LEGENDA ONOM GALUH (JAWA BARAT)
Di tanah Pasundan yang diselimuti
kabut tipis sejarah, tersembunyi sebuah kisah epik tentang kesetiaan yang tak
lekang oleh waktu. Ini bukanlah hikayat tentang seorang pahlawan tunggal dengan
kesaktian mandraguna, melainkan sebuah balada tentang sekelompok ksatria luhur
yang memilih jalan terjal demi mempertahankan kehormatan tanah tumpah darahnya.
Mereka dikenal dengan sebutan Onom Galuh, sebuah nama yang gaungnya masih
terasa hingga kini, berbisik di antara rimbunnya pepohonan dan aliran sungai di
Jawa Barat, menjadi simbol abadi dari prinsip dan pengorbanan.
Kerajaan Galuh Pajajaran yang
agung, pewaris kemegahan tradisi Sunda, tengah berada di ambang senja kalanya.
Di bawah kepemimpinan Sri Baduga Maharaja, atau yang lebih dikenal sebagai
Prabu Siliwangi, kerajaan ini mencapai puncak kejayaannya. Namun, roda zaman
terus berputar, membawa angin perubahan yang dahsyat. Dari pesisir utara,
cahaya ajaran baru, Islam, mulai bersinar terang, dibawa oleh Kesultanan
Cirebon dan Kesultanan Demak yang kian menguat pengaruhnya. Perubahan ini tidak
hanya bersifat keyakinan, tetapi juga membawa pergeseran kekuatan politik yang
besar.
Banyak putra-putri bangsawan
Pajajaran, termasuk beberapa keturunan Prabu Siliwangi sendiri, yang memilih
untuk memeluk ajaran baru tersebut. Pilihan ini seringkali diikuti dengan
pergeseran loyalitas politik, dari yang semula berpusat di ibu kota Pakuan
Pajajaran, menjadi condong ke Cirebon atau Demak. Perbedaan pandangan dan
keyakinan ini secara perlahan mulai menggerogoti sendi-sendi persatuan
kerajaan. Tembok-tembok istana yang dulu kokoh kini seakan retak oleh
perdebatan dan konflik internal yang tak kunjung usai.
Di tengah situasi yang penuh
ketidakpastian ini, Prabu Siliwangi yang bijaksana merasakan bahwa masa
pemerintahannya dan kerajaannya akan segera berakhir. Beliau dihadapkan pada
pilihan sulit antara mempertahankan tradisi leluhur atau mengikuti arus
perubahan zaman yang tak terelakkan. Legenda menyebutkan bahwa sang prabu pada
akhirnya memilih jalan spiritual, melakukan tapa brata hingga mencapai moksa
atau ngahiyang, menghilang dari alam duniawi tanpa menyerahkan kekuasaannya
kepada kekuatan baru tersebut.
Kepergian Prabu Siliwangi
meninggalkan kekosongan kepemimpinan yang besar. Kerajaan yang ditinggalkannya
menjadi semakin rentan. Para pejabat dan bangsawan terpecah belah. Sebagian
melihat masa depan yang lebih cerah dengan bergabung bersama kekuatan
kesultanan Islam, sementara sebagian kecil lainnya merasa terpanggil untuk
mempertahankan ajaran Sunda Wiwitan dan kemandirian Pajajaran hingga tetes
darah penghabisan.
Di tengah perpecahan inilah,
muncul sekelompok tokoh yang teguh dalam pendiriannya. Mereka adalah para
patih, mangkubumi, dan penasihat senior yang telah mengabdi lama dan merasakan
langsung masa keemasan di bawah Prabu Siliwangi. Mereka menolak untuk tunduk
pada kekuatan baru dan bersumpah akan menjaga warisan leluhur mereka. Kelompok
inilah yang kelak akan dikenal dalam sejarah lisan sebagai Onom Galuh, benteng
terakhir Pajajaran.
Nama Onom Galuh sejatinya
bukanlah nama satu orang tokoh, melainkan sebuah julukan atau sebutan
kehormatan bagi sebuah dewan atau kelompok yang terdiri dari enam pejabat
tinggi Kerajaan Galuh Pajajaran. Kata Onom berasal dari bahasa Sunda kuno yang
berarti genep atau enam. Angka enam ini melambangkan jumlah tokoh utama yang
menjadi pilar dari gerakan perlawanan dan kesetiaan terhadap warisan Prabu
Siliwangi dan ajaran Sunda kuno.
Sementara itu, kata Galuh merujuk
pada Kerajaan Galuh itu sendiri, sebuah kerajaan besar yang riwayatnya telah menyatu
dengan Pajajaran. Galuh juga dapat diartikan secara puitis sebagai permata atau
sesuatu yang berharga dan murni. Dengan demikian, nama Onom Galuh dapat
dimaknai sebagai Enam Permata dari Galuh, atau Enam Pilar Penjaga Kemurnian
Galuh. Nama ini mencerminkan betapa berharganya peran dan posisi mereka sebagai
pelindung terakhir dari nilai-nilai luhur kerajaan.
Identitas keenam tokoh ini
seringkali berbeda-beda dalam berbagai versi cerita rakyat, namun esensinya
tetap sama. Mereka adalah para negarawan, senapati perang, dan penasihat
spiritual yang memiliki pengaruh besar di lingkungan istana. Mereka adalah
representasi dari golongan konservatif yang memandang perubahan yang dibawa
oleh Cirebon bukan hanya sebagai ancaman militer, tetapi juga ancaman terhadap
tatanan sosial, budaya, dan spiritual yang telah diwariskan oleh para karuhun
atau leluhur.
Keenam tokoh ini diyakini
memiliki kesaktian dan kearifan yang luar biasa. Pengetahuan mereka tentang
strategi perang, tata negara, dan ilmu kanuragan sangat mendalam, diwariskan
dari generasi ke generasi para abdi dalem Pajajaran. Mereka bukanlah
orang-orang yang haus kekuasaan untuk diri sendiri, melainkan para patriot
sejati yang cintanya pada tanah air melebihi cintanya pada kehidupan mereka
sendiri.
Maka, ketika banyak bangsawan
lain memilih jalan aman dengan bersekutu dengan kekuatan yang sedang naik daun,
Onom Galuh justru memilih jalan sunyi yang penuh risiko. Mereka sadar bahwa
perjuangan mereka kemungkinan besar akan berakhir dengan kekalahan. Namun, bagi
mereka, kehormatan untuk berjuang mempertahankan keyakinan dan warisan leluhur
jauh lebih mulia daripada hidup dalam penaklukan.
Menyaksikan kerajaan yang mereka
cintai perlahan-lahan merapuh, Onom Galuh berkumpul di sebuah tempat suci yang
dirahasiakan. Di sana, di bawah naungan pohon-pohon besar dan di hadapan
arca-arca perlambang kekuatan alam, mereka mengikrarkan sebuah sumpah yang
menggetarkan. Sumpah tersebut bukanlah sumpah untuk meraih kemenangan,
melainkan sumpah untuk setia sampai akhir. Mereka bersumpah tidak akan pernah
tunduk kepada penguasa dari Cirebon maupun Demak.
Isi sumpah mereka berpusat pada
tiga pilar utama. Pertama, mereka bersumpah untuk menjaga ajaran Sunda Wiwitan,
keyakinan spiritual asli masyarakat Pasundan yang menghormati kekuatan alam dan
arwah para leluhur. Kedua, mereka bersumpah untuk melindungi pusaka-pusaka dan
naskah-naskah kuno peninggalan kerajaan dari penjarahan atau pemusnahan.
Ketiga, mereka bersumpah untuk melawan siapapun yang mencoba menghapus jejak
dan kehormatan Kerajaan Galuh Pajajaran dari muka bumi.
Sumpah ini diucapkan bukan dengan
gegap gempita, melainkan dalam keheningan yang khusyuk dan sakral. Setiap kata
yang terucap seakan meresap ke dalam tanah dan disaksikan oleh semesta. Mereka
sadar betul konsekuensi dari ikrar tersebut. Mereka akan dicap sebagai
pemberontak, pembangkang, dan sisa-sisa masa lalu yang menolak kemajuan.
Keluarga dan harta benda mereka akan menjadi taruhannya.
Dengan sumpahnya itu, Onom Galuh
secara resmi memisahkan diri dari jalur politik kompromi yang ditempuh oleh
sebagian bangsawan lainnya. Mereka mulai mengorganisir sisa-sisa laskar
Pajajaran yang masih setia, mengumpulkan para prajurit dari berbagai pelosok
negeri yang menolak untuk menyerah. Mereka mengubah pusat-pusat pertahanan di
pedalaman menjadi benteng-benteng perlawanan, siap menghadapi gempuran yang
mereka tahu pasti akan datang.
Bagi Onom Galuh dan para
pengikutnya, ini adalah sebuah perjuangan suci. Pertarungan ini bukanlah
sekadar perebutan wilayah kekuasaan, melainkan pertarungan untuk mempertahankan
identitas sebagai urang Sunda. Mereka percaya bahwa jika mereka menyerah, maka
seluruh tatanan nilai, adat istiadat, dan kearifan lokal yang telah dibangun
selama berabad-abad akan lenyap ditelan zaman, hanya menjadi catatan kaki dalam
sejarah yang ditulis oleh para pemenang.
Kabar tentang sumpah dan gerakan
perlawanan yang dipimpin oleh Onom Galuh akhirnya sampai ke telinga penguasa
Kesultanan Cirebon. Awalnya, pihak Cirebon menempuh jalur damai dengan
mengirimkan utusan untuk mengajak mereka berunding dan memeluk ajaran Islam.
Namun, dengan teguh Onom Galuh menolak ajakan tersebut. Bagi mereka, menerima
ajakan itu sama artinya dengan mengkhianati sumpah dan leluhur mereka.
Penolakan ini dianggap sebagai sebuah pembangkangan yang harus ditindak.
Maka, pertempuran pun menjadi
sesuatu yang tidak bisa dihindari lagi. Laskar Cirebon, yang diperkuat oleh
para prajurit dari Demak dan para bangsawan Pajajaran yang telah beralih
haluan, bergerak menuju jantung pertahanan Onom Galuh. Pertempuran hebat pecah
di berbagai wilayah. Laskar Onom Galuh, meskipun jumlahnya lebih sedikit,
bertempur dengan gagah berani, didorong oleh semangat juang dan penguasaan
medan yang unggul.
Taktik perang gerilya menjadi
andalan pasukan Onom Galuh. Mereka memanfaatkan lebatnya hutan, terjalnya
perbukitan, dan derasnya aliran sungai sebagai benteng alami. Serangan-serangan
mendadak dilancarkan di malam hari atau saat cuaca buruk, menimbulkan kerugian
yang tidak sedikit di pihak lawan. Keberanian dan strategi mereka yang cerdik
membuat laskar Cirebon sempat kewalahan dan frustrasi.
Namun, kekuatan laskar Cirebon
dan sekutunya terlalu besar untuk dibendung. Mereka memiliki sumber daya
manusia dan logistik yang jauh lebih melimpah. Dari segi persenjataan, mereka
juga mulai menggunakan teknologi baru seperti meriam-meriam kecil yang
didatangkan dari para pedagang seberang lautan. Setiap jengkal tanah yang
berhasil dipertahankan oleh Onom Galuh harus dibayar mahal dengan nyawa para
prajurit terbaiknya.
Dalam setiap pertempuran, sosok
Onom Galuh selalu berada di garis depan, membangkitkan semangat para
pasukannya. Mereka menunjukkan ketangguhan yang luar biasa, seolah tubuh mereka
kebal dari rasa takut. Namun, mereka tetaplah manusia biasa. Satu per satu
benteng pertahanan mereka mulai runtuh, dan lingkaran pengepungan dari laskar
Cirebon semakin rapat dan tak terhindarkan.
Puncak dari konflik ini adalah
serangan besar-besaran yang dilancarkan oleh pasukan gabungan Cirebon dan Demak
ke ibu kota Pakuan Pajajaran. Meskipun sang prabu telah tiada, kota ini masih
menjadi simbol utama kedaulatan dan kehormatan kerajaan. Onom Galuh dan
sisa-sisa laskar mereka berjuang mati-matian untuk mempertahankan setiap sudut
kota, mulai dari gerbang utama hingga ke pusat keraton.
Pertempuran di Pakuan berlangsung
sangat dahsyat. Suara dentuman senjata, teriakan para prajurit, dan gemuruh api
yang membakar bangunan-bangunan bercampur menjadi satu. Langit di atas ibu kota
yang dulu damai kini memerah, seolah ikut menangisi nasib kerajaan yang agung
itu. Laskar Pajajaran bertempur hingga titik darah penghabisan, menunjukkan
loyalitas yang sesungguhnya kepada tanah tumpah darah mereka.
Meskipun perlawanan yang
diberikan sangat heroik, kekuatan yang tidak seimbang pada akhirnya menentukan
hasil akhir. Tembok pertahanan kota berhasil dijebol, dan pasukan penyerbu
membanjiri jalan-jalan Pakuan. Kehancuran tak terelakkan. Bangunan-bangunan
indah dijarah dan dibakar, dan banyak pusaka berharga yang hilang atau musnah dalam
peristiwa tragis tersebut.
Melihat kekalahan sudah di depan
mata, Onom Galuh mengambil keputusan yang berat. Mereka harus menyelamatkan apa
yang masih bisa diselamatkan, yaitu naskah-naskah kuno, beberapa pusaka utama,
dan yang terpenting, semangat perlawanan itu sendiri. Mereka memimpin
sekelompok kecil pengikutnya untuk meloloskan diri dari kepungan, bergerak
dalam senyap meninggalkan ibu kota yang kini telah menjadi lautan api dan
puing.
Jatuhnya Pakuan Pajajaran pada
sekitar Tahun 1579 Masehi menandai berakhirnya riwayat Kerajaan Sunda secara
resmi. Namun, bagi Onom Galuh, ini bukanlah akhir dari perjuangan. Ini adalah
awal dari sebuah babak baru yang lebih getir, yaitu perjuangan di pengasingan.
Mereka membawa duka atas keruntuhan kerajaan, namun juga membawa bara api perlawanan
yang menolak untuk padam.
Setelah berhasil lolos dari
reruntuhan Pakuan, Onom Galuh dan para pengikutnya yang setia menyingkir ke
pedalaman Jawa Barat. Mereka masuk ke dalam hutan-hutan lebat dan mendaki
gunung-gunung terjal yang sulit dijangkau oleh pasukan biasa. Di tempat-tempat
inilah mereka mendirikan komunitas-komunitas kecil yang tersembunyi,
melanjutkan kehidupan sesuai dengan adat dan tradisi leluhur mereka.
Dari basis-basis perlawanan di
hutan belantara ini, mereka melanjutkan perjuangannya dalam bentuk perang
gerilya. Mereka tidak lagi bertujuan untuk merebut kembali wilayah secara
terbuka, melainkan untuk terus mengganggu dan menunjukkan bahwa semangat
Pajajaran belum mati. Serangan-serangan kecil namun efektif terus dilancarkan
terhadap pos-pos penjagaan atau patroli pasukan kesultanan.
Kisah tentang keberadaan mereka
pun perlahan berubah menjadi legenda di kalangan rakyat jelata. Mereka dianggap
sebagai para penjaga gaib tanah Pasundan. Banyak cerita yang beredar dari mulut
ke mulut tentang kemunculan tiba-tiba para ksatria Pajajaran yang membantu
penduduk desa yang tertindas, lalu menghilang kembali ke dalam lebatnya hutan.
Sosok Onom Galuh menjadi mitos, simbol dari kekuatan lama yang menolak untuk
sirna.
Kehidupan di pengasingan sangatlah
berat. Mereka harus berburu dan meramu untuk bertahan hidup, selalu waspada
terhadap kejaran musuh. Namun, di tengah kesulitan itu, mereka berhasil menjaga
kemurnian ajaran Sunda Wiwitan. Mereka juga dengan tekun menyalin dan merawat
naskah-naskah kuno yang berhasil mereka selamatkan, memastikan bahwa
pengetahuan dan kearifan para leluhur tidak akan hilang ditelan zaman.
Perjuangan mereka di hutan
belantara ini berlangsung selama bertahun-tahun. Generasi berganti, namun
semangat perlawanan itu tetap diwariskan. Onom Galuh yang asli mungkin telah
menua dan gugur satu per satu, namun nama dan spirit mereka terus hidup dalam
diri para penerusnya. Mereka menjadi hantu bagi penguasa baru, sebuah pengingat
abadi akan adanya peradaban agung yang telah mereka taklukkan.
Seiring berjalannya waktu, Onom
Galuh dan para pengikutnya menyadari bahwa perjuangan di alam nyata tidak
mungkin lagi dimenangkan. Kekuatan kesultanan sudah terlalu kokoh, dan zaman
telah benar-benar berubah. Mereka dihadapkan pada pilihan terakhir yang sangat
mendasar: menyerah dan lebur dalam tatanan baru, atau memilih jalan keluar yang
terhormat sesuai dengan keyakinan spiritual mereka.
Menyerah bukanlah pilihan bagi
jiwa-jiwa yang telah bersumpah setia. Bagi mereka, tunduk pada musuh adalah sebuah
aib yang lebih buruk dari kematian. Oleh karena itu, mereka memilih jalan
ketiga, sebuah konsep yang sangat dalam dalam spiritualitas Sunda, yaitu
Ngahiyang atau Moksa. Ini bukanlah tindakan bunuh diri, melainkan sebuah proses
transendensi spiritual tingkat tinggi.
Ngahiyang adalah proses di mana
seseorang, melalui tapa brata dan penyucian diri yang sempurna, melepaskan
wujud jasmaninya untuk bersatu kembali dengan alam semesta dan kekuatan suci.
Jiwa mereka diyakini tidak mati, melainkan berubah wujud menjadi energi atau
roh suci yang akan terus menjaga tanah kelahirannya. Ini adalah puncak dari
pencapaian spiritual, sebuah cara untuk menjadi abadi dalam bentuk yang
berbeda.
Satu per satu, di tempat-tempat
yang dianggap keramat seperti puncak gunung, hulu sungai, atau di dalam gua-gua
sunyi, para tokoh Onom Galuh dan pengikut inti mereka melakukan ritual
terakhir. Mereka duduk bersamadi, memusatkan seluruh cipta, rasa, dan karsa
mereka kepada Sang Hyang Kersa, Sang Pencipta. Dikisahkan, tubuh mereka perlahan-lahan
menjadi transparan, lalu lenyap bagai kabut yang tersapu angin pagi, tanpa meninggalkan
jejak fisik apapun.
Pilihan untuk ngahiyang ini
adalah pernyataan terakhir dari perlawanan mereka. Jika mereka tidak bisa
menang di dunia fisik, mereka memilih untuk menang di dunia spiritual. Dengan
menjadi roh penjaga, mereka percaya bahwa perjuangan mereka untuk melindungi
tanah Pasundan dan nilai-nilainya akan terus berlanjut selamanya, melampaui
batas-batas ruang dan waktu.
Meskipun Onom Galuh telah lenyap
dari alam wujud, kisah dan semangat mereka tidak pernah benar-benar padam.
Legenda mereka terus hidup, diwariskan dari generasi ke generasi melalui cerita
lisan, pantun, dan kidung. Mereka menjadi simbol tertinggi dari kesetiaan atau
kasatiaan, sebuah prinsip yang sangat dijunjung tinggi dalam budaya Sunda.
Mereka adalah bukti bahwa kehormatan dan harga diri tidak bisa dibeli dengan
kekuasaan atau materi.
Hingga saat ini, banyak tempat di
Jawa Barat yang diyakini sebagai petilasan atau jejak spiritual dari Onom Galuh
dan para pengikutnya. Tempat-tempat ini seringkali dianggap keramat, menjadi
tujuan ziarah bagi mereka yang ingin meneladani semangat keteguhan dan
kecintaan pada warisan budaya. Roh mereka diyakini masih menjaga tempat-tempat
tersebut, memberikan restu kepada mereka yang datang dengan niat baik.
Kisah Onom Galuh juga menjadi
pengingat tentang betapa kompleksnya proses sejarah. Perubahan adalah sebuah
keniscayaan, namun cara sebuah bangsa menghadapi perubahan tersebut akan
menentukan karakternya. Onom Galuh merepresentasikan sisi yang memilih untuk
mempertahankan identitas hingga titik darah penghabisan. Perjuangan mereka,
meskipun berakhir dengan kekalahan fisik, telah menanamkan benih kebanggaan
budaya yang terus tumbuh hingga kini.
Warisan terbesar mereka bukanlah
kemenangan dalam pertempuran, melainkan terpeliharanya sebagian naskah kuno dan
ajaran luhur yang kini menjadi jendela bagi kita untuk memahami kearifan masa
lalu. Tanpa pengorbanan mereka, mungkin lebih banyak lagi warisan budaya
Pajajaran yang akan hilang selamanya. Mereka mengajarkan bahwa kekalahan fisik
tidak selalu berarti kekalahan spiritual.
Dengan demikian, Onom Galuh hidup
abadi dalam memori kolektif masyarakat Pasundan. Mereka adalah enam pilar yang
menolak untuk rubuh di tengah badai perubahan. Kisah mereka adalah cerminan
dari jiwa yang merdeka, sebuah balada tentang pengorbanan, kehormatan, dan
cinta tanpa syarat kepada tanah tumpah darah, sebuah permata yang akan terus
bersinar dalam khazanah legenda Nusantara.
Legenda Onom Galuh mengajarkan
kita tentang pentingnya kesetiaan pada prinsip dan nilai-nilai luhur yang kita
yakini. Di tengah arus perubahan zaman yang dahsyat, memiliki pendirian yang
kokoh adalah sebuah kehormatan. Kisah ini juga menunjukkan bahwa perjuangan
untuk mempertahankan identitas dan budaya adalah sebuah pengorbanan mulia.
Meskipun raga bisa kalah dan sirna, semangat dan warisan kebajikan akan terus
hidup melampaui waktu, menjadi inspirasi bagi generasi-generasi yang akan
datang. Sejarah tidak hanya ditulis oleh para pemenang, tetapi juga oleh mereka
yang berani berjuang demi keyakinan mereka dengan cara yang terhormat.
Komentar
Posting Komentar