Sejarah Asal Usul Kabupaten Pemalang
Alkisah, di bentangan pesisir
utara Pulau Jawa yang subur, terhampar sebuah wilayah yang kelak dikenal dengan
nama Pemalang. Kisah ini bermula jauh sebelum nama itu terukir, di masa ketika
peradaban kuno menancapkan akarnya, dan alam masih menyimpan banyak misteri.
Hutan-hutan lebat menutupi sebagian besar daratan, dihuni oleh beragam satwa
dan dijaga oleh roh-roh leluhur menurut kepercayaan masa itu. Sungai-sungai
besar berkelok-kelok membelah bumi, menjadi urat nadi kehidupan bagi penduduk
awal yang mendiami tepiannya, membangun komunitas kecil yang hidup dari
berburu, bercocok tanam sederhana, dan memanfaatkan hasil hutan.
Dari masa ke masa, wilayah ini
tak luput dari pengaruh kerajaan-kerajaan besar yang silih berganti berkuasa di
Tanah Jawa. Jejak-jejak peradaban Hindu-Buddha seperti Kerajaan Kalingga hingga
Medang Kamulan, walau mungkin tak meninggalkan candi megah di Pemalang, namun
hembusan angin peradabannya terasa hingga ke pelosok-pelosok desa. Para
pedagang dari berbagai penjuru Nusantara bahkan dari negeri seberang, mulai
singgah, membawa serta barang dagangan, adat istiadat, dan juga keyakinan baru.
Pertemuan budaya ini secara perlahan membentuk karakter masyarakat yang terbuka
namun tetap memegang teguh tradisi.
Konon, salah satu titik penting
dalam pembentukan awal wilayah ini adalah peran para tokoh spiritual dan
pemimpin masyarakat yang memiliki kearifan lokal. Mereka tidak hanya menjadi
panutan dalam kehidupan sehari-hari tetapi juga penjaga keseimbangan alam dan
sosial. Dengan ilmu kanuragan dan kedekatan dengan Sang Pencipta, mereka
membuka hutan, membangun perkampungan, dan mengajarkan cara hidup yang selaras
dengan lingkungan. Nama-nama mereka mungkin tak semuanya tercatat dalam
prasasti, namun semangat dan jasa mereka terpatri dalam ingatan kolektif
masyarakat dari generasi ke generasi.
Kehidupan di masa itu penuh
dengan tantangan. Ancaman dari binatang buas, wabah penyakit, hingga
perselisihan antar kelompok menjadi bagian dari dinamika sehari-hari. Namun,
semangat untuk bertahan hidup dan membangun komunitas yang lebih baik terus
menyala. Gotong royong menjadi kunci, saling membantu dalam membuka lahan,
membangun rumah, hingga menjaga keamanan kampung. Nilai-nilai inilah yang
kemudian menjadi fondasi kuat bagi masyarakat Pemalang di masa-masa mendatang,
sebuah warisan tak ternilai dari para pendahulu.
Dengan berjalannya waktu,
perkampungan-perkampungan kecil ini mulai berkembang dan saling terhubung.
Interaksi antarwarga semakin intens, menciptakan sebuah kesatuan budaya yang
khas. Meskipun belum memiliki struktur pemerintahan formal seperti sebuah
kabupaten, benih-benih kepemimpinan lokal mulai tumbuh, diakui berdasarkan
kharisma, keberanian, dan kemampuan untuk mengayomi masyarakat. Inilah cikal
bakal dari sebuah entitas yang kelak akan menorehkan sejarahnya sendiri di
panggung Nusantara.
Pada abad-abad berikutnya,
seiring dengan meredupnya pengaruh kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha, muncullah
cahaya baru dari ajaran Islam yang mulai merambah pesisir utara Jawa. Salah
satu tokoh yang sering dikaitkan dengan penyebaran Islam di wilayah Pemalang
dan sekitarnya adalah Syekh Maulana Maghribi. Kehadirannya, bersama para ulama
lain, membawa perubahan besar dalam tatanan sosial dan spiritual masyarakat.
Dakwah yang mereka sampaikan penuh dengan kedamaian dan kearifan, sehingga
mudah diterima oleh penduduk setempat yang pada dasarnya merindukan tuntunan
hidup.
Syekh Maulana Maghribi, yang
menurut beberapa riwayat datang dari Jazirah Arab, tidak hanya mengajarkan
syariat Islam tetapi juga memperkenalkan cara bercocok tanam yang lebih baik,
pengobatan tradisional, dan tata krama kehidupan bermasyarakat. Beliau
mendekati penduduk dengan penuh kasih sayang, menghargai adat istiadat setempat
selama tidak bertentangan dengan ajaran tauhid. Banyak penduduk yang dengan
tulus memeluk Islam, merasakan kedamaian dan pencerahan dari ajaran yang dibawa
oleh sang Syekh dan para pengikutnya.
Tempat-tempat persinggahan dan padepokan
yang didirikan oleh para penyebar Islam ini kemudian berkembang menjadi
pusat-pusat kegiatan keagamaan dan pendidikan. Di sanalah para santri menimba
ilmu, tidak hanya ilmu agama tetapi juga berbagai keterampilan hidup. Interaksi
antara para pendakwah dengan masyarakat lokal melahirkan akulturasi budaya yang
harmonis, di mana ajaran Islam bersanding dengan kearifan lokal, menciptakan
corak keislaman yang khas di pesisir Jawa.
Kisah kesabaran dan kegigihan
para wali dan ulama dalam menyebarkan ajaran Allah menjadi teladan. Mereka
menghadapi berbagai rintangan, mulai dari medan yang sulit, perbedaan bahasa,
hingga kecurigaan dari sebagian kelompok masyarakat yang masih memegang teguh
kepercayaan lama. Namun, dengan ridho Allah dan niat yang tulus, cahaya Islam
perlahan namun pasti menerangi wilayah yang kelak menjadi Pemalang, menanamkan
nilai-nilai keimanan dan ketakwaan yang terus tumbuh subur.
Warisan para penyebar Islam ini
tidak hanya berupa masjid-masjid kuno atau makam-makam keramat yang hingga kini
masih diziarahi, tetapi yang lebih penting adalah tertanamnya pondasi spiritual
yang kokoh dalam diri masyarakat. Semangat keislaman ini kelak akan mewarnai
perjalanan sejarah Pemalang, memberikan inspirasi bagi para pemimpin dan
rakyatnya dalam membangun daerah tercinta, mencari keberkahan dalam setiap
langkah dan usaha.
Jauh sebelum Pemalang resmi
berdiri sebagai sebuah kadipaten, wilayah pesisirnya merupakan daerah strategis
yang sering menjadi lalu lintas para pedagang maupun perompak. Di tengah kondisi
tersebut, muncullah legenda tentang seorang tokoh gagah perkasa bernama Ki Joko
Bahu, atau yang kelak lebih dikenal dengan sebutan Embah Bahurekso. Beliau
dipercaya sebagai sosok sakti mandraguna yang bertugas menjaga keamanan dan
ketertiban di sepanjang pesisir utara, termasuk wilayah yang kini menjadi
bagian dari Pemalang.
Menurut cerita tutur yang
berkembang, Ki Joko Bahu adalah seorang pemuda tangguh yang memiliki kesaktian
luar biasa. Ia mampu menaklukkan berbagai ancaman, baik yang berasal dari alam
gaib maupun dari para penjahat yang mengganggu ketenteraman masyarakat pesisir.
Keberaniannya dalam menghadapi ombak ganas Laut Jawa dan keganasannya dalam
memberantas perompak membuatnya disegani kawan maupun lawan. Rakyat pesisir
merasa aman dan terlindungi di bawah penjagaannya.
Salah satu kisah yang melekat
pada Ki Joko Bahu adalah kemampuannya dalam "memalang" atau
menghadang laju perahu-perahu perompak yang hendak merapat ke pantai untuk
menjarah. Dengan kesaktiannya, ia bisa membuat ombak menjadi besar atau
menciptakan rintangan gaib sehingga para penjahat itu tunggang langgang. Ada
pula yang mengaitkan kemampuannya ini dengan asal usul nama Pemalang, yakni
tempat di mana Ki Joko Bahu sering melakukan "pemalangan" terhadap
musuh-musuhnya.
Meskipun sosok Ki Joko Bahu lebih
kental dengan nuansa legenda, keberadaannya dalam cerita rakyat menunjukkan
betapa pentingnya aspek keamanan dan pertahanan bagi masyarakat pesisir di masa
lampau. Figur pahlawan lokal seperti beliau menjadi simbol perlawanan terhadap
ketidakadilan dan ancaman dari luar. Semangat kepahlawanan Ki Joko Bahu ini
menginspirasi masyarakat untuk senantiasa waspada dan menjaga kedaulatan
wilayahnya.
Kisah Ki Joko Bahu, terlepas dari
kebenaran historisnya, telah menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas
budaya Pemalang. Ia melambangkan kekuatan, keberanian, dan komitmen untuk
melindungi tanah air dan rakyatnya. Semangat inilah yang diharapkan terus hidup
dalam jiwa setiap generasi penerus di Kabupaten Pemalang, untuk menjaga dan membangun
daerahnya dengan penuh dedikasi.
Memasuki pertengahan abad ke-16
Masehi, di jantung Pulau Jawa, Kerajaan Pajang tengah mencapai puncak
kejayaannya di bawah kepemimpinan Sultan Hadiwijaya, yang juga dikenal dengan
nama Jaka Tingkir. Namun, seperti roda kehidupan yang terus berputar, masa-masa
penuh intrik dan perebutan kekuasaan pun mulai membayangi. Salah satu tokoh
sentral dalam dinamika politik Pajang kala itu adalah Pangeran Benawa, putra
Sultan Hadiwijaya.
Pangeran Benawa dikenal sebagai
sosok yang arif bijaksana dan tidak terlalu ambisius terhadap takhta. Ketika
terjadi kemelut perebutan kekuasaan sepeninggal ayahnya, yang melibatkan Arya
Pangiri dari Demak dan Sutawijaya dari Mataram, Pangeran Benawa memilih jalan
yang lebih mengedepankan keutuhan dan kedamaian. Beliau lebih memilih untuk
mengabdikan dirinya demi kesejahteraan rakyat dan penyebaran syiar Islam
daripada terlibat dalam pertikaian berkepanjangan.
Dalam perjalanan spiritual dan
pengabdiannya, konon Pangeran Benawa mendapat petunjuk untuk menuju ke arah
barat dari pusat Kerajaan Pajang. Beliau menyusuri wilayah pesisir utara Jawa,
sebuah kawasan yang memiliki potensi besar namun juga memerlukan penataan dan
kepemimpinan yang kuat. Di sinilah peran Pangeran Benawa dalam sejarah awal Pemalang
mulai terukir, meskipun dalam beberapa versi cerita, fokus pendirian lebih
dikaitkan dengan tokoh lain yang mendapat mandat darinya atau dari otoritas
Pajang.
Menurut catatan sejarah dan
tradisi lisan, atas ridho Allah, Pangeran Benawa atau utusannya kemudian
berperan penting dalam merintis dan menata sebuah permukiman yang lebih teratur
di wilayah yang kini dikenal sebagai Pemalang. Beliau membawa serta pengaruh
dan wibawa Kerajaan Pajang, yang pada masa itu masih memiliki legitimasi kuat.
Kehadiran figur yang memiliki garis keturunan langsung dari Sultan Hadiwijaya
memberikan harapan baru bagi masyarakat setempat akan adanya kepemimpinan yang
adil dan mengayomi.
Langkah-langkah awal penataan
wilayah ini menjadi fondasi penting bagi pembentukan sebuah kadipaten di
kemudian hari. Pengaruh Pangeran Benawa, baik secara langsung maupun tidak
langsung, memberikan kontribusi signifikan dalam mempersiapkan Pemalang menjadi
sebuah entitas politik dan administratif yang diakui, serta menjadi bagian dari
jaringan kekuasaan yang lebih besar di Tanah Jawa pada masa itu.
Berdasarkan catatan resmi
Pemerintah Kabupaten Pemalang, hari jadi Kabupaten Pemalang ditetapkan pada
tanggal 24 Januari Tahun 1575 Masehi. Penetapan tanggal ini merujuk pada
peristiwa penting di mana wilayah Pemalang secara resmi diakui sebagai sebuah
daerah administratif setingkat kadipaten di bawah naungan Kerajaan Pajang.
Momen ini menandai babak baru dalam sejarah Pemalang, dari sekumpulan
perkampungan menjadi sebuah entitas pemerintahan yang lebih terstruktur.
Tokoh yang sering disebut-sebut
sebagai Adipati pertama Pemalang pada masa itu, yang diangkat atau mendapat
restu dari penguasa Pajang, adalah seorang bangsawan yang memiliki kemampuan
dan integritas. Meskipun nama Adipati pertama ini terkadang muncul dalam
beberapa versi yang berbeda dalam tradisi lisan, namun yang pasti adalah bahwa
pengangkatan seorang Adipati menandakan bahwa Pemalang telah dianggap sebagai
wilayah yang cukup penting dan strategis, baik dari segi ekonomi, sosial, maupun
pertahanan.
Pembentukan Kadipaten Pemalang
ini tidak lepas dari dinamika politik yang terjadi di Kerajaan Pajang dan upaya
untuk memperkuat pengaruhnya di wilayah pesisir. Dengan adanya seorang Adipati
yang loyal kepada Pajang, diharapkan wilayah Pemalang dapat lebih terkendali,
potensi sumber dayanya dapat dimanfaatkan secara optimal, dan keamanannya lebih
terjamin dari ancaman-ancaman, baik dari dalam maupun dari luar.
Tugas seorang Adipati pada masa
itu sangatlah berat. Ia tidak hanya bertanggung jawab atas pemerintahan dan
ketertiban wilayahnya, tetapi juga harus mampu menyejahterakan rakyatnya,
menegakkan hukum, dan menjaga hubungan baik dengan pemerintah pusat di Pajang.
Adipati pertama Pemalang, dengan segala keterbatasan dan tantangan yang ada, berusaha
meletakkan dasar-dasar pemerintahan yang baik, membangun infrastruktur
sederhana, dan mengembangkan potensi daerahnya.
Dengan diresmikannya Kadipaten
Pemalang, dimulailah era baru di mana wilayah ini memiliki identitas politik
yang jelas. Para pemimpin silih berganti memimpin kadipaten ini, masing-masing
dengan kebijakan dan tantangannya sendiri, namun semuanya berkontribusi dalam
membentuk Pemalang menjadi seperti yang kita kenal sekarang. Semangat pendirian
kadipaten ini menjadi tonggak sejarah yang selalu dikenang oleh masyarakat
Pemalang.
Setiap nama tentu memiliki kisah
dan makna di baliknya, begitu pula dengan nama Pemalang. Terdapat beberapa
versi dan interpretasi mengenai asal-usul dan arti nama Pemalang, yang semuanya
menambah kekayaan khazanah budaya daerah ini. Pemahaman akan makna nama ini
membantu kita untuk lebih menghargai sejarah dan karakter wilayah tersebut.
Salah satu versi yang paling
populer mengaitkan nama Pemalang dengan kata dasar "malang" atau
"pemalangan". Dalam konteks ini, "malang" bisa berarti
rintangan, halangan, atau sesuatu yang melintang. Kata "pemalangan"
kemudian diartikan sebagai tempat untuk "memalang" atau menghalangi.
Teori ini sering dihubungkan dengan fungsi geografis wilayah Pemalang di masa
lalu, terutama sungainya yang mungkin menjadi tempat di mana perahu-perahu
harus berhenti atau tertahan karena rintangan alam atau buatan. Ada juga yang
mengaitkannya dengan legenda Ki Joko Bahu yang "memalang" musuh.
Versi lain menyebutkan bahwa kata
"malang" juga bisa berarti nasib kurang baik atau kesialan. Namun,
dalam konteks nama daerah, ini sering diinterpretasikan secara positif, yaitu
sebagai sebuah tempat di mana segala kesialan atau rintangan dapat diatasi atau
"dipalangi". Jadi, Pemalang menjadi tempat untuk menolak bala atau
mengatasi kesulitan. Semangat ini mencerminkan karakter masyarakatnya yang
tangguh dan pantang menyerah dalam menghadapi berbagai cobaan hidup.
Ada pula pendapat yang
menghubungkan nama Pemalang dengan kondisi geografisnya, seperti adanya daerah
yang "malang" atau miring, atau banyaknya pohon Kepuh (yang buahnya
disebut "klungsu malang"). Beberapa ahli bahasa juga mencoba
menelusuri dari akar kata dalam bahasa Jawa Kuno atau Sansekerta, namun
penafsiran ini memerlukan kajian yang lebih mendalam dan bukti-bukti linguistik
yang kuat.
Terlepas dari versi mana yang
paling akurat, makna yang terkandung dalam nama Pemalang seringkali
merefleksikan harapan dan semangat para pendirinya serta masyarakatnya. Apakah
itu sebagai benteng pertahanan, tempat mengatasi rintangan, atau wilayah yang
penuh dengan harapan akan masa depan yang lebih baik. Nama ini telah menyatu
dengan identitas daerah dan menjadi pengingat akan perjalanan panjang
sejarahnya.
Oleh karena itu, memahami
berbagai tafsir mengenai nama Pemalang bukan hanya sekadar mengetahui etimologi
sebuah kata, tetapi juga menyelami jiwa dan filosofi yang terkandung di
dalamnya. Nama ini adalah warisan yang terus hidup, membawa serta cerita,
harapan, dan identitas bagi seluruh masyarakat Kabupaten Pemalang.
Seiring dengan surutnya pengaruh
Kerajaan Pajang pada akhir abad ke-16 Masehi, muncullah kekuatan baru yang
dominan di Tanah Jawa, yaitu Kesultanan Mataram Islam yang didirikan oleh
Panembahan Senopati. Perubahan peta politik ini tentu saja membawa dampak
signifikan bagi daerah-daerah bawahannya, termasuk Kadipaten Pemalang. Pemalang
pun beralih menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Mataram, dan para Adipatinya
harus menunjukkan loyalitas kepada Sultan Mataram.
Di bawah naungan Mataram,
struktur pemerintahan di Kadipaten Pemalang semakin tertata. Para Adipati yang
memerintah mendapat mandat langsung dari keraton Mataram dan bertanggung jawab
untuk menjalankan kebijakan-kebijakan pusat di daerahnya. Tugas utama mereka
meliputi pengumpulan upeti, pengerahan tenaga kerja untuk kepentingan kerajaan,
menjaga keamanan dan ketertiban, serta memastikan roda perekonomian berjalan
dengan baik.
Kehidupan masyarakat Pemalang
pada era Mataram ini banyak diwarnai oleh kegiatan agraris. Tanah yang subur di
sepanjang pesisir dan daerah pedalaman dimanfaatkan untuk menanam padi,
palawija, dan tanaman perdagangan lainnya. Hasil bumi ini tidak hanya untuk
memenuhi kebutuhan lokal tetapi juga untuk disetorkan sebagai bagian dari
kewajiban kepada Mataram. Selain pertanian, kegiatan perikanan di sepanjang
pantai juga menjadi sumber penghidupan penting bagi sebagian penduduk.
Meskipun berada di bawah
kekuasaan besar, para Adipati Pemalang tetap berusaha untuk mengembangkan
daerahnya. Mereka membangun sarana dan prasarana penting seperti jalan,
jembatan, dan pasar, meskipun dalam skala yang sederhana. Kehidupan keagamaan
juga terus berkembang, dengan masjid-masjid dan langgar menjadi pusat kegiatan
ibadah dan pendidikan Islam. Para ulama dan kiai memegang peranan penting dalam
membimbing umat dan menjaga moralitas masyarakat.
Namun, menjadi bagian dari
kerajaan besar juga berarti Pemalang seringkali terlibat dalam dinamika politik
dan militer Mataram. Kadang kala, Pemalang harus mengirimkan prajurit untuk
membantu Mataram dalam peperangan atau proyek-proyek besar lainnya.
Keterlibatan ini, di satu sisi, menunjukkan loyalitas, namun di sisi lain juga
bisa memberatkan rakyat. Meski demikian, periode Mataram ini telah membentuk
karakter Pemalang sebagai bagian tak terpisahkan dari sejarah besar Tanah Jawa.
Memasuki abad ke-17 dan ke-18
Masehi, cakrawala politik Nusantara mulai diwarnai oleh kehadiran bangsa-bangsa
Eropa, terutama Kongsi Dagang Hindia Belanda atau VOC. Pengaruh VOC yang
awalnya hanya berfokus pada perdagangan rempah-rempah, secara bertahap merambah
ke ranah politik dan teritorial. Kesultanan Mataram pun tak luput dari
intervensi VOC, yang pada akhirnya turut memengaruhi nasib daerah-daerah
bawahannya, termasuk Kadipaten Pemalang.
Pemalang, sebagai salah satu
wilayah pesisir utara Jawa, merasakan langsung dampak dari meningkatnya
aktivitas VOC. Pelabuhan-pelabuhan kecil di sepanjang pantainya menjadi saksi
lalu lintas kapal-kapal dagang VOC. Perjanjian-perjanjian antara Mataram dan
VOC seringkali merugikan kepentingan rakyat dan penguasa lokal. Para Adipati
Pemalang berada dalam posisi yang sulit, terjepit antara kewajiban kepada
Sultan Mataram dan tekanan dari pihak VOC yang semakin kuat.
Tidak jarang, kebijakan VOC yang
eksploitatif menimbulkan keresahan dan perlawanan dari masyarakat lokal.
Meskipun mungkin tidak tercatat sebagai pemberontakan besar, bentuk-bentuk
perlawanan kecil, penolakan terhadap kerja paksa, atau penghindaran dari pajak
yang memberatkan, menjadi cara rakyat Pemalang untuk menunjukkan ketidakpuasan mereka.
Semangat untuk mempertahankan hak dan martabat tetap menyala di tengah berbagai
tekanan.
Para pemimpin lokal, baik dari
kalangan bangsawan maupun tokoh agama, berusaha sekuat tenaga untuk melindungi
rakyatnya dari kesewenang-wenangan. Mereka berdiplomasi, mencari celah dalam
aturan, atau bahkan secara diam-diam mendukung perlawanan rakyat. Kisah-kisah
kepahlawanan lokal dari masa ini, meskipun mungkin tidak sebesar perang
Diponegoro, tetap menjadi bagian penting dari memori kolektif masyarakat Pemalang,
menunjukkan bahwa semangat juang tidak pernah padam.
Era kolonialisme ini adalah masa
yang penuh tantangan bagi Pemalang. Namun, di tengah kesulitan tersebut,
masyarakat Pemalang terus beradaptasi dan bertahan. Nilai-nilai
kegotongroyongan, ketabahan, dan ketaatan pada ajaran agama menjadi pegangan
dalam menghadapi badai sejarah. Pengalaman menghadapi tekanan kolonial ini
turut membentuk karakter masyarakat Pemalang yang tangguh dan tidak mudah
menyerah.
Perjalanan panjang sejarah
Kabupaten Pemalang, dari masa permukiman kuno hingga menjadi sebuah kadipaten
yang mapan, telah meninggalkan warisan yang tak ternilai harganya. Jejak
langkah para pendahulu, mulai dari penyebar agama, pahlawan lokal, hingga para
pemimpin yang bijaksana, telah membentuk identitas dan karakter Pemalang yang
kita kenal hari ini. Semangat mereka dalam membuka lahan, membangun komunitas,
mempertahankan wilayah, dan menyebarkan nilai-nilai kebaikan terus
menginspirasi generasi penerus.
Nilai-nilai luhur seperti
religiusitas, gotong royong, keberanian, dan ketangguhan dalam menghadapi
tantangan telah terpatri dalam sanubari masyarakat Pemalang. Masjid-masjid
kuno, makam-makam keramat para tokoh bersejarah, serta tradisi dan adat
istiadat yang masih lestari menjadi saksi bisu dari perjalanan waktu. Semua ini
adalah kekayaan budaya yang perlu dijaga dan diwariskan kepada anak cucu,
sebagai pengingat akan akar sejarah mereka.
Di era modern ini, Kabupaten
Pemalang terus bergerak maju, menghadapi berbagai tantangan dan peluang baru.
Pembangunan di berbagai sektor, mulai dari infrastruktur, pendidikan,
kesehatan, hingga ekonomi, terus digalakkan demi meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Namun, semangat para pendahulu hendaknya tidak dilupakan. Kearifan
lokal dan nilai-nilai sejarah harus menjadi landasan dalam setiap langkah
pembangunan, agar kemajuan yang dicapai tidak tercerabut dari akarnya.
Menggali dan memahami sejarah
asal-usul Kabupaten Pemalang bukan hanya sekadar untuk mengenang masa lalu.
Lebih dari itu, ia adalah cermin untuk merefleksikan diri, mengambil pelajaran
dari keberhasilan dan kegagalan para pendahulu, serta menumbuhkan rasa cinta
dan bangga terhadap tanah kelahiran. Dengan semangat persatuan dan kerja keras,
masyarakat Pemalang dapat terus melanjutkan cita-cita para leluhur untuk
mewujudkan Pemalang yang maju, sejahtera, dan berakhlak mulia.
Semangat Pangeran Benawa, Ki Joko
Bahu, para Adipati, serta ulama dan tokoh masyarakat yang telah berjasa,
hendaknya senantiasa menjadi suluh penerang bagi setiap upaya membangun
Pemalang. Dengan ridho Allah, semoga Pemalang terus berkembang menjadi daerah
yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur, negeri yang baik dengan ampunan
dari Sang Maha Pencipta.
Demikianlah kisah ini
diceritakan, segala kebenaran detailnya kita kembalikan kepada Allah, Tuhan
pemilik kisah kehidupan.
Komentar
Posting Komentar