Kisah Legenda Asal Usul Nama Kota Tangerang
Pada pertengahan abad ke-17
Masehi, Kesultanan Banten mencapai puncak kemegahannya di bawah kepemimpinan
seorang sultan yang gigih dan pemberani, Sultan Ageng Tirtayasa. Visi beliau
adalah menjadikan Banten sebagai kesultanan Islam terbesar di Nusantara, dengan
kekuatan maritim dan perdagangan yang disegani dunia. Namun, cita-cita agung
ini berhadapan dengan tembok besar yang berdiri angkuh di sebelah timur, yaitu
markas besar Kompeni Belanda atau VOC di Batavia.
Sejak didirikan, Batavia telah
menjadi duri dalam daging bagi kedaulatan Banten. VOC dengan licik dan serakah
terus berupaya memperluas wilayah dan memonopoli jalur perdagangan
rempah-rempah. Mereka tidak segan menggunakan kekuatan militer untuk menekan
para penguasa lokal. Bagi Sultan Ageng Tirtayasa, keberadaan VOC di Batavia
bukan sekadar pesaing dagang, melainkan ancaman nyata bagi kedaulatan, agama, dan
kesejahteraan rakyat Banten.
Sungai Cisadane, sebuah sungai
besar yang membelah tanah Pasundan, menjadi garis perbatasan alamiah yang
sangat strategis. Wilayah di sepanjang tepian barat sungai ini adalah gerbang
utama dan benteng terdepan Kesultanan Banten. Menguasai dan memperkuat wilayah
ini berarti mengamankan jantung kesultanan dari agresi VOC yang bisa datang
kapan saja. Sultan memandang wilayah ini sebagai kunci untuk mempertahankan
kehormatan Banten.
Oleh karena itu, Sultan Ageng
Tirtayasa merumuskan sebuah kebijakan pertahanan yang berani. Beliau bertekad
untuk membangun serangkaian pusat pertahanan di sepanjang garis perbatasan
tersebut. Tujuannya tidak hanya untuk membendung laju ekspansi VOC, tetapi juga
untuk menciptakan wilayah penyangga yang makmur dan setia kepada Banten.
Rencana besar ini membutuhkan para pelaksana yang bukan hanya sakti, tetapi
juga memiliki kesetiaan tanpa batas.
Maka, perhatian sang Sultan
tertuju pada para ksatria terbaiknya. Beliau mulai mencari sosok-sosok yang
tepat untuk mengemban amanah suci ini, sebuah tugas yang akan menentukan nasib
Kesultanan Banten di masa depan. Inilah titik awal dari sebuah kisah perjuangan
di perbatasan, yang kelak akan melahirkan sebuah nama yang terukir abadi dalam
sejarah.
Untuk mewujudkan rencana
besarnya, Sultan Ageng Tirtayasa memanggil tiga orang ksatria bangsawan dari
Sumedang Larang yang telah mengabdi dengan setia kepada Banten. Mereka adalah
tiga bersaudara yang tersohor akan keberanian, kearifan, serta ilmu agamanya.
Ketiga ksatria tersebut bernama Raden Aria Wangsakara, Raden Aria Santika, dan
Raden Aria Yudhanegara. Ketiganya dipandang sebagai sosok yang paling layak
untuk memikul tugas berat di garis depan.
Di hadapan singgasana kesultanan,
Sultan Ageng Tirtayasa menyampaikan titahnya dengan suara yang tegas dan penuh
wibawa. Beliau memerintahkan ketiga Tumenggung tersebut untuk memimpin sebuah
misi suci ke wilayah perbatasan di tepi barat Sungai Cisadane. Misi utama
mereka adalah membangun pusat pertahanan, membuka lahan untuk pemukiman, dan
yang terpenting, menjaga setiap jengkal tanah Banten dari rongrongan Kompeni Belanda.
Tugas ini adalah sebuah
pertaruhan besar. Wilayah yang dituju sebagian besar masih berupa hutan lebat
yang dihuni binatang buas dan menyimpan berbagai rintangan alam. Lebih dari
itu, lokasi tersebut berada tepat di hadapan moncong meriam VOC di Batavia.
Setiap saat, patroli atau bahkan serangan dari pihak Kompeni bisa terjadi. Misi
ini menuntut keberanian, strategi, dan ketabahan yang luar biasa dari para
pemimpinnya.
Dengan hati yang mantap dan jiwa
yang dipenuhi kesetiaan, ketiga ksatria itu menerima titah Sultan. Mereka
bersujud dan bersumpah akan melaksanakan amanah tersebut hingga titik darah
penghabisan. Mereka menyadari bahwa tugas ini bukan sekadar perintah seorang
raja, tetapi sebuah panggilan jihad untuk membela tanah air dan agama dari cengkeraman
penjajah. Mereka melakukannya semata-mata demi kejayaan Banten dan untuk
mencari Rido dari Allah Yang Maha Kuasa.
Setelah segala persiapan matang,
rombongan besar yang terdiri dari para prajurit dan pengikut setia pun
berangkat. Mereka meninggalkan kemegahan keraton Banten menuju sebuah masa
depan yang penuh tantangan. Perjalanan mereka membelah belantara diiringi doa,
memulai sebuah babak baru yang akan menjadi cikal bakal lahirnya sebuah kota
besar di kemudian hari.
Pusat komando dari misi penting
ini dipercayakan kepada Raden Aria Wangsakara, yang tertua dan paling bijaksana
di antara ketiganya. Beliau memilih sebuah kawasan strategis yang kelak dikenal
dengan nama Lengkong Kyai sebagai pusat perjuangannya. Dari tempat inilah Raden
Aria Wangsakara, seorang pemimpin yang memadukan ketajaman ilmu perang dengan
kedalaman ilmu agama, mulai menata langkah perjuangannya.
Langkah pertama adalah membuka
hutan belantara untuk dijadikan lahan pemukiman dan pertanian. Ini adalah
pekerjaan yang sangat berat. Bersama ratusan pengikutnya, Raden Aria Wangsakara
bekerja tanpa kenal lelah, menebang pohon, membersihkan lahan, dan membuat
saluran air sederhana. Beliau memberi teladan dengan turun langsung ke
lapangan, memegang alat kerja, dan menyemangati pasukannya, menunjukkan bahwa
seorang pemimpin adalah pelayan bagi rakyatnya.
Tantangan tidak hanya datang dari
alam. Kelompok mereka harus senantiasa waspada terhadap patroli Kompeni Belanda
yang sering kali mencoba melakukan provokasi. Selain itu, gerombolan penjahat
yang memanfaatkan situasi rawan di perbatasan juga menjadi ancaman. Namun,
dengan kewibawaan dan kesaktian Raden Aria Wangsakara, semua gangguan itu
berhasil diatasi. Keamanan perlahan tercipta, dan denyut kehidupan baru mulai
terasa.
Di tengah kesibukan membangun
benteng dan pemukiman, Raden Aria Wangsakara tidak pernah melupakan perannya
sebagai seorang ulama. Beliau mendirikan tempat-tempat ibadah dan secara rutin
memberikan pengajaran Islam kepada para pengikut dan penduduk asli. Dakwahnya
yang lembut dan penuh hikmah berhasil menyentuh hati banyak orang, sehingga
ajaran tauhid untuk menyembah Allah tersebar dengan damai di tanah harapan
tersebut.
Perjuangan gigih Raden Aria
Wangsakara membuahkan hasil. Kawasan yang semula hutan angker kini berubah menjadi
pemukiman yang teratur, produktif, dan religius. Laporan keberhasilan ini
sampai ke telinga Sultan Ageng Tirtayasa, yang merasa bangga dan semakin yakin
bahwa pilihannya tidak salah. Lengkong Kyai telah menjadi basis pertahanan
pertama yang kokoh di perbatasan timur Kesultanan Banten.
Setelah pemukiman mulai kokoh dan
basis pertahanan terbentuk, Raden Aria Wangsakara merasa perlu adanya sebuah
penanda kedaulatan yang jelas dan permanen. Penanda ini berfungsi sebagai tapal
batas fisik yang tegas antara wilayah Kesultanan Banten dan wilayah yang
dikuasai VOC. Sebuah monumen yang akan menjadi simbol kehadiran dan kekuasaan
Banten yang tidak bisa diganggu gugat oleh siapapun.
Ide cemerlang ini segera
disampaikan kepada Sultan Ageng Tirtayasa di Banten dan mendapat restu penuh.
Lokasi pembangunan tugu dipilih dengan sangat cermat, yaitu di tepi barat
Sungai Cisadane. Tempat ini sangat ideal karena tugu tersebut akan terlihat
jelas oleh siapa pun yang berlayar di sungai, yang pada masa itu merupakan
jalur transportasi dan patroli utama, baik bagi Banten maupun bagi VOC.
Maka, dimulailah proyek
pembangunan tugu bersejarah itu. Pengerjaannya dilakukan secara gotong royong
oleh seluruh prajurit dan masyarakat. Mereka menggunakan batu kali dan
kayu-kayu terbaik agar tugu tersebut bisa berdiri kokoh dan megah. Pembangunan
ini bukanlah sekadar pekerjaan fisik, melainkan sebuah perayaan semangat
persatuan dan tekad bersama untuk mempertahankan kedaulatan tanah air.
Dalam bahasa Sunda kuno, sebuah
tugu penanda atau monumen peringatan dikenal dengan sebutan tengeran atau
tetenger. Maka, tugu yang dibangun oleh Raden Aria Wangsakara itu pun dikenal
oleh masyarakat luas sebagai tugu Tengeran. Fungsinya sangat jelas: sebagai
penanda wilayah. Siapapun yang melihat tugu itu dari arah timur akan tahu bahwa
mereka sedang mendekati wilayah kedaulatan Kesultanan Banten.
Tugu Tengeran itu pun berdiri
dengan gagah perkasa di tepi sungai. Keberadaannya memberikan rasa aman dan
bangga bagi rakyat Banten. Sebaliknya, bagi VOC di Batavia, tugu itu adalah
sebuah pesan yang tidak bisa diabaikan, sebuah peringatan keras untuk tidak
melewati batas yang telah ditetapkan. Tugu itu menjadi saksi bisu dari
pertaruhan harga diri dua kekuatan besar pada masanya.
Kehadiran tugu Tengeran yang menjulang
tinggi dengan cepat menjadi ciri khas utama kawasan tersebut. Bagi masyarakat,
baik penduduk lokal maupun para pendatang seperti pedagang dan musafir, tugu
itu menjadi patokan geografis yang paling mudah dikenali. Secara perlahan,
keberadaan tugu tersebut menyatu dengan identitas wilayah yang baru berkembang
itu.
Ketika orang-orang bepergian atau
membicarakan daerah yang dipimpin oleh Raden Aria Wangsakara, mereka tidak lagi
menyebutnya dengan nama generik seperti Hutan Cisadane atau Pemukiman Lengkong.
Mereka mulai menggunakan istilah yang lebih praktis dan dikenal semua orang.
Mereka merujuk pada ikon utamanya, yaitu tugu penanda itu sendiri.
Maka, lahirlah sebuah nama baru
untuk wilayah tersebut secara alamiah. Jika ada yang bertanya hendak ke mana
tujuan mereka, jawabannya adalah, menuju ke Tengeran. Nama ini berarti sebuah
tempat di mana terdapat tugu penanda. Penggunaan nama Tengeran menjadi begitu
populer dan menyebar dari mulut ke mulut, hingga akhirnya diterima sebagai
sebutan tidak resmi bagi kawasan perbatasan tersebut.
Nama Tengeran sendiri membawa
makna yang mendalam. Ia berarti penanda atau pertanda. Nama ini secara sempurna
merefleksikan fungsi awal dan semangat pendirian wilayah itu, yaitu sebagai
penanda kedaulatan Kesultanan Banten di hadapan kekuatan asing. Nama Tengeran
menjadi identitas kolektif pertama bagi komunitas yang dibangun di atas fondasi
perjuangan dan kerja keras.
Di bawah nama Tengeran, kehidupan
terus bertumbuh. Aktivitas pertanian, perniagaan, dan keagamaan berjalan dengan
harmonis. Wilayah ini menjadi bukti nyata dari keberhasilan visi Sultan Ageng
Tirtayasa dan kepemimpinan Raden Aria Wangsakara. Nama Tengeran, yang lahir
dari sebuah tugu batu, telah menjadi nama sebuah harapan baru bagi ribuan jiwa
yang berlindung di bawahnya.
Masa damai di Tengeran tidak
berlangsung abadi. Sebagaimana telah diperkirakan oleh Sultan Ageng Tirtayasa,
VOC di Batavia terus menunjukkan watak aslinya yang agresif dan ekspansif.
Perjanjian batas wilayah yang disimbolkan oleh tugu Tengeran sering kali mereka
langgar. Kompeni terus mencari cara untuk melemahkan pengaruh Banten dan
menguasai jalur ekonomi di sekitar Sungai Cisadane.
Tugu Tengeran yang berdiri di
perbatasan menjadi saksi bisu dari eskalasi konflik yang kian memanas. Patroli
bersenjata VOC kerap berlayar hingga mendekati wilayah Banten, melakukan
provokasi dan intimidasi terhadap para penjaga perbatasan. Wilayah Tengeran
yang semula merupakan penanda batas damai, kini berubah menjadi garis depan
pertahanan yang penuh ketegangan.
Raden Aria Wangsakara dan para
pejuang Banten tidak pernah gentar. Mereka memperkuat benteng pertahanan,
menambah jumlah pos penjagaan, dan menyiagakan prajurit siang dan malam.
Suasana kewaspadaan menyelimuti seluruh pemukiman. Gema genderang perang seolah
terdengar semakin dekat, terbawa angin dari arah timur, dari benteng VOC di
Batavia.
Pertempuran-pertempuran dalam
skala kecil pun tidak dapat dihindari lagi. Para pejuang Banten dengan semangat
jihad bertempur gagah berani setiap kali tentara Kompeni mencoba menyusup atau
melanggar batas kedaulatan. Sungai Cisadane yang jernih seringkali memerah
karena darah para syuhada yang gugur mempertahankan tanah airnya. Wilayah
Tengeran telah menjadi medan pertempuran yang sesungguhnya.
Karena fungsinya yang vital
sebagai benteng dalam menghadapi agresi Kompeni, wilayah Tengeran pun mendapat
julukan baru dari masyarakat. Ia bukan lagi sekadar penanda wilayah, tetapi
telah menjadi simbol perlawanan dan palagan. Wilayah di sekitar tugu itu kini
dikenal sebagai daerah perang, sebuah zona konflik di mana harga diri bangsa
dipertaruhkan.
Situasi yang terus menerus
diwarnai oleh konflik bersenjata antara laskar Banten dan tentara VOC membawa
perubahan dalam cara masyarakat menyebut wilayah tersebut. Dua kata kunci yang
paling melekat pada kawasan itu adalah Tengeran, yang merujuk pada tugu penanda
batas, dan Perang, yang menggambarkan kondisi nyata di lapangan. Kedua kata ini
seolah tak terpisahkan dalam percakapan sehari-hari.
Ketika membicarakan wilayah itu,
orang-orang sering menggabungkan kedua unsur tersebut untuk memberikan gambaran
yang utuh. Mereka menyebutnya sebagai wilayah Tengeran Perang. Frasa ini
memiliki arti yang sangat harfiah, yaitu tugu penanda di medan perang. Sebutan
ini dengan cepat menyebar karena sangat akurat dalam mendeskripsikan situasi
yang sebenarnya terjadi di perbatasan Banten dan Batavia.
Seiring berjalannya waktu,
terjadi sebuah proses linguistik yang alamiah dalam masyarakat tutur. Pengaruh
dialek lokal, terutama perpaduan antara bahasa Sunda dan Melayu, membuat
pengucapan frasa Tengeran Perang menjadi lebih sederhana. Dalam percakapan yang
cepat dan berulang, frasa yang terdiri dari dua kata itu perlahan-lahan
mengalami peleburan atau fusi. Bunyi-bunyi tertentu menghilang dan beberapa
suku kata menyatu.
Dari proses evolusi ucapan
inilah, frasa Tengeran Perang lambat laun berubah menjadi satu kata yang lebih
ringkas dan lebih mudah diucapkan, yaitu Tangerang. Kata ini merupakan hasil
akhir dari peleburan Tengeran dan Perang. Nama baru ini terasa lebih mantap di
lidah dan dengan cepat diadopsi secara luas, baik oleh penduduk lokal, pihak
Kesultanan Banten, maupun oleh pihak Kompeni Belanda sendiri.
Maka, nama Tangerang pun terukir
dalam peta dan dokumen sejarah. Sebuah nama unik yang lahir dari perpaduan dua
elemen penting dalam sejarahnya: sebuah tugu penanda kedaulatan dan sebuah
semangat perjuangan tanpa henti. Nama Tangerang menjadi warisan abadi yang
menyimpan kisah heroik para pendirinya.
Kisah tentang Raden Aria
Wangsakara dan asal-usul nama Tangerang bukanlah sekadar legenda masa lalu. Ia
adalah sebuah warisan semangat yang terus hidup dan membentuk karakter
masyarakatnya hingga saat ini. Di dalam nama Tangerang, terkandung nilai-nilai kepahlawanan,
kegigihan mempertahankan kedaulatan, dan semangat juang yang tidak pernah
lekang oleh waktu.
Makam Raden Aria Wangsakara, sang
ulama pejuang, yang terletak di Lengkong Kyai, hingga kini terus dirawat dan
diziarahi. Sosoknya dihormati sebagai teladan seorang pemimpin yang saleh,
berani, dan mencintai rakyatnya. Semangat yang beliau wariskan terus
menginspirasi generasi penerus untuk membangun tanah yang pernah ia perjuangkan
dengan darah dan keringat.
Nama Tangerang, yang secara
harfiah berarti Penanda Perang, kini memiliki makna yang lebih luas. Perang
yang dihadapi masyarakat Tangerang modern tentu berbeda. Bukan lagi perang
mengangkat senjata melawan penjajah, melainkan perang melawan kemiskinan,
memerangi kebodohan, dan berjuang untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan
bagi semua. Semangat juang itu tetap relevan dalam konteks pembangunan.
Tugu Tengeran itu sendiri mungkin
sudah lama musnah ditelan zaman, tetapi semangatnya sebagai penanda tidak
pernah hilang. Semangat untuk menjadi penanda kemajuan, penanda inovasi, dan
penanda peradaban. Julukan Tangerang sebagai Kota Seribu Industri Sejuta Jasa
adalah bukti nyata bahwa semangat Tengeran itu hidup dalam bentuk prestasi ekonomi
dan pembangunan yang pesat.
Dengan memahami akar sejarah namanya,
warga Tangerang diajak untuk tidak pernah melupakan jati dirinya. Setiap
jengkal tanahnya adalah pengingat akan pengorbanan para leluhur. Semoga
semangat Tengeran Perang senantiasa menjadi api yang menyala dalam setiap
langkah, menjadikan Tangerang kota yang maju peradabannya, mulia akhlak
warganya, dan sejahtera kehidupannya.
Sebuah nama bukanlah sekadar
sebutan tanpa makna. Di balik nama Tangerang, tersimpan kisah agung tentang
perjuangan mempertahankan kedaulatan, pentingnya sebuah penanda identitas, dan
semangat perlawanan yang tak kunjung padam. Sejarah mengajarkan kita bahwa
kemerdekaan dan kemakmuran tidak datang sebagai hadiah, melainkan harus
diperjuangkan dengan pengorbanan, kerja keras, dan persatuan. Marilah kita
mewarisi api semangat para pendahulu, bukan abunya, untuk membangun masa depan
yang lebih baik.
Demikianlah kisah ini
diceritakan, segala kebenaran detailnya kita kembalikan kepada Allah, tuhan
pemilik kisah kehidupan.
Komentar
Posting Komentar