yang terlibat dalam pembunuhan Utsman telah berbaur dengan masyarakat dan memiliki pengaruh yang cukup kuat. Khalifah Ali berpendapat bahwa upaya penangkapan dan pengadilan secara tergesa-gesa justru akan memicu kekacauan yang lebih besar dan perang saudara yang lebih luas. Beliau ingin menstabilkan pemerintahan terlebih dahulu, baru kemudian menindak para pelaku kejahatan.

Perbedaan pandangan dan sikap politik inilah yang menjadi bibit perselisihan antara Khalifah Ali dan Muawiyah. Muawiyah, yang didukung oleh sebagian penduduk Syam dan tokoh-tokoh yang memiliki kepentingan politik, semakin gencar melakukan propaganda menentang Khalifah Ali. Ia menuduh Ali lamban dan tidak serius dalam menangani kasus pembunuhan Utsman. Akibatnya, konflik antara pusat kekhalifahan di Kufah (setelah Ali memindahkan pusat pemerintahan dari Madinah) dengan wilayah Syam yang dikuasai Muawiyah semakin meruncing dan tak terhindarkan, membawa umat menuju sebuah konfrontasi bersenjata.

 

Setelah berbagai upaya diplomasi dan negosiasi untuk mencari jalan damai menemui jalan buntu, konfrontasi militer antara pasukan Khalifah Ali dan pasukan Muawiyah menjadi tak terelakkan. Kedua belah pihak memobilisasi pasukan mereka dan bergerak menuju sebuah dataran bernama Siffin, yang terletak di dekat Sungai Eufrat, di wilayah Suriah. Pertempuran besar yang kemudian dikenal sebagai Perang Siffin ini terjadi pada bulan Shafar tahun 37 Hijriyah. Ini adalah salah satu periode paling kelam dalam sejarah Islam, di mana kaum muslimin terpaksa saling berhadapan di medan perang.

Pasukan Khalifah Ali terdiri dari para sahabat senior, kaum Muhajirin dan Anshar, serta pendukung setia beliau dari Irak dan wilayah lainnya. Di antara tokoh-tokoh terkemuka di pihak Ali adalah Ammar bin Yasir, Abdullah bin Abbas, dan Malik Al-Asytar. Sementara itu, pasukan Muawiyah didominasi oleh penduduk Syam yang loyal kepadanya, serta tokoh-tokoh seperti Amr bin Ash, seorang ahli strategi yang sangat lihai. Jumlah pasukan dari kedua belah pihak sangat besar, menjadikan Siffin sebagai salah satu pertempuran terdahsyat pada masa itu.

Pertempuran berlangsung selama berhari-hari, bahkan berbulan-bulan, dengan intensitas yang pasang surut. Terjadi duel-duel individu yang heroik, serangan-serangan massal, dan kerugian jiwa yang tidak sedikit di kedua belah pihak. Hati kaum muslimin saat itu diliputi kesedihan mendalam karena harus memerangi saudara seiman mereka. Khalifah Ali sendiri berulang kali mencoba menyerukan perdamaian dan mengingatkan kedua belah pihak akan persaudaraan Islam, namun api permusuhan sudah terlanjur berkobar.

Dalam banyak babak pertempuran, pasukan Khalifah Ali menunjukkan keunggulan. Strategi perang Ali yang brilian dan keberanian para panglimanya, seperti Malik Al-Asytar, berhasil mendesak pasukan Muawiyah. Pada satu titik krusial, pasukan Ali hampir saja meraih kemenangan mutlak. Barisan pertahanan Muawiyah mulai goyah dan kekalahan tampak sudah di depan mata bagi pihak Syam. Dalam kondisi terdesak inilah, pihak Muawiyah, atas saran Amr bin Ash, melakukan sebuah manuver politik yang cerdik namun penuh tipu daya.

 

Ketika pasukan Muawiyah berada di ambang kekalahan telak, Amr bin Ash, yang dikenal sebagai politikus ulung dan ahli strategi yang licik, memberikan sebuah usulan kepada Muawiyah. Ia menyarankan agar pasukan Syam mengangkat mushaf-mushaf Al-Quran di ujung tombak mereka sebagai isyarat untuk mengajak pasukan Ali berdamai dan menyerahkan penyelesaian konflik kepada Kitabullah. Muawiyah menyetujui siasat ini, karena ia tahu ini adalah satu-satunya cara untuk menghindari kekalahan total dan membalikkan keadaan.

Maka, serentak pasukan Muawiyah mengangkat Al-Quran seraya berseru, "Marilah kita kembali kepada hukum Kitabullah! Biarlah Al-Quran yang menjadi hakim di antara kita!" Seruan ini segera menimbulkan kebingungan dan perdebatan sengit di kalangan pasukan Khalifah Ali. Sebagian besar dari pasukan Ali, terutama mereka yang dikenal sebagai qurra (para penghafal dan ahli Al-Quran) yang sangat taat namun terkadang kurang memahami seluk-beluk politik, terpengaruh oleh seruan ini. Mereka menganggap bahwa menolak ajakan untuk berhukum dengan Al-Quran adalah sebuah kesalahan besar.

Khalifah Ali bin Abi Thalib, dengan kearifan dan pandangan politiknya yang tajam, segera menyadari bahwa ini adalah sebuah muslihat dari pihak Muawiyah untuk menghindari kekalahan dan memecah belah pasukannya. Beliau mencoba menjelaskan kepada pasukannya bahwa ia lebih memahami Al-Quran daripada mereka, dan bahwa seruan Muawiyah hanyalah tipu daya. Ali berkata, "Ini adalah kalimat haq yang dimaksudkan untuk kebatilan! Mereka mengangkat Al-Quran bukan karena ingin mengamalkannya, tetapi untuk menghentikan perang saat mereka hampir kalah."

Namun, sebagian besar pasukannya, terutama kelompok qurra yang dipimpin oleh tokoh-tokoh seperti Mis’ar bin Fadaki dan Zaid bin Hushain, tidak menggubris penjelasan Khalifah Ali. Mereka justru mendesak Ali untuk menerima ajakan damai tersebut dan menghentikan pertempuran. Mereka bahkan mengancam akan meninggalkan Ali atau bahkan memeranginya jika ia menolak untuk berhukum dengan Kitabullah. Tekanan dari dalam pasukan ini begitu kuat sehingga Khalifah Ali berada dalam posisi yang sangat sulit dan dilematis.

 

Menghadapi tekanan yang begitu besar dari sebagian besar pasukannya sendiri, yang termakan oleh muslihat pengangkatan Al-Quran, Khalifah Ali bin Abi Thalib berada dalam posisi yang serba salah. Jika ia menolak ajakan untuk bertahkim (berarbitrase) dengan Al-Quran sebagai landasannya, ia akan dituduh menentang Kitabullah dan berpotensi menghadapi pemberontakan dari dalam pasukannya sendiri. Namun, jika ia menerima, ia tahu bahwa ini adalah jebakan yang akan merugikan pihaknya dan menguntungkan Muawiyah.

Para qurra dan sebagian besar tentara dari Kufah terus mendesak Khalifah Ali. Mereka berkata, "Kami telah diajak untuk kembali kepada Kitabullah, dan kami tidak boleh menolaknya." Beberapa di antara mereka bahkan mengeluarkan ancaman yang lebih serius, menunjukkan betapa dalamnya mereka terpengaruh oleh propaganda pihak Muawiyah. Mereka tidak mampu melihat tipu daya di balik seruan yang tampak agamis tersebut, dan lebih mengedepankan semangat literal tanpa pemahaman konteks politik yang sedang terjadi.

Dalam situasi yang sangat genting ini, demi menghindari perpecahan yang lebih parah di dalam barisannya sendiri dan pertumpahan darah yang lebih lanjut di antara pasukannya yang masih setia dengan mereka yang mengancam akan memberontak, Khalifah Ali dengan berat hati terpaksa menyetujui usulan tahkim. Ia tahu bahwa keputusan ini diambil bukan atas dasar keyakinannya, melainkan karena keterpaksaan akibat tekanan yang luar biasa dari para pengikutnya. Kemenangan yang sudah di depan mata harus dilepaskan begitu saja.

Keputusan untuk menerima tahkim ini menandai sebuah titik balik penting dalam Perang Siffin. Pertempuran fisik dihentikan, dan kedua belah pihak sepakat untuk menunjuk masing-masing seorang juru runding (hakam) yang akan memutuskan perkara berdasarkan Al-Quran dan Sunnah Rosulullah. Meskipun Khalifah Ali setuju, hatinya diliputi kesedihan dan kekhawatiran akan hasil dari perundingan yang ia yakini akan penuh dengan intrik dan kecurangan dari pihak lawan.

 

Setelah kesepakatan untuk melakukan tahkim tercapai, langkah selanjutnya adalah menentukan siapa yang akan menjadi juru runding atau hakam dari masing-masing pihak. Khalifah Ali bin Abi Thalib ingin menunjuk Abdullah bin Abbas, seorang sahabat yang dikenal karena kecerdasan, keluasan ilmu, dan ketajaman analisis politiknya. Atau, ia juga mempertimbangkan Malik Al-Asytar, panglima perangnya yang gagah berani dan sangat setia. Namun, pilihan Khalifah Ali ini ditolak oleh kelompok qurra yang telah mendesaknya untuk menerima tahkim.

Kelompok qurra ini justru bersikeras mengajukan nama Abu Musa Al-Asy’ari sebagai juru runding dari pihak Khalifah Ali. Abu Musa adalah seorang sahabat senior yang dikenal karena kesalehan, kejujuran, dan sifatnya yang damai. Namun, ia juga dikenal sebagai sosok yang lugu, kurang memiliki ketajaman politik, dan mudah dipengaruhi. Khalifah Ali sebenarnya kurang setuju dengan pencalonan Abu Musa karena khawatir akan keluguan dan ketidakcakapannya dalam menghadapi kelihaian politik Amr bin Ash, namun tekanan dari para pengikutnya kembali memaksanya untuk menerima Abu Musa sebagai wakilnya.

Sementara itu, dari pihak Muawiyah bin Abi Sufyan, tanpa banyak perdebatan, mereka menunjuk Amr bin Ash. Pilihan ini sangat strategis. Amr bin Ash adalah seorang politikus veteran yang sangat cerdik, licik, pandai berdiplomasi, dan lihai dalam bernegosiasi. Ia adalah arsitek di balik muslihat pengangkatan Al-Quran dan sangat memahami bagaimana cara memanfaatkan situasi untuk kepentingan Muawiyah. Dengan demikian, komposisi juru runding menjadi sangat tidak seimbang: Abu Musa yang jujur dan lugu berhadapan dengan Amr bin Ash yang cerdik dan penuh intrik.

Perbedaan karakter dan kemampuan antara kedua juru runding ini sudah menjadi pertanda buruk bagi pihak Khalifah Ali. Banyak pihak yang meragukan bahwa Abu Musa akan mampu mengimbangi kelihaian Amr bin Ash dalam perundingan yang akan menentukan nasib kekhalifahan dan masa depan umat Islam. Khalifah Ali sendiri telah memperingatkan Abu Musa agar berhati-hati terhadap tipu daya Amr bin Ash, namun takdir berkata lain.

 

Kedua juru runding, Abu Musa Al-Asy’ari dari pihak Khalifah Ali dan Amr bin Ash dari pihak Muawiyah, beserta rombongan masing-masing, kemudian bertemu di sebuah tempat yang telah disepakati, yaitu Daumatul Jandal. Tempat ini dipilih karena dianggap netral, terletak di antara wilayah kekuasaan Ali dan Muawiyah. Perundingan berlangsung selama beberapa waktu, diwarnai dengan berbagai diskusi dan perdebatan mengenai status kekhalifahan dan penyelesaian konflik.

Dalam perundingan pribadi antara keduanya, Amr bin Ash dengan kelihaiannya berhasil mempengaruhi Abu Musa Al-Asy’ari. Amr bin Ash mengemukakan argumen bahwa demi kemaslahatan umat Islam dan untuk menghentikan pertumpahan darah, jalan terbaik adalah dengan menurunkan kedua pemimpin yang sedang berseteru, yaitu Khalifah Ali dan Muawiyah. Setelah keduanya diturunkan, urusan pemilihan khalifah baru akan diserahkan kembali kepada musyawarah umat Islam. Ide ini tampak adil dan bijaksana di mata Abu Musa yang mendambakan perdamaian.

Abu Musa Al-Asy’ari, dengan keluguan dan kejujurannya, serta keinginannya yang tulus untuk mendamaikan umat, setuju dengan usulan Amr bin Ash. Ia merasa bahwa ini adalah solusi yang paling netral dan dapat diterima oleh kedua belah pihak. Mereka berdua kemudian mencapai kesepakatan rahasia bahwa masing-masing akan mengumumkan pencopotan pemimpin yang diwakilinya. Abu Musa akan mengumumkan pencopotan Ali dari jabatan khalifah, dan Amr bin Ash akan mengumumkan pencopotan Muawiyah dari jabatannya sebagai gubernur Syam (atau dari klaimnya atas kekhalifahan).

Namun, Amr bin Ash, dengan segala intriknya, telah merencanakan sesuatu yang berbeda. Ia berhasil meyakinkan Abu Musa untuk menjadi orang pertama yang menyampaikan hasil kesepakatan di hadapan publik. Amr bin Ash beralasan bahwa Abu Musa adalah sahabat yang lebih senior dan lebih dihormati, sehingga pantas untuk berbicara lebih dahulu. Abu Musa, tanpa menaruh curiga sedikit pun, menyetujui permintaan tersebut. Ia tidak menyadari bahwa ini adalah bagian dari jebakan yang telah disiapkan oleh Amr bin Ash.

 

Tibalah saatnya pengumuman hasil tahkim di hadapan perwakilan dari kedua belah pihak dan khalayak ramai. Sesuai kesepakatan dengan Amr bin Ash, Abu Musa Al-Asy’ari maju pertama kali untuk menyampaikan keputusannya. Dengan penuh keyakinan bahwa ia telah mencapai solusi terbaik untuk umat, Abu Musa Al-Asy’ari mengumumkan, "Sesungguhnya, kami telah berunding dan sepakat bahwa demi kemaslahatan umat, kami akan mencopot kedua orang ini (Ali dan Muawiyah). Saya mencopot Ali dari jabatan khalifah sebagaimana saya melepaskan cincin ini dari jari saya."

Setelah Abu Musa Al-Asy’ari selesai berbicara dan mengumumkan pencopotan Khalifah Ali, giliran Amr bin Ash yang maju. Dengan penuh percaya diri dan senyum licik, Amr bin Ash berkata, "Kalian semua telah mendengar apa yang dikatakan oleh Abu Musa. Ia telah mencopot sahabatnya (Ali). Adapun saya, maka saya menetapkan sahabat saya, Muawiyah, sebagai khalifah, sebagaimana saya menetapkan cincin ini di jari saya. Dan saya juga menetapkan bahwa Muawiyah adalah wali yang berhak menuntut balas atas darah Utsman." Pernyataan ini bagaikan petir di siang bolong bagi pihak Ali.

Seketika suasana menjadi gempar. Abu Musa Al-Asy’ari sangat terkejut dan marah karena merasa telah ditipu mentah-mentah oleh Amr bin Ash. Ia tidak menyangka Amr akan berbuat sekhianat itu. Terjadilah perdebatan sengit antara Abu Musa dan Amr bin Ash, namun nasi telah menjadi bubur. Pengumuman Amr bin Ash telah didengar oleh semua orang, dan secara politis, ia telah berhasil memenangkan pertarungan diplomasi ini untuk kepentingan Muawiyah. Pihak Khalifah Ali merasa sangat dirugikan dan dikhianati.

Hasil tahkim yang kontroversial ini semakin memperkeruh suasana dan memperdalam perpecahan di kalangan umat Islam. Khalifah Ali menolak hasil tahkim tersebut karena jelas-jelas didasari oleh tipu daya dan pengkhianatan. Namun, secara politik, posisi Muawiyah semakin menguat, sementara posisi Khalifah Ali semakin sulit. Intrik politik yang dimainkan oleh Amr bin Ash telah berhasil mencapai tujuannya, mengamankan klaim Muawiyah dan melemahkan legitimasi Khalifah Ali di mata sebagian orang.

 

Peristiwa Tahkim di Daumatul Jandal dengan hasil yang penuh intrik dan kontroversi tersebut membawa dampak yang sangat besar dan berkepanjangan bagi umat Islam. Salah satu dampak paling signifikan adalah munculnya kelompok baru yang dikenal sebagai Khawarij. Ironisnya, kelompok Khawarij ini sebagian besar berasal dari kalangan qurra yang sebelumnya paling getol mendesak Khalifah Ali untuk menerima tahkim dan menghentikan Perang Siffin.

Setelah melihat hasil tahkim yang dianggap merugikan dan menyimpang dari semangat awal untuk berhukum dengan Kitabullah, kaum Khawarij merasa telah melakukan kesalahan besar. Mereka berbalik menentang Khalifah Ali dan juga Muawiyah. Mereka menganggap bahwa menerima tahkim (arbitrase manusia) dalam urusan agama adalah sebuah dosa besar dan bentuk kekafiran, karena menurut mereka, hukum hanyalah milik Allah semata ("Laa hukma illa lillah" – Tidak ada hukum kecuali hukum Allah). Mereka mengkafirkan Ali, Muawiyah, Amr bin Ash, Abu Musa Al-Asy’ari, dan semua pihak yang terlibat serta menyetujui tahkim. Sikap ekstrem dan radikal ini menjadi ciri khas kaum Khawarij.

Khalifah Ali bin Abi Thalib harus menghadapi masalah baru yang tidak kalah pelik, yaitu pemberontakan kaum Khawarij. Mereka memisahkan diri dari barisan Ali, berkumpul di suatu tempat bernama Harura, dan mulai melakukan teror serta pembunuhan terhadap kaum muslimin yang tidak sependapat dengan mereka. Khalifah Ali terpaksa harus menghadapi mereka dalam pertempuran di Nahrawan, di mana sebagian besar kaum Khawarij berhasil dikalahkan, namun sisa-sisa mereka terus menjadi ancaman. Akhirnya, Khalifah Ali sendiri wafat dibunuh oleh seorang Khawarij bernama Abdurrahman bin Muljam. Peristiwa Tahkim tidak hanya gagal mendamaikan, tetapi justru melahirkan perpecahan baru dan semakin memperlemah posisi Khalifah Ali. Sementara itu, Muawiyah semakin memantapkan kekuasaannya di Syam dan akhirnya berhasil mendirikan Dinasti Umayyah.

Pelajaran moral dari kisah Perang Siffin dan Peristiwa Tahkim ini sangatlah mendalam. Kisah ini mengajarkan kita tentang bahaya perpecahan di kalangan umat Islam dan betapa mahalnya harga sebuah persatuan. Pentingnya ketaatan kepada pemimpin yang sah dalam koridor kebenaran, serta kehati-hatian dalam mengambil keputusan, terutama di saat-saat genting, menjadi pelajaran utama. Kita juga belajar tentang bahaya termakan oleh propaganda dan seruan yang tampak agamis namun sejatinya adalah muslihat politik. Keputusan yang didasari oleh emosi, desakan massa tanpa pertimbangan matang, atau keluguan dalam menghadapi intrik politik dapat membawa akibat yang fatal. Lebih lanjut, kisah ini menunjukkan betapa kesabaran, kearifan, dan keteguhan hati seorang pemimpin seperti Khalifah Ali diuji dalam menghadapi fitnah besar, serta bagaimana intrik politik dapat merusak tatanan dan mengorbankan kebenaran demi kekuasaan semata. Semoga kita dapat mengambil iktibar dari peristiwa ini agar tidak terjerumus dalam perpecahan serupa.

Demikianlah kisah ini diceritakan, segala kebenaran detailnya kita kembalikan kepada Allah, tuhan pemilik kisah kehidupan.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Legenda Putri Gunung Ledang, Cerita Rakyat Malaka

Kisah Legenda Puteri Junjung Buih, Cerita Rakyat Kalimantan

Kisah Gunung Sumbing: Sejarah, Legenda dan Cerita Mistis