ZUHUD TERHADAP DUNIA, CIRI MAKRIFATULLAH (2)
Dalam taman makrifat, zuhud
adalah bunga yang paling sering disalahartikan keharumannya. Banyak yang
mengira zuhud adalah sikap menjauhi dunia, mengenakan pakaian compang-camping,
dan hidup dalam kemelaratan yang disengaja. Namun, bagi seorang 'Arif Billah,
hakikat zuhud bukanlah terletak pada apa yang dimiliki atau tidak dimiliki oleh
tangan, melainkan pada apa yang mengisi atau mengosongkan relung hati. Zuhud
adalah seni melepaskan genggaman hati dari dunia, meskipun seluruh dunia berada
dalam genggaman tangannya.
Zuhud yang sejati adalah sebuah
keadaan batin, sebuah kemerdekaan ruhani. Ia adalah kosongnya hati dari rasa
keterikatan, ketergantungan, dan kecintaan pada segala sesuatu selain Allah.
Seorang hamba bisa saja seorang raja yang bergelimang harta seperti Nabi
Sulaiman, atau seorang saudagar kaya raya seperti Abdurrahman bin Auf, namun
hatinya tetap seorang zahid. Istana dan perniagaannya tidak pernah mampu
menembus benteng hatinya yang hanya diperuntukkan bagi Sang Kekasih Abadi.
Maka, zuhud bukanlah tentang meninggalkan
dunia secara fisik, melainkan meninggikan pandangan ruhani melampaui dunia. Ia
adalah kemampuan untuk berinteraksi dengan dunia—bekerja, berkeluarga,
memimpin—tanpa sekalipun membiarkan dunia meracuni dan membelenggu hatinya.
Seorang arif melihat dunia sebagaimana mestinya: sebuah jembatan penyeberangan,
bukan tujuan akhir. Ia berjalan di atas jembatan itu dengan anggun, mengambil
bekal secukupnya, tanpa pernah terbersit keinginan untuk membangun rumah di
atasnya.
Inilah pemahaman yang membedakan
antara zuhudnya seorang arif dengan zuhudnya orang awam. Zuhud bagi sang arif
bukanlah reaksi kebencian terhadap dunia, melainkan konsekuensi logis dari
cinta yang meluap kepada Sang Pemilik Dunia. Karena hatinya telah dipenuhi oleh
cahaya Wajah-Nya, maka tidak ada lagi ruang tersisa bagi bayang-bayang fana
dari perhiasan duniawi. Hatinya telah menemukan permata, maka ia tidak lagi
silau oleh kilau bebatuan biasa.
Ungkapan "dunia di tangan,
bukan di hati" adalah perumpamaan paling tepat untuk melukiskan keadaan
jiwa seorang zahid. Ibarat sebuah kapal yang berlayar di samudra, air sangatlah
penting bagi perjalanan kapal itu, namun air harus tetap berada di luar lambung
kapal. Ketika air samudra mulai masuk dan memenuhi bagian dalam kapal, maka
kapal itu akan tenggelam. Demikian pula dunia bagi seorang arif; ia
menggunakannya, mengelolanya, namun ia tidak pernah membiarkannya masuk dan
menenggelamkan bahtera hatinya.
Dunia yang berada di tangan
adalah dunia yang terkendali. Harta, jabatan, dan ilmu menjadi alat yang tunduk
pada kehendak sang hamba untuk mengabdi kepada Tuhannya. Namun, ketika dunia
telah merasuk ke dalam hati, maka posisinya berbalik. Dunialah yang menjadi
tuan, dan sang hamba menjadi budaknya. Hatinya akan diperintah oleh rasa takut
kehilangan, kerakusan untuk menambah, dan kesombongan karena memiliki. Ia tidak
lagi mengendalikan dunia, melainkan dikendalikan olehnya.
Seorang arif yang memegang dunia
di tangannya adalah seorang manajer ulung. Ia tahu bahwa semua aset yang ia
kelola bukanlah miliknya, melainkan amanah dari Sang Pemilik Sejati. Oleh
karena itu, ia menggunakannya dengan penuh tanggung jawab sesuai dengan
keinginan Sang Pemilik. Ia tidak bersedih saat aset itu diambil, dan tidak
berbangga diri saat aset itu ditambah. Baginya, semua itu hanyalah alat kerja
dalam proyek besar pengabdian seumur hidup.
Seni mengelola tanpa memiliki
inilah yang melahirkan ketenangan. Ia bekerja keras seakan-akan akan hidup
selamanya, namun hatinya berserah diri seakan-akan akan mati esok hari. Ia
membangun peradaban di muka bumi, namun istana hatinya tetap sunyi dan hanya
terisi oleh zikir kepada Ilahi. Inilah keseimbangan agung yang hanya bisa
dicapai oleh jiwa-jiwa yang telah bebas, yang telah menjadikan dunia sebagai
pelayan, bukan majikan.
Salah satu pemandangan paling
menakjubkan dalam perjalanan tasawuf adalah paradoks seorang zahid yang kaya
raya. Di mata manusia, ia tampak sebagai seorang hartawan yang berkuasa. Namun
di hadapan Allah, ia adalah seorang fakir yang paling fakir. Kekayaan yang
melimpah di tangannya tidak sedikit pun mengurangi perasaan butuh dan
bergantungnya kepada Sang Maha Kaya. Justru, semakin banyak amanah yang ia
pegang, semakin dalam ia merasakan kefakirannya.
Ia menyadari dengan kesadaran
yang paling dalam bahwa setiap butir emas, setiap jengkal tanah, dan setiap
helai pakaian yang ia miliki, seratus persen adalah titipan. Ia tidak merasa
memiliki bahkan sehelai rambut pun di kepalanya. Kesadaran inilah yang
membuatnya senantiasa menunduk dalam kerendahan hati. Berbeda dengan orang kaya
yang lalai, yang mengira kekayaan adalah hasil jerih payahnya, sang arif justru
melihat kekayaan sebagai ujian terberat bagi keimanannya.
Kekayaan di tangannya menjadi
cermin yang memantulkan Sifat Al-Ghaniyy (Maha Kaya) dari Tuhannya. Setiap kali
ia membelanjakan hartanya di jalan kebaikan, ia tidak merasa dirinya dermawan.
Sebaliknya, ia merasa sedang menunaikan tugas sebagai bendahara dari Sang Maha
Dermawan. Ia hanya menjadi saluran, pipa bersih yang mengalirkan air dari mata
air Ilahi kepada taman-taman ciptaan-Nya yang membutuhkan. Rasa memiliki telah
sirna, digantikan oleh rasa diamanahi.
Inilah yang dimaksud dengan
al-faqr ila Allah, kemiskinan atau kebutuhan total di hadapan Allah. Ini adalah
kekayaan ruhani yang paling tinggi. Semakin seorang hamba merasa tidak memiliki
apa-apa di hadapan Tuhannya, semakin ia menjadi "kaya" di sisi-Nya.
Ia telah melepaskan klaim kepemilikan yang palsu, dan sebagai gantinya, Allah
menganugerahinya pandangan hakikat, di mana ia melihat segala sesuatu berasal
dari-Nya dan akan kembali kepada-Nya.
Bagi seorang arif, dunia bukanlah
penjara yang harus dihindari, melainkan ladang subur yang harus digarap. Setiap
detik kehidupan, setiap keping harta, dan setiap interaksi sosial adalah benih
yang bisa ditanam. Jika ditanam dengan niat yang benar, benih materi ini akan
tumbuh menjadi pohon-pohon nurani yang buahnya dapat dipetik di keabadian
akhirat. Zuhud bukanlah sikap meninggalkan ladang, melainkan sikap seorang
petani cerdas yang fokus menanam untuk panen jangka panjang.
Dunia di tangannya menjelma
menjadi kuas, yang ia gunakan untuk melukis karya-karya pengabdian pada kanvas
keabadian. Hartanya menjadi tinta emas untuk menuliskan catatan amal saleh.
Jabatannya menjadi panggung untuk menegakkan keadilan dan menebar rahmat.
Ilmunya menjadi pelita untuk menerangi jalan bagi orang lain yang tersesat
dalam kegelapan. Ia tidak melihat materi sebagai materi, melainkan sebagai
potensi cahaya yang menunggu untuk diaktifkan dengan niat yang lurus.
Transformasi inilah inti dari
aktivitas seorang zahid di dunia. Ia tidak membenci dunia, ia justru
mensucikannya. Ia mengambil lumpur dunia yang kotor, lalu dengan sentuhan niat
karena Allah, ia mengubahnya menjadi bejana keramik yang indah dan bermanfaat.
Ia membuktikan bahwa spiritualitas tidak harus berarti mengasingkan diri,
melainkan justru terjun ke tengah masyarakat untuk menjadi agen transformasi
dan perbaikan.
Dengan cara ini, seluruh
aktivitas dunianya bernilai ibadah. Makannya, tidurnya, bekerjanya, dan
bercandanya, semua terbingkai dalam niat untuk menggapai rido Ilahi. Ia adalah
wujud nyata dari doa "Rabbana atina fid-dunya hasanah, wa fil-akhirati
hasanah." Ia meraih kebaikan dunia dengan menjadikannya alat, dan dengan
alat itu pula ia membangun istananya di akhirat. Dunia tidak lagi menjadi
penghalang, melainkan justru menjadi kendaraan super cepat yang membawanya
menuju Tuhannya.
Zuhud adalah proklamasi
kemerdekaan jiwa. Ia adalah pembebasan total dari tiga belenggu besar yang
seringkali memenjarakan manusia: belenggu harta, belenggu tahta (jabatan), dan
belenggu pujian. Hati seorang arif yang telah merasakan manisnya iman dan
makrifat, tidak lagi dapat diperbudak oleh hal-hal sepele ini. Ia telah
menemukan sumber kebahagiaan yang sejati, sehingga ia tidak lagi mencari
validasi dari sumber-sumber yang palsu.
Ia bebas dari perbudakan harta.
Ada atau tiadanya harta tidak lagi menentukan suasana hatinya. Jika harta
datang, ia menyambutnya sebagai tamu yang harus dilayani dan disalurkan. Jika
harta pergi, ia melepaskannya laksana tamu yang pamit, tanpa rasa sedih yang
berlebihan. Hatinya tidak terikat, sehingga ia tidak merasakan sakit saat
ikatan itu terlepas. Ia telah menemukan kekayaan hakiki dalam kedekatannya
dengan Allah.
Ia bebas dari perbudakan tahta.
Jabatan baginya bukanlah simbol kekuasaan, melainkan panggung pengabdian yang
penuh tanggung jawab. Ia tidak mencarinya dengan ambisi, dan tidak bersedih
jika kehilangan. Fokusnya bukanlah pada kursi yang ia duduki, melainkan pada
amanah yang harus ia tunaikan. Kehormatan sejatinya bukan datang dari kedudukan
di mata manusia, melainkan dari kedudukannya sebagai hamba di mata Tuhannya.
Dan yang paling halus, ia bebas
dari perbudakan pujian manusia. Hatinya tidak lagi haus akan sanjungan dan
tidak terluka oleh cacian. Ia telah menyadari bahwa pujian dan celaan manusia
laksana angin yang berhembus, tidak menambah atau mengurangi nilai hakikinya
sedikit pun. Satu-satunya pandangan yang berarti baginya adalah Pandangan Allah.
Kemerdekaan total inilah yang menjadi fondasi bagi ketenangan jiwanya yang
kokoh laksana gunung.
Zuhud seorang arif bukanlah lahir
dari kebencian, melainkan dari penyaksian (musyahadah). Mata batinnya telah
dibukakan oleh Allah untuk melihat hakikat dunia yang sesungguhnya. Ia melihat
dunia ini laksana bayang-bayang yang indah namun fana, yang keberadaannya
sepenuhnya bergantung pada Cahaya Hakiki, yaitu Wujud Allah Yang Maha Kekal
(Baqa). Bagaimana mungkin hati yang telah menyaksikan Sang Cahaya akan jatuh
cinta pada bayang-bayang?
Dalam pandangan makrifatnya,
dunia ini seperti fatamorgana di padang pasir. Terlihat indah dan menjanjikan
dari kejauhan, namun saat didekati, ia hanyalah kehampaan. Seorang arif adalah
musafir cerdas yang tidak akan membuang-buang air bekalnya untuk mengejar
fatamorgana tersebut. Ia tahu persis mana sumber air yang sejati. Pengetahuan
ini bukan lagi teori, melainkan pengalaman batin yang teramat nyata.
Penyaksian inilah yang secara
otomatis membuat hatinya zuhud. Ia tidak perlu memaksa diri untuk tidak
mencintai dunia. Rasa cinta itu luntur dengan sendirinya, sebagaimana rasa
cinta seorang dewasa terhadap mainan masa kecilnya. Bukan karena ia membenci
mainan itu, tetapi karena ia telah menemukan sesuatu yang jauh lebih agung dan
lebih nyata. Ia telah menemukan "permainan" orang dewasa, yaitu
bercinta dengan Sang Pencipta semesta alam.
Oleh karena itu, zuhudnya terasa
ringan dan alami, bukan sebuah beban yang dipaksakan. Ia bergerak di antara
perhiasan dunia dengan hati yang tidak terpesona, laksana seorang ahli permata
yang berjalan di antara tumpukan kaca. Ia tahu persis mana yang intan dan mana
yang imitasi. Hatinya telah tertambat pada Intan Abadi, sehingga kilau kaca
duniawi tidak lagi mampu menipunya.
Buah termanis dari pohon zuhud
adalah ketenangan jiwa (sakinah) yang tidak terpengaruh oleh pasang surut
kehidupan. Karena hatinya tidak memiliki keterikatan, maka ia tidak merasakan
sakitnya kehilangan. Karena hatinya tidak terpesona oleh pencapaian, maka ia
tidak mabuk oleh kegembiraan yang melalaikan. Jiwanya laksana pusat roda yang
tetap diam dan tenang, sementara bagian luarnya terus berputar dalam suka dan
duka.
Ketika ia meraih kesuksesan
besar, ia tidak mengatakan "ini karena kehebatanku". Ia justru
semakin menunduk, seraya berbisik dalam hati, "Wahai Tuhanku, jangan
biarkan ujian kenikmatan ini membuatku lupa pada-Mu". Ketenangannya
bersumber dari rasa syukur dan kewaspadaan. Ia tidak membiarkan pencapaian
menjadi berhala baru yang disembah oleh hatinya.
Sebaliknya, ketika ia mengalami
kegagalan atau kehilangan yang menyakitkan, ia tidak terjatuh dalam jurang
keputusasaan. Hatinya tetap damai, seraya bermunajat, "Wahai Tuhanku,
Engkau mengambilnya karena Engkau lebih tahu apa yang terbaik untukku. Aku rido
dengan ketetapan-Mu". Ketenangannya bersumber dari rido dan keyakinan
penuh pada kebijaksanaan Ilahi. Ia tahu bahwa tidak ada yang benar-benar
hilang, karena semua hanya kembali kepada Sang Pemilik Sejati.
Ketenangan yang lahir dari zuhud
inilah yang menjadi surga dunia bagi seorang arif. Ia tidak lagi terombang-ambing
oleh ombak duniawi. Kapal jiwanya telah berlabuh di dermaga tauhid yang aman,
di mana tidak ada badai yang mampu menggoyahkannya. Ia hidup di dunia, namun
hatinya telah bersemayam dalam kedamaian abadi bersama Tuhannya.
Zuhud yang sejati tidak
menjadikan seseorang egois atau pasif. Sebaliknya, kosongnya hati dari cinta
dunia justru menciptakan ruang yang lapang bagi cinta kepada sesama makhluk.
Karena ia tidak merasa memiliki, maka ia menjadi pribadi yang paling mudah
untuk memberi. Tangannya yang memegang dunia menjadi sangat ringan untuk
melepaskannya demi kemaslahatan orang lain. Ia menjadi manifestasi nyata dari
Sifat Ar-Rahman (Maha Pengasih) Tuhannya.
Seorang zahid sejati adalah orang
yang paling dermawan. Ia melihat harta di tangannya bukan sebagai miliknya,
melainkan sebagai amanah yang harus didistribusikan kepada yang berhak. Ia
merasa lebih bahagia saat memberi daripada saat menerima. Memberi baginya bukanlah
kehilangan, melainkan sebuah investasi di bank akhirat yang keuntungannya
berlipat ganda. Ia adalah pipa yang bersih; semakin deras air rahmat yang
mengalir melaluinya, semakin bersih pula pipa itu jadinya.
Kedermawanannya tidak hanya
terbatas pada harta. Ia juga dermawan dengan waktunya, tenaganya, ilmunya,
bahkan senyumnya. Ia menjadi sumber kebaikan bagi lingkungannya. Kehadirannya
laksana pohon rindang yang menaungi banyak orang dari panasnya kesulitan hidup.
Ia tidak mengharapkan balasan atau ucapan terima kasih dari manusia, karena ia
melakukan semua itu murni sebagai bentuk cinta dan syukurnya kepada Allah.
Pada puncaknya, zuhud mengubah
seorang hamba menjadi saluran rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil ‘alamin).
Ia tidak lagi hidup untuk dirinya sendiri. Seluruh hidupnya diwakafkan untuk
melayani Tuhannya dengan cara melayani ciptaan-Nya. Inilah bukti paling otentik
dari zuhud yang benar: semakin kosong hati dari dunia, semakin penuh hati itu
dengan cinta dan kepedulian. Dan inilah warisan terindah yang ditinggalkan oleh
para kekasih Allah di muka bumi.
Komentar
Posting Komentar