Legenda Dewi Rengganis, Sang Penguasa Argopuro
Di antara jajaran pegunungan
purba di tanah Jawa, membentang sebuah punggungan megah dan terpanjang yang
dikenal sebagai Pegunungan Hyang, dengan puncaknya yang legendaris, Argopuro.
Tempat ini bukan sekadar gugusan alam yang sunyi, melainkan sebuah kerajaan
gaib yang diselimuti misteri dan keagungan. Konon, di puncak-puncaknya yang
hening dan lembahnya yang permai, bersemayamlah seorang dewi yang kecantikan
dan kesaktiannya termahsyur sepanjang masa. Dialah Dewi Rengganis, sang putri
yang terbuang dari kemegahan Majapahit, yang kemudian menjadi penguasa agung di
puncak para dewa. Kisahnya adalah tentang takdir, keteguhan hati, dan jalan
penebusan yang abadi.
Pada masa keemasan Kerajaan
Majapahit, di bawah pemerintahan Sri Prabu Brawijaya ke 5, istana dipenuhi
dengan kemegahan yang tiada tara. Sang Prabu dikenal sebagai raja yang
bijaksana dan berwibawa, namun hatinya terpaut pada salah seorang selirnya yang
berparas elok nan berbudi luhur, bernama Dewi Rara Wulan. Kehadiran Dewi Rara
Wulan di lingkungan keraton membawa kesejukan, namun juga menabur benih-benih
iri di hati permaisuri utama dan para selir lainnya yang merasa terpinggirkan
oleh perhatian sang raja.
Dari rahim Dewi Rara Wulan,
lahirlah seorang putri yang cahayanya seolah mampu menyaingi terangnya rembulan
purnama. Wajahnya begitu rupawan, kulitnya kuning langsat, dan senyumnya mampu
meluluhkan hati siapa saja yang memandang. Sang Prabu Brawijaya menatap
putrinya dengan penuh haru dan bangga. Ia memberinya nama Rengganis. Nama ini
berasal dari gabungan dua kata, Rengga yang berarti hiasan atau permata, dan
Manis yang berarti indah atau elok. Dengan demikian, Rengganis adalah permata
yang manis, hiasan terindah dari seluruh kerajaan.
Kelahiran Dewi Rengganis disambut
dengan sukacita oleh Sang Prabu dan para abdi yang tulus. Namun, di balik
perayaan itu, awan kelabu mulai berkumpul. Para penasihat spiritual dan
orang-orang bijak di istana merasakan adanya pertanda gaib yang menyelimuti
masa depan sang putri. Mereka meramalkan bahwa jalan hidup Dewi Rengganis akan
penuh dengan liku-liku tajam, sebuah takdir yang akan membawanya jauh dari
singgasana emas Majapahit menuju sebuah kekuasaan lain yang lebih abadi dan
menyatu dengan alam semesta.
Prabu Brawijaya, meskipun
mendengar bisik-bisik ramalan tersebut, memilih untuk menepisnya. Cintanya yang
begitu besar kepada Dewi Rara Wulan dan putrinya, Dewi Rengganis, membuatnya
buta terhadap intrik yang mulai dijalin di dalam tembok istana. Ia percaya bahwa
kasih sayangnya cukup untuk melindungi mereka dari segala marabahaya yang
mengintai. Namun, takdir memiliki rencananya sendiri, dan benang nasib Dewi
Rengganis telah ditenun jauh sebelum kelahirannya oleh kekuatan yang lebih
besar.
Sang putri kecil tumbuh dalam
limpahan kasih sayang ayahnya. Ia menjadi pusat perhatian, permata yang selalu
dijaga dan dimuliakan. Setiap senyum dan tawanya adalah musik terindah bagi
Prabu Brawijaya. Akan tetapi, semakin besar cinta sang raja kepadanya, semakin
dalam pula jurang kedengkian yang tercipta di hati mereka yang merasa terancam
oleh kehadirannya. Keadaan ini tanpa disadari sedang mempersiapkan sebuah babak
baru yang kelam bagi sang putri dan ibundanya.
Kecintaan Prabu Brawijaya yang
teramat besar kepada Dewi Rara Wulan dan putrinya, Dewi Rengganis, ternyata
menjadi bara api yang menyulut kecemburuan sang permaisuri, Putri Champa. Sang
permaisuri merasa posisinya sebagai ibu suri di masa depan terancam. Ia
khawatir putra mahkotanya kelak akan tersisih oleh pesona dan pengaruh Dewi
Rengganis yang mungkin akan dijodohkan dengan pangeran dari kerajaan besar
lainnya, sehingga dapat memperkuat posisi ibunya di mata raja.
Maka, sang permaisuri mulai
menyebar fitnah keji dengan sangat terencana. Dengan liciknya, ia bersekongkol
dengan beberapa pejabat istana yang tidak menyukai Dewi Rara Wulan karena
dianggap terlalu disayangi raja. Mereka menuduh Dewi Rara Wulan telah
menggunakan ilmu hitam dan guna-guna untuk memikat hati Prabu Brawijaya. Lebih
keji lagi, mereka menyebarkan kabar bohong bahwa sang selir menderita penyakit
menular yang mengerikan, sebuah penyakit yang dapat membawa aib dan malapetaka
bagi seluruh keluarga kerajaan dan negeri Majapahit.
Fitnah itu dihembuskan secara
terus-menerus dan sistematis melalui bisik-bisik di seluruh penjuru istana,
hingga akhirnya sampai ke telinga Prabu Brawijaya. Awalnya, sang prabu menolak
mentah-mentah tuduhan tersebut karena cintanya yang tulus. Namun, tekanan
politik dari permaisuri dan para pejabat yang berpengaruh membuatnya goyah. Ia
dihadapkan pada pilihan yang teramat sulit, antara mempertahankan cinta
sejatinya atau menjaga keutuhan dan stabilitas takhta Majapahit yang saat itu
mulai rapuh.
Dengan hati yang hancur
berkeping-keping, Prabu Brawijaya akhirnya membuat keputusan yang paling
menyakitkan dalam hidupnya. Ia memerintahkan agar Dewi Rara Wulan dan putrinya
yang masih belia, Dewi Rengganis, diasingkan dari istana. Mereka harus dibawa
ke sebuah tempat yang sangat jauh dan terpencil, yakni sebuah hutan belantara
di kawasan Pegunungan Hyang. Sang Prabu berharap, dengan cara ini, fitnah akan
mereda dan stabilitas kerajaan dapat terjaga, meskipun ia harus mengorbankan
kebahagiaannya sendiri.
Para prajurit dengan berat hati
melaksanakan perintah raja. Dewi Rara Wulan yang meratap pilu memeluk erat Dewi
Rengganis kecil yang belum mengerti apa-apa tentang konspirasi kejam yang
menimpa mereka. Mereka dibawa pergi meninggalkan kemegahan istana, menempuh
perjalanan menuju belantara yang sunyi dan liar. Inilah awal dari perjalanan hidup
Dewi Rengganis yang penuh derita, sebuah pengasingan yang kelak akan menempanya
menjadi pribadi yang luar biasa tangguh dan sakti.
Perjalanan menuju Pegunungan
Hyang adalah sebuah siksaan bagi Dewi Rara Wulan dan putrinya. Mereka harus
menembus hutan lebat, menyeberangi sungai deras, dan mendaki lereng-lereng
terjal yang tak berujung. Sesampainya di sebuah dataran tinggi yang sepi dan
berkabut, para prajurit meninggalkan mereka hanya dengan sedikit bekal. Di
tengah alam liar yang tak kenal ampun, Dewi Rara Wulan harus berjuang sendirian
untuk melindungi dan menghidupi buah hatinya, Dewi Rengganis.
Di dalam pengasingan yang getir
itu, Dewi Rara Wulan membesarkan Rengganis dengan sisa-sisa ilmu dan
pengetahuan yang ia bawa dari istana. Ia mengajari putrinya tentang tatakrama,
kebaikan budi, dan yang terpenting, tentang Allah Sang Pencipta Alam Semesta.
Di tengah kesulitan yang tiada henti, iman mereka menjadi satu-satunya pegangan
dan sumber kekuatan. Mereka bertahan hidup dengan memakan buah-buahan hutan, dedaunan,
dan umbi-umbian, serta membangun sebuah gubuk sederhana sebagai tempat berteduh
dari ganasnya cuaca.
Dewi Rengganis tumbuh menjadi
seorang gadis remaja yang tangguh dan menyatu dengan alam. Alam liar telah
menjadi guru terbaiknya. Ia belajar mengenali jejak binatang, membedakan
tumbuhan beracun dan yang bisa dimakan, serta merasakan pertanda alam melalui
angin dan suara hutan. Kehidupannya yang jauh dari kemanjaan istana telah
membentuknya menjadi pribadi yang mandiri, kuat, dan memiliki kepekaan batin
yang luar biasa tajam. Ia tidak lagi merindukan lantai marmer istana, karena
hatinya telah menyatu dengan tanah dan pepohonan di Pegunungan Hyang.
Namun, cobaan yang lebih berat
kembali datang. Kesehatan Dewi Rara Wulan semakin hari semakin menurun drastis.
Kerasnya kehidupan di alam liar dan kesedihan mendalam yang tak kunjung usai
telah menggerogoti tubuhnya yang rapuh. Hingga pada suatu senja yang muram, di
pangkuan Dewi Rengganis, Dewi Rara Wulan menghembuskan napas terakhirnya. Ia
pergi dengan damai, meninggalkan pesan kepada putrinya untuk selalu menjadi
pribadi yang pemaaf, kuat, serta selalu berlindung hanya kepada Allah.
Kini, Dewi Rengganis benar-benar
sebatang kara di tengah belantara yang luas. Duka yang mendalam menyelimuti
hatinya, namun ia teringat wasiat sang ibunda. Dengan keteguhan hati yang luar
biasa, ia menguburkan jenazah ibunya dengan layak di tanah yang telah menjadi
rumah mereka. Sejak saat itu, ia berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak
hanya bertahan hidup, tetapi juga untuk menaklukkan alam yang telah menjadi
rumahnya, sebagai bentuk penghormatan tertinggi bagi perjuangan dan pengorbanan
ibunya.
Ditinggal seorang diri tidak
membuat Dewi Rengganis patah semangat, justru kesendirian itu semakin
mendekatkannya pada kekuatan spiritual yang lebih tinggi. Ia sering bertapa dan
bersemedi di tempat-tempat sunyi yang memiliki energi magis, seperti di tepi
danau-danau tinggi dan di puncak-puncak gunung yang hening. Dalam laku
spiritualnya yang khusyuk, ia mendapatkan banyak petunjuk dan ilmu kesaktian
dari para leluhur dan danyang penjaga Pegunungan Hyang yang luluh melihat
ketulusan hatinya.
Kekuatan gaibnya tumbuh pesat,
seiring dengan kematangan jiwa dan kedewasaannya. Kecantikan Dewi Rengganis
yang telah mekar sempurna kini berpadu dengan kesaktiannya yang mandraguna.
Kabar mengenai keberadaan seorang putri pertapa yang cantik jelita dan sakti di
puncak Argopuro mulai tersebar di antara penduduk desa di kaki gunung. Tidak
hanya itu, para makhluk gaib dan siluman penghuni Pegunungan Hyang pun tunduk
dan menaruh hormat padanya, mengakui auranya sebagai pemimpin.
Para makhluk halus tersebut
melihat Dewi Rengganis bukan sebagai manusia biasa, melainkan sebagai titisan
dewi yang ditakdirkan untuk menjadi pemimpin mereka. Dengan bantuan para
pengikutnya yang setia, baik dari kalangan manusia yang mencari perlindungan
maupun dari kalangan makhluk halus, Dewi Rengganis membangun sebuah keraton
gaib di salah satu dataran tinggi Argopuro. Tempat itu dikenal sebagai Taman
Hidup, sebuah taman yang luar biasa indah, dipenuhi bunga-bunga abadi dan
dialiri air kehidupan.
Dari sanalah ia memerintah
kerajaannya dengan adil dan bijaksana, menjadi ratu bagi seluruh penghuni
Pegunungan Hyang. Namanya sebagai Ratu Argopuro semakin termasyhur ke berbagai
penjuru. Ia dikenal sebagai sosok penguasa yang welas asih namun juga sangat
tegas dalam menegakkan aturan. Ia melindungi hutan dan seluruh isinya dari
kerusakan, serta sering menolong para pendaki atau petualang yang tersesat
dengan niat baik di dalam wilayahnya.
Akan tetapi, bagi mereka yang
datang dengan niat jahat, serakah, atau hendak berbuat kerusakan di alam,
mereka akan berhadapan langsung dengan kemurkaan sang ratu dan kesaktian para
prajurit gaibnya. Kekuasaannya di Argopuro menjadi sebuah legenda hidup. Ia
tidak lagi meratapi nasibnya sebagai putri yang terbuang dari Majapahit. Ia
telah menemukan takhtanya sendiri, sebuah takhta yang dibangun di atas
penderitaan, keteguhan, dan Rido dari Yang Maha Kuasa.
Sementara Dewi Rengganis
membangun kerajaannya di puncak sunyi Argopuro, di dataran rendah, Kerajaan
Majapahit justru tengah menuju senja kalanya. Konflik internal yang tak
berkesudahan dan pengaruh kekuatan baru dari pesisir utara, yakni Kesultanan
Demak yang dipimpin oleh Raden Fatah, saudara tiri Dewi Rengganis sendiri,
terus menggerogoti wibawa Majapahit. Puncaknya terjadi pada sekitar Tahun 1478
Masehi, ketika pasukan Demak melancarkan serangan besar ke ibu kota Trowulan.
Serangan dahsyat itu
memorak-porandakan kemegahan Majapahit yang telah berkuasa selama berabad-abad.
Prabu Brawijaya ke 5 beserta para pengikutnya yang masih setia terpaksa
melarikan diri dari keraton untuk menyelamatkan diri. Mereka tercerai-berai,
mencari perlindungan di berbagai daerah terpencil untuk menghindari kejaran
pasukan Demak. Sang Prabu melarikan diri ke arah timur, menuju Pegunungan Lawu
dan kemudian melanjutkan perjalanannya yang penuh keprihatinan.
Kabar mengenai keruntuhan
Majapahit dan pelarian ayahnya akhirnya sampai ke telinga Dewi Rengganis di
pertapaannya. Berita itu dibawa oleh para pengikutnya yang berkelana dan juga
melalui kepekaan batinnya yang tajam yang mampu merasakan gejolak besar di
tanah Jawa. Hatinya teriris mendengar nasib tragis yang menimpa ayah yang
pernah membuangnya. Rasa benci dan dendam yang mungkin pernah ada kini luluh
oleh ikatan darah dan rasa kasihan yang mendalam.
Didorong oleh rasa bakti seorang
anak kepada orang tuanya, Dewi Rengganis memutuskan untuk turun gunung. Ia
merasa harus menemukan ayahnya, di mana pun beliau berada. Ia ingin memastikan
keselamatan ayahnya dan mungkin, memberikan tempat perlindungan terakhir di
kerajaannya yang damai di Argopuro. Ia tidak peduli lagi dengan takhta
Majapahit yang telah hancur, yang ia inginkan hanyalah bertemu kembali dengan
sang ayah untuk terakhir kalinya.
Dengan diiringi oleh para
prajurit gaib dan pengikut setianya yang paling sakti, Dewi Rengganis memulai
perjalanannya menuruni lereng Argopuro yang curam. Ia meninggalkan sejenak
takhta gaibnya yang megah untuk sebuah misi suci, sebuah pencarian yang akan
mempertemukannya kembali dengan masa lalunya, dengan keluarganya, dan dengan
takdirnya yang belum usai. Perjalanan ini akan menjadi ujian terakhir bagi
kebesaran jiwa dan ketulusan hatinya.
Dalam perjalanannya mencari jejak
sang ayah, rombongan Dewi Rengganis bertemu dengan sisa-sisa laskar Majapahit
yang melarikan diri. Di antara mereka, terdapat dua orang pangeran gagah yang
juga tengah kebingungan mencari jejak Prabu Brawijaya. Tanpa mereka sadari,
kedua pangeran tersebut adalah saudara Dewi Rengganis dari ibu yang berbeda,
yang juga terusir atau melarikan diri akibat kemelut politik yang sama di masa
lalu.
Kedua pangeran tersebut sama
sekali tidak mengenali Dewi Rengganis. Di mata mereka, Rengganis hanyalah
seorang wanita asing pemimpin gerombolan dari gunung yang terlihat sakti dan
sangat misterius. Mereka menaruh curiga, menganggap rombongan Dewi Rengganis
sebagai ancaman atau mungkin salah satu kelompok pemberontak yang memanfaatkan
kekacauan untuk kepentingan mereka sendiri. Kesalahpahaman pun tak dapat
dihindari, memicu ketegangan di antara mereka.
Akibat kecurigaan dan kesombongan
khas pangeran, perdebatan sengit pun terjadi. Para pangeran dengan angkuhnya
menantang Dewi Rengganis untuk membuktikan siapa dirinya dan dari mana
asal-usulnya. Merasa diremehkan dan juga untuk menunjukkan kekuasaannya sebagai
Ratu Argopuro, Dewi Rengganis pun meladeni tantangan tersebut. Adu kesaktian
pun terjadi di sebuah tanah lapang, disaksikan oleh para pengikut dari kedua
belah pihak.
Dengan sangat mudah, Dewi
Rengganis yang telah ditempa oleh kerasnya alam dan menguasai ilmu gaib tingkat
tinggi mampu mengalahkan kedua saudaranya. Kesaktiannya jauh melampaui apa yang
bisa mereka bayangkan. Kedua pangeran itu terkejut dan takjub. Mereka tak menyangka,
wanita yang mereka hadapi memiliki kekuatan yang luar biasa dahsyat. Dalam
kekalahannya, mereka mulai menaruh hormat dan menyadari bahwa wanita ini
bukanlah orang sembarangan.
Melihat kedua saudaranya telah
mengakui keunggulannya, Dewi Rengganis segera menghentikan pertarungan. Ia
tidak ingin menyakiti mereka lebih jauh karena merasakan adanya ikatan batin.
Dengan wibawa seorang ratu, ia kemudian mulai menceritakan asal-usulnya,
tentang ibunya Dewi Rara Wulan, dan tentang pengasingan mereka bertahun-tahun
yang lalu akibat fitnah di istana. Sebuah pengungkapan yang akan mengubah
segalanya dan menyatukan kembali kepingan keluarga yang telah lama
tercerai-berai.
Mendengar penuturan Dewi
Rengganis yang penuh perasaan, kedua pangeran itu terperangah. Mereka teringat
akan cerita lama tentang selir raja dan putrinya yang diasingkan karena fitnah
keji permaisuri. Untuk meyakinkan mereka sepenuhnya, Dewi Rengganis kemudian
menunjukkan sebuah selendang sutra peninggalan ibunya, sebuah benda pusaka yang
hanya dikenali oleh kalangan dalam istana Majapahit. Seketika itu juga, kedua
pangeran itu bersimpuh dan memohon ampun.
Mereka menangis, menyesali
kesombongan dan ketidaktahuan mereka telah menantang saudari mereka sendiri.
Setelah bersatu kembali sebagai saudara, mereka bersama-sama melanjutkan
pencarian Prabu Brawijaya dengan satu tujuan. Dengan petunjuk gaib dari Dewi
Rengganis yang mampu melihat jejak spiritual, mereka akhirnya menemukan sang
ayah di sebuah tempat terpencil di lereng gunung, dalam keadaan yang sangat
memprihatinkan.
Pertemuan antara ayah dan anak
itu berlangsung dengan sangat mengharukan. Prabu Brawijaya, Raja Agung
Majapahit, kini tampak tua, letih, dan jiwanya terguncang hebat. Ia hidup dalam
penyesalan yang mendalam atas keruntuhan kerajaannya dan kesalahannya di masa
lalu. Ia menatap Dewi Rengganis, putri yang pernah ia buang, kini berdiri di
hadapannya sebagai seorang ratu yang agung dan penuh wibawa. Dengan air mata
bercucuran, Sang Prabu memeluk putrinya erat dan memohon ampunan atas segala
dosanya.
Dewi Rengganis, dengan kebesaran
jiwanya, memaafkan sang ayah dengan tulus. Ia tidak menyimpan dendam sedikit
pun di hatinya. Ia menenangkan hati ayahnya dan menawarkan perlindungan di
kerajaannya yang damai di Argopuro. Di bawah bimbingan spiritual putrinya yang
telah mencapai tingkat kebijaksanaan tinggi, Prabu Brawijaya menghabiskan sisa
hidupnya untuk bertapa dan menyucikan diri, mencari Rido dari Allah atas segala
perbuatannya di masa lalu.
Hingga pada suatu waktu yang
telah ditentukan oleh takdir, Prabu Brawijaya mencapai puncak perjalanan
spiritualnya. Di salah satu puncak Pegunungan Hyang yang sunyi, dengan
disaksikan oleh Dewi Rengganis dan kedua putranya, sang prabu mencapai moksa.
Jasadnya lenyap bersama raganya, menyatu kembali dengan alam semesta dalam
cahaya yang agung. Ia telah menemukan kedamaian abadinya, sebuah penebusan yang
difasilitasi oleh putri yang paling ia sakiti namun juga yang paling tulus
mencintainya.
Setelah Prabu Brawijaya moksa dan
semua urusannya dengan dunia fana telah selesai, Dewi Rengganis tidak lagi
memiliki keinginan untuk kembali ke peradaban manusia di dataran rendah. Dunia
politik, perebutan kekuasaan, dan hiruk pikuk kerajaan tidak lagi menarik
hatinya. Baginya, Majapahit adalah sebuah kenangan pahit sekaligus pelajaran
berharga, sementara Argopuro adalah kenyataan, rumah, dan masa depannya. Ia
telah menemukan kedamaian dan tujuan hidupnya di puncak-puncak yang sunyi.
Ia pun kembali ke istana gaibnya
di Taman Hidup, diiringi para pengikutnya yang setia. Ia melanjutkan perannya
sebagai Ratu dan pelindung agung Pegunungan Hyang. Ia memerintah dengan adil,
menjaga keseimbangan alam, dan melindungi semua makhluk yang berada di bawah
naungannya, baik yang terlihat maupun yang tidak. Ia menjadi sosok penjaga yang
dihormati sekaligus disegani oleh semua mahluk di kawasan pegunungan tersebut.
Legenda Dewi Rengganis pun hidup
abadi. Kisahnya diceritakan turun-temurun, dari para pendaki yang merasakan
aura mistis di sepanjang jalur pendakian, hingga masyarakat sekitar yang
meyakini keberadaan kerajaannya. Situs-situs peninggalan di sepanjang jalur
pendakian Argopuro, seperti Rawa Embik, Alun-Alun Kecil, Cikasur, hingga
reruntuhan candi di Puncak Rengganis, semuanya diyakini sebagai bagian dari
jejak kerajaannya yang megah di masa lampau.
Hingga hari ini, Dewi Rengganis
diyakini masih bersemayam di puncak Argopuro. Ia menjadi simbol kekuatan
wanita, keteguhan dalam menghadapi cobaan terberat sekalipun, dan kebesaran
hati untuk memaafkan kesalahan masa lalu. Sosoknya menjelma menjadi arwah
penjaga, dewi pelindung, yang tatapan gaibnya senantiasa mengawasi setiap
langkah makhluk yang memasuki wilayah kekuasaannya, memastikan keagungan dan
kesucian Pegunungan Hyang tetap terjaga sepanjang masa.
Namanya, Dewi Rengganis, sang
permata yang manis, kini menjadi legenda yang menyatu dengan keindahan dan
misteri Argopuro. Ia adalah bukti nyata bahwa takhta sejati tidak selalu
terbuat dari emas dan permata, tetapi bisa juga dibangun dari penderitaan,
kekuatan batin, dan keikhlasan hati untuk menerima takdir, lalu mengubahnya
menjadi sebuah kemuliaan yang abadi dan tak lekang oleh waktu.
Kisah Dewi Rengganis mengajarkan
kita bahwa penderitaan dan cobaan hidup bukanlah akhir dari segalanya,
melainkan sebuah proses penempaan untuk membentuk jiwa yang lebih kuat dan
mulia. Keteguhan hati, kemandirian, dan kemampuan untuk memaafkan adalah kunci
untuk mengubah nasib buruk menjadi sebuah kemenangan. Kisah ini juga
mengingatkan bahwa kekuasaan dan kedudukan sejati tidak diukur dari warisan
atau jabatan, melainkan dari kebijaksanaan, kekuatan batin, dan kemampuan untuk
memberi perlindungan serta kedamaian bagi lingkungan di sekitar kita.
Komentar
Posting Komentar