KISAH ASAL USUL KOTA SAMARINDA

 

 


Di tepian Sungai Mahakam yang agung, terhampar sebuah kota yang ramai dan penuh sejarah, Kota Samarinda. Kisahnya bukanlah dongeng biasa, melainkan sebuah epik perjalanan, perjuangan, dan filosofi hidup sekelompok manusia yang mencari harapan baru. Berawal dari gejolak di tanah seberang, lahirlah sebuah pemukiman yang namanya kelak akan menggema sebagai simbol persatuan dan kerendahan hati, sebuah warisan abadi dari para perantau Bugis Wajo yang gagah berani.

Kisah ini bermula jauh di seberang lautan, di Kerajaan Gowa, Sulawesi Selatan. Pada pertengahan abad ke-17 Masehi, suasana damai terusik oleh kehadiran VOC, serikat dagang Belanda yang haus akan kuasa. Perjanjian Bongaya yang ditandatangani pada Tahun 1667 Masehi menjadi puncak dari tekanan dan pertikaian. Perjanjian ini, yang seharusnya membawa damai, justru terasa seperti belenggu yang mencekik bagi banyak kerajaan sekutu Gowa, terutama bagi orang-orang Suku Bugis dari Wajo.

Orang Bugis Wajo, yang dikenal sebagai pelaut ulung dan pejuang yang tak kenal takut, merasa terhina oleh isi perjanjian tersebut. Mereka yang selama ini hidup merdeka di bawah panji kebesaran Gowa, kini dipaksa tunduk pada aturan bangsa asing. Bagi mereka, kepatuhan pada VOC adalah sebuah kemustahilan, sebuah pengkhianatan terhadap harga diri dan leluhur. Suasana di Wajo menjadi tegang, dipenuhi bisik-bisik perlawanan dan kegelisahan akan masa depan.

Di tengah kegelisahan itu, muncullah seorang tokoh yang dihormati, seorang bangsawan Bugis bernama La Mohang Daeng Mangkona. Beliau melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana perjanjian itu memecah belah bangsanya. Beliau menyaksikan bagaimana semangat juang para pemuda perlahan meredup, digantikan oleh kepasrahan yang menyakitkan. La Mohang Daeng Mangkona tahu, bertahan di tanah kelahiran dalam kondisi terjajah bukanlah pilihan yang bijaksana.

Dengan berat hati, beliau pun mulai mengumpulkan para pengikutnya, para kepala keluarga, dan para pemuda yang masih menyalakan api perlawanan di dalam dada. Beliau berbicara bukan dengan kata-kata api yang membakar, melainkan dengan ketenangan seorang pemimpin yang bijaksana. Beliau memaparkan sebuah pilihan yang berat, yaitu meninggalkan tanah tumpah darah untuk mencari secercah harapan dan kebebasan di negeri seberang, sebuah hijrah untuk menjaga kehormatan.

Keputusan itu tidaklah mudah. Meninggalkan kampung halaman, sanak saudara, dan makam para leluhur adalah sebuah kepedihan yang mendalam. Namun, bayangan hidup di bawah telunjuk VOC jauh lebih menakutkan. Akhirnya, dengan tekad bulat dan keyakinan akan pertolongan Allah, mereka pun sepakat. Mereka akan berlayar, mengarungi lautan luas, menuju sebuah masa depan yang belum pasti, berbekal keberanian dan harapan akan sebuah negeri baru yang ramah.

 

Persiapan untuk perjalanan besar itu pun dimulai. La Mohang Daeng Mangkona dengan cermat mengorganisir segala sesuatunya. Perahu-perahu pinisi yang kokoh disiapkan, diisi dengan perbekalan yang cukup untuk mengarungi lautan selama berminggu-minggu. Perempuan-perempuan Bugis yang tabah mengumpulkan bahan makanan, sementara kaum lelaki memastikan setiap layar, tali, dan dayung dalam kondisi terbaik. Ini bukan sekadar pelayaran, ini adalah sebuah eksodus massal untuk menyelamatkan sebuah generasi.

Suasana haru menyelimuti pelabuhan di hari keberangkatan. Isak tangis keluarga yang ditinggalkan berbaur dengan deru ombak dan pekikan semangat para perantau. La Mohang Daeng Mangkona berdiri tegak di haluan perahu utamanya, menatap tanah kelahirannya untuk terakhir kali. Ada kesedihan di matanya, namun ada pula api keteguhan yang tak tergoyahkan. Beliau tahu, tanggung jawab atas ratusan jiwa kini berada di pundaknya.

Perjalanan mengarungi Selat Makassar bukanlah pelayaran yang mudah. Badai dan ombak ganas menjadi tantangan sehari-hari. Namun, sebagai pelaut yang lahir dan besar bersama lautan, mereka menghadapinya dengan keahlian dan keberanian yang luar biasa. Di tengah lautan yang tak bertepi itu, mereka saling menguatkan, berbagi cerita tentang harapan akan tanah baru yang akan mereka bangun bersama, sebuah tanah di mana anak cucu mereka bisa hidup tanpa penindasan.

Setelah berminggu-minggu terombang-ambing di lautan, dari kejauhan akhirnya tampaklah garis hijau daratan. Itulah Pulau Kalimantan, sebuah daratan luas yang menjanjikan harapan baru. Perahu-perahu itu pun diarahkan menuju muara sebuah sungai besar yang berkelok-kelok gagah, Sungai Mahakam. Mereka memasuki sungai itu dengan penuh kewaspadaan, sekaligus kekaguman akan keindahan alam yang belum pernah mereka lihat sebelumnya.

Rombongan La Mohang Daeng Mangkona akhirnya menambatkan perahu-perahu mereka di wilayah kekuasaan Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura. Mereka datang bukan sebagai penakluk, melainkan sebagai tamu yang memohon perlindungan dan sebidang tanah untuk memulai hidup baru. Mereka datang dengan niat baik, membawa serta adat dan budaya mereka, siap untuk menjadi bagian dari negeri yang baru ini dengan Rido dari sang penguasa.

 

Kabar kedatangan rombongan besar dari seberang lautan itu segera sampai ke telinga penguasa Kesultanan Kutai, Sultan Aji Muhammad Salehuddin 1. Sebagai seorang pemimpin yang bijaksana, Sultan tidak lantas merasa terancam. Beliau justru memerintahkan para punggawanya untuk menyambut para tamu itu dengan baik dan mengundang pemimpin mereka untuk menghadap ke istana. Sultan ingin mendengar langsung maksud dan tujuan kedatangan orang-orang Bugis Wajo tersebut.

La Mohang Daeng Mangkona, dengan didampingi beberapa tetua adatnya, mempersiapkan diri untuk menghadap Sultan. Beliau membawa serta beberapa persembahan sebagai tanda hormat dan itikad baik. Beliau tahu bahwa pertemuan ini akan menentukan nasib seluruh pengikutnya. Dengan kerendahan hati dan tutur kata yang santun, beliau melangkahkan kaki memasuki balairung istana Kesultanan Kutai yang megah.

Di hadapan Sultan Aji Muhammad Salehuddin 1, La Mohang Daeng Mangkona menceritakan semua kisah pilu yang mereka alami di tanah kelahiran. Beliau menjelaskan tentang Perjanjian Bongaya yang menindas dan keputusan berat mereka untuk hijrah demi mencari kebebasan. Beliau memohon belas kasihan dan Rido dari Sultan agar diizinkan menetap di wilayah kekuasaan Kesultanan Kutai. Beliau berjanji bahwa ia dan kaumnya akan setia kepada Sultan dan akan membantu menjaga keamanan wilayah kesultanan.

Sultan Kutai mendengarkan dengan saksama setiap patah kata yang diucapkan La Mohang Daeng Mangkona. Sang Sultan melihat ketulusan di mata pemimpin Bugis itu dan merasakan penderitaan yang telah mereka lalui. Sebagai seorang pemimpin yang adil, hati Sultan tergerak. Beliau melihat potensi besar dalam diri para perantau ini, semangat kerja keras dan keahlian mereka sebagai pelaut bisa menjadi aset berharga bagi kesultanan.

Setelah berunding dengan para penasihat istana, Sultan Aji Muhammad Salehuddin 1 pun membuat keputusan. Beliau terkesan dengan kejujuran dan keberanian La Mohang Daeng Mangkona. Beliau percaya bahwa menerima para perantau ini akan membawa kebaikan bagi negerinya. Maka, Sultan pun menyatakan bahwa permohonan mereka dikabulkan, sebuah keputusan yang disambut dengan sujud syukur oleh La Mohang Daeng Mangkona dan para pengikutnya.

 

Sultan Aji Muhammad Salehuddin 1 kemudian menunjuk sebuah lokasi bagi rombongan Bugis Wajo untuk membangun pemukiman baru mereka. Lokasi tersebut berada di tepi Sungai Mahakam, sebuah kawasan dataran rendah yang cenderung berawa-rawa, yang kini dikenal sebagai wilayah Samarinda Seberang. Pada masa itu, daerah tersebut belum banyak dihuni, ditumbuhi oleh semak belukar dan pepohonan rimbun khas lahan basah.

Namun, bagi La Mohang Daeng Mangkona dan kaumnya, anugerah sebidang tanah itu adalah segalanya. Mereka tidak memandang kondisi tanah yang rendah dan berair sebagai sebuah halangan, melainkan sebagai sebuah tantangan yang harus ditaklukkan. Dengan penuh rasa syukur, mereka menerima pemberian Sultan. Sebuah perjanjian pun dibuat, yang menegaskan kesetiaan mereka kepada Kesultanan Kutai dan kewajiban mereka untuk membantu mempertahankan wilayah dari serangan musuh, terutama dari laut.

Tanggal bersejarah disepakatinya perjanjian tersebut adalah pada tanggal 21 Januari Tahun 1668 Masehi. Tanggal inilah yang kemudian diakui secara resmi sebagai hari jadi Kota Samarinda, sebuah momen ketika harapan baru mulai bersemi di tanah Kalimantan. Pemberian izin ini bukan hanya sekadar pemberian tempat tinggal, tetapi juga sebuah bentuk kepercayaan penuh dari Sultan kepada para pendatang.

La Mohang Daeng Mangkona segera membawa kabar gembira ini kepada seluruh kaumnya yang telah menunggu dengan cemas di atas perahu. Sukacita membuncah di antara mereka. Mereka akhirnya memiliki tempat yang bisa disebut rumah, sebuah tempat untuk membangun kembali kehidupan yang telah direnggut di tanah seberang. Semangat gotong royong pun segera berkobar di antara mereka.

Mereka pun mulai membayangkan sebuah perkampungan yang akan mereka bangun. Mereka tidak ingin ada lagi penindasan atau perbedaan status yang mencolok seperti yang mereka rasakan di bawah tekanan VOC. Mereka menginginkan sebuah komunitas yang egaliter, di mana semua orang memiliki kedudukan yang setara dan saling menghormati, sebuah cita-cita yang akan menjadi fondasi utama bagi pemukiman baru mereka.

 

Dengan semangat yang menyala-nyala, orang-orang Bugis Wajo di bawah pimpinan La Mohang Daeng Mangkona mulai bekerja. Laki-laki dan perempuan, tua dan muda, bahu-membahu membuka lahan. Mereka menebangi pepohonan, membersihkan semak belukar, dan menimbun tanah rawa agar layak untuk didirikan bangunan. Sungai Mahakam yang perkasa menjadi saksi bisu perjuangan dan kerja keras mereka.

Sebagai orang yang terbiasa hidup di dekat air, mereka sangat ahli dalam membangun rumah panggung. Rumah-rumah ini dibuat dari kayu-kayu ulin yang kuat, dengan tiang-tiang tinggi untuk menghindari luapan air sungai saat pasang atau banjir. Proses pembangunan dilakukan secara gotong royong. Satu keluarga yang membangun rumah akan dibantu oleh seluruh warga kampung, sebuah cerminan dari kuatnya ikatan persaudaraan di antara mereka.

La Mohang Daeng Mangkona tidak hanya memimpin dari jauh, beliau turun langsung bekerja bersama rakyatnya. Beliau memberikan contoh bagaimana bekerja dengan ikhlas dan penuh semangat. Beliau juga memastikan bahwa setiap keluarga mendapatkan bagian yang adil dalam pembangunan ini. Kepemimpinan beliau yang merakyat semakin mengukuhkan rasa hormat dan kesetiaan dari para pengikutnya.

Dalam waktu yang relatif singkat, sebuah perkampungan sederhana namun teratur mulai terbentuk di tepi Sungai Mahakam. Rumah-rumah panggung berjejer rapi, dihubungkan oleh jembatan-jembatan kayu sederhana. Mereka juga mulai membuka lahan pertanian di dataran yang lebih tinggi dan memanfaatkan sungai sebagai jalur transportasi dan sumber mencari ikan, memulai kehidupan ekonomi mereka dari nol.

Perkampungan baru ini menjadi bukti nyata dari ketangguhan dan semangat pantang menyerah suku Bugis Wajo. Mereka berhasil mengubah lahan rawa yang dianggap tidak berharga menjadi sebuah pemukiman yang hidup dan penuh harapan. Ini adalah awal dari sebuah komunitas yang akan tumbuh besar dan menjadi pusat peradaban baru di aliran Sungai Mahakam.

 

Seiring dengan berdirinya rumah-rumah di perkampungan baru itu, sebuah keunikan mulai terlihat. Semua rumah panggung yang mereka bangun memiliki ketinggian yang sama. Lantai rumah dibuat sejajar satu sama lain, tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah secara signifikan. Hal ini bukanlah sebuah kebetulan, melainkan sebuah penerapan filosofi yang mendalam yang digagas oleh La Mohang Daeng Mangkona.

Ketinggian rumah yang sama ini melambangkan sebuah prinsip hidup yang mereka anut, yaitu Sama Rendah. Filosofi Sama Rendah ini berarti bahwa semua warga dalam komunitas tersebut memiliki kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama. Tidak ada lagi sistem kasta atau perbedaan status sosial yang tajam. Semua orang adalah saudara, hidup berdampingan dalam kesetaraan dan kerendahan hati.

Filosofi ini lahir dari pengalaman pahit mereka di masa lalu. Mereka tidak ingin lagi ada penindasan atau kesewenang-wenangan. Di tanah harapan yang baru ini, mereka ingin membangun tatanan masyarakat yang adil, di mana setiap individu dihargai tanpa memandang asal-usul atau kekayaan. Prinsip Sama Rendah menjadi perekat sosial yang mengikat mereka menjadi satu kesatuan yang kokoh.

Selain dari filosofi sosial, nama Samarinda juga sering dikaitkan dengan kondisi geografis alamnya. Pemukiman awal mereka dibangun di dataran yang sangat rendah di tepi sungai, sebuah kawasan yang dalam bahasa setempat bisa digambarkan sebagai kawasan yang sama-sama rendah. Gabungan antara filosofi sosial dan kondisi geografis inilah yang kemudian mengkristal menjadi sebuah nama.

Dari ungkapan Sama Rendah inilah, secara perlahan nama pemukiman itu mulai disebut. Orang-orang mulai menyebut kampung baru itu dengan nama yang mencerminkan semangat dan kondisi mereka. Lambat laun, ucapan Sama Rendah berevolusi menjadi Samarinda. Nama yang indah dan penuh makna ini akhirnya melekat dan diterima oleh semua pihak, termasuk oleh Kesultanan Kutai, sebagai nama resmi bagi pemukiman baru orang-orang Bugis Wajo.

 

Perkampungan Samarinda tumbuh dengan pesat. Berkat lokasinya yang strategis di tepi Sungai Mahakam, yang merupakan jalur perdagangan utama di Kalimantan bagian timur, Samarinda dengan cepat berkembang menjadi sebuah pelabuhan yang ramai. Para pedagang dari berbagai daerah, termasuk dari Tiongkok, Arab, dan kepulauan lainnya, mulai singgah untuk berdagang.

Kehadiran para pedagang ini membawa kemakmuran bagi warga Samarinda. Komoditas seperti hasil hutan, rotan, damar, dan sarang burung walet menjadi barang dagangan utama. Orang-orang Bugis, dengan jiwa bahari dan kelihaian berdagang yang mereka miliki, mampu memanfaatkan peluang ini dengan sangat baik. Perekonomian kampung tumbuh, dan kesejahteraan warganya pun meningkat.

Pertumbuhan Samarinda tidak hanya terjadi di bidang ekonomi. Interaksi dengan suku-suku asli Kalimantan, seperti Suku Kutai dan Suku Dayak, juga terjalin dengan sangat baik. Prinsip Sama Rendah yang mereka anut membuat mereka mudah diterima. Tidak ada arogansi atau perasaan lebih superior. Mereka hidup berdampingan dengan damai, saling menghormati adat dan budaya masing-masing.

Proses pembauran pun terjadi secara alami. Pernikahan antara orang Bugis dengan penduduk lokal menjadi hal yang lumrah. Dari sinilah lahir sebuah generasi baru Samarinda yang memiliki darah campuran, mewarisi ketangguhan Bugis, kearifan Kutai, dan kedekatan dengan alam dari Suku Dayak. Samarinda pun menjelma menjadi sebuah miniatur masyarakat yang majemuk, rukun, dan dinamis.

Di bawah perlindungan Kesultanan Kutai, Samarinda terus berkembang menjadi sebuah kota yang penting. La Mohang Daeng Mangkona, sang pendiri, menyaksikan buah dari perjuangannya. Beliau berhasil memimpin kaumnya tidak hanya untuk bertahan hidup, tetapi juga untuk membangun sebuah peradaban baru yang gemilang, yang didasarkan pada nilai-nilai luhur persatuan dan kesetaraan.

 

La Mohang Daeng Mangkona meninggalkan warisan yang tak ternilai. Beliau bukan hanya pendiri sebuah kota, tetapi juga peletak dasar filosofi kehidupan yang hingga kini masih relevan. Semangat juang, kerja keras, dan prinsip Sama Rendah yang beliau tanamkan menjadi jiwa dan karakter Kota Samarinda. Kepemimpinan beliau menjadi teladan tentang bagaimana mengubah kesulitan menjadi sebuah kekuatan.

Kesetiaan orang-orang Samarinda kepada Kesultanan Kutai tidak pernah goyah. Sesuai janji mereka, mereka menjadi garda terdepan dalam menjaga keamanan wilayah perairan Sungai Mahakam. Kekuatan armada laut mereka yang disegani menjadi benteng pertahanan yang kokoh bagi kesultanan. Hubungan antara Samarinda sebagai daerah otonom dengan Kutai sebagai pusat kekuasaan berjalan harmonis.

Seiring berjalannya waktu, Samarinda terus tumbuh dan berubah wajah. Dari sebuah perkampungan sederhana, ia menjelma menjadi ibu kota Provinsi Kalimantan Timur. Gedung-gedung modern kini berdiri, namun denyut sejarahnya masih terasa kuat di setiap sudut kota, terutama di kawasan Samarinda Seberang, lokasi pertama kali La Mohang Daeng Mangkona dan kaumnya menjejakkan kaki.

Nama Samarinda, yang lahir dari konsep Sama Rendah, menjadi pengingat abadi akan asal-usulnya. Ia adalah sebuah monumen hidup yang menceritakan kisah epik tentang keberanian, hijrah, dan perjuangan membangun kehidupan baru yang didasari oleh kesetaraan. Kisah ini mengajarkan bahwa dari kerendahan hati, bisa lahir sebuah kebesaran yang agung.

Tanggal 21 Januari Tahun 1668 Masehi, momen perjanjian antara La Mohang Daeng Mangkona dengan Sultan Kutai, akan selalu dikenang sebagai titik awal lahirnya kota ini. Sebuah pengakuan atas eksistensi sebuah komunitas perantau yang berhasil membuktikan bahwa dengan tekad dan persatuan, mereka mampu membangun sebuah kota yang megah dari sebidang tanah rawa di tepi sungai.

Demikianlah kisah ini diceritakan, segala kebenaran detailnya kita kembalikan kepada Allah, tuhan pemilik kisah kehidupan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Legenda Putri Gunung Ledang, Cerita Rakyat Malaka

Kisah Legenda Puteri Junjung Buih, Cerita Rakyat Kalimantan

Kisah Gunung Sumbing: Sejarah, Legenda dan Cerita Mistis