KISAH SEJARAH ASAL USUL QURBAN

 


Jauh sebelum risalah Nabi Muhammad, bahkan sebelum masa Nabi Ibrahim, konsep pengorbanan sebagai bentuk ibadah kepada Allah telah dikenal umat manusia. Sejarah mencatat bahwa praktik mempersembahkan qurban pertama kali dilakukan oleh dua putra Nabi Adam, yaitu Habil dan Qabil. Peristiwa ini menjadi tonggak awal bagaimana manusia berupaya mendekatkan diri kepada Sang Pencipta melalui persembahan dari apa yang mereka miliki, sebagai wujud syukur dan ketaatan.

Dikisahkan bahwa Habil, yang berprofesi sebagai peternak, mempersembahkan qurban berupa hewan ternak terbaik miliknya. Ia memilih domba yang paling gemuk dan sehat, sebagai tanda kesungguhan dan keikhlasannya kepada Allah. Sebaliknya, Qabil, yang seorang petani, mempersembahkan hasil pertaniannya yang berkualitas buruk. Ia memilih hasil panen yang seadanya, tanpa memperhatikan kualitas dan kelayakan, menunjukkan kurangnya kesungguhan dalam beribadah. Allah, dengan keadilanNya, menerima qurban Habil dan menolak qurban Qabil.

Peristiwa ini memberikan pelajaran fundamental tentang esensi qurban. Bukan sekadar tindakan mempersembahkan sesuatu, melainkan ketulusan hati, keikhlasan niat, dan upaya untuk memberikan yang terbaik di jalan Allah yang menjadi penilaian utama. Diterimanya qurban Habil menunjukkan bahwa Allah meridhoi persembahan yang didasari oleh ketakwaan dan kesungguhan, sementara penolakan terhadap qurban Qabil menjadi peringatan akan akibat dari kelalaian dan ketidakikhlasan.

Kisah Habil dan Qabil ini menggarisbawahi bahwa qurban bukanlah ritual tanpa makna, melainkan sebuah manifestasi dari iman dan ketakwaan seorang hamba. Ia menjadi cerminan bagaimana seseorang menghargai nikmat yang telah diberikan Allah dan sejauh mana ia bersedia berkorban untuk meraih keridoanNya. Konsep ini terus bergulir dan menemukan puncaknya dalam kisah agung Nabi Ibrahim dan putranya, Nabi Ismail, yang menjadi dasar utama pensyariatan ibadah qurban dalam Islam.

 

Nabi Ibrahim, yang bergelar Khalilullah atau kekasih Allah, adalah seorang Rosul yang sangat gigih dalam menyebarkan tauhid. Beliau menghadapi berbagai ujian berat, termasuk penentangan dari kaumnya dan bahkan dari ayahnya sendiri, hingga dibakar hidup-hidup namun diselamatkan oleh Allah. Di tengah perjuangannya yang panjang, Nabi Ibrahim memendam sebuah harapan besar: memiliki keturunan yang akan melanjutkan dakwahnya dan menjadi penyejuk hatinya. Usia beliau terus bertambah, begitu pula istrinya, Sarah, namun tanda-tanda kehadiran seorang anak belum juga muncul.

Dengan penuh kesabaran dan keyakinan, Nabi Ibrahim tak pernah putus asa memanjatkan doa kepada Allah. Beliau memohon dianugerahi seorang putra yang saleh. Doa tulus seorang kekasih Allah akhirnya dikabulkan. Melalui istrinya yang lain, Hajar, Allah menganugerahkan seorang putra yang kemudian diberi nama Ismail. Kehadiran Nabi Ismail membawa kebahagiaan yang tak terhingga bagi Nabi Ibrahim. Ia mencurahkan seluruh kasih sayangnya kepada putranya yang telah lama dinantikannya.

Nabi Ismail tumbuh menjadi anak yang cerdas, patuh, dan berbakti kepada kedua orang tuanya. Ia menjadi penyejuk mata dan pelipur lara bagi Nabi Ibrahim. Setiap perkembangan Nabi Ismail, dari bayi hingga beranjak remaja, senantiasa diiringi dengan doa dan harapan dari ayahnya. Kasih sayang Nabi Ibrahim kepada Nabi Ismail begitu mendalam, sebuah ikatan batin yang kuat antara ayah dan anak yang telah lama dirindukan.

Namun, di balik kebahagiaan dan kasih sayang yang melimpah itu, Allah telah mempersiapkan sebuah ujian yang akan menguji tingkat keimanan dan ketakwaan Nabi Ibrahim pada level tertinggi. Ujian tersebut akan melibatkan putra kesayangannya, Nabi Ismail, sebagai bukti nyata bahwa cinta kepada Allah haruslah melebihi segala-galanya, termasuk cinta kepada anak yang paling dikasihi sekalipun.

 

Ketika Nabi Ismail mencapai usia remaja, usia di mana seorang anak sedang lucu-lucunya dan menjadi tumpuan harapan orang tua, Nabi Ibrahim mendapatkan sebuah perintah agung melalui mimpi. Dalam tradisi para nabi, mimpi yang datang berulang kali dan berisi pesan yang jelas merupakan salah satu bentuk wahyu dari Allah. Selama tiga malam berturut-turut, Nabi Ibrahim bermimpi bahwa Allah memerintahkannya untuk menyembelih putra kesayangannya, Nabi Ismail.

Bagi seorang ayah, perintah ini adalah ujian yang luar biasa berat. Nabi Ismail adalah buah hati yang telah dinantikannya selama puluhan tahun, anak yang saleh dan sangat dicintainya. Perasaan sebagai seorang ayah tentu bergejolak hebat. Namun, sebagai seorang Nabi dan Khalilullah, Nabi Ibrahim memahami bahwa perintah ini datang dari Allah, Sang Pencipta dan Pemilik segala sesuatu, termasuk nyawa putranya sendiri. Beliau menyadari bahwa ini adalah ujian keimanan yang harus dihadapi dengan ketundukan dan kepasrahan total.

Nabi Ibrahim tidak meragukan kebenaran mimpinya. Beliau yakin bahwa ini adalah perintah Ilahi yang harus dilaksanakan. Gejolak batin yang dirasakannya pasti sangat dahsyat, antara cinta seorang ayah kepada anaknya dan kewajiban seorang hamba kepada Tuhannya. Namun, keimanannya yang kokoh dan cintanya yang lebih besar kepada Allah mengalahkan segala keraguan dan bisikan emosi. Beliau bertekad untuk melaksanakan perintah tersebut, sebagai bukti ketaatan dan pengabdiannya yang tulus.

Ujian ini bukan hanya untuk Nabi Ibrahim, tetapi juga untuk Nabi Ismail. Kesiapan Nabi Ibrahim untuk mengorbankan putranya adalah satu sisi, namun kesiapan Nabi Ismail untuk dikorbankan adalah sisi lain yang tak kalah pentingnya dalam menunjukkan keagungan iman mereka. Ini adalah sebuah drama ketakwaan yang panggungnya adalah hati dan jiwanya, dengan penontonnya adalah para malaikat dan disaksikan langsung oleh Allah.

 

Nabi Ibrahim, dengan kebijaksanaan seorang Nabi dan kasih sayang seorang ayah, tidak langsung menjalankan perintah tersebut tanpa memberitahu putranya. Beliau memilih untuk berdialog dengan Nabi Ismail, bukan untuk meminta pertimbangan apakah perintah itu akan dilaksanakan atau tidak, melainkan untuk melihat kesiapan dan keimanan putranya. Dengan hati-hati dan penuh kelembutan, Nabi Ibrahim menyampaikan perihal mimpinya kepada Nabi Ismail.

"Wahai anakku," ujar Nabi Ibrahim, "Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!" Ini bukanlah pertanyaan keraguan dari Nabi Ibrahim, melainkan cara beliau melibatkan Nabi Ismail dalam ketaatan ini, sekaligus menguji sejauh mana keimanan telah tertanam dalam jiwa putranya yang masih belia itu. Sebuah pertanyaan yang mengandung beban emosional yang sangat berat bagi keduanya.

Jawaban Nabi Ismail sungguh mencerminkan keturunan seorang Nabi. Tanpa ragu, tanpa rasa takut yang berlebihan, dan dengan kepasrahan yang luar biasa, Nabi Ismail menjawab, "Wahai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar." Jawaban ini menunjukkan tingkat keimanan dan ketaatan Nabi Ismail yang setara dengan ayahnya. Ia tidak memberontak, tidak mempertanyakan, melainkan menyerahkan sepenuhnya urusan dirinya kepada kehendak Allah.

Dialog ini menjadi salah satu momen paling mengharukan dan menginspirasi dalam sejarah umat manusia. Ia menunjukkan bagaimana iman yang benar mampu mengalahkan ikatan duniawi terkuat sekalipun, yaitu ikatan antara ayah dan anak. Keduanya, Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail, telah menunjukkan puncak ketundukan dan kepasrahan kepada Allah, siap melaksanakan perintahNya meskipun itu berarti mengorbankan hal yang paling berharga dalam hidup mereka.

 

Setelah mendapatkan jawaban penuh kepasrahan dari Nabi Ismail, Nabi Ibrahim semakin mantap untuk melaksanakan perintah Allah. Mereka berdua kemudian mempersiapkan diri untuk menuju tempat penyembelihan yang telah diisyaratkan, yaitu sebuah tempat di Mina. Perjalanan ini bukanlah perjalanan yang mudah secara emosional. Bayangkan seorang ayah berjalan bersama putranya yang akan ia sembelih dengan tangannya sendiri. Namun, keimanan mereka menguatkan langkah kaki mereka.

Syaitan, musuh abadi manusia, tidak tinggal diam melihat ketaatan yang begitu agung ini. Ia berusaha dengan segala cara untuk menggagalkan rencana Nabi Ibrahim. Syaitan mendatangi Nabi Ibrahim, membisikkan keraguan dan rasa kasihan kepada anaknya. Ia mencoba mengingatkan Nabi Ibrahim akan usia tuanya, betapa sayangnya jika anak satu-satunya yang dinanti sekian lama harus dikorbankan. Namun, Nabi Ibrahim yang teguh imannya mengenali tipu daya syaitan dan melemparinya dengan batu, sebuah tindakan yang kemudian diabadikan dalam ritual lempar jumrah saat ibadah haji.

Tak berhasil menggoda Nabi Ibrahim, syaitan kemudian beralih kepada Hajar, ibu Nabi Ismail. Ia mencoba membangkitkan naluri keibuan Hajar, menggambarkan betapa kejamnya perbuatan yang akan dilakukan suaminya terhadap putra mereka. Namun, Hajar, sebagai istri seorang Nabi yang juga memiliki keimanan yang kuat, menolak godaan syaitan dan pasrah pada kehendak Allah. Ia pun melempar syaitan dengan batu.

Terakhir, syaitan mendatangi Nabi Ismail. Ia mencoba menakut-nakuti Nabi Ismail dengan bayangan kematian, rasa sakit, dan sia-sianya masa muda yang akan berakhir. Namun, Nabi Ismail, yang telah menyatakan kesabarannya, tidak goyah sedikit pun. Ia tahu bahwa ini adalah perintah Allah dan ia rido menjalaninya. Nabi Ismail pun mengusir syaitan dengan melemparinya batu. Kegigihan keluarga Nabi Ibrahim dalam melawan godaan syaitan menunjukkan betapa kuatnya benteng iman mereka.

 

Tibalah saat-saat yang paling menentukan. Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail telah sampai di tempat yang dituju. Dengan hati yang pasrah dan penuh tawakal, Nabi Ibrahim mempersiapkan pelaksanaan perintah Allah. Nabi Ismail, dengan ketegaran yang luar biasa, meminta ayahnya untuk mengikat tangan dan kakinya agar tidak meronta-ronta yang mungkin bisa menyulitkan ayahnya, dan meminta agar wajahnya dipalingkan supaya ayahnya tidak melihatnya dan timbul rasa iba yang bisa menghalangi pelaksanaan perintah.

Nabi Ibrahim, dengan air mata yang mungkin tak terbendung namun dengan tangan yang kokoh memegang pisau yang tajam, membaringkan Nabi Ismail. Pisau itu telah diasah setajam mungkin agar prosesnya berlangsung cepat. Langit dan bumi seolah terdiam, para malaikat menyaksikan dengan penuh kekaguman atas ketaatan dua hamba Allah ini. Inilah puncak dari pengorbanan, di mana cinta kepada Sang Pencipta benar-benar diutamakan di atas segalanya.

Ketika Nabi Ibrahim menggerakkan pisaunya ke leher Nabi Ismail, dengan menyebut nama Allah, terjadilah keajaiban. Allah, Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, melihat kesungguhan dan ketulusan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Tepat sebelum pisau itu menyentuh kulit Nabi Ismail, Allah berseru, "Wahai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu." Perintah untuk menyembelih Nabi Ismail telah digantikan. Allah memerintahkan Nabi Ibrahim untuk menyembelih seekor domba besar (kibasy) sebagai gantinya.

Domba itulah yang kemudian disembelih oleh Nabi Ibrahim sebagai qurban. Darah Nabi Ismail tidak jadi tertumpah, digantikan oleh darah hewan qurban. Ini adalah bukti bahwa Allah tidak menghendaki pengorbanan nyawa manusia, melainkan menguji sejauh mana kesediaan hambaNya untuk taat. Kelegaan dan rasa syukur yang luar biasa meliputi Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Mereka telah lulus dari ujian terberat dengan predikat tertinggi.

 

Peristiwa agung yang dialami oleh Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail ini bukan hanya sekadar kisah ujian pribadi. Ia memiliki implikasi yang jauh lebih besar bagi umat manusia, khususnya bagi umat Islam. Tindakan pengorbanan yang telah dicontohkan dengan sempurna oleh Nabi Ibrahim menjadi dasar dari pensyariatan ibadah qurban yang terus dilaksanakan oleh umat Islam hingga akhir zaman, terutama pada Hari Raya Idul Adha.

Allah mengabadikan kisah ini dalam Al-Quran sebagai pelajaran dan teladan. Perintah untuk berqurban bagi mereka yang mampu menjadi salah satu syiar Islam yang penting. Setiap tahun, umat Islam di seluruh dunia menyembelih hewan ternak seperti domba, kambing, sapi, atau unta, sebagai bentuk meneladani ketaatan Nabi Ibrahim dan sebagai wujud syukur atas nikmat Allah. Daging qurban tersebut kemudian dibagikan kepada fakir miskin dan mereka yang membutuhkan, menumbuhkan semangat solidaritas dan kepedulian sosial.

Ibadah qurban menjadi pengingat abadi akan pentingnya mengorbankan apa yang kita cintai di jalan Allah. Ini bukan hanya tentang menyembelih hewan, tetapi lebih dalam lagi, tentang menyembelih sifat-sifat buruk dalam diri kita seperti kesombongan, kekikiran, dan kecintaan yang berlebihan terhadap dunia. Qurban adalah simbol ketundukan total kepada perintah Allah, sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail.

Melalui syariat qurban, umat Islam diajak untuk merenungkan makna pengorbanan dalam arti luas. Pengorbanan waktu, tenaga, harta, dan bahkan perasaan demi meraih keridoan Ilahi. Ia menjadi momentum untuk memperbaharui komitmen kita sebagai hamba Allah, untuk senantiasa siap sedia menjalankan perintahNya dan menjauhi laranganNya, sebagaimana Nabi Ibrahim yang tanpa ragu siap mengorbankan putranya demi memenuhi panggilan Tuhannya.

 

Kisah pengorbanan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail serta ditetapkannya syariat qurban mengandung hikmah dan pelajaran yang sangat mendalam dan relevan sepanjang masa. Inti dari ibadah ini adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub ila Allah) melalui pengorbanan yang tulus dan ikhlas. Ia mengajarkan kita bahwa cinta sejati kepada Allah haruslah melampaui segala bentuk cinta duniawi, termasuk cinta kepada keluarga dan harta benda.

Salah satu pelajaran utama adalah tentang keikhlasan. Nabi Ibrahim tidak melakukan perintah ini untuk mencari pujian atau pengakuan manusia, melainkan semata-mata karena ketaatan kepada Allah. Demikian pula Nabi Ismail, kepatuhannya didasari oleh keimanan yang murni. Ibadah qurban yang kita lakukan juga harus dilandasi niat yang ikhlas, bukan untuk pamer atau gengsi, agar diterima di sisi Allah. Ini mengingatkan pada kisah Habil yang qurbannya diterima karena ketulusan, berbeda dengan Qabil.

Nilai atau Pelajaran moral singkat dari kisah tersebut adalah: Kisah qurban Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail adalah cerminan tertinggi dari ketaatan mutlak dan cinta sejati kepada Allah, melebihi cinta pada diri sendiri, keluarga, atau harta benda. Pelajaran utamanya adalah bahwa pengorbanan sejati bukan terletak pada darah yang tertumpah, melainkan pada ketundukan hati dan kesediaan untuk melepaskan apa yang paling kita cintai demi meraih rido Allah. Ibadah qurban mengajarkan kita untuk berbagi, menumbuhkan kepedulian sosial, dan membersihkan jiwa dari sifat kikir serta keterikatan duniawi. Ia adalah pengingat bahwa setiap nikmat berasal dari Allah dan harus digunakan di jalanNya, serta bahwa di balik setiap ujian berat, jika dihadapi dengan kesabaran dan keimanan, akan ada kemudahan dan pahala yang besar.

Selain itu, ibadah qurban juga menanamkan nilai kepedulian sosial. Pembagian daging qurban kepada fakir miskin adalah wujud nyata dari semangat berbagi dan membantu sesama. Ini mempererat tali persaudaraan (ukhuwah islamiyah) dan mengurangi kesenjangan sosial. Dengan berqurban, kita turut merasakan kebahagiaan mereka yang kurang mampu, sekaligus mensyukuri nikmat kelapangan rezeki yang telah Allah berikan kepada kita. Semangat pengorbanan ini, jika dihayati dengan benar, akan membentuk pribadi Muslim yang tangguh, dermawan, dan selalu siap berjuang di jalan kebaikan.

Demikianlah kisah ini diceritakan, segala kebenaran detailnya kita kembalikan kepada Allah, tuhan pemilik kisah kehidupan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Legenda Putri Gunung Ledang, Cerita Rakyat Malaka

Kisah Legenda Puteri Junjung Buih, Cerita Rakyat Kalimantan

Kisah Gunung Sumbing: Sejarah, Legenda dan Cerita Mistis