Legenda Si Lanang Gumulung

 

 


Di jantung mistis Tanah Jawa, tepatnya di Gunung Tidar yang tersohor sebagai Paku Tanah Jawa, bersemayamlah legenda kuno tentang Si Lanang Gumulung. Sosok gagah perkasa ini, yang namanya bermakna Sang Lelaki yang Kekuatannya Terhimpun dan Dinamis, dikenal sebagai danyang atau penjaga gaib utama gunung tersebut. Kisahnya berkelindan erat dengan masa-masa awal penyebaran ajaran Islam di Pulau Jawa, terutama pertemuannya yang epik dengan Syekh Subakir, ulama utusan yang bertugas menyelaraskan kekuatan spiritual Nusantara demi kelancaran syiar. Legenda Si Lanang Gumulung bukan hanya menawarkan cerita petualangan gaib, tetapi juga refleksi mendalam tentang

pertemuan budaya, adaptasi spiritual, dan harmoni abadi antara kekuatan lama dengan cahaya baru yang datang atas Rido Allah.

Di jantung Tanah Jawa, bersemayam sebuah gunung yang tidak terlalu menjulang tinggi namun sarat akan aura mistis dan sejarah panjang, yakni Gunung Tidar. Gunung ini dikenal bukan hanya sebagai paku buminya Pulau Jawa, melainkan juga sebagai tempat bersemayamnya berbagai kekuatan gaib dan entitas spiritual yang telah ada jauh sebelum ajaran Islam menyentuh bumi Nusantara. Salah satu entitas yang paling dikenal dan dihormati dari Gunung Tidar adalah Si Lanang Gumulung, sosok penjaga gaib yang legendaris. Nama Si Lanang Gumulung sendiri memiliki makna yang dalam dan mencerminkan esensi serta peranannya di wilayah tersebut.

Nama Si Lanang secara harfiah dapat diartikan sebagai Sang Lelaki atau Sosok Pria. Ini menandakan perwujudannya sebagai entitas maskulin, yang seringkali dalam tradisi Jawa dikaitkan dengan kekuatan, perlindungan, dan kepemimpinan. Penggunaan kata "Si" di depan Lanang memberikan nuansa akrab namun tetap menghormati, menunjukkan bahwa ia adalah sosok yang dikenal dan dekat dengan masyarakat sekitar, meskipun keberadaannya berada di alam yang berbeda. Kehadirannya dirasakan sebagai figur pelindung yang kuat dan tegas dalam menjaga keseimbangan alam gaib Gunung Tidar.

Sementara itu, kata Gumulung memiliki beberapa interpretasi yang saling melengkapi. Gumulung dapat berarti bergulung-gulung, melingkar, atau berkumpul menjadi satu. Dalam konteks Si Lanang Gumulung, makna ini bisa merujuk pada kekuatannya yang terhimpun dan terpusat, atau pada perannya yang menyatukan berbagai elemen spiritual di Gunung Tidar. Ada pula yang mengartikan gumulung sebagai sesuatu yang terus bergerak dinamis, bagaikan ombak yang bergulung, melambangkan energi yang tiada henti dalam menjaga wilayahnya dari gangguan atau ketidakseimbangan.

Secara keseluruhan, nama Si Lanang Gumulung dapat dimaknai sebagai Sang Lelaki Perkasa yang Kekuatannya Terhimpun dan Dinamis, atau Sang Pelindung Maskulin yang Menyatukan. Nama ini bukan sekadar sebutan, melainkan sebuah representasi dari karakter, kekuatan, dan tanggung jawab yang diembannya sebagai danyang atau penjaga utama Gunung Tidar. Keberadaannya telah menjadi bagian tak terpisahkan dari narasi spiritual dan budaya masyarakat Magelang dan sekitarnya, diwariskan dari generasi ke generasi melalui cerita lisan dan tradisi.

Kisah Si Lanang Gumulung seringkali dikaitkan dengan periode awal penyebaran Islam di Tanah Jawa, masa ketika kepercayaan lokal masih sangat kuat dan terjadi interaksi yang intens antara ajaran baru dengan tradisi spiritual yang telah mapan. Gunung Tidar sendiri dianggap sebagai salah satu pusat kekuatan gaib di Jawa yang perlu dinetralisir atau diselaraskan sebelum ajaran Islam dapat berkembang dengan damai. Di sinilah peran Si Lanang Gumulung menjadi sangat penting dalam narasi besar tersebut, sebagai representasi kekuatan asli Tanah Jawa.

 

Pada masa lampau, sebelum cahaya Islam menerangi Nusantara secara merata, Tanah Jawa diselimuti oleh aura mistis yang kental. Berbagai kerajaan Hindu-Buddha silih berganti memegang tampuk kekuasaan, dan masyarakatnya hidup berdampingan dengan kepercayaan animisme dan dinamisme yang kuat. Mereka meyakini bahwa setiap gunung, hutan, sungai, dan batu besar memiliki roh penjaga atau danyang yang harus dihormati. Gunung Tidar, dengan posisinya yang strategis di tengah Pulau Jawa, dianggap sebagai salah satu tempat paling angker dan pusat berkumpulnya kekuatan gaib.

Konon, pada masa itu, Tanah Jawa belum sepenuhnya tenteram bagi para pendatang atau penyebar ajaran baru. Energi gaib yang bersemayam di berbagai tempat, termasuk yang dipimpin oleh entitas seperti Si Lanang Gumulung di Gunung Tidar, seringkali menimbulkan ketidakseimbangan jika tidak dihormati atau jika ada upaya untuk mengusik tatanan spiritual yang ada. Para lelembut, jin, dan makhluk halus lainnya dikatakan memiliki pengaruh besar, dan seringkali menghalangi upaya-upaya untuk memperkenalkan keyakinan baru yang berbeda dari tradisi leluhur mereka yang telah mengakar kuat.

Si Lanang Gumulung, sebagai salah satu penguasa gaib Gunung Tidar, memiliki peran sentral dalam menjaga stabilitas wilayahnya. Ia bukanlah entitas yang jahat secara inheren, melainkan penjaga tatanan alamiah dan spiritual yang ada. Kekuatan dan pengaruhnya sangat besar, sehingga siapapun yang berniat memasuki atau melakukan aktivitas di sekitar Gunung Tidar harus memahami dan menghormati keberadaannya. Ketidakharmonisan seringkali muncul akibat benturan antara kekuatan lama dan upaya-upaya baru yang ingin mengubah lanskap spiritual Jawa.

Kondisi ini menjadi tantangan besar bagi para ulama dan penyebar agama Islam generasi awal yang datang ke Tanah Jawa. Mereka tidak hanya berhadapan dengan sistem kepercayaan dan budaya yang berbeda, tetapi juga dengan kekuatan-kekuatan gaib yang telah lama mendominasi. Perlu kearifan, kesabaran, dan kekuatan spiritual yang luar biasa untuk dapat memperkenalkan ajaran tauhid tanpa menimbulkan gejolak besar atau pertumpahan darah. Tanah Jawa kala itu bagaikan sebuah arena spiritual yang menunggu untuk diselaraskan.

Dalam konteks inilah, Gunung Tidar dan Si Lanang Gumulung menjadi fokus perhatian. Sebagai salah satu benteng spiritual terkuat, penaklukan atau penyelarasan Gunung Tidar dianggap sebagai kunci untuk membuka jalan bagi penyebaran Islam yang lebih luas di Tanah Jawa. Para wali dan ulama menyadari bahwa pendekatan fisik semata tidak akan cukup; diperlukan dialog spiritual dan pemahaman mendalam terhadap entitas-entitas yang telah lama berkuasa di tanah ini, termasuk sosok legendaris Si Lanang Gumulung.

 

Di tengah situasi Tanah Jawa yang penuh dengan tantangan spiritual tersebut, tersebutlah kabar mengenai kedatangan seorang ulama besar dari tanah seberang, tepatnya dari Persia atau wilayah Timur Tengah lainnya. Beliau dikenal dengan nama Syekh Subakir. Kedatangan Syekh Subakir bukanlah tanpa tujuan; beliau diutus sebagai bagian dari gelombang awal para penyebar ajaran Islam ke Nusantara, dengan tugas khusus yang amat berat, yakni menumbali atau menyucikan Tanah Jawa dari pengaruh negatif kekuatan gaib yang menghalangi syiar Islam.

Syekh Subakir dikenal sebagai sosok ulama yang memiliki ilmu agama yang mendalam serta kesaktian dan karomah luar biasa atas izin Allah. Beliau membawa berbagai pengetahuan, termasuk ilmu hikmah dan strategi untuk berinteraksi dengan alam gaib. Misi utamanya adalah menciptakan kondisi yang kondusif bagi penyebaran ajaran tauhid, sehingga masyarakat Jawa dapat menerima Islam dengan hati terbuka, tanpa paksaan, dan dalam suasana damai. Ini berarti ia harus berhadapan dengan para danyang dan penguasa gaib Tanah Jawa.

Salah satu tugas terpenting Syekh Subakir adalah mencari titik-titik pusat kekuatan gaib di Pulau Jawa untuk kemudian dinetralisir atau diselaraskan. Berdasarkan petunjuk dan pengetahuannya, Gunung Tidar di Magelang diidentifikasi sebagai salah satu lokasi kunci, sebuah paku atau pasak spiritual yang menjaga keseimbangan gaib pulau ini. Namun, keseimbangan ini juga menjadi penghalang bagi energi baru Islam untuk masuk dan berkembang, karena dijaga ketat oleh entitas-entitas kuat.

Sebelum Syekh Subakir, konon beberapa upaya penyebaran Islam di Jawa mengalami kegagalan atau berjalan sangat lambat karena gangguan dari makhluk halus dan jin yang merasa terusik. Mereka tidak rela wilayah kekuasaan mereka dimasuki oleh pengaruh baru. Oleh karena itu, kehadiran Syekh Subakir dengan membawa sebuah batu khusus bernama Rajah Aji Cakra atau batu hitam dari Arab, dianggap sebagai langkah strategis untuk mengatasi hambatan ini. Batu tersebut bukanlah sembarang batu, melainkan media yang telah diberi doa-doa dan kekuatan spiritual.

Perjalanan Syekh Subakir menuju Gunung Tidar adalah perjalanan spiritual yang penuh dengan rintangan. Beliau harus melewati berbagai wilayah yang dikuasai oleh entitas-entitas gaib lainnya sebelum akhirnya mencapai jantung Tanah Jawa. Dengan bekal keyakinan teguh kepada Allah dan ilmu yang dimilikinya, Syekh Subakir mempersiapkan diri untuk menghadapi penguasa gaib Gunung Tidar, yang salah satu sosok utamanya adalah Si Lanang Gumulung, demi tercapainya rida Allah dalam menyebarkan agama yang lurus.

 

Setelah melalui perjalanan yang tidak mudah, Syekh Subakir akhirnya tiba di kawasan Gunung Tidar. Aura mistis yang pekat segera menyambutnya, menandakan betapa kuatnya energi spiritual yang bersemayam di gunung tersebut. Beliau dengan penuh ketenangan dan keyakinan mulai mempersiapkan diri untuk menjalankan misinya. Tujuan utamanya bukanlah untuk memusnahkan, melainkan untuk menyelaraskan dan membuka jalan bagi cahaya Ilahi agar dapat diterima dengan baik oleh penduduk dan alam Tanah Jawa.

Menurut berbagai versi legenda, pertemuan antara Syekh Subakir dan Si Lanang Gumulung, sebagai representasi penguasa gaib Gunung Tidar, tidak terhindarkan. Si Lanang Gumulung, yang merasakan kehadiran energi baru yang kuat dan berbeda, tentu tidak tinggal diam. Ia sebagai penjaga tatanan lama merasa terusik dengan niat Syekh Subakir yang ingin mengubah lanskap spiritual wilayah kekuasaannya. Terjadilah sebuah dialog atau bahkan konfrontasi spiritual antara keduanya.

Dalam pertemuan tersebut, Syekh Subakir dengan penuh hikmah menjelaskan maksud dan tujuannya, yaitu untuk menyebarkan ajaran kebenaran dari Allah, yang akan membawa kedamaian dan keselamatan bagi seluruh makhluk. Beliau tidak bermaksud merusak atau mengganggu tatanan yang ada secara semena-mena, melainkan ingin mengajak kepada jalan yang lurus. Si Lanang Gumulung, dengan segala kekuasaan dan pengaruhnya, tentu memberikan argumen dan pertahanannya sendiri, mewakili perspektif kekuatan-kekuatan asli Tanah Jawa.

Konfrontasi yang terjadi bukanlah pertempuran fisik, melainkan adu kekuatan batin, argumen spiritual, dan pembuktian siapa yang membawa kebenaran yang lebih hakiki melalui karomah dan pertolongan Allah. Beberapa versi menyebutkan adanya pertarungan gaib yang dahsyat, di mana berbagai ilmu kesaktian dikeluarkan. Namun, inti dari pertemuan ini adalah dialog antara dua kekuatan besar yang mewakili dua zaman dan dua pandangan dunia yang berbeda.

Akhirnya, melalui proses yang panjang dan penuh ujian spiritual, Si Lanang Gumulung dan para pengikutnya dari bangsa jin dan lelembut lainnya mulai menyadari ketinggian dan kebenaran ajaran yang dibawa oleh Syekh Subakir. Mereka menyaksikan sendiri bagaimana kekuatan doa dan keyakinan kepada Sang Pencipta Tunggal mampu mengatasi berbagai rintangan. Ini bukanlah tentang kalah atau menang secara mutlak, melainkan tentang tercapainya sebuah pemahaman dan kesepakatan.

 

Setelah melalui dialog dan pembuktian spiritual yang intens, Syekh Subakir berhasil meyakinkan Si Lanang Gumulung dan entitas gaib lainnya di Gunung Tidar tentang niat baiknya dan kebenaran ajaran yang dibawanya. Sebagai puncak dari proses ini, Syekh Subakir kemudian melaksanakan tugas utamanya, yaitu menanam tumbal atau pasak spiritual di puncak Gunung Tidar. Tumbal ini bukanlah sembarang benda, melainkan sebuah batu khusus yang telah diberi rajah dan doa, sering disebut sebagai Batu Aji Cakra atau sejenisnya.

Penanaman tumbal ini memiliki makna simbolis dan spiritual yang sangat dalam. Tujuannya adalah untuk menetralkan energi-energi negatif yang mungkin menghalangi penyebaran Islam, serta menciptakan semacam perjanjian atau kesepakatan dengan para penguasa gaib lokal. Dengan ditanamnya tumbal tersebut, energi Gunung Tidar menjadi lebih selaras dan kondusif bagi masuknya ajaran tauhid. Ini bukan berarti kekuatan gaib Si Lanang Gumulung lenyap, melainkan terjadi sebuah transformasi dalam perannya.

Salah satu inti dari perjanjian gaib yang terjadi adalah bahwa Si Lanang Gumulung beserta para pengikutnya tidak akan mengganggu proses penyebaran Islam di Tanah Jawa. Mereka bahkan, dalam beberapa versi, bersedia untuk turut menjaga keharmonisan dan kedamaian, selama tatanan alam dan spiritual yang baru ini tetap menghormati keberadaan mereka. Syekh Subakir pun berjanji bahwa ajaran Islam akan disebarkan dengan cara yang damai dan menghargai kearifan lokal yang tidak bertentangan dengan prinsip tauhid.

Proses penumbalan ini diyakini sangat dahsyat. Konon, saat batu tersebut ditancapkan, terjadi goncangan dan gejolak di alam gaib. Para jin dan lelembut yang tidak mau tunduk atau menerima perjanjian tersebut terpaksa menyingkir dari Gunung Tidar dan menyebar ke berbagai penjuru, mencari tempat tinggal baru. Namun, Si Lanang Gumulung, sebagai pemimpin yang bijaksana, memilih jalan keselarasan demi kebaikan yang lebih besar bagi Tanah Jawa di masa depan.

Dengan tertanamnya tumbal tersebut, Gunung Tidar yang semula dianggap sangat angker dan menjadi penghalang, kini berubah menjadi tempat yang lebih terbuka dan aman bagi para penyebar agama. Misi Syekh Subakir di Gunung Tidar dianggap berhasil. Ini menjadi tonggak penting dalam sejarah penyebaran Islam di Jawa, menunjukkan bahwa pendekatan spiritual dan dialog mampu mengatasi rintangan yang tampaknya mustahil, berkat rida dan pertolongan Allah.

 

Setelah peristiwa penumbalan oleh Syekh Subakir dan tercapainya perjanjian gaib, peran Si Lanang Gumulung di Gunung Tidar mengalami sebuah transformasi. Ia tidak lagi menjadi penghalang bagi syiar Islam, melainkan menjadi sosok penjaga yang selaras dengan tatanan spiritual baru yang mulai terbentuk. Kekuatan dan pengaruhnya tetap ada, namun kini lebih terarah untuk menjaga keseimbangan dan kedamaian di wilayahnya, dalam koridor kesepakatan yang telah dibuat.

Si Lanang Gumulung tetap dihormati sebagai danyang atau penjaga gaib Gunung Tidar. Masyarakat lokal, meskipun secara bertahap mulai memeluk Islam, tidak serta merta melupakan keberadaan entitas spiritual yang telah lama ada. Justru, terjadi semacam sinkretisme, di mana kepercayaan terhadap ajaran Islam berjalan beriringan dengan penghormatan terhadap tradisi dan kearifan lokal, termasuk kepada sosok-sosok seperti Si Lanang Gumulung, selama tidak bertentangan dengan akidah utama.

Ia kini dianggap sebagai pelindung yang memastikan bahwa Gunung Tidar tetap menjadi tempat yang sakral dan dihormati, bukan hanya dari gangguan fisik tetapi juga dari energi-energi negatif yang dapat merusak keharmonisan. Keberadaannya menjadi simbol bagaimana kekuatan lama dapat beradaptasi dan hidup berdampingan dengan kekuatan baru, menciptakan sebuah keseimbangan yang unik khas Nusantara. Ini menunjukkan kedewasaan spiritual dari kedua belah pihak.

Bagi mereka yang masih memegang teguh kepercayaan lama atau melakukan praktik spiritual tertentu, Si Lanang Gumulung tetap menjadi figur penting yang dimintai restu atau perlindungan ketika berada di sekitar Gunung Tidar. Ritual-ritual kecil atau bentuk penghormatan tertentu mungkin masih dilakukan oleh sebagian orang, sebagai wujud pengakuan atas eksistensinya. Namun, hal ini berjalan dalam bingkai yang tidak lagi mengancam perkembangan ajaran Islam.

Legenda Si Lanang Gumulung pasca perjanjian dengan Syekh Subakir mengajarkan tentang pentingnya adaptasi dan penerimaan terhadap perubahan. Ia menunjukkan bahwa bahkan entitas gaib pun dapat menemukan peran baru yang konstruktif dalam tatanan yang berbeda. Kisahnya terus hidup, menjadi bagian dari kekayaan budaya dan spiritual Magelang, serta pengingat akan proses panjang dan damai dalam penyebaran Islam di Tanah Jawa yang penuh kearifan.

 

Legenda Si Lanang Gumulung dan interaksinya dengan Syekh Subakir di Gunung Tidar memiliki makna spiritual dan warisan budaya yang sangat kaya bagi masyarakat Jawa, khususnya di sekitar Magelang. Kisah ini bukan hanya sekadar dongeng pengantar tidur, melainkan sebuah narasi yang mencerminkan proses akulturasi budaya dan agama yang kompleks dan penuh kearifan. Ia mengandung pelajaran tentang bagaimana ajaran baru dapat diterima dan berintegrasi dengan tradisi yang telah lama mengakar.

Secara spiritual, kisah ini melambangkan kemenangan kebenaran dan cahaya Ilahi atas kekuatan-kekuatan yang mungkin pada awalnya resisten. Namun, kemenangan ini tidak diraih melalui pemusnahan total, melainkan melalui dialog, pembuktian, dan akhirnya keselarasan. Ini menunjukkan sifat Islam sebagai Rahmatan lil 'Alamin, rahmat bagi seluruh alam, yang mampu merangkul dan menyempurnakan, bukan hanya menghancurkan. Peran Syekh Subakir sebagai pembawa risalah dan Si Lanang Gumulung sebagai representasi kekuatan lokal menjadi simbol dari pertemuan dua dunia.

Dari sisi warisan budaya, legenda ini memperkaya khazanah cerita rakyat Nusantara. Ia menjaga ingatan kolektif tentang sejarah awal Islamisasi di Jawa, yang seringkali melibatkan tokoh-tokoh mitologis atau semi-mitologis yang memiliki peran penting dalam imajinasi populer. Gunung Tidar sendiri, berkat legenda ini dan statusnya sebagai Paku Tanah Jawa, menjadi destinasi ziarah dan wisata spiritual yang penting, menarik orang-orang yang ingin merenungkan sejarah atau mencari ketenangan batin.

Makna nama Si Lanang Gumulung, yaitu Sang Lelaki Perkasa yang Kekuatannya Terhimpun dan Dinamis, juga tetap relevan. Ia mengajarkan tentang pentingnya kekuatan yang terpusat dan terarah untuk tujuan yang baik, serta kemampuan untuk beradaptasi dan bergerak mengikuti perubahan zaman, seperti air yang menggulung. Sifat maskulin yang dilambangkan oleh Si Lanang juga bisa diartikan sebagai ketegasan dalam menjaga prinsip, namun tetap bijaksana dalam bertindak.

Kisah ini juga menjadi pengingat akan pentingnya menghormati alam dan entitas yang ada di dalamnya. Meskipun dalam kerangka tauhid yang kuat, kearifan lokal yang mengajarkan untuk tidak merusak alam dan menjaga harmoni dengan lingkungan tetap dijunjung tinggi. Si Lanang Gumulung, dalam perannya sebagai penjaga gunung, secara tidak langsung menyampaikan pesan tentang konservasi dan keseimbangan ekosistem, baik fisik maupun spiritual, yang harus selalu dijaga.

 

Meskipun berasal dari masa lampau, legenda Si Lanang Gumulung masih memiliki relevansi yang kuat di masa kini. Dalam era modern yang serba cepat dan seringkali mengabaikan nilai-nilai spiritual, kisah ini mengajak kita untuk kembali merenungkan pentingnya keseimbangan, harmoni, dan kearifan dalam menghadapi perubahan. Ia mengingatkan bahwa kemajuan tidak harus berarti tercerabut dari akar budaya dan sejarah.

Salah satu relevansi utama adalah pesan tentang dialog dan toleransi. Pertemuan antara Syekh Subakir dan Si Lanang Gumulung, meskipun diawali dengan potensi konflik, akhirnya mencapai kesepakatan melalui dialog dan saling pengertian. Ini adalah pelajaran berharga bagi masyarakat modern yang seringkali dihadapkan pada perbedaan pandangan, keyakinan, atau budaya. Kemampuan untuk berdialog dan mencari titik temu jauh lebih konstruktif daripada konfrontasi yang merusak.

Kisah ini juga mengajarkan tentang adaptasi. Si Lanang Gumulung, yang pada awalnya mungkin resisten terhadap perubahan, akhirnya mampu beradaptasi dan menemukan peran baru dalam tatanan yang berbeda. Ini adalah cerminan bahwa setiap individu atau kelompok perlu memiliki fleksibilitas dan kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman, tanpa kehilangan jati diri sepenuhnya, melainkan mentransformasikannya menjadi sesuatu yang tetap bermakna.

Dari perspektif kepemimpinan, baik Syekh Subakir maupun Si Lanang Gumulung menunjukkan kualitas pemimpin yang bijaksana. Syekh Subakir dengan hikmahnya dalam menyebarkan ajaran, dan Si Lanang Gumulung dengan keputusannya untuk menerima perubahan demi kebaikan yang lebih luas. Keduanya mengutamakan kedamaian dan harmoni jangka panjang di atas ego atau kepentingan sesaat. Ini adalah teladan bagi para pemimpin di berbagai tingkatan.

Warisan Si Lanang Gumulung juga mengingatkan kita akan kekayaan budaya spiritual Nusantara. Penting bagi generasi sekarang dan mendatang untuk terus mempelajari, menghargai, dan melestarikan cerita-cerita rakyat dan legenda seperti ini. Bukan untuk menyembahnya, tetapi untuk mengambil hikmah dan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya, sebagai bagian dari identitas bangsa yang besar dan beragam.

Kisah Legenda Si Lanang Gumulung mengajarkan kepada kita bahwa setiap perubahan besar seringkali membutuhkan dialog, kearifan, dan kesediaan untuk beradaptasi dari semua pihak. Kekuatan sejati tidak selalu terletak pada kemampuan untuk menaklukkan, melainkan pada kemampuan untuk mencapai keselarasan dan harmoni. Menghormati masa lalu, memahami masa kini, dan bijaksana melangkah ke masa depan adalah kunci untuk menjaga keseimbangan hidup, sebagaimana Gunung Tidar yang tetap kokoh menjadi pasak spiritual Tanah Jawa, dengan Si Lanang Gumulung sebagai salah satu penjaga abadinya yang telah menemukan tempatnya dalam narasi besar keilahian atas izin Allah Yang Maha Kuasa. Hendaklah kita senantiasa mencari rida Allah dalam setiap tindakan, dan menjaga amanah yang diberikan dengan penuh tanggung jawab.

Demikianlah kisah ini diceritakan, segala kebenaran detailnya kita kembalikan kepada Allah, tuhan pemilik kisah kehidupan.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Legenda Putri Gunung Ledang, Cerita Rakyat Malaka

Kisah Legenda Puteri Junjung Buih, Cerita Rakyat Kalimantan

Kisah Gunung Sumbing: Sejarah, Legenda dan Cerita Mistis