KISAH ASAL USUL SUKU TOLAKI (SULAWESI)
Di hamparan bumi Sulawesi bagian
Tenggara, terbentang sebuah negeri yang subur dan kaya akan hikayat. Di sanalah
Suku Tolaki menjejakkan peradaban mereka, sebuah suku yang namanya mengandung
kegagahan dan asal muasal yang luhur. Kisah mereka bukanlah sekadar dongeng
pengantar tidur, melainkan sebuah epik agung yang diwariskan dari generasi ke generasi,
menceritakan tentang titisan dari langit, kepahlawanan yang melegenda, serta
simbol persatuan yang tak lekang oleh waktu, membentuk jati diri mereka hingga
kini.
Alkisah, pada zaman dahulu kala,
daratan Konawe masih merupakan hamparan belantara yang sunyi dan perawan. Belum
ada tapak peradaban manusia yang menghiasinya, hanya diisi oleh aneka satwa
liar dan para penghuni alam gaib. Langit dan bumi seolah menyatu dalam
keheningan abadi, menanti sebuah takdir agung yang telah digariskan oleh Sang
Pencipta untuk memulai kehidupan manusia di tanah yang kelak akan menjadi pusat
sebuah kerajaan besar itu.
Di tengah kesunyian agung
tersebut, sebuah peristiwa luar biasa pun terjadi. Para dewa di kayangan
berembuk untuk menurunkan utusan mereka ke bumi sebagai pemimpin dan pembawa
terang peradaban. Pilihan pun jatuh kepada seorang putri surgawi yang agung dan
bijaksana, yang dikenal dengan nama Sangia Inato atau yang lebih populer
disebut Wekoila. Dengan Rido dari Allah, langit di atas sebuah tempat bernama
Langit Wolio pun terbelah, memancarkan seberkas cahaya keemasan yang turun
perlahan ke puncak sebuah bukit suci.
Dari dalam cahaya keemasan yang
menyilaukan itu, muncullah sosok Wekoila dengan segala keagungan dan
kemuliaannya. Kehadirannya seketika mengubah suasana alam sekitar. Angin yang
tadinya diam berhembus dengan lembut, dan bunga-bunga liar yang kuncup serentak
mekar seolah membungkuk menyambut kedatangan sang ratu pertama. Inilah awal
mula kehidupan manusia di tanah Konawe, sebuah permulaan yang ditandai oleh
campur tangan ilahi, yang menandakan bahwa para pemimpin mereka bukanlah
manusia biasa.
Wekoila, yang dalam tradisi
Tomanurung dikenal sebagai manusia yang turun dari langit, kemudian menetap di
negeri itu. Ia tidak datang dengan tangan hampa, melainkan membawa serta
benih-benih pengetahuan tentang cara bercocok tanam, berburu, dan menata
kehidupan sosial yang teratur. Para makhluk gaib yang lebih dulu menghuni daratan
itu pun tunduk pada wibawanya yang luhur, mengakuinya sebagai pemimpin yang sah
atas seluruh wilayah tersebut.
Dengan bekal pengetahuan dari
kayangan serta kebijaksanaan yang ia miliki, Wekoila mulai membangun sebuah
komunitas kecil. Ia mengajarkan bagaimana membuka lahan tanpa merusak alam,
bagaimana membangun rumah panggung yang kokoh untuk berlindung, dan yang
terpenting, bagaimana hidup rukun berdampingan dalam harmoni. Peristiwa
turunnya Wekoila ini menjadi fondasi utama dari seluruh silsilah raja-raja dan
muasal masyarakat Tolaki.
Seiring berjalannya waktu,
komunitas kecil yang didirikan oleh Wekoila berkembang dengan pesat.
Keturunannya, yang lahir dari perkawinan dengan tokoh-tokoh sakti di bumi,
tumbuh menjadi generasi-generasi yang tangguh dan cerdas. Mereka menyebar ke
berbagai penjuru, membuka perkampungan-perkampungan baru di sepanjang aliran
sungai Konaweha yang subur dan di lembah-lembah yang terlindung. Tibalah
saatnya untuk menyatukan semua kelompok ini dalam sebuah tatanan yang lebih
besar dan terstruktur.
Maka, atas prakarsa para tetua
adat dan keturunan langsung Wekoila, didirikanlah sebuah kerajaan yang pertama.
Kerajaan ini pada mulanya dikenal dengan nama Kerajaan Onipute, yang berpusat
di sekitar daerah Unaaha. Nama Onipute sendiri memiliki makna yang dalam, konon
merujuk pada kesucian dan asal-usul yang luhur dari para pendirinya yang
merupakan titisan dari langit, bersih laksana buih putih di lautan.
Pondasi kerajaan ini dibangun di
atas hukum adat yang kuat yang disebut Adati, serta nilai-nilai kebersamaan
yang disebut Inowa. Wekoila dan para penerusnya meletakkan dasar-dasar
pemerintahan yang berlandaskan musyawarah untuk mufakat, sebuah praktik yang
hingga kini dijunjung tinggi. Setiap keputusan penting yang menyangkut hajat hidup
orang banyak tidak pernah diputuskan secara sepihak, melainkan melalui sebuah
majelis adat yang dihadiri oleh para pemimpin dari setiap kampung.
Struktur awal kerajaan ini sangat
sederhana namun begitu efektif dalam menjaga keseimbangan. Seorang raja atau
ratu, yang disebut Mokole, bertindak sebagai pemimpin tertinggi, simbol
pemersatu dan penjaga tradisi luhur. Di bawahnya, terdapat dewan penasihat yang
terdiri dari para orang tua bijaksana dan para panglima perang yang bertugas
menjaga keamanan wilayah. Sistem ini memastikan bahwa roda pemerintahan
berjalan seimbang, antara kekuasaan, kebijaksanaan, dan kekuatan.
Kerajaan Onipute pun tumbuh
menjadi sebuah kekuatan yang disegani di wilayah sekitarnya. Kemakmurannya
bersumber dari hasil bumi yang melimpah ruah dan kearifan para pemimpinnya
dalam mengelola sumber daya alam. Inilah cikal bakal dari Kerajaan Konawe yang
agung, sebuah entitas politik yang akan melahirkan banyak pahlawan besar dan
membentuk identitas Suku Tolaki selama berabad-abad kemudian, menjadi mercusuar
peradaban di tanah Sulawesi Tenggara.
Zaman terus berganti, dan
Kerajaan Konawe pun menghadapi berbagai tantangan, baik dari dalam berupa
perselisihan maupun ancaman dari luar. Di tengah dinamika tersebut, lahirlah
seorang pangeran yang kelak namanya akan terukir abadi dalam sanubari setiap
insan Tolaki. Ia adalah Haluoleo, yang berarti delapan hari dalam bahasa
setempat. Nama istimewa ini disematkan karena konon ia berada dalam kandungan
ibunya selama delapan hari delapan malam saja sebelum dilahirkan ke dunia.
Haluoleo tumbuh menjadi seorang
pemuda yang gagah perkasa, cerdas tiada tara, dan memiliki wibawa yang luar
biasa. Sejak usia belia, ia telah menunjukkan tanda-tanda kepemimpinan yang
unggul dan kharisma yang memikat. Ia mahir dalam ilmu bela diri, sangat piawai
dalam menyusun strategi perang, namun juga memiliki hati yang bijaksana dan
selalu mengutamakan kepentingan rakyatnya di atas segalanya. Kehadirannya
seolah menjadi jawaban atas doa-doa rakyat Konawe akan sosok pemersatu yang
tangguh.
Ketika Haluoleo naik takhta
sebagai Mokole, Kerajaan Konawe sedang berada dalam ancaman perpecahan dan
serangan dari kerajaan-kerajaan lain. Dengan sigap dan penuh keyakinan,
Haluoleo mengonsolidasikan kekuatannya. Ia tidak hanya mengandalkan kekuatan
militer semata, tetapi juga mengedepankan pendekatan diplomasi yang cerdas. Ia
berkeliling ke seluruh pelosok negeri, menyatukan kembali kampung-kampung yang
tercerai-berai dan memperkuat kembali sumpah setia mereka kepada Kerajaan
Konawe.
Kepahlawanan Haluoleo yang paling
melegenda adalah kemampuannya menaklukkan musuh-musuh kerajaan tanpa
pertumpahan darah yang besar. Ia lebih sering menggunakan kecerdikan, adu
strategi, dan kesaktian untuk menundukkan lawannya, sehingga mereka takluk
dengan rasa hormat bukan dengan rasa dendam. Kisah-kisah tentang kesaktiannya
menyebar dari mulut ke mulut, membuatnya dihormati kawan dan disegani lawan. Di
bawah kepemimpinannya, wilayah Kerajaan Konawe meluas hingga mencakup hampir
seluruh daratan Sulawesi Tenggara.
Warisan terbesar Haluoleo
bukanlah sekadar wilayah kekuasaan yang luas, melainkan semangat persatuan dan
kebanggaan sebagai satu bangsa. Ia berhasil menanamkan rasa memiliki dan jati
diri yang kuat kepada rakyatnya, yang kelak dikenal sebagai Suku Tolaki.
Namanya kemudian diabadikan menjadi nama pahlawan nasional dari Sulawesi
Tenggara dan nama bandar udara utama di Kendari, sebagai pengingat abadi akan
jasa-jasanya yang tak ternilai.
Seiring dengan bersatunya seluruh
wilayah di bawah panji kepemimpinan Haluoleo, sebuah identitas bersama yang
lebih kuat pun mulai mengkristal. Diperlukan sebuah nama yang dapat
merepresentasikan seluruh rakyat yang mendiami Kerajaan Konawe yang kini telah
menjadi besar dan jaya. Maka, lahirlah nama Tolaki, sebuah nama yang sarat
dengan makna filosofis dan sejarah yang mendalam, mencerminkan karakter dan
asal-usul mereka.
Nama Tolaki berasal dari dua suku
kata yang membentuk satu kesatuan makna. Kata pertama adalah To, yang dalam
rumpun bahasa Austronesia di Sulawesi berarti orang atau manusia. Kata ini
menunjukkan eksistensi mereka sebagai sebuah kelompok masyarakat, sebuah
bangsa. Sedangkan kata kedua adalah Laki, yang memiliki beberapa penafsiran
yang saling menguatkan.
Penafsiran pertama dan yang
paling populer, Laki berarti laki-laki, jantan, atau gagah berani. Makna ini
melambangkan sifat keberanian, kekuatan, dan sikap pantang menyerah. Hal ini
sangat erat kaitannya dengan citra kepahlawanan Haluoleo dan para pejuang
Konawe pada masanya. Nama Tolaki menjadi sebuah penegasan identitas bahwa
mereka adalah bangsa para pemberani, keturunan dari para pahlawan yang tidak
pernah gentar menghadapi tantangan.
Penafsiran lain dari kata Laki
adalah merujuk pada arah atau lokasi geografis. Laki bisa berarti atas atau
hulu, yang sering diidentikkan dengan wilayah pegunungan. Ini merujuk pada
asal-usul sebagian besar masyarakat Tolaki yang mendiami daerah pedalaman,
perbukitan, dan hulu-hulu sungai besar di Sulawesi Tenggara. Jadi, Tolaki juga
bisa dimaknai sebagai orang-orang dari hulu atau orang-orang gunung yang
tangguh.
Kedua makna ini tidaklah
bertentangan, malah saling melengkapi dengan sempurna. Nama Tolaki secara utuh
menggambarkan sebuah komunitas masyarakat yang berasal dari daerah pegunungan
yang subur, yang memiliki karakter kuat, pemberani, serta menjunjung tinggi
kehormatan dan harga diri. Nama ini menjadi pengikat sakral yang menyatukan
mereka dalam satu identitas budaya yang agung, melintasi batas-batas geografis
dan zaman.
Dalam menata kehidupan berbangsa
dan bernegara, masyarakat Tolaki tidak hanya mengandalkan kekuatan seorang raja
atau hukum tertulis semata. Mereka memiliki sebuah pusaka agung yang menjadi
simbol hukum tertinggi, persatuan, keadilan, dan kebenaran. Pusaka ini bukanlah
berupa senjata tajam atau mahkota bertahtakan permata, melainkan sebuah benda
sederhana namun sakral bernama Kalosara.
Kalosara secara fisik terbuat
dari tiga helai rotan pilihan yang dijalin dengan cermat menjadi sebuah
lingkaran yang tak terputus. Bentuknya yang sederhana ini menyimpan makna
filosofis yang luar biasa dalam. Lingkaran rotan melambangkan persatuan dan kesatuan
abadi yang tidak memiliki awal dan akhir, mengikat seluruh masyarakat Tolaki
dalam satu persaudaraan. Tiga helai rotan itu sendiri merepresentasikan tiga
pilar utama kehidupan: pemerintah, adat, dan agama.
Pusaka ini dianggap sangat sakral
dan keramat oleh seluruh Suku Tolaki. Kalosara tidak bisa dibuat oleh sembarang
orang dan hanya dikeluarkan pada saat-saat yang sangat penting oleh pemangku
adatnya. Momen tersebut antara lain upacara pengangkatan raja, penyelesaian
sengketa besar, upacara pernikahan agung, atau ritual perdamaian setelah
perang. Kehadiran Kalosara dalam sebuah musyawarah adat atau Mombesara adalah
pertanda bahwa semua keputusan yang diambil bersifat final, adil, dan mengikat
semua pihak.
Fungsi utama Kalosara adalah
sebagai penengah dan pemutus perkara yang paling adil. Apabila terjadi
perselisihan yang pelik dan tidak kunjung usai, Kalosara akan dihadirkan di
tengah-tengah mereka. Siapapun yang berani berbohong atau melanggar sumpah di
hadapan Kalosara diyakini akan menerima kutukan dan malapetaka dari para
leluhur. Oleh karena itu, Kalosara menjadi instrumen hukum yang paling ditakuti
sekaligus paling dihormati, menjaga keharmonisan sosial masyarakat Tolaki.
Hingga hari ini, Kalosara masih
memegang peranan penting dalam kehidupan adat Suku Tolaki. Ia bukan lagi hanya
sekadar benda pusaka, melainkan telah menjadi jati diri dan falsafah hidup. Ia
adalah simbol persatuan dalam keberagaman, lambang supremasi hukum adat, dan
pengingat bahwa segala urusan di dunia haruslah diselesaikan dengan jalan
musyawarah dan perdamaian, di bawah naungan persaudaraan yang tak akan pernah
terputus.
Setelah Kerajaan Konawe mencapai
puncak kejayaannya dan wilayahnya menjadi sangat luas di bawah para penerus
Haluoleo, seorang raja bijaksana memutuskan untuk membagi administrasi
pemerintahan menjadi dua bagian besar. Kebijakan ini dilakukan bukan untuk
memecah belah persatuan, melainkan untuk mempermudah pengelolaan wilayah yang
amat luas dan memastikan kesejahteraan rakyat dapat terdistribusi secara lebih
merata dan efektif.
Pembagian inilah yang kemudian
melahirkan dua kelompok besar dalam Suku Tolaki, yang dibedakan berdasarkan
wilayah geografis utama mereka. Kelompok pertama adalah To-Konawe, yang secara
harfiah berarti orang-orang dari Konawe. Mereka adalah masyarakat Tolaki yang
mendiami wilayah inti atau pusat Kerajaan Konawe, yang kini meliputi daerah
Kabupaten Konawe, Konawe Selatan, Konawe Utara, dan Kota Kendari. Mereka
dianggap sebagai penjaga utama tradisi murni Kerajaan Konawe.
Kelompok kedua adalah
To-Mekongga. Mereka adalah masyarakat Tolaki yang mendiami wilayah bagian
barat, yang berpusat di sekitar pegunungan Mekongga yang megah dan legendaris.
Wilayah mereka kini meliputi Kabupaten Kolaka, Kolaka Utara, dan Kolaka Timur.
Meskipun secara geografis sedikit terpisah dan memiliki dialek yang sedikit
berbeda, mereka tetap merupakan bagian tak terpisahkan dari Suku Tolaki dan
tetap tunduk pada hukum adat Kalosara yang sama.
Pembagian ini lebih bersifat
administratif dan geografis daripada kultural atau etnis. Baik To-Konawe maupun
To-Mekongga sama-sama mengakui asal-usul yang satu, yaitu dari Kerajaan Konawe
yang didirikan oleh Wekoila dan diperluas oleh Haluoleo. Mereka juga sama-sama
menjunjung tinggi kesakralan Kalosara sebagai simbol pemersatu mereka.
Perbedaan yang ada hanyalah berupa variasi dalam dialek dan beberapa tradisi
lokal yang berkembang sesuai kondisi alam masing-masing.
Meskipun dalam perjalanan sejarah
pernah terjadi persaingan atau gesekan kecil antara kedua kelompok ini,
semangat persaudaraan sebagai sesama Suku Tolaki tidak pernah luntur. Ikatan
darah dan sejarah yang sama, yang berakar pada kepahlawanan Haluoleo dan
kesucian Wekoila, terbukti jauh lebih kuat daripada perbedaan-perbedaan kecil
yang ada. Pembagian ini justru menunjukkan betapa luwes dan adaptifnya sistem
sosial Suku Tolaki.
Sejarah Tolaki terus bergulir
setelah era keemasan Haluoleo. Tampuk kepemimpinan Kerajaan Konawe terus
berlanjut ke tangan para penerusnya. Dalam beberapa catatan sejarah lisan, nama
Wekoila kembali disebut sebagai salah satu penguasa penting. Sebagian sumber
menafsirkannya sebagai nama gelar bagi ratu yang memerintah, sementara sumber
lain meyakini ini adalah penguasa lain yang mewarisi nama luhur sang leluhur,
yang memerintah dengan penuh kearifan.
Pada masa pemerintahan inilah
Kerajaan Konawe memasuki sebuah babak baru dalam peradabannya. Hubungan dengan
dunia luar mulai terjalin lebih intensif dari sebelumnya. Para pedagang dari
berbagai penjuru nusantara, terutama dari kerajaan-kerajaan besar seperti
Bugis, Makassar, dan Buton, mulai berdatangan ke pesisir Konawe. Mereka datang
untuk berdagang hasil bumi seperti damar, rotan, dan rempah-rempah hutan yang
melimpah.
Interaksi perdagangan ini tidak
hanya membawa kemakmuran ekonomi bagi kerajaan, tetapi juga membawa serta
pengaruh budaya, teknologi, dan ajaran-ajaran baru. Di era inilah pengaruh
ajaran Islam mulai merembes secara perlahan ke dalam kehidupan masyarakat
Tolaki, terutama di kalangan bangsawan istana dan masyarakat yang tinggal di
wilayah pesisir. Ajaran baru ini datang dengan jalan damai dan diterima secara
bertahap.
Para penyebar ajaran Islam tidak
memaksakan kehendak, melainkan menggunakan pendekatan budaya yang bijaksana
sehingga dapat berakulturasi dengan adat dan kepercayaan lokal yang sudah ada.
Meskipun pengaruh baru mulai datang, para pemimpin Konawe tetap berpegang teguh
pada adat istiadat leluhur. Falsafah Kalosara tetap menjadi landasan utama
dalam menjalankan pemerintahan dan kehidupan sosial sehari-hari.
Masa ini menjadi titik transisi
penting dalam sejarah panjang Suku Tolaki. Mereka membuktikan kemampuannya
untuk beradaptasi dengan perubahan zaman tanpa harus tercerabut dari akar
budayanya. Keterbukaan terhadap pengaruh luar yang diimbangi dengan kuatnya
pegangan pada tradisi leluhur menjadi kunci yang membuat peradaban Tolaki terus
bertahan dan berkembang melintasi berbagai era hingga kedatangan bangsa Eropa
kelak.
Perjalanan panjang Suku Tolaki,
dari kisah turunnya manusia dari langit hingga berdirinya sebuah kerajaan yang
megah, telah mewariskan sebuah jati diri yang kokoh dan penuh kebanggaan.
Kisah-kisah para leluhur bukanlah sekadar cerita pengantar tidur, melainkan
sumber inspirasi, nilai, dan pedoman hidup yang terus relevan hingga kini.
Warisan luhur ini terwujud dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari sistem
sosial, hukum adat, hingga karakter pribadi masyarakatnya.
Salah satu warisan terpenting
adalah semangat persatuan yang dilambangkan oleh Kalosara. Falsafah ini
mengajarkan bahwa segala persoalan dapat diselesaikan melalui jalan musyawarah
dan mufakat, dengan mengedepankan kepentingan bersama di atas kepentingan
pribadi atau golongan. Semangat inilah yang terus menjaga keutuhan masyarakat
Tolaki meskipun terbagi ke dalam kelompok To-Konawe dan To-Mekongga serta
tersebar di berbagai wilayah.
Jiwa kepahlawanan Haluoleo juga
terpatri kuat dalam karakter orang Tolaki. Sifat gagah berani, tidak mudah
menyerah, dan menjunjung tinggi kehormatan menjadi ciri khas mereka. Namun,
keberanian ini selalu diimbangi dengan kebijaksanaan dan kecerdasan, sebuah
cerminan dari cara Haluoleo menaklukkan musuh-musuhnya lebih banyak dengan akal
budi daripada pertumpahan darah yang sia-sia.
Selain itu, masyarakat Tolaki
juga mewarisi rasa hormat yang tinggi terhadap alam semesta. Ajaran dari
Wekoila tentang bagaimana membuka lahan tanpa merusak lingkungan masih
tercermin dalam kearifan lokal mereka dalam mengelola tanah dan sumber daya
alam. Mereka meyakini bahwa alam adalah ibu yang memberikan kehidupan, sehingga
harus dijaga dan dilestarikan dengan sebaik-baiknya untuk diwariskan kepada
anak cucu.
Kini, Suku Tolaki terus melangkah
maju menatap masa depan. Mereka berinteraksi dengan modernitas, namun tidak
pernah melupakan asal-usul dan hikayat para leluhurnya. Kisah tentang Wekoila,
Haluoleo, dan Kalosara akan terus diceritakan, memastikan bahwa api semangat
dan jati diri Tolaki tidak akan pernah padam, terus menerangi jalan mereka
sebagai salah satu suku bangsa yang kaya akan sejarah dan budaya di persada
nusantara.
Demikianlah kisah ini
diceritakan, segala kebenaran detailnya kita kembalikan kepada Allah, tuhan
pemilik kisah kehidupan.
Komentar
Posting Komentar