LEGENDA ASAL USUL REOG PONOROGO
Di bentangan permadani kebudayaan
Nusantara, tergelar sebuah pertunjukan agung yang menyatukan kekuatan
adiluhung, keindahan seni, dan aura mistis yang pekat. Inilah Reog Ponorogo,
sebuah mahakarya yang bukan sekadar tarian, melainkan sebuah narasi kolosal
tentang kegigihan seorang raja dari tanah Ponorogo, kecerdasan seorang patih,
serta sebuah sindiran politik yang terselubung di balik kemegahan topeng
raksasa. Kisah ini bermula dari jantung kehidupan Kerajaan Wengker, cikal bakal
Ponorogo, sebuah epik tentang cinta, tekad, dan pertarungan dahsyat yang
melahirkan salah satu kesenian paling memukau di dunia.
Di sebuah negeri yang subur
makmur di sisi timur Gunung Lawu, berdiri kokoh sebuah kerajaan perkasa bernama
Kerajaan Wengker, yang kini dikenal sebagai Ponorogo. Negeri ini termasyhur
sebagai wilayah yang damai dan sejahtera di bawah kepemimpinan seorang raja
muda yang arif bijaksana, gagah perkasa, serta memiliki kesaktian mandraguna.
Raja tersebut bergelar Prabu Klono Sewandono. Wibawanya yang agung membuat
seluruh rakyatnya hidup dalam ketenteraman, menaruh hormat dan cinta yang tulus
kepada pemimpin mereka.
Prabu Klono Sewandono bukan hanya
seorang pemimpin yang cakap dalam tata kelola pemerintahan, tetapi juga seorang
kesatria pilih tanding dari tanah Wengker. Beliau gemar mengembara, menjalankan
laku tapa, dan menimba ilmu dari berbagai guru spiritual terkemuka. Salah satu
pusaka andalannya yang paling legendaris adalah sebuah senjata gaib bernama
Pecut Samandiman. Konon, sekali lecutan dari pusaka ini sanggup mengguncang
langit dan meruntuhkan gunung, menjadi bukti nyata kekuatan spiritual sang
raja.
Dalam menjalankan roda
pemerintahannya, Prabu Klono Sewandono senantiasa didampingi oleh seorang patih
yang teramat setia dan cerdik, Patih Bujang Ganong. Patih yang juga berasal
dari tanah Ponorogo ini memiliki perawakan yang lincah dan wajah yang jenaka,
namun di balik penampilannya yang lucu tersimpan kecerdasan serta kesaktian
yang tinggi. Ia adalah mata dan telinga bagi sang raja, seorang penasihat
tepercaya yang selalu memberikan pandangan bernas dalam setiap pengambilan
keputusan penting kerajaan.
Meskipun Kerajaan Wengker telah
mencapai puncak kejayaan, Prabu Klono Sewandono merasakan sebuah kehampaan di
dalam sanubarinya. Di usianya yang telah matang, ia belum juga menemukan
seorang permaisuri. Ia merindukan kehadiran seorang pendamping hidup yang tidak
hanya rupawan, tetapi juga memiliki keanggunan dan kecerdasan yang sepadan
dengannya. Kerinduan ini sering ia panjatkan dalam doa dan laku spiritualnya,
berharap Allah Yang Maha Kuasa berkenan memberinya petunjuk.
Hingga pada suatu malam yang
hening, saat sang raja tengah beristirahat di istananya di Wengker, ia menerima
sebuah wangsit melalui mimpi. Dalam mimpinya, ia menyaksikan sosok seorang
putri yang kecantikannya tiada tara, laksana bidadari yang turun dari
kahyangan. Mimpi gaib itulah yang kelak menjadi titik awal dari sebuah
perjalanan besar yang sarat rintangan, sebuah pengembaraan yang akan mengukir sejarah
dan melahirkan sebuah kesenian agung dari Ponorogo.
Mimpi yang dialami Prabu Klono
Sewandono terasa begitu nyata dan terus berulang setiap malamnya. Dalam bunga
tidurnya, ia melihat dengan sangat jelas paras seorang putri cantik jelita yang
bertahta di sebuah kerajaan besar di wilayah timur, yaitu Kerajaan Kediri.
Putri itu adalah Dewi Sanggalangit, putri mahkota yang tidak hanya terkenal
karena kecantikannya, tetapi juga karena kecerdasan dan kebijaksanaannya.
Keanggunannya begitu mempesona, membuat hati sang Raja Wengker tertawan
sepenuhnya.
Getaran cinta yang begitu kuat
membuat Prabu Klono Sewandono yakin bahwa Dewi Sanggalangit adalah jawaban atas
doa-doanya. Ia merasa bahwa putri dari Kediri itulah yang ditakdirkan oleh Allah
untuk menjadi pendamping hidupnya, menjadi Ratu di Kerajaan Wengker. Bayangan
wajah Dewi Sanggalangit tak pernah lepas dari benaknya, mendorong sebuah hasrat
yang membara untuk segera membuktikan kesungguhan cintanya dan memboyong sang
putri ke istananya di Ponorogo.
Tanpa menunda waktu lebih lama,
Prabu Klono Sewandono segera memanggil Patih Bujang Ganong dan seluruh punggawa
kerajaan untuk menghadap di balairung istana Wengker. Di hadapan mereka semua,
sang raja dengan suara yang mantap menceritakan mimpinya dan mengutarakan niat
sucinya untuk melamar Dewi Sanggalangit. Segenap isi istana menyambut kabar
tersebut dengan suka cita dan mendukung penuh keputusan raja mereka untuk
mempersatukan Wengker dan Kediri.
Maka, persiapan besar-besaran pun
segera dilaksanakan di Ponorogo. Rombongan kerajaan yang megah disiapkan untuk
berangkat menuju Kediri. Prajurit-prajurit terbaik, para punggawa istana, serta
berbagai macam hadiah dan seserahan berharga telah disiapkan sebagai tanda
keseriusan dan kebesaran Kerajaan Wengker. Dipimpin langsung oleh Prabu Klono
Sewandono, rombongan agung itu pun memulai perjalanannya dari Ponorogo menuju
Kerajaan Kediri dengan harapan yang membumbung tinggi.
Perjalanan dari Wengker menuju
Kediri bukanlah perjalanan yang singkat, namun semangat sang raja untuk
mempersunting pujaan hatinya membuat semua rintangan terasa ringan. Rombongan
bergerak dengan gagah, membawa nama besar dan kehormatan Kerajaan Wengker.
Mereka siap menunjukkan bahwa raja dan rakyat Ponorogo adalah pihak yang pantas
untuk menjalin hubungan kekerabatan dengan kerajaan besar seperti Kediri.
Perjalanan dari Kerajaan Wengker
menuju Kerajaan Kediri berjalan dengan lancar. Kedatangan rombongan agung Prabu
Klono Sewandono disambut dengan penuh hormat oleh pihak Kerajaan Kediri.
Prosesi penyampaian lamaran pun dilaksanakan dengan khidmat. Prabu Klono
Sewandono, dengan segala wibawanya, secara resmi menyampaikan niat tulusnya
untuk mempersunting Sang Putri Kembang Kediri, Dewi Sanggalangit, dan
memboyongnya ke Ponorogo.
Namun, di luar dugaan, Dewi
Sanggalangit mengajukan dua syarat yang harus dipenuhi oleh Prabu Klono
Sewandono. Syarat-syarat tersebut bukanlah permintaan harta benda, melainkan
sesuatu yang terdengar sangat aneh dan mustahil untuk diwujudkan. Syarat ini
sesungguhnya adalah sebuah ujian untuk mengukur seberapa besar kesungguhan dan
kesaktian sang Raja dari Ponorogo tersebut.
Syarat pertama adalah permintaan
untuk diciptakannya sebuah tontonan atau pertunjukan baru yang belum pernah ada
sebelumnya. Pertunjukan tersebut harus menampilkan barisan prajurit penunggang
kuda kembar yang berjumlah seratus empat puluh empat orang. Para penari ini
harus bergerak dengan gerak yang indah dan kompak, menciptakan sebuah
pemandangan yang spektakuler untuk dijadikan iring-iringan dalam arak-arakan pengantin
nantinya.
Syarat kedua adalah syarat yang
paling berat. Sang putri meminta Prabu Klono Sewandono untuk menghadirkan
seekor binatang berkepala dua. Binatang aneh tersebut harus berwujud seekor
harimau atau singa yang sangat ganas, namun di atas kepalanya hinggap seekor
burung merak yang selalu mengembangkan ekornya yang indah. Binatang gaib ini
harus dapat ditaklukkan dan dibawa hidup-hidup ke hadapannya di Kerajaan
Kediri.
Mendengar kedua syarat tersebut,
Prabu Klono Sewandono dan Patih Bujang Ganong tertegun. Syarat itu benar-benar
di luar nalar. Namun, sebagai seorang raja dari tanah Ponorogo yang pantang
menyerah dan penuh keyakinan, Prabu Klono Sewandono menerima tantangan tersebut
dengan hati yang teguh. Ia berjanji akan kembali dari Ponorogo dengan membawa
semua yang disyaratkan oleh sang putri.
Setelah kembali ke Ponorogo,
Prabu Klono Sewandono tidak lantas bertindak gegabah. Ia mengajak Patih Bujang
Ganong untuk berdiskusi dan menafsirkan makna tersembunyi di balik permintaan
aneh Dewi Sanggalangit. Bujang Ganong yang cerdik segera menyadari bahwa syarat
tersebut adalah sebuah sindiran atau pasemon yang sangat dalam maknanya, yang
ditujukan kepada Kerajaan Majapahit, kekuatan besar yang saat itu berkuasa di
tanah Jawa.
Patih Bujang Ganong menjelaskan
tafsirannya. Barisan seratus empat puluh empat penunggang kuda kembar adalah
lambang dari kekuatan pasukan kavaleri Majapahit. Ini adalah tantangan bagi
Wengker untuk menunjukkan bahwa mereka mampu menandingi kekuatan militer
tersebut. Sedangkan binatang berkepala dua adalah perlambang dari Raja
Majapahit, Prabu Kertabhumi, yang kuat laksana singa namun dianggap terlalu
dipengaruhi oleh permaisurinya yang dari Champa, yang dilambangkan oleh burung
merak.
Dari pemahaman inilah lahir
sebuah semangat perlawanan yang dibalut dalam wujud kesenian. Prabu Klono
Sewandono sadar bahwa ia tidak hanya sedang berjuang untuk mendapatkan cinta,
tetapi juga sedang menyuarakan sebuah kritik politik atas nama rakyat Ponorogo.
Ia ingin menunjukkan bahwa dirinya, sebagai Raja Wengker, mampu menaklukkan
simbol kekuatan Majapahit. Perjuangan ini menjadi sebuah ekspresi keinginan
yang sangat kuat, atau dalam bahasa Jawa disebut resa-e pengene.
Dari sinilah nama Reog diduga
berasal. Ada yang menyebutnya berasal dari kata riyok yang berarti ramai dan
gaduh, menggambarkan kemeriahan pertunjukan yang akan diciptakan. Ada pula yang
menafsirkannya sebagai akronim dari Resa-E-Pengene yang berarti ungkapan
keinginan yang kuat untuk mencapai tujuan. Dengan semangat dan pemahaman baru
ini, Prabu Klono Sewandono merasa semakin tertantang untuk mewujudkan kedua
syarat tersebut, demi kehormatan Ponorogo.
Dengan tekad yang bulat, Prabu
Klono Sewandono mengerahkan seluruh sumber daya Kerajaan Wengker. Ia bertekad
untuk menciptakan sebuah mahakarya yang tidak hanya akan memenangkan hati Dewi
Sanggalangit, tetapi juga akan menjadi simbol kebesaran dan jati diri rakyat
Ponorogo untuk selamanya. Misi ini bukan lagi sekadar misi pribadi, melainkan
misi kehormatan bagi seluruh kerajaan.
Dengan tekad yang membaja, Prabu
Klono Sewandono segera membagi tugas di Ponorogo. Sebagian pasukannya
diperintahkan untuk mengumpulkan kuda-kuda terbaik dan melatih para pemuda
Wengker untuk menjadi penari kuda kembar atau yang kini dikenal sebagai
Jathilan. Sementara itu, sang raja sendiri bersama Patih Bujang Ganong dan
pasukan khususnya yang terdiri dari para Warok Ponorogo, berangkat untuk
menjalankan misi yang lebih berbahaya: mencari dan menaklukkan binatang
berkepala dua.
Perjalanan mereka diarahkan
menuju Hutan Lodoyo di wilayah Kediri, sebuah tempat yang dikenal sangat
angker. Hutan ini terkenal sangat lebat dan gelap, menjadi rumah bagi berbagai
jenis jin dan binatang buas. Namun bagi Prabu Klono Sewandono dan para Warok
yang mendampinginya, rasa takut bukanlah sebuah pilihan. Mereka membawa
semangat dan kekuatan dari tanah Ponorogo.
Para Warok yang ikut dalam
perjalanan ini bukanlah prajurit biasa. Mereka adalah para pria tangguh dari
Ponorogo yang telah menjalani laku spiritual yang berat. Mereka dikenal
memiliki ilmu kanuragan tingkat tinggi, kebal terhadap senjata tajam, dan mampu
berkomunikasi dengan alam gaib. Kehadiran mereka menjadi benteng pertahanan
yang kokoh bagi sang raja dalam menghadapi segala marabahaya.
Selama berhari-hari mereka
menyusuri Hutan Lodoyo, berbagai rintangan gaib dan serangan binatang buas
mereka hadapi. Berkat kesaktian Prabu Klono Sewandono, kecerdikan Patih Bujang
Ganong, dan ketangguhan para Warok Ponorogo, semua halangan tersebut berhasil
diatasi. Perjalanan ini benar-benar menguji kekuatan fisik, mental, dan
spiritual mereka, namun pencarian mereka belum juga membuahkan hasil.
Di tengah keputusasaan yang mulai
menyelimuti, Prabu Klono Sewandono tidak menyerah. Ia kemudian melakukan
semedi, memohon petunjuk kepada Allah Yang Maha Agung. Dengan sepenuh jiwa raga
ia berdoa, meminta agar jalannya dibukakan. Setelah beberapa saat berada dalam
keheningan tapa, ia mendapatkan sebuah bisikan gaib yang menunjukkan arah
menuju ke sebuah tempat di mana sang penguasa hutan, Singo Barong, bertahta.
Mengikuti petunjuk gaib, Prabu
Klono Sewandono beserta rombongannya akhirnya tiba di sebuah area terbuka di
jantung Hutan Lodoyo. Di sana, mereka menyaksikan pemandangan yang luar biasa:
seekor singa raksasa dengan wujud yang sangat menakutkan, Singo Barong. Dan
benar saja, di atas kepalanya, seekor burung merak yang cantik sedang hinggap
sambil mematuki kutu di kepala sang singa, membuatnya terlena.
Singo Barong adalah makhluk yang
sangat sakti dan buas. Saat ia melihat kedatangan rombongan dari Ponorogo,
amarahnya langsung memuncak. Ia merasa wilayah kekuasaannya telah diganggu.
Tanpa ragu, Singo Barong langsung menyerang dengan membabi buta. Pertarungan
dahsyat pun tak dapat terelakkan antara kekuatan gaib hutan Lodoyo dan
kesaktian para kesatria dari Ponorogo.
Para Warok dengan gagah berani
maju menghadapi amukan Singo Barong, namun kekuatan sang raja hutan terlalu
besar. Melihat pasukannya terdesak, Patih Bujang Ganong dengan kecerdikannya
segera mencari titik lemah lawan. Ia melihat bahwa Singo Barong menjadi lengah
setiap kali burung merak di atas kepalanya mematukinya. Ia pun segera mencari
cara untuk memancing perhatian sang merak.
Dengan gerakannya yang lincah,
Patih Bujang Ganong berhasil mengganggu sang burung merak hingga terbang menjauh.
Kehilangan kenikmatan itu membuat Singo Barong menjadi semakin murka dan kalap,
namun ia juga kehilangan fokus. Di saat itulah, Prabu Klono Sewandono melihat
kesempatan emas. Ia maju ke depan, mengerahkan seluruh kesaktiannya dan
mengeluarkan pusaka andalannya, Pecut Samandiman.
Dengan sekali lecutan yang
mengeluarkan suara menggelegar, sang raja dari Ponorogo berhasil melumpuhkan
kekuatan Singo Barong. Makhluk raksasa itu pun jatuh tersungkur, takluk di
bawah kesaktian Prabu Klono Sewandono. Alih-alih membunuhnya, sang raja justru
menyatukan kembali burung merak itu ke atas kepala Singo Barong, menciptakan
wujud persis seperti yang disyaratkan Dewi Sanggalangit.
Kabar kemenangan Prabu Klono
Sewandono menaklukkan Singo Barong segera tersebar. Dengan tunduknya sang raja
hutan, misi untuk memenuhi syarat kedua telah berhasil. Sementara itu di
Ponorogo, persiapan untuk memenuhi syarat pertama juga telah rampung. Sebanyak
seratus empat puluh empat pemuda Wengker yang gagah dan terampil telah siap
menjadi penari Jathilan, lengkap dengan kuda-kuda kepang yang indah.
Prabu Klono Sewandono pun
memerintahkan seluruh rombongannya, yang kini lengkap dengan Singo Barong dan
para penari, untuk bersiap melakukan kirab agung. Arak-arakan ini berangkat
dari Ponorogo menuju Kediri, membawa sebuah pertunjukan kolosal yang belum
pernah ada sebelumnya, sebuah mahakarya asli dari tanah Wengker.
Maka dimulailah sebuah prosesi
yang kelak menjadi cikal bakal pertunjukan Reog Ponorogo. Di barisan paling
depan, Patih Bujang Ganong menari dengan lincah. Di belakangnya, menyusul
barisan penari Jathilan dari Ponorogo yang bergerak serempak. Di belakang
mereka, berjalan para Warok dengan langkah yang mantap, memancarkan aura
kekuatan dan kewibawaan khas Ponorogo.
Puncak dari arak-arakan itu
adalah penampilan Prabu Klono Sewandono sendiri, yang menari dengan gagah
perkasa. Dan yang paling menyita perhatian adalah kehadiran Singo Barong
raksasa yang berjalan di tengah barisan, dengan merak anggun di atas kepalanya.
Inilah pertunjukan pertama yang menyatukan semua elemen legenda, sebuah kreasi
orisinal dari Raja dan rakyat Ponorogo.
Ketika kirab agung dari Ponorogo
itu tiba di alun-alun Kerajaan Kediri, seluruh rakyat dan punggawa kerajaan
terperangah. Mereka belum pernah menyaksikan tontonan semegah itu. Dewi
Sanggalangit dan ayahandanya yang menyaksikan dari atas panggung kehormatan
merasa takjub sekaligus kagum. Prabu Klono Sewandono telah berhasil, tidak
hanya memenuhi syarat, tetapi menghadirkannya dalam sebuah pertunjukan
spektakuler yang lahir dari kreativitas Ponorogo.
Melihat kedua syaratnya telah
dipenuhi dengan cara yang begitu gemilang oleh Raja Wengker, hati Dewi
Sanggalangit luluh. Ia melihat bukan hanya kekuatan, tetapi juga kecerdasan,
seni, dan kesungguhan yang luar biasa. Dengan Rido dari ayahandanya, ia
menerima lamaran sang Raja dari Ponorogo. Kebahagiaan pun menyelimuti kedua
kerajaan yang akan segera dipersatukan.
Pesta pernikahan antara Prabu
Klono Sewandono dengan Dewi Sanggalangit pun digelar dengan sangat meriah. Setelah
pernikahan, sang putri diboyong ke Kerajaan Wengker untuk menjadi permaisuri.
Untuk mengabadikan kisah perjuangannya, Prabu Klono Sewandono menitahkan agar
seluruh rangkaian pertunjukan yang ia ciptakan dilestarikan di kerajaannya
sebagai sebuah kesenian pusaka.
Kesenian ini harus terus
ditampilkan untuk mengingatkan generasi penerus di Ponorogo tentang nilai-nilai
keberanian, kecerdasan, dan kegigihan. Sang raja menamakan kesenian agung
tersebut dengan nama Reog, dan karena lahir dan berkembang di tanahnya, ia
dikenal sebagai Reog Ponorogo. Kesenian ini menjadi identitas dan kebanggaan
abadi bagi rakyatnya.
Setiap tokoh dalam legenda
perjuangannya diabadikan menjadi karakter dalam pertunjukan Reog Ponorogo.
Sosok Prabu Klono Sewandono, Patih Bujang Ganong, penari Jathil, para Warok,
dan tentu saja, Singo Barong dengan merak di atasnya yang disebut Dadak Merak,
menjadi ikon utama yang tak terpisahkan dari kesenian ini. Semuanya adalah
representasi dari sejarah dan semangat masyarakat Ponorogo.
Demikianlah, kesenian Reog
Ponorogo lahir bukan hanya sebagai hiburan, tetapi sebagai sebuah tugu
peringatan yang hidup. Ia membawa serta kisah legenda, filosofi yang dalam, dan
semangat yang tak pernah padam dari tanah Ponorogo. Dari generasi ke generasi,
Reog terus ditarikan, dijaga, dan dilestarikan sebagai warisan budaya luhur,
sebuah bukti bahwa dari sebuah perjalanan cinta seorang raja, dapat terlahir
sebuah mahakarya abadi bagi bangsanya.
Kisah legenda Reog Ponorogo
mengajarkan kita bahwa untuk mencapai sebuah tujuan mulia, diperlukan lebih
dari sekadar kekuatan. Dibutuhkan pula kecerdasan, keberanian, kegigihan, dan
kesetiaan. Legenda ini juga menunjukkan bahwa seni dapat menjadi media yang
kuat untuk menyuarakan aspirasi dan kritik, membuktikan bahwa keindahan dan
keberanian dari masyarakat Ponorogo dapat berjalan beriringan untuk menciptakan
sesuatu yang abadi.
Komentar
Posting Komentar