Sejarah Asal Usul Kabupaten Pemalang

 

 


Alkisah, di bentangan pesisir utara Pulau Jawa yang subur, terhampar sebuah wilayah yang kelak dikenal dengan nama Pemalang. Kisah ini bermula jauh sebelum nama itu terukir, di masa ketika peradaban kuno menancapkan akarnya, dan alam masih menyimpan banyak misteri. Hutan-hutan lebat menutupi sebagian besar daratan, dihuni oleh beragam satwa dan dijaga oleh roh-roh leluhur menurut kepercayaan masa itu. Sungai-sungai besar berkelok-kelok membelah bumi, menjadi urat nadi kehidupan bagi penduduk awal yang mendiami tepiannya, membangun komunitas kecil yang hidup dari berburu, bercocok tanam sederhana, dan memanfaatkan hasil hutan.

Dari masa ke masa, wilayah ini tak luput dari pengaruh kerajaan-kerajaan besar yang silih berganti berkuasa di Tanah Jawa. Jejak-jejak peradaban Hindu-Buddha seperti Kerajaan Kalingga hingga Medang Kamulan, walau mungkin tak meninggalkan candi megah di Pemalang, namun hembusan angin peradabannya terasa hingga ke pelosok-pelosok desa. Para pedagang dari berbagai penjuru Nusantara bahkan dari negeri seberang, mulai singgah, membawa serta barang dagangan, adat istiadat, dan juga keyakinan baru. Pertemuan budaya ini secara perlahan membentuk karakter masyarakat yang terbuka namun tetap memegang teguh tradisi.

Konon, salah satu titik penting dalam pembentukan awal wilayah ini adalah peran para tokoh spiritual dan pemimpin masyarakat yang memiliki kearifan lokal. Mereka tidak hanya menjadi panutan dalam kehidupan sehari-hari tetapi juga penjaga keseimbangan alam dan sosial. Dengan ilmu kanuragan dan kedekatan dengan Sang Pencipta, mereka membuka hutan, membangun perkampungan, dan mengajarkan cara hidup yang selaras dengan lingkungan. Nama-nama mereka mungkin tak semuanya tercatat dalam prasasti, namun semangat dan jasa mereka terpatri dalam ingatan kolektif masyarakat dari generasi ke generasi.

Kehidupan di masa itu penuh dengan tantangan. Ancaman dari binatang buas, wabah penyakit, hingga perselisihan antar kelompok menjadi bagian dari dinamika sehari-hari. Namun, semangat untuk bertahan hidup dan membangun komunitas yang lebih baik terus menyala. Gotong royong menjadi kunci, saling membantu dalam membuka lahan, membangun rumah, hingga menjaga keamanan kampung. Nilai-nilai inilah yang kemudian menjadi fondasi kuat bagi masyarakat Pemalang di masa-masa mendatang, sebuah warisan tak ternilai dari para pendahulu.

Dengan berjalannya waktu, perkampungan-perkampungan kecil ini mulai berkembang dan saling terhubung. Interaksi antarwarga semakin intens, menciptakan sebuah kesatuan budaya yang khas. Meskipun belum memiliki struktur pemerintahan formal seperti sebuah kabupaten, benih-benih kepemimpinan lokal mulai tumbuh, diakui berdasarkan kharisma, keberanian, dan kemampuan untuk mengayomi masyarakat. Inilah cikal bakal dari sebuah entitas yang kelak akan menorehkan sejarahnya sendiri di panggung Nusantara.

 

Pada abad-abad berikutnya, seiring dengan meredupnya pengaruh kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha, muncullah cahaya baru dari ajaran Islam yang mulai merambah pesisir utara Jawa. Salah satu tokoh yang sering dikaitkan dengan penyebaran Islam di wilayah Pemalang dan sekitarnya adalah Syekh Maulana Maghribi. Kehadirannya, bersama para ulama lain, membawa perubahan besar dalam tatanan sosial dan spiritual masyarakat. Dakwah yang mereka sampaikan penuh dengan kedamaian dan kearifan, sehingga mudah diterima oleh penduduk setempat yang pada dasarnya merindukan tuntunan hidup.

Syekh Maulana Maghribi, yang menurut beberapa riwayat datang dari Jazirah Arab, tidak hanya mengajarkan syariat Islam tetapi juga memperkenalkan cara bercocok tanam yang lebih baik, pengobatan tradisional, dan tata krama kehidupan bermasyarakat. Beliau mendekati penduduk dengan penuh kasih sayang, menghargai adat istiadat setempat selama tidak bertentangan dengan ajaran tauhid. Banyak penduduk yang dengan tulus memeluk Islam, merasakan kedamaian dan pencerahan dari ajaran yang dibawa oleh sang Syekh dan para pengikutnya.

Tempat-tempat persinggahan dan padepokan yang didirikan oleh para penyebar Islam ini kemudian berkembang menjadi pusat-pusat kegiatan keagamaan dan pendidikan. Di sanalah para santri menimba ilmu, tidak hanya ilmu agama tetapi juga berbagai keterampilan hidup. Interaksi antara para pendakwah dengan masyarakat lokal melahirkan akulturasi budaya yang harmonis, di mana ajaran Islam bersanding dengan kearifan lokal, menciptakan corak keislaman yang khas di pesisir Jawa.

Kisah kesabaran dan kegigihan para wali dan ulama dalam menyebarkan ajaran Allah menjadi teladan. Mereka menghadapi berbagai rintangan, mulai dari medan yang sulit, perbedaan bahasa, hingga kecurigaan dari sebagian kelompok masyarakat yang masih memegang teguh kepercayaan lama. Namun, dengan ridho Allah dan niat yang tulus, cahaya Islam perlahan namun pasti menerangi wilayah yang kelak menjadi Pemalang, menanamkan nilai-nilai keimanan dan ketakwaan yang terus tumbuh subur.

Warisan para penyebar Islam ini tidak hanya berupa masjid-masjid kuno atau makam-makam keramat yang hingga kini masih diziarahi, tetapi yang lebih penting adalah tertanamnya pondasi spiritual yang kokoh dalam diri masyarakat. Semangat keislaman ini kelak akan mewarnai perjalanan sejarah Pemalang, memberikan inspirasi bagi para pemimpin dan rakyatnya dalam membangun daerah tercinta, mencari keberkahan dalam setiap langkah dan usaha.

 

Jauh sebelum Pemalang resmi berdiri sebagai sebuah kadipaten, wilayah pesisirnya merupakan daerah strategis yang sering menjadi lalu lintas para pedagang maupun perompak. Di tengah kondisi tersebut, muncullah legenda tentang seorang tokoh gagah perkasa bernama Ki Joko Bahu, atau yang kelak lebih dikenal dengan sebutan Embah Bahurekso. Beliau dipercaya sebagai sosok sakti mandraguna yang bertugas menjaga keamanan dan ketertiban di sepanjang pesisir utara, termasuk wilayah yang kini menjadi bagian dari Pemalang.

Menurut cerita tutur yang berkembang, Ki Joko Bahu adalah seorang pemuda tangguh yang memiliki kesaktian luar biasa. Ia mampu menaklukkan berbagai ancaman, baik yang berasal dari alam gaib maupun dari para penjahat yang mengganggu ketenteraman masyarakat pesisir. Keberaniannya dalam menghadapi ombak ganas Laut Jawa dan keganasannya dalam memberantas perompak membuatnya disegani kawan maupun lawan. Rakyat pesisir merasa aman dan terlindungi di bawah penjagaannya.

Salah satu kisah yang melekat pada Ki Joko Bahu adalah kemampuannya dalam "memalang" atau menghadang laju perahu-perahu perompak yang hendak merapat ke pantai untuk menjarah. Dengan kesaktiannya, ia bisa membuat ombak menjadi besar atau menciptakan rintangan gaib sehingga para penjahat itu tunggang langgang. Ada pula yang mengaitkan kemampuannya ini dengan asal usul nama Pemalang, yakni tempat di mana Ki Joko Bahu sering melakukan "pemalangan" terhadap musuh-musuhnya.

Meskipun sosok Ki Joko Bahu lebih kental dengan nuansa legenda, keberadaannya dalam cerita rakyat menunjukkan betapa pentingnya aspek keamanan dan pertahanan bagi masyarakat pesisir di masa lampau. Figur pahlawan lokal seperti beliau menjadi simbol perlawanan terhadap ketidakadilan dan ancaman dari luar. Semangat kepahlawanan Ki Joko Bahu ini menginspirasi masyarakat untuk senantiasa waspada dan menjaga kedaulatan wilayahnya.

Kisah Ki Joko Bahu, terlepas dari kebenaran historisnya, telah menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas budaya Pemalang. Ia melambangkan kekuatan, keberanian, dan komitmen untuk melindungi tanah air dan rakyatnya. Semangat inilah yang diharapkan terus hidup dalam jiwa setiap generasi penerus di Kabupaten Pemalang, untuk menjaga dan membangun daerahnya dengan penuh dedikasi.

 

Memasuki pertengahan abad ke-16 Masehi, di jantung Pulau Jawa, Kerajaan Pajang tengah mencapai puncak kejayaannya di bawah kepemimpinan Sultan Hadiwijaya, yang juga dikenal dengan nama Jaka Tingkir. Namun, seperti roda kehidupan yang terus berputar, masa-masa penuh intrik dan perebutan kekuasaan pun mulai membayangi. Salah satu tokoh sentral dalam dinamika politik Pajang kala itu adalah Pangeran Benawa, putra Sultan Hadiwijaya.

Pangeran Benawa dikenal sebagai sosok yang arif bijaksana dan tidak terlalu ambisius terhadap takhta. Ketika terjadi kemelut perebutan kekuasaan sepeninggal ayahnya, yang melibatkan Arya Pangiri dari Demak dan Sutawijaya dari Mataram, Pangeran Benawa memilih jalan yang lebih mengedepankan keutuhan dan kedamaian. Beliau lebih memilih untuk mengabdikan dirinya demi kesejahteraan rakyat dan penyebaran syiar Islam daripada terlibat dalam pertikaian berkepanjangan.

Dalam perjalanan spiritual dan pengabdiannya, konon Pangeran Benawa mendapat petunjuk untuk menuju ke arah barat dari pusat Kerajaan Pajang. Beliau menyusuri wilayah pesisir utara Jawa, sebuah kawasan yang memiliki potensi besar namun juga memerlukan penataan dan kepemimpinan yang kuat. Di sinilah peran Pangeran Benawa dalam sejarah awal Pemalang mulai terukir, meskipun dalam beberapa versi cerita, fokus pendirian lebih dikaitkan dengan tokoh lain yang mendapat mandat darinya atau dari otoritas Pajang.

Menurut catatan sejarah dan tradisi lisan, atas ridho Allah, Pangeran Benawa atau utusannya kemudian berperan penting dalam merintis dan menata sebuah permukiman yang lebih teratur di wilayah yang kini dikenal sebagai Pemalang. Beliau membawa serta pengaruh dan wibawa Kerajaan Pajang, yang pada masa itu masih memiliki legitimasi kuat. Kehadiran figur yang memiliki garis keturunan langsung dari Sultan Hadiwijaya memberikan harapan baru bagi masyarakat setempat akan adanya kepemimpinan yang adil dan mengayomi.

Langkah-langkah awal penataan wilayah ini menjadi fondasi penting bagi pembentukan sebuah kadipaten di kemudian hari. Pengaruh Pangeran Benawa, baik secara langsung maupun tidak langsung, memberikan kontribusi signifikan dalam mempersiapkan Pemalang menjadi sebuah entitas politik dan administratif yang diakui, serta menjadi bagian dari jaringan kekuasaan yang lebih besar di Tanah Jawa pada masa itu.

 

Berdasarkan catatan resmi Pemerintah Kabupaten Pemalang, hari jadi Kabupaten Pemalang ditetapkan pada tanggal 24 Januari Tahun 1575 Masehi. Penetapan tanggal ini merujuk pada peristiwa penting di mana wilayah Pemalang secara resmi diakui sebagai sebuah daerah administratif setingkat kadipaten di bawah naungan Kerajaan Pajang. Momen ini menandai babak baru dalam sejarah Pemalang, dari sekumpulan perkampungan menjadi sebuah entitas pemerintahan yang lebih terstruktur.

Tokoh yang sering disebut-sebut sebagai Adipati pertama Pemalang pada masa itu, yang diangkat atau mendapat restu dari penguasa Pajang, adalah seorang bangsawan yang memiliki kemampuan dan integritas. Meskipun nama Adipati pertama ini terkadang muncul dalam beberapa versi yang berbeda dalam tradisi lisan, namun yang pasti adalah bahwa pengangkatan seorang Adipati menandakan bahwa Pemalang telah dianggap sebagai wilayah yang cukup penting dan strategis, baik dari segi ekonomi, sosial, maupun pertahanan.

Pembentukan Kadipaten Pemalang ini tidak lepas dari dinamika politik yang terjadi di Kerajaan Pajang dan upaya untuk memperkuat pengaruhnya di wilayah pesisir. Dengan adanya seorang Adipati yang loyal kepada Pajang, diharapkan wilayah Pemalang dapat lebih terkendali, potensi sumber dayanya dapat dimanfaatkan secara optimal, dan keamanannya lebih terjamin dari ancaman-ancaman, baik dari dalam maupun dari luar.

Tugas seorang Adipati pada masa itu sangatlah berat. Ia tidak hanya bertanggung jawab atas pemerintahan dan ketertiban wilayahnya, tetapi juga harus mampu menyejahterakan rakyatnya, menegakkan hukum, dan menjaga hubungan baik dengan pemerintah pusat di Pajang. Adipati pertama Pemalang, dengan segala keterbatasan dan tantangan yang ada, berusaha meletakkan dasar-dasar pemerintahan yang baik, membangun infrastruktur sederhana, dan mengembangkan potensi daerahnya.

Dengan diresmikannya Kadipaten Pemalang, dimulailah era baru di mana wilayah ini memiliki identitas politik yang jelas. Para pemimpin silih berganti memimpin kadipaten ini, masing-masing dengan kebijakan dan tantangannya sendiri, namun semuanya berkontribusi dalam membentuk Pemalang menjadi seperti yang kita kenal sekarang. Semangat pendirian kadipaten ini menjadi tonggak sejarah yang selalu dikenang oleh masyarakat Pemalang.

 

Setiap nama tentu memiliki kisah dan makna di baliknya, begitu pula dengan nama Pemalang. Terdapat beberapa versi dan interpretasi mengenai asal-usul dan arti nama Pemalang, yang semuanya menambah kekayaan khazanah budaya daerah ini. Pemahaman akan makna nama ini membantu kita untuk lebih menghargai sejarah dan karakter wilayah tersebut.

Salah satu versi yang paling populer mengaitkan nama Pemalang dengan kata dasar "malang" atau "pemalangan". Dalam konteks ini, "malang" bisa berarti rintangan, halangan, atau sesuatu yang melintang. Kata "pemalangan" kemudian diartikan sebagai tempat untuk "memalang" atau menghalangi. Teori ini sering dihubungkan dengan fungsi geografis wilayah Pemalang di masa lalu, terutama sungainya yang mungkin menjadi tempat di mana perahu-perahu harus berhenti atau tertahan karena rintangan alam atau buatan. Ada juga yang mengaitkannya dengan legenda Ki Joko Bahu yang "memalang" musuh.

Versi lain menyebutkan bahwa kata "malang" juga bisa berarti nasib kurang baik atau kesialan. Namun, dalam konteks nama daerah, ini sering diinterpretasikan secara positif, yaitu sebagai sebuah tempat di mana segala kesialan atau rintangan dapat diatasi atau "dipalangi". Jadi, Pemalang menjadi tempat untuk menolak bala atau mengatasi kesulitan. Semangat ini mencerminkan karakter masyarakatnya yang tangguh dan pantang menyerah dalam menghadapi berbagai cobaan hidup.

Ada pula pendapat yang menghubungkan nama Pemalang dengan kondisi geografisnya, seperti adanya daerah yang "malang" atau miring, atau banyaknya pohon Kepuh (yang buahnya disebut "klungsu malang"). Beberapa ahli bahasa juga mencoba menelusuri dari akar kata dalam bahasa Jawa Kuno atau Sansekerta, namun penafsiran ini memerlukan kajian yang lebih mendalam dan bukti-bukti linguistik yang kuat.

Terlepas dari versi mana yang paling akurat, makna yang terkandung dalam nama Pemalang seringkali merefleksikan harapan dan semangat para pendirinya serta masyarakatnya. Apakah itu sebagai benteng pertahanan, tempat mengatasi rintangan, atau wilayah yang penuh dengan harapan akan masa depan yang lebih baik. Nama ini telah menyatu dengan identitas daerah dan menjadi pengingat akan perjalanan panjang sejarahnya.

Oleh karena itu, memahami berbagai tafsir mengenai nama Pemalang bukan hanya sekadar mengetahui etimologi sebuah kata, tetapi juga menyelami jiwa dan filosofi yang terkandung di dalamnya. Nama ini adalah warisan yang terus hidup, membawa serta cerita, harapan, dan identitas bagi seluruh masyarakat Kabupaten Pemalang.

 

Seiring dengan surutnya pengaruh Kerajaan Pajang pada akhir abad ke-16 Masehi, muncullah kekuatan baru yang dominan di Tanah Jawa, yaitu Kesultanan Mataram Islam yang didirikan oleh Panembahan Senopati. Perubahan peta politik ini tentu saja membawa dampak signifikan bagi daerah-daerah bawahannya, termasuk Kadipaten Pemalang. Pemalang pun beralih menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Mataram, dan para Adipatinya harus menunjukkan loyalitas kepada Sultan Mataram.

Di bawah naungan Mataram, struktur pemerintahan di Kadipaten Pemalang semakin tertata. Para Adipati yang memerintah mendapat mandat langsung dari keraton Mataram dan bertanggung jawab untuk menjalankan kebijakan-kebijakan pusat di daerahnya. Tugas utama mereka meliputi pengumpulan upeti, pengerahan tenaga kerja untuk kepentingan kerajaan, menjaga keamanan dan ketertiban, serta memastikan roda perekonomian berjalan dengan baik.

Kehidupan masyarakat Pemalang pada era Mataram ini banyak diwarnai oleh kegiatan agraris. Tanah yang subur di sepanjang pesisir dan daerah pedalaman dimanfaatkan untuk menanam padi, palawija, dan tanaman perdagangan lainnya. Hasil bumi ini tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan lokal tetapi juga untuk disetorkan sebagai bagian dari kewajiban kepada Mataram. Selain pertanian, kegiatan perikanan di sepanjang pantai juga menjadi sumber penghidupan penting bagi sebagian penduduk.

Meskipun berada di bawah kekuasaan besar, para Adipati Pemalang tetap berusaha untuk mengembangkan daerahnya. Mereka membangun sarana dan prasarana penting seperti jalan, jembatan, dan pasar, meskipun dalam skala yang sederhana. Kehidupan keagamaan juga terus berkembang, dengan masjid-masjid dan langgar menjadi pusat kegiatan ibadah dan pendidikan Islam. Para ulama dan kiai memegang peranan penting dalam membimbing umat dan menjaga moralitas masyarakat.

Namun, menjadi bagian dari kerajaan besar juga berarti Pemalang seringkali terlibat dalam dinamika politik dan militer Mataram. Kadang kala, Pemalang harus mengirimkan prajurit untuk membantu Mataram dalam peperangan atau proyek-proyek besar lainnya. Keterlibatan ini, di satu sisi, menunjukkan loyalitas, namun di sisi lain juga bisa memberatkan rakyat. Meski demikian, periode Mataram ini telah membentuk karakter Pemalang sebagai bagian tak terpisahkan dari sejarah besar Tanah Jawa.

 

Memasuki abad ke-17 dan ke-18 Masehi, cakrawala politik Nusantara mulai diwarnai oleh kehadiran bangsa-bangsa Eropa, terutama Kongsi Dagang Hindia Belanda atau VOC. Pengaruh VOC yang awalnya hanya berfokus pada perdagangan rempah-rempah, secara bertahap merambah ke ranah politik dan teritorial. Kesultanan Mataram pun tak luput dari intervensi VOC, yang pada akhirnya turut memengaruhi nasib daerah-daerah bawahannya, termasuk Kadipaten Pemalang.

Pemalang, sebagai salah satu wilayah pesisir utara Jawa, merasakan langsung dampak dari meningkatnya aktivitas VOC. Pelabuhan-pelabuhan kecil di sepanjang pantainya menjadi saksi lalu lintas kapal-kapal dagang VOC. Perjanjian-perjanjian antara Mataram dan VOC seringkali merugikan kepentingan rakyat dan penguasa lokal. Para Adipati Pemalang berada dalam posisi yang sulit, terjepit antara kewajiban kepada Sultan Mataram dan tekanan dari pihak VOC yang semakin kuat.

Tidak jarang, kebijakan VOC yang eksploitatif menimbulkan keresahan dan perlawanan dari masyarakat lokal. Meskipun mungkin tidak tercatat sebagai pemberontakan besar, bentuk-bentuk perlawanan kecil, penolakan terhadap kerja paksa, atau penghindaran dari pajak yang memberatkan, menjadi cara rakyat Pemalang untuk menunjukkan ketidakpuasan mereka. Semangat untuk mempertahankan hak dan martabat tetap menyala di tengah berbagai tekanan.

Para pemimpin lokal, baik dari kalangan bangsawan maupun tokoh agama, berusaha sekuat tenaga untuk melindungi rakyatnya dari kesewenang-wenangan. Mereka berdiplomasi, mencari celah dalam aturan, atau bahkan secara diam-diam mendukung perlawanan rakyat. Kisah-kisah kepahlawanan lokal dari masa ini, meskipun mungkin tidak sebesar perang Diponegoro, tetap menjadi bagian penting dari memori kolektif masyarakat Pemalang, menunjukkan bahwa semangat juang tidak pernah padam.

Era kolonialisme ini adalah masa yang penuh tantangan bagi Pemalang. Namun, di tengah kesulitan tersebut, masyarakat Pemalang terus beradaptasi dan bertahan. Nilai-nilai kegotongroyongan, ketabahan, dan ketaatan pada ajaran agama menjadi pegangan dalam menghadapi badai sejarah. Pengalaman menghadapi tekanan kolonial ini turut membentuk karakter masyarakat Pemalang yang tangguh dan tidak mudah menyerah.

 

Perjalanan panjang sejarah Kabupaten Pemalang, dari masa permukiman kuno hingga menjadi sebuah kadipaten yang mapan, telah meninggalkan warisan yang tak ternilai harganya. Jejak langkah para pendahulu, mulai dari penyebar agama, pahlawan lokal, hingga para pemimpin yang bijaksana, telah membentuk identitas dan karakter Pemalang yang kita kenal hari ini. Semangat mereka dalam membuka lahan, membangun komunitas, mempertahankan wilayah, dan menyebarkan nilai-nilai kebaikan terus menginspirasi generasi penerus.

Nilai-nilai luhur seperti religiusitas, gotong royong, keberanian, dan ketangguhan dalam menghadapi tantangan telah terpatri dalam sanubari masyarakat Pemalang. Masjid-masjid kuno, makam-makam keramat para tokoh bersejarah, serta tradisi dan adat istiadat yang masih lestari menjadi saksi bisu dari perjalanan waktu. Semua ini adalah kekayaan budaya yang perlu dijaga dan diwariskan kepada anak cucu, sebagai pengingat akan akar sejarah mereka.

Di era modern ini, Kabupaten Pemalang terus bergerak maju, menghadapi berbagai tantangan dan peluang baru. Pembangunan di berbagai sektor, mulai dari infrastruktur, pendidikan, kesehatan, hingga ekonomi, terus digalakkan demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun, semangat para pendahulu hendaknya tidak dilupakan. Kearifan lokal dan nilai-nilai sejarah harus menjadi landasan dalam setiap langkah pembangunan, agar kemajuan yang dicapai tidak tercerabut dari akarnya.

Menggali dan memahami sejarah asal-usul Kabupaten Pemalang bukan hanya sekadar untuk mengenang masa lalu. Lebih dari itu, ia adalah cermin untuk merefleksikan diri, mengambil pelajaran dari keberhasilan dan kegagalan para pendahulu, serta menumbuhkan rasa cinta dan bangga terhadap tanah kelahiran. Dengan semangat persatuan dan kerja keras, masyarakat Pemalang dapat terus melanjutkan cita-cita para leluhur untuk mewujudkan Pemalang yang maju, sejahtera, dan berakhlak mulia.

Semangat Pangeran Benawa, Ki Joko Bahu, para Adipati, serta ulama dan tokoh masyarakat yang telah berjasa, hendaknya senantiasa menjadi suluh penerang bagi setiap upaya membangun Pemalang. Dengan ridho Allah, semoga Pemalang terus berkembang menjadi daerah yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur, negeri yang baik dengan ampunan dari Sang Maha Pencipta.

Demikianlah kisah ini diceritakan, segala kebenaran detailnya kita kembalikan kepada Allah, Tuhan pemilik kisah kehidupan.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Legenda Putri Gunung Ledang, Cerita Rakyat Malaka

Kisah Legenda Puteri Junjung Buih, Cerita Rakyat Kalimantan

Kisah Gunung Sumbing: Sejarah, Legenda dan Cerita Mistis