Legenda Batu Menangis (Kalimantan Barat)

 

 


Di sebuah dusun kecil yang tersembunyi di pedalaman pulau Kalimantan Barat, hiduplah seorang perempuan tua bersama anak gadis semata wayangnya. Sang suami telah lama meninggal dunia, meninggalkan mereka berdua dalam keadaan serba kekurangan. Untuk menyambung hidup, sang ibu bekerja tanpa kenal lelah setiap harinya. Ia membanting tulang di sawah orang lain, mencari kayu bakar di hutan, atau pekerjaan serabutan apa saja yang bisa menghasilkan sesuap nasi dan sedikit uang.

Kehidupan mereka sangat sederhana, bahkan cenderung miskin. Gubuk kecil tempat mereka berteduh sudah mulai reot di sana-sini, dan pakaian yang mereka kenakan pun tampak lusuh dan penuh tambalan. Sang ibu menjalani kehidupannya dengan penuh kesabaran dan ketabahan, ia hanya berharap dapat membesarkan putri tunggalnya dengan baik, meskipun dalam keterbatasan ekonomi yang menghimpit mereka setiap hari.

Berbeda dengan kondisi ibunya yang sederhana dan wajahnya yang mulai dipenuhi keriput karena usia dan kerja keras, anak gadisnya tumbuh menjadi seorang dara yang luar biasa cantik. Kulitnya putih bersih, rambutnya hitam legam terurai panjang, dan wajahnya sangat rupawan. Kecantikannya terkenal hingga ke desa-desa tetangga, banyak pemuda yang terpikat oleh pesonanya.

Anak gadis ini sangat menyadari kecantikannya. Ia menghabiskan sebagian besar waktunya untuk bersolek dan mengagumi dirinya sendiri di depan cermin tua yang retak. Ia selalu ingin tampil sempurna, mengenakan pakaian yang indah, meskipun ia tahu ibunya tidak mampu membelikannya. Keindahan fisiknya menjadi kebanggaan terbesarnya, namun sayangnya, kecantikan parasnya tidak diimbangi dengan keindahan hatinya.

Meskipun hidup dalam kemiskinan, sang ibu selalu berusaha memenuhi keinginan putrinya semampunya. Kasih sayangnya begitu besar, ia rela menahan lapar asalkan anaknya bisa makan, ia rela bekerja lebih keras agar bisa membelikan sedikit perhiasan sederhana untuk putrinya. Namun, semua pengorbanan itu seolah tidak pernah cukup di mata sang anak yang selalu merasa kurang dan tidak puas dengan keadaannya.

 

Seiring bertambahnya usia, sifat asli sang anak gadis semakin terlihat jelas. Ia tumbuh menjadi pribadi yang pemalas dan manja. Setiap hari, pekerjaannya hanyalah bersolek, merawat kecantikannya, dan bermalas-malasan di rumah. Ia sama sekali tidak mau membantu ibunya bekerja, baik di ladang maupun sekadar membereskan rumah mereka yang sederhana. Baginya, pekerjaan kasar hanya akan merusak kulit halusnya dan mengotori kuku lentiknya.

Selain pemalas, ia juga memiliki sifat angkuh dan sombong. Ia merasa dirinya jauh lebih baik dari orang lain karena kecantikannya. Ia sering memandang rendah orang-orang desa yang dianggapnya tidak sepadan dengannya. Puncak dari sifat buruknya adalah rasa malunya terhadap ibunya sendiri. Ia malu memiliki ibu yang tua, miskin, dan berpenampilan sederhana dengan pakaian yang kumal.

Setiap kali ibunya pulang dari bekerja dengan tubuh penuh peluh dan pakaian kotor, sang anak akan menghindar atau menunjukkan wajah tidak suka. Ia tidak mau terlihat bersama ibunya di depan orang banyak karena takut orang akan tahu bahwa wanita tua renta itu adalah ibunya. Rasa malu ini begitu besar hingga mengalahkan rasa hormat dan kasih sayang yang seharusnya ia berikan kepada ibu yang telah melahirkan dan membesarkannya dengan susah payah.

Sang ibu tentu saja menyadari sikap anaknya, namun ia hanya bisa mengelus dada dan bersabar. Hatinya seringkali merasa sedih melihat tingkah laku putri semata wayangnya itu. Ia sering menasihati anaknya dengan lembut agar mau membantu pekerjaan rumah dan tidak terlalu memikirkan penampilan semata, namun nasihat itu bagaikan angin lalu, tidak pernah didengarkan oleh sang anak.

Sifat manja sang anak juga membuatnya selalu menuntut. Ia sering merengek meminta dibelikan pakaian baru, perhiasan, atau alat-alat kecantikan yang dilihatnya dipakai oleh anak-anak saudagar kaya di pasar. Ia tidak peduli apakah ibunya punya uang atau tidak, yang penting keinginannya harus terpenuhi. Ketidakpedulian dan sifat egoisnya ini semakin menambah luka di hati ibunya yang sabar.

 

Suatu pagi, ketika sang ibu baru saja hendak beristirahat setelah semalaman bekerja menumbuk padi tetangga, anak gadisnya datang menghampiri. Wajahnya cemberut, bibirnya manyun. Ia baru saja melihat persediaan bedak dan alat riasnya yang lain sudah hampir habis. Tanpa basa-basi, ia langsung merengek kepada ibunya.

"Ibu, lihat! Bedakku sudah mau habis! Alat riasku yang lain juga. Aku ingin pergi ke pasar sekarang untuk membeli yang baru," rengeknya manja, sambil menunjukkan wadah bedaknya yang hampir kosong. Ia tahu bahwa pasar desa letaknya cukup jauh dan memerlukan perjalanan kaki yang lumayan melelahkan, namun ia tidak peduli.

Sang ibu menghela napas panjang. Tubuhnya terasa sangat lelah, dan ia sebenarnya ingin beristirahat. Selain itu, ia juga tahu bahwa mereka tidak punya cukup uang untuk membeli alat-alat kecantikan yang harganya cukup mahal bagi ukuran mereka. Ia mencoba membujuk anaknya dengan lembut. "Anakku, ibu sangat lelah hari ini. Lagipula, kita tidak punya cukup uang untuk membeli semua itu. Mungkin lain kali saja ya, kalau kita sudah punya rezeki lebih."

Mendengar penolakan ibunya, anak gadis itu langsung marah dan menghentak-hentakkan kakinya. "Tidak mau! Aku maunya sekarang! Ibu harus menemaniku ke pasar! Kalau tidak, aku tidak mau bicara lagi sama Ibu!" ancamnya, menggunakan senjata andalannya, yaitu merajuk dan mengancam. Ia tahu ibunya sangat menyayanginya dan seringkali luluh dengan ancamannya.

Hati sang ibu merasa iba sekaligus sedih melihat tingkah anaknya. Di satu sisi ia lelah dan tidak punya uang, di sisi lain ia tidak tega melihat putri kesayangannya terus merajuk. Setelah berpikir sejenak, dengan berat hati ia akhirnya mengalah. "Baiklah, baiklah, Nak. Ibu akan menemanimu ke pasar. Tapi kita hanya bisa melihat-lihat saja, ya. Uang kita tidak cukup untuk membeli barang mahal," ujarnya pasrah. Anak gadis itu langsung bersorak gembira, tanpa mempedulikan kelelahan dan kesedihan di wajah ibunya.

 

Setelah ibunya setuju untuk menemaninya ke pasar, anak gadis itu tidak langsung beranjak. Ada satu hal lagi yang mengganjal pikirannya. Ia akan pergi ke pasar yang ramai, tempat banyak orang akan melihatnya. Ia tidak mau orang-orang melihatnya berjalan bersama ibunya yang berpakaian lusuh dan berwajah tua. Ia takut orang-orang akan mengejeknya atau mengetahui latar belakangnya yang miskin.

Dengan ragu-ragu, namun tetap didorong oleh rasa gengsinya yang tinggi, ia mendekati ibunya lagi. "Ibu, ada satu syarat lagi kalau Ibu mau ikut denganku ke pasar," katanya dengan nada datar, mencoba menyembunyikan maksudnya yang sebenarnya. Ibunya menatapnya dengan heran, bertanya-tanya syarat apa lagi yang akan diminta oleh anaknya kali ini.

"Aku mau Ibu berjalan di belakangku saat kita pergi ke pasar nanti. Jangan berjalan di sampingku atau di depanku," lanjut sang anak. Ibunya terkejut mendengar permintaan aneh itu, namun belum sempat ia bertanya alasannya, sang anak melanjutkan dengan syarat yang lebih menyakitkan hati.

"Dan... kalau nanti di jalan ada orang yang bertanya siapa engkau, Ibu harus bilang kalau Ibu adalah pembantuku. Jangan mengaku sebagai ibuku. Aku malu kalau orang tahu Ibu adalah ibuku," ucapnya lirih namun tegas. Kata-kata itu bagaikan sambaran petir di siang bolong bagi sang ibu. Hatinya terasa perih luar biasa mendengar permintaan yang begitu menghina dari anak kandungnya sendiri.

Air mata sang ibu hampir menetes, namun ia berusaha menahannya. Ia menatap wajah cantik putrinya, mencari sedikit saja rasa hormat atau kasih sayang di sana, namun yang ia temukan hanyalah keangkuhan dan rasa malu. Meski hatinya hancur berkeping-keping, rasa sayangnya yang begitu besar membuatnya sekali lagi mengalah. Dengan suara bergetar menahan tangis, ia berkata, "Baiklah, Nak. Jika itu maumu, Ibu akan melakukannya."

 

Maka berangkatlah ibu dan anak itu menuju pasar desa. Sesuai perjanjian, sang anak berjalan beberapa langkah di depan dengan langkah anggun dan dagu terangkat. Ia mengenakan pakaian terbaik yang dimilikinya, meskipun tetap terlihat sederhana dibandingkan pakaian anak orang kaya. Rambutnya disanggul rapi, dan wajahnya dipoles sedikit sisa bedak yang dimilikinya. Ia sengaja berjalan pelan, membiarkan orang-orang mengagumi kecantikannya.

Sementara itu, sang ibu berjalan tertatih-tatih di belakangnya. Pakaiannya masih sama, lusuh dan penuh tambalan. Di punggungnya, ia membawa sebuah keranjang kosong, seolah-olah benar-benar seorang pembantu yang mengikuti majikannya. Setiap langkah terasa berat, bukan karena beban keranjang, tetapi karena beban kesedihan dan penghinaan yang ditanggungnya. Hatinya menangis dalam diam.

Perjalanan menuju pasar melewati perkampungan penduduk. Seperti yang sudah diduga, kecantikan sang anak menarik perhatian setiap orang yang mereka lewati. Para pemuda menatapnya kagum, sementara para ibu berbisik-bisik memuji keelokan parasnya. Tentu saja, perhatian mereka juga tertuju pada wanita tua yang berjalan di belakangnya.

Seorang pemuda memberanikan diri bertanya kepada anak gadis itu, "Wahai gadis cantik, sungguh memesona parasmu. Boleh kami tahu, siapakah gerangan wanita tua yang berjalan di belakangmu itu?" Dengan senyum manis yang dibuat-buat, namun dengan nada dingin, sang anak menjawab sesuai skenario yang telah ia siapkan, "Oh, dia? Dia itu pembantuku."

Jawaban itu terdengar jelas oleh sang ibu yang berjalan tepat di belakangnya. Hatinya bagai tersayat sembilu. Ia hanya bisa menundukkan kepala dalam-dalam, menyembunyikan air mata yang mulai menggenang di pelupuk matanya. Sepanjang sisa perjalanan, pertanyaan serupa datang berulang kali dari orang-orang yang berbeda, dan setiap kali pula sang anak memberikan jawaban yang sama, "Dia pembantuku." Setiap jawaban adalah tusukan baru di hati ibunya yang sudah terluka parah.

 

Mereka akhirnya tiba di pasar desa yang ramai. Suasana riuh rendah oleh suara penjual yang menawarkan dagangan dan pembeli yang menawar harga. Sang anak gadis semakin mengangkat dagunya, merasa bangga menjadi pusat perhatian di tengah keramaian. Ia berjalan melewati lapak-lapak penjual kain dan perhiasan, matanya berbinar melihat barang-barang indah yang dipajang.

Ibunya terus mengikuti di belakang dalam diam, menahan perasaan yang berkecamuk di dalam dada. Ia melihat putrinya begitu menikmati perhatian orang, sementara dirinya merasa semakin kecil dan terhina. Beban di hatinya terasa semakin berat, melebihi beban keranjang yang dibawanya. Ia mencoba mengingatkan dirinya untuk bersabar demi putrinya.

Namun, kesabaran manusia ada batasnya. Ketika mereka melewati kerumunan orang yang lebih besar, seorang kenalan lama dari desa sebelah menyapa sang anak dengan ramah. Setelah memuji kecantikannya, orang itu menunjuk ke arah ibu yang berdiri di belakangnya dan bertanya dengan nada ingin tahu, "Gadis manis, apakah itu ibumu yang berjalan bersamamu?"

Ini adalah pertanyaan langsung yang menunjuk pada hubungan ibu-anak. Untuk kesekian kalinya, di hadapan banyak orang, dengan suara yang lebih keras agar didengar jelas, sang anak menjawab dengan ketus, "Bukan! Sudah kubilang, dia ini hanya budakku, pembantuku!" Jawaban ini adalah pukulan terakhir yang menghancurkan pertahanan hati sang ibu.

Air mata yang sedari tadi ditahannya kini tumpah ruah tak terbendung lagi. Rasa sakit, sedih, kecewa, dan terhina bercampur aduk menjadi satu. Ia merasa usahanya membesarkan anak, semua pengorbanan dan kasih sayangnya, dibalas dengan penghinaan yang begitu kejam. Ia tidak sanggup lagi menahan beban ini. Langkahnya terhenti seketika di tengah keramaian pasar.

 

Sang ibu berdiri mematung di tengah keramaian pasar, air matanya mengalir deras membasahi pipinya yang keriput. Ia tidak lagi peduli pada tatapan heran orang-orang di sekitarnya. Hatinya begitu hancur, rasanya lebih sakit daripada disayat pisau paling tajam sekalipun. Ia merasa tidak ada lagi gunanya kesabaran yang selama ini ia pelihara.

Dengan tubuh bergetar menahan isak tangis dan amarah yang terpendam, ia menengadahkan wajahnya ke langit. Langit yang tadinya cerah kini seolah ikut merasakan kepedihan hatinya. Awan-awan kelabu mulai berkumpul, menutupi sinar matahari. Angin bertiup sedikit lebih kencang, membawa suasana yang berbeda di pasar yang ramai itu.

Di tengah isak tangisnya, sang ibu mengangkat kedua tangannya dan mulai berdoa kepada Allah, Sang Maha Pencipta. Ia mencurahkan seluruh kepedihan hatinya dalam doa. "Ya Allah, Tuhanku Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Hamba tidak sanggup lagi menanggung penghinaan ini. Hamba telah berusaha menjadi ibu yang baik, namun anak hamba membalasnya dengan perlakuan yang begitu menyakitkan hati."

"Ia malu mengakui hamba sebagai ibunya, darah dagingnya sendiri. Ia lebih memilih menyebut hamba sebagai pembantunya di depan orang banyak. Hati hamba hancur, ya Allah. Hukumlah anak durhaka ini sesuai dengan perbuatannya!" Doa itu diucapkan dengan penuh kepasrahan dan kesedihan yang mendalam. Bukan karena benci, tapi karena rasa sakit hati yang sudah tak tertahankan lagi.

Seketika setelah doa itu terucap, langit menjadi gelap gulita. Petir menyambar dengan suara menggelegar, membuat orang-orang di pasar menjerit ketakutan. Hujan mulai turun rintik-rintik, seolah langit pun ikut menangisi nasib sang ibu malang. Sang anak gadis yang tadinya berjalan angkuh, kini berhenti dan menoleh ke belakang dengan perasaan heran dan sedikit takut melihat perubahan cuaca yang drastis dan ibunya yang berdoa sambil menangis.

 

Saat sang anak menoleh ke arah ibunya yang sedang berdoa dalam tangis, tiba-tiba ia merasakan sesuatu yang aneh terjadi pada tubuhnya. Dimulai dari ujung kakinya, ia merasakan sensasi dingin dan kaku yang menjalar perlahan ke atas. Ia mencoba melangkah, namun kakinya terasa berat dan sulit digerakkan. Dengan panik, ia melihat ke bawah dan betapa terkejutnya ia mendapati kakinya mulai berubah warna menjadi kelabu dan mengeras seperti batu.

Rasa panik dan ketakutan luar biasa langsung menyergapnya. Ia menyadari bahwa ini adalah akibat dari doa ibunya, hukuman atas kedurhakaannya. Kekakuan itu terus menjalar naik ke betis, lutut, hingga pahanya. Dalam keputusasaan, ia menjerit memanggil ibunya, "Ibu! Ibu! Ampuni aku, Ibu! Aku salah! Ampuni anakmu ini, Ibu!" Air mata penyesalan mulai mengalir deras di pipinya, namun semuanya sudah terlambat.

Perubahan itu terjadi begitu cepat. Separuh tubuhnya hingga pinggang sudah berubah menjadi batu yang dingin dan keras. Ia masih terus menangis dan meraung-raung meminta ampun, menggapai-gapai ke arah ibunya, namun sang ibu hanya bisa berdiri mematung sambil menangis pilu menyaksikan hukuman Allah menimpa putrinya. Batu itu terus menjalar ke dada, leher, hingga akhirnya seluruh tubuhnya berubah menjadi batu, menyisakan air mata yang terus mengalir dari kedua mata batu tersebut.

Legenda Batu Menangis ini menyimpan pesan moral yang sangat kuat dan relevan sepanjang masa. Pelajaran utama adalah tentang pentingnya menghormati dan memuliakan orang tua, terutama ibu yang telah mengandung, melahirkan, dan membesarkan kita dengan penuh pengorbanan. Durhaka kepada orang tua, menyakiti hati mereka, apalagi sampai malu mengakui mereka, adalah perbuatan tercela yang akan mendatangkan akibat buruk. Allah tidak Rido terhadap anak yang durhaka.

Kisah ini juga menjadi peringatan keras tentang bahaya sifat sombong, angkuh, dan terlalu mementingkan penampilan fisik atau materi (cinta dunia). Kecantikan atau kekayaan tidak akan ada artinya jika tidak diimbangi dengan hati yang baik dan budi pekerti yang luhur. Terlalu fokus pada hal-hal duniawi dan melupakan nilai-nilai kemanusiaan serta hubungan kekeluargaan dapat membawa kehancuran. Kesombongan karena merasa lebih baik dari orang lain, terutama dari ibu sendiri, adalah sumber malapetaka.

Selanjutnya, legenda ini mengajarkan tentang penyesalan yang selalu datang terlambat. Permohonan maaf sang anak tidak lagi berguna ketika kutukan telah menimpanya. Ini menjadi pengingat bagi kita semua untuk selalu berbuat baik, menghargai orang tua, dan mensyukuri apa yang kita miliki selagi masih ada waktu, sebelum semuanya terlambat dan hanya penyesalan yang tersisa. Batu yang terus menangis menjadi simbol abadi dari penyesalan yang tak berkesudahan atas kedurhakaan.

Konon, batu jelmaan anak durhaka itu masih ada hingga kini di suatu tempat di Kalimantan Barat, dan dari celah batu itu masih sering keluar tetesan air yang dipercaya sebagai air mata penyesalan sang anak gadis yang tak pernah berhenti. Batu itu menjadi monumen pengingat bagi siapa saja yang mendengar kisahnya agar selalu menghormati ibu dan menjauhi sifat sombong.

Demikianlah kisah ini diceritakan, segala kebenaran detailnya kita kembalikan kepada Allah, Tuhan yang Maha Kuasa.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Legenda Putri Gunung Ledang, Cerita Rakyat Malaka

Kisah Legenda Puteri Junjung Buih, Cerita Rakyat Kalimantan

Kisah Gunung Sumbing: Sejarah, Legenda dan Cerita Mistis