Kisah Legenda Asal Usul Nama Cirebon

 

 


Alkisah, di tatar Pasundan berdirilah sebuah kerajaan agung bernama Pajajaran, dipimpin oleh seorang raja arif bijaksana bergelar Prabu Siliwangi. Dari pernikahannya dengan Nyi Subang Larang, seorang putri yang taat beragama, Sang Prabu dikaruniai tiga orang putra-putri, yaitu Pangeran Walangsungsang, Nyi Mas Rara Santang, dan Pangeran Raja Sengara. Ketiganya dibesarkan dalam lingkungan istana yang serba berkecukupan dan penuh kehormatan, namun dua di antaranya menyimpan sebuah keresahan mendalam di dalam kalbu mereka.

Pangeran Walangsungsang dan adiknya, Nyi Mas Rara Santang, telah menyerap ajaran Islam yang diwariskan oleh ibunda mereka. Ajaran tauhid tentang keesaan Allah telah tertanam kuat, membuat mereka memandang gemerlap kehidupan istana dengan cara yang berbeda. Ritual dan upacara keagungan kerajaan yang berlandaskan tradisi leluhur terasa kosong dan tidak mampu mengisi kekosongan jiwa yang mereka rasakan. Panggilan untuk mencari hakikat kebenaran sejati kian hari kian menguat.

Pangeran Walangsungsang sering menyendiri, merenungkan makna dan tujuan hidup yang lebih tinggi daripada sekadar takhta dan kekuasaan duniawi. Ia mendambakan sebuah pencerahan yang dapat menuntun jalannya. Demikian pula Nyi Mas Rara Santang, seorang putri berparas ayu yang lebih merindukan keindahan iman daripada kemilau perhiasan. Keduanya kerap berbincang secara diam-diam, saling meneguhkan niat untuk mencari seorang guru mursyid yang dapat membimbing mereka.

Kegelisahan tersebut semakin memuncak tatkala Prabu Siliwangi menunjukkan sikap kurang berkenan terhadap keyakinan yang dianut kedua anaknya. Sang Prabu mencemaskan bahwa ajaran baru ini dapat mengikis adat istiadat dan tatanan kerajaan yang telah mapan selama ratusan tahun. Perbedaan pandangan ini lantas menciptakan jarak antara ayah dan anak, membawa mendung ketegangan di lingkungan istana Pajajaran yang megah.

Pada akhirnya, dengan hati yang bulat dan tekad yang membaja, didorong oleh kerinduan yang mendalam terhadap ilmu agama, Pangeran Walangsungsang dan Nyi Mas Rara Santang mengambil sebuah keputusan besar. Mereka akan meninggalkan kemegahan istana, menanggalkan segala atribut kebangsawanan, dan memulai sebuah pengembaraan suci untuk mencari cahaya kebenaran serta menggapai Rido dari Allah Yang Maha Kuasa.

 

Di keheningan malam, saat istana terlelap dalam tidurnya, Pangeran Walangsungsang dan Nyi Mas Rara Santang melangkah keluar gerbang secara rahasia. Mereka telah menanggalkan busana sutra kebesaran mereka, menggantinya dengan pakaian sederhana layaknya rakyat jelata. Langkah kaki mereka terasa mantap menembus pekatnya malam, dengan satu-satunya bekal berupa keyakinan teguh dan secercah harapan untuk menemukan guru sejati di jalan Allah. Ini bukanlah sebuah pelarian, melainkan sebuah perjalanan hijrah yang agung.

Mereka berjalan tanpa arah yang pasti, menuruni lembah-lembah curam, menyeberangi aliran sungai yang deras, dan mendaki perbukitan yang menjulang. Setiap jengkal perjalanan adalah ujian atas kesabaran dan keteguhan iman. Berbagai rintangan menghadang di depan mata, dari ancaman binatang buas yang mengintai di balik rimbunnya hutan hingga bahaya perampok di jalanan yang sunyi. Namun, setiap cobaan yang berhasil dilalui justru semakin menebalkan keyakinan mereka.

Selama masa pengembaraan itu, keduanya menyambung hidup dengan cara yang amat bersahaja. Mereka memakan buah-buahan dan umbi-umbian yang disediakan oleh alam, serta beristirahat di mana pun malam menjelang, beratapkan langit dan beralaskan bumi. Pangeran Walangsungsang dengan sigap menggunakan ilmunya untuk melindungi sang adik dari segala mara bahaya, sementara Nyi Mas Rara Santang tiada henti memanjatkan doa, memohon perlindungan dan petunjuk dari Sang Maha Pencipta.

Kabar mengenai dua pengembara mulia yang tengah mencari ilmu kebenaran ini mulai tersebar dari mulut ke mulut di antara penduduk yang mereka temui. Beberapa orang yang iba dan menaruh simpati kemudian memberikan sebuah petunjuk berharga. Mereka disarankan untuk berjalan menuju pesisir utara, sebab di sana bermukim seorang ulama agung yang terkenal memiliki kedalaman ilmu agama dan keluhuran budi pekerti.

Petunjuk tersebut laksana cahaya fajar yang menyingsing di ufuk timur, memberikan harapan dan semangat yang baru. Dengan tujuan yang kini lebih jelas, Pangeran Walangsungsang dan Nyi Mas Rara Santang pun mengarahkan langkah mereka menuju sebuah tempat bernama Pasambangan. Di sanalah, menurut kabar yang mereka dengar, seorang guru suci bernama Syekh Nurjati tengah menyebarkan ajaran Islam dengan penuh kedamaian.

 

Setelah menempuh perjalanan jauh yang menguras tenaga, Pangeran Walangsungsang dan Nyi Mas Rara Santang akhirnya tiba di Padepokan Giri Amparan Jati. Padepokan yang asri dan damai ini berada di wilayah Pasambangan, dipimpin langsung oleh seorang ulama besar yang kharismatik bernama Syekh Nurjati. Kedatangan dua bangsawan dari Pajajaran ini disambut dengan penuh kehangatan oleh sang guru, yang dengan mata batinnya dapat melihat kesungguhan niat mereka.

Tanpa menyembunyikan jati diri mereka, keduanya mengutarakan maksud dan tujuan perjalanan mereka, yaitu untuk memeluk agama Islam secara utuh dan memohon kesediaan Syekh Nurjati untuk menerima mereka sebagai murid. Dengan tangan terbuka dan senyum yang meneduhkan, Syekh Nurjati menerima keduanya. Di bawah bimbingan langsung sang guru, mereka mulai menyelami samudra ilmu Islam, dari dasar-dasar akidah, fikih, hingga tasawuf.

Proses menuntut ilmu ini mengubah pribadi keduanya secara mendalam. Pangeran Walangsungsang, yang dulunya adalah pangeran perkasa, kini menjadi seorang santri yang tawadu dan tekun dalam belajar. Untuk menandai dimulainya lembaran hidup yang baru, Syekh Nurjati memberinya sebuah nama baru, Ki Samadullah. Ia menunjukkan kecerdasan yang cemerlang dan semangat yang menyala-nyala dalam menyerap setiap ajaran.

Nyi Mas Rara Santang pun tak kalah gigihnya. Ia mendalami ilmu-ilmu keislaman dengan penuh kesungguhan hati. Kecantikan lahiriahnya kini bersanding dengan keindahan akhlak dan kedalaman imannya, menjadikannya sosok yang sangat dihormati dan menjadi teladan bagi para santriwati lain di padepokan. Ia membuktikan bahwa kemuliaan sejati seorang wanita terletak pada ketakwaannya.

Setelah beberapa tahun membimbing mereka, Syekh Nurjati melihat ada potensi kepemimpinan dan dakwah yang sangat besar pada diri Ki Samadullah. Sang guru merasa ilmu yang dimiliki muridnya sudah cukup untuk diamalkan. Maka, ia pun memberikan sebuah amanah besar, yaitu menugaskan Ki Samadullah untuk membuka sebuah permukiman baru di kawasan hutan pesisir, sebagai langkah awal untuk menyebarkan ajaran Islam lebih luas lagi.

 

Berbekal doa dan restu dari Syekh Nurjati, Ki Samadullah pun berangkat untuk melaksanakan tugas mulianya. Ia berjalan menuju sebuah kawasan hutan belantara yang sangat lebat di pesisir, sebelah selatan dari padepokan. Wilayah tersebut merupakan tanah rawa yang dipenuhi semak belukar dan alang-alang setinggi manusia, serta dinaungi pepohonan besar yang membuatnya tampak angker dan menyeramkan bagi masyarakat sekitar.

Namun, Ki Samadullah tidak merasakan gentar sedikit pun. Dengan tawakal dan keyakinan penuh akan pertolongan Allah, ia mulai menebangi pohon-pohon besar dan membabat rimbunnya alang-alang dengan kedua tangannya sendiri. Semangat dan kegigihannya yang luar biasa itu perlahan menarik perhatian penduduk dari dusun-dusun terdekat yang mengamati dari kejauhan. Mereka merasa takjub dan heran melihat seorang pendatang seorang diri berani menjamah hutan yang mereka takuti.

Melihat kesungguhan hati Ki Samadullah yang bekerja dari pagi hingga petang tanpa kenal lelah, hati para penduduk pun mulai tergerak. Satu per satu dari mereka memberanikan diri untuk mendekat dan menawarkan bantuan. Dengan membawa parang, kapak, dan peralatan sederhana lainnya, mereka bergabung dalam pekerjaan besar itu. Di bawah arahan Ki Samadullah, yang kemudian mendapat julukan Ki Gedeng Alang-Alang, pekerjaan membuka hutan menjadi jauh lebih ringan.

Selama proses membuka lahan, Ki Gedeng Alang-Alang tidak hanya berperan sebagai pemimpin kerja, tetapi juga sebagai pembimbing rohani. Di waktu istirahat, ia duduk bersama para pengikutnya dan mengajarkan tentang kebesaran Allah, pentingnya kerja keras, semangat gotong royong, dan keutamaan bersyukur. Tutur katanya yang lembut serta sikapnya yang santun membuat masyarakat semakin menaruh hormat dan simpati kepadanya.

Perlahan namun pasti, hutan yang tadinya gelap dan angker mulai tersibak oleh cahaya matahari. Lahan yang bersih dan lapang mulai terhampar luas, siap untuk didirikan gubuk-gubuk sederhana sebagai tempat tinggal. Usaha yang dilandasi oleh niat suci dan kerja keras tanpa henti itu akhirnya menampakkan hasilnya, menjadi benih bagi lahirnya sebuah peradaban baru di pesisir utara tanah Jawa.

 

Kerja keras yang dipimpin oleh Ki Gedeng Alang-Alang akhirnya berbuah manis. Di atas hamparan tanah yang tadinya merupakan hutan belantara, kini telah berdiri pondok-pondok kayu sederhana dengan atap dari dedaunan kering. Asap putih mulai mengepul dari dapur-dapur kecil, menjadi pertanda bahwa denyut kehidupan telah dimulai. Sebuah pedukuhan kecil yang tentram dan damai telah lahir dari semangat gotong royong dan ketulusan niat.

Sebagai pendiri dan pemimpin, Ki Gedeng Alang-Alang menata pedukuhan tersebut dengan sangat teratur dan bijaksana. Langkah pertama yang dilakukannya adalah membangun sebuah bangunan yang sedikit lebih besar dari yang lain untuk dijadikan sebagai tempat ibadah bersama atau tajug. Di tajug inilah ia secara rutin membimbing para penduduk untuk mengenal dan mendalami ajaran Islam, menjadikannya pusat kegiatan spiritual masyarakat.

Berita mengenai kemunculan pedukuhan baru yang subur dan damai di tepi pantai itu menyebar dengan cepat dari satu daerah ke daerah lain. Hal ini menarik minat banyak pendatang dari berbagai penjuru, seperti dari tanah Sunda, Jawa, bahkan para saudagar dari seberang lautan. Mereka datang dengan harapan untuk memulai hidup baru, tertarik oleh tatanan masyarakat yang adil di bawah kepemimpinan Ki Gedeng Alang-Alang.

Seiring berjalannya waktu, pedukuhan itu pun tumbuh semakin ramai dan berkembang pesat. Para penduduk mulai mengolah lahan yang subur untuk bertani, sementara yang lainnya memanfaatkan hasil laut yang melimpah untuk menopang kehidupan. Suasana kehidupan diwarnai oleh semangat persaudaraan Islam yang begitu kental. Tidak ada lagi jurang pemisah berdasarkan status sosial, semua warga hidup berdampingan dengan rukun dan saling membantu.

Keberhasilan ini menjadi bukti nyata bahwa niat yang tulus jika dibarengi dengan usaha yang sungguh-sungguh dan tawakal kepada Allah, niscaya akan membuahkan hasil yang gemilang. Pedukuhan kecil yang lahir dari hutan alang-alang itu dengan cepat bertransformasi menjadi sebuah pusat kegiatan ekonomi dan sosial yang baru. Namun, pedukuhan yang ramai ini pada saat itu belum memiliki sebuah nama resmi.

 

Dengan bertambahnya penduduk, kegiatan ekonomi di pedukuhan baru itu pun semakin hidup dan beragam. Salah satu sumber daya alam yang paling melimpah di perairan sekitar adalah udang-udang kecil, yang oleh masyarakat setempat dikenal dengan nama rebon. Hampir setiap hari, para penduduk yang bekerja sebagai nelayan akan pulang dengan membawa keranjang-keranjang penuh berisi rebon hasil tangkapan mereka.

Rebon yang melimpah ini tidak hanya disantap sebagai lauk pauk sehari-hari. Sebagian besar hasil tangkapan diolah menjadi produk turunan yang memiliki nilai ekonomi lebih tinggi dan lebih tahan lama, yaitu terasi. Terasi buatan pedukuhan ini sangat terkenal karena kualitasnya. Selain itu, mereka juga membuat petis dan berbagai olahan lainnya yang berbahan dasar rebon.

Dalam proses pembuatan terasi, rebon-rebon tersebut dicampurkan dengan air garam lalu dijemur dan difermentasi. Air sisa dari proses pembuatan terasi yang berasal dari rebon ini kemudian dikenal luas oleh masyarakat dengan sebutan Cai Rebon. Dalam bahasa Sunda, cai berarti air. Sehingga, Cai Rebon memiliki arti air rebon atau air sisa pembuatan terasi. Istilah ini menjadi sangat lazim diucapkan oleh para penduduk.

Dari penyebutan yang berulang-ulang inilah, nama pedukuhan itu secara alamiah mulai terbentuk. Orang-orang dari luar daerah yang datang untuk berdagang atau berkunjung seringkali menyebut tempat itu sebagai negeri Cai Rebon. Lambat laun, dalam pelafalan sehari-hari, ucapan Cai Rebon menyatu dan menjadi lebih ringkas, yaitu Cirebon. Nama ini kemudian diterima dan melekat sebagai nama resmi desa mereka yang terus berkembang.

Selain nama Cirebon yang berasal dari aktivitas ekonomi utamanya, pedukuhan ini juga dikenal dengan sebutan lain, yaitu Grage. Nama Grage diyakini berasal dari gabungan kata Negara Gede, yang bermakna sebuah negeri atau kerajaan yang agung dan besar. Sebutan ini mencerminkan visi dan cita-cita besar para pendirinya, bahwa kelak Cirebon akan menjadi sebuah kesultanan yang besar dan berpengaruh.

 

Perkembangan Pedukuhan Cirebon berjalan dengan sangat pesat. Dari sebuah desa nelayan yang sederhana, Cirebon menjelma menjadi sebuah bandar atau pelabuhan dagang yang ramai dikunjungi para saudagar. Kapal-kapal dagang dari Arab, Tiongkok, Gujarat, dan berbagai wilayah di Nusantara berlabuh untuk melakukan transaksi niaga. Melihat kemajuan ini, Ki Gedeng Alang-Alang merasa perlu untuk membentuk sebuah pemerintahan yang lebih formal dan terstruktur.

Setelah merasa Cirebon cukup mapan, Ki Samadullah menunaikan rukun Islam yang kelima dengan berlayar ke Tanah Suci Mekah. Sekembalinya dari ibadah haji, ia mendapat gelar Haji Abdullah Iman. Ia kemudian mendirikan sebuah keraton sebagai pusat pemerintahan dan menyusun tatanan masyarakat yang lebih maju. Ia pun kembali menggunakan nama lahirnya dengan tambahan gelar kehormatan, sehingga ia dikenal luas dengan nama Pangeran Cakrabuana.

Di bawah kepemimpinan Pangeran Cakrabuana, Cirebon memasuki era kemakmuran. Ia membangun sebuah istana yang megah dan indah, yang ia beri nama Dalem Agung Pakungwati. Nama ini diabadikan dari nama putri tunggal kesayangannya, Nyi Mas Pakungwati. Istana ini berdiri kokoh sebagai simbol kebesaran Cirebon sekaligus pusat kendali pemerintahan yang adil dan berwibawa.

Pembangunan tidak hanya berfokus pada aspek fisik dan ekonomi semata. Pangeran Cakrabuana juga menaruh perhatian yang sangat besar pada syiar agama Islam. Ia mendirikan banyak masjid dan tajug di berbagai penjuru negeri, serta mengundang para ulama dari berbagai daerah untuk datang dan menyebarkan ilmu di Cirebon. Kebijakannya yang terbuka dan toleran menjadikan Cirebon sebagai pusat penyebaran Islam yang damai di tanah Pasundan.

Meskipun telah menjadi seorang penguasa besar yang dihormati, Pangeran Cakrabuana tidak pernah melupakan jati dirinya. Ia tetap menjadi seorang pemimpin yang rendah hati, dekat dengan rakyatnya, dan senantiasa bersyukur atas nikmat Allah. Masa kepemimpinannya menjadi landasan yang kokoh bagi berdirinya Kesultanan Cirebon, sebuah kerajaan maritim yang kelak akan disegani di seluruh Nusantara.

 

Roda waktu terus berputar, usia Pangeran Cakrabuana pun semakin senja. Tenaganya memang tidak lagi sekuat di masa muda, namun kobaran semangatnya untuk melihat Cirebon terus maju dan berjaya tidak pernah padam sedikit pun. Dengan kearifannya, ia mulai memikirkan perihal suksesi kepemimpinan. Ia sadar betul bahwa Cirebon membutuhkan seorang pemimpin baru yang lebih muda, energik, dan memiliki pemahaman agama serta ilmu tata negara yang mendalam.

Di lain pihak, adiknya, Nyi Mas Rara Santang, yang telah menikah dengan Syarif Abdullah Mahmud, seorang penguasa di Mesir, telah dikaruniai seorang putra yang saleh dan cerdas bernama Syarif Hidayatullah. Sejak belia, Syarif Hidayatullah telah menunjukkan kecerdasan yang luar biasa. Ia berkelana menuntut ilmu kepada para ulama terkemuka di berbagai negeri di Timur Tengah hingga menjadi seorang alim ulama yang mumpuni.

Setelah merasa ilmunya cukup, Syarif Hidayatullah tergerak hatinya untuk kembali ke tanah leluhur ibunya, Pulau Jawa, dengan niat suci untuk berdakwah. Kedatangannya di Cirebon disambut dengan suka cita yang tak terhingga oleh sang paman, Pangeran Cakrabuana. Sang Pangeran melihat pada diri keponakannya itu sosok pemimpin ideal yang selama ini ia nanti dan doakan untuk melanjutkan perjuangannya.

Dengan hati yang sepenuhnya ikhlas dan memohon Rido Allah, pada Tahun 1479 Masehi, Pangeran Cakrabuana memutuskan untuk menyerahkan takhta Kesultanan Cirebon kepada keponakannya, Syarif Hidayatullah. Prosesi penyerahan kekuasaan ini berlangsung dengan penuh khidmat. Pangeran Cakrabuana melepaskan jabatannya sebagai Sultan dan memilih untuk menjadi penasihat agung, membimbing sang penerus dari belakang layar hingga akhir hayatnya.

Di bawah kepemimpinan Syarif Hidayatullah, yang kemudian lebih dikenal dengan gelarnya, Sunan Gunung Jati, Cirebon mencapai puncak keemasannya. Ia memproklamasikan Cirebon sebagai kesultanan yang merdeka dan berdaulat penuh, serta menjadikannya sebagai salah satu pusat dakwah Islam terbesar di Nusantara. Sunan Gunung Jati, sebagai salah satu dari Wali Songo, melanjutkan warisan luhur pamannya, membawa Cirebon menjadi puser bumi, pusat peradaban dan cahaya Islam di Tanah Jawa.

Kisah asal-usul Cirebon mengajarkan kita bahwa kebesaran sejati tidak lahir dari kemewahan, melainkan dari keteguhan iman, keberanian untuk meninggalkan zona nyaman, kerja keras tanpa pamrih, dan kepemimpinan yang adil. Sebuah niat suci yang disertai dengan usaha yang gigih dan tawakal kepada Allah akan selalu membuahkan hasil yang gemilang dan bermanfaat bagi banyak orang, melintasi generasi.

Demikianlah kisah ini diceritakan, segala kebenaran detailnya kita kembalikan kepada Allah, tuhan pemilik kisah kehidupan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Legenda Putri Gunung Ledang, Cerita Rakyat Malaka

Kisah Legenda Puteri Junjung Buih, Cerita Rakyat Kalimantan

Kisah Gunung Sumbing: Sejarah, Legenda dan Cerita Mistis