KISAH ASAL USUL KOTA BENGKULU
Di pesisir barat Pulau Sumatra,
terhampar sebuah kota yang namanya bergaung dalam sejarah perdagangan rempah
dunia dan perjuangan kemerdekaan. Bengkulu, atau Bencoolen dalam catatan lama,
bukanlah sekadar nama. Ia adalah simpul dari kisah peradaban kuno, ambisi
kolonial Eropa, hingga tempat berseminya cinta sang proklamator yang melahirkan
bendera pusaka. Mari kita telusuri jejak waktu yang membentuk kota unik ini,
dari legenda di muara sungai hingga menjadi sebuah provinsi yang berdiri tegak.
Setiap nama sebuah tempat
menyimpan cerita, dan nama Bengkulu diselimuti oleh beberapa versi kisah yang
menarik. Legenda yang paling populer di kalangan masyarakat adalah kisah
tentang Bangkahulu. Konon, nama ini berasal dari frasa bangkai di hulu. Cerita
ini mengisahkan tentang pertempuran sengit antara para pendekar atau antar
kerajaan kecil di hulu Sungai Bengkulu. Pertarungan itu begitu dahsyat hingga
banyak korban berjatuhan, dan mayat-mayat mereka mengapung di sungai, menjadi
asal muasal nama yang kelam namun legendaris itu.
Versi lain yang lebih bersifat
geografis menyebutkan bahwa nama Bengkulu berasal dari kata Bang Kulon. Dalam
bahasa Melayu, bang berarti pesisir dan kulon berarti barat. Jadi, Bang Kulon
secara sederhana berarti pesisir di sebelah barat. Teori ini sangat masuk akal
mengingat letak Bengkulu yang memang berada di pesisir barat Pulau Sumatra,
menghadap langsung ke Samudra Hindia yang luas. Nama ini kemudian mengalami
perubahan pelafalan seiring berjalannya waktu menjadi Bengkulu.
Ada pula versi yang tercatat
dalam cerita rakyat yang sedikit berbeda. Konon, dahulu kala ada seorang datuk
bernama Datuk Geto yang memiliki tujuh orang anak. Suatu hari, salah satu
anaknya hanyut di sungai. Setelah pencarian yang panjang, sang anak ditemukan
sudah tidak bernyawa. Kesedihan mendalam sang datuk membuatnya menamai daerah
itu sebagai Mangkuhulu, yang berarti memangku di hulu, sebagai kenangan atas
peristiwa tragis tersebut. Nama ini pun dipercaya sebagai cikal bakal nama
Bengkulu.
Selain itu, beberapa ahli sejarah
juga mengaitkan nama Bengkulu dengan istilah dari bahasa asing. Ketika para
pedagang dan penjelajah Inggris pertama kali tiba, mereka mencatat nama tempat
ini sebagai Bencoolen. Pelafalan ini mungkin merupakan upaya mereka untuk
mengucapkan nama lokal yang mereka dengar dari penduduk setempat. Ejaan
Bencoolen ini kemudian bertahan selama ratusan tahun dalam peta-peta dan
dokumen resmi Eropa.
Terlepas dari versi mana yang
paling akurat, keragaman kisah ini menunjukkan betapa kaya warisan lisan dan
sejarah yang dimiliki Bengkulu. Setiap versi memberikan warna tersendiri pada
identitas kota ini. Misteri yang belum sepenuhnya terpecahkan ini justru
menambah pesona Bengkulu, sebuah nama yang lahir dari perpaduan antara legenda
heroik, tragedi, deskripsi geografis, dan catatan sejarah bangsa asing.
Jauh sebelum bendera Eropa
berkibar di pesisir barat Sumatra, wilayah Bengkulu telah menjadi tempat
berdirinya peradaban yang maju. Tanah ini bukanlah sebuah ruang kosong. Ia
adalah rumah bagi kerajaan-kerajaan pribumi yang memiliki sistem pemerintahan,
sosial, dan ekonomi yang teratur. Salah satu kerajaan yang paling berpengaruh
di wilayah ini adalah Kerajaan Sungai Serut, yang kemudian diikuti oleh
Kerajaan Selebar.
Kerajaan-kerajaan ini berpusat di
sekitar aliran sungai yang subur, yang menjadi urat nadi kehidupan
masyarakatnya. Mereka mengandalkan hasil bumi, terutama lada, yang kelak
menjadi magnet bagi para pedagang dari seluruh dunia. Lada dari pesisir barat
Sumatra dikenal memiliki kualitas terbaik. Para penguasa lokal, dengan gelar
seperti Pangeran atau Raja, mengendalikan perdagangan rempah-rempah ini dan
menjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan lain di Nusantara.
Struktur masyarakat pada masa itu
didasarkan pada kepemimpinan adat yang kuat. Hukum dan norma diatur oleh para
pemuka adat dan raja. Kehidupan berpusat pada komunitas-komunitas kecil di
sepanjang sungai dan pesisir. Mereka membangun pemukiman, mengembangkan
pertanian, dan memiliki sistem kepercayaan sendiri sebelum masuknya pengaruh
agama-agama besar dari luar. Bukti-bukti arkeologis menunjukkan adanya
aktivitas manusia yang cukup padat di wilayah ini.
Ketika orang-orang Eropa pertama
kali tiba, mereka tidak datang ke tanah tak bertuan. Mereka harus berhadapan
dengan penguasa-penguasa lokal ini. Interaksi pertama antara pedagang Inggris
dengan Kerajaan Selebar menjadi titik awal dari babak baru dalam sejarah
Bengkulu. Para pendatang harus melakukan negosiasi, membuat perjanjian, dan
seringkali terlibat dalam politik lokal untuk bisa mendapatkan izin berdagang
dan mendirikan pos dagang mereka.
Keberadaan kerajaan-kerajaan awal
ini sangat penting untuk dipahami. Mereka adalah fondasi dari masyarakat
Bengkulu. Warisan mereka, baik dalam bentuk adat istiadat, garis keturunan,
maupun nama-nama tempat, masih bisa dirasakan hingga hari ini. Kisah Bengkulu
tidak dimulai dari kedatangan Inggris, melainkan dari peradaban yang telah
lebih dulu tumbuh dan berkembang di tanah yang kaya akan lada dan emas ini.
Pada akhir abad ke 17 Masehi,
Persekutuan Dagang Hindia Timur Inggris, atau East India Company (EIC),
mengalami kemunduran besar di Nusantara. Mereka terusir dari pusat perdagangan
lada mereka di Banten oleh kekuatan VOC Belanda yang semakin dominan.
Kehilangan Banten menjadi pukulan telak bagi EIC. Mereka sangat membutuhkan
sumber lada baru untuk mempertahankan posisi mereka dalam perdagangan rempah
dunia yang sangat menguntungkan.
Di tengah situasi genting
tersebut, perhatian EIC beralih ke pesisir barat Sumatra. Wilayah ini dikenal
sebagai salah satu penghasil lada terbaik yang belum sepenuhnya dikuasai oleh
Belanda. Pada tahun 1685 Masehi, sebuah ekspedisi Inggris di bawah pimpinan
Ralph Ord dan Benjamin Bloome tiba di pantai Bengkulu. Misi mereka jelas, yaitu
menjalin hubungan dengan penguasa lokal dan mendirikan sebuah pos dagang baru.
Kedatangan mereka disambut oleh
para penguasa dari Kerajaan Selebar. Setelah melalui serangkaian negosiasi,
Inggris berhasil mendapatkan izin untuk mendirikan sebuah benteng dan kantor
dagang di muara Sungai Bengkulu. Sebagai imbalannya, mereka berjanji akan
memberikan perlindungan kepada kerajaan lokal dari ancaman musuh, termasuk dari
Kesultanan Banten yang pada saat itu bersekutu dengan Belanda. Kesepakatan ini
menjadi awal dari kehadiran Inggris selama hampir 140 tahun di Bengkulu.
Inggris segera membangun benteng
kayu pertama mereka, yang diberi nama Fort York. Namun, lokasi Fort York
terbukti sangat tidak strategis. Daerah tersebut merupakan rawa-rawa yang
menjadi sarang nyamuk malaria. Banyak serdadu dan pegawai EIC yang jatuh sakit
dan meninggal dunia. Selain itu, hubungan dengan penduduk lokal tidak selalu
berjalan mulus, sering terjadi konflik akibat kesalahpahaman budaya dan praktik
dagang yang dianggap merugikan.
Meskipun menghadapi berbagai
kesulitan, kehadiran Inggris di Bengkulu menandai sebuah era baru. Untuk
pertama kalinya, sebuah kekuatan Eropa berhasil membangun basis permanen di
pesisir barat Sumatra. Hal ini tidak hanya mengubah peta politik dan ekonomi di
kawasan tersebut, tetapi juga memulai proses akulturasi budaya yang panjang
antara peradaban Eropa dan masyarakat lokal Bengkulu.
Menyadari kelemahan fatal dari
Fort York yang terus menerus diserang wabah penyakit dan ancaman dari penduduk
lokal, pemerintah EIC di Bengkulu memutuskan untuk mencari lokasi baru yang
lebih baik. Pilihan jatuh pada sebuah tanjung buatan yang letaknya tidak jauh
dari Fort York. Lokasi ini dianggap lebih sehat, lebih mudah dipertahankan, dan
memiliki akses yang lebih baik ke laut. Pembangunan benteng baru yang lebih
besar dan lebih kuat pun dimulai pada tahun 1714 Masehi di bawah kepemimpinan
Gubernur Joseph Collett.
Benteng baru ini dirancang dengan
arsitektur pertahanan termutakhir pada zamannya. Dibangun menggunakan batu bata
yang kokoh, benteng ini memiliki bastion atau selekoh di keempat sudutnya yang
memungkinkan pertahanan dari segala arah. Di dalamnya dibangun berbagai
fasilitas penting seperti gudang mesiu, barak prajurit, kantor administrasi,
dan kediaman gubernur. Benteng megah ini diberi nama Fort Marlborough, untuk
menghormati John Churchill, Duke of Marlborough pertama, seorang jenderal
Inggris yang sangat termasyhur.
Pembangunan Fort Marlborough yang
memakan waktu hingga tahun 1719 Masehi ini menandai penegasan kekuasaan Inggris
di Bengkulu. Benteng ini bukan lagi sekadar pos dagang, melainkan sebuah pusat
pemerintahan dan militer yang kuat. Dari balik dinding tebal Fort Marlborough,
Inggris mengendalikan perdagangan lada di seluruh pesisir barat Sumatra.
Bengkulu, yang mereka sebut Bencoolen, resmi menjadi ibu kota dari seluruh
wilayah kekuasaan Inggris di pulau ini.
Namun, kemegahan benteng ini
tidak serta merta membuat posisi Inggris aman. Pada tahun 1719 Masehi, tidak
lama setelah benteng ini selesai dibangun, terjadi pemberontakan besar dari
rakyat Bengkulu yang dipimpin oleh Pangeran Jenggalu. Pemberontakan ini
berhasil membakar sebagian benteng dan memaksa Gubernur Collett beserta
pasukannya melarikan diri ke Madras, India. Peristiwa ini menunjukkan bahwa
perlawanan terhadap kekuasaan kolonial terus menyala.
Meskipun sempat jatuh, Inggris
kemudian berhasil merebut kembali Fort Marlborough dan memperkuat
pertahanannya. Selama lebih dari satu abad berikutnya, benteng ini menjadi
saksi bisu dari seluruh dinamika kehidupan kolonial di Bengkulu. Ia menjadi
pusat administrasi, pusat perdagangan, sekaligus simbol dominasi asing di tanah
Sumatra. Hingga hari ini, Fort Marlborough masih berdiri kokoh sebagai salah
satu benteng Inggris terkuat yang pernah ada di Asia Tenggara.
Memasuki awal abad ke 19 Masehi,
peta politik global mengalami perubahan signifikan. Peperangan era Napoleon di
Eropa telah berakhir, dan kekuatan-kekuatan kolonial seperti Inggris dan
Belanda mulai menata kembali wilayah kekuasaan mereka di seluruh dunia.
Kepentingan Inggris lebih terfokus pada jalur perdagangan strategis ke
Tiongkok, di mana Selat Malaka memegang peranan kunci. Sementara itu, Belanda
ingin mengkonsolidasikan kembali kekuasaan mereka di Kepulauan Nusantara.
Untuk menghindari konflik di masa
depan dan demi kepentingan masing-masing, Inggris dan Belanda sepakat untuk
melakukan negosiasi. Perundingan ini mencapai puncaknya pada tanggal 17 Maret
1824 Masehi dengan ditandatanganinya sebuah perjanjian penting yang dikenal
sebagai Traktat London atau Perjanjian Anglo-Belanda. Perjanjian ini secara
efektif membagi wilayah pengaruh kedua negara di Asia Tenggara dengan garis
batas di Selat Malaka dan Selat Singapura.
Salah satu butir kesepakatan yang
paling fundamental dalam traktat ini adalah pertukaran wilayah. Inggris setuju
untuk menyerahkan seluruh properti dan kekuasaan mereka di Sumatra, termasuk
benteng dan kota Bengkulu (Bencoolen) yang telah mereka kuasai selama hampir
140 tahun, kepada Belanda. Sebagai gantinya, Belanda menyerahkan pos dagang
mereka di Malaka dan mengakui kepemilikan Inggris atas Singapura. Pertukaran
ini murni didasarkan pada perhitungan strategis dan ekonomi kedua belah pihak.
Bagi Inggris, menguasai Malaka
dan Singapura jauh lebih berharga daripada mempertahankan Bengkulu. Dengan
mengendalikan Selat Malaka, mereka mengamankan jalur pelayaran utama ke
Tiongkok. Sementara bagi Belanda, mendapatkan Bengkulu berarti mereka berhasil
menyatukan hampir seluruh wilayah Nusantara di bawah kendali mereka, sebuah
konsep yang kelak dikenal sebagai Hindia Belanda. Nasib penduduk Bengkulu
ditentukan di meja perundingan ribuan mil jauhnya di Eropa.
Serah terima resmi wilayah
Bengkulu dari Inggris kepada Belanda terjadi pada tahun 1825 Masehi. Bendera
Union Jack diturunkan dari tiang tertinggi di Fort Marlborough, dan digantikan
oleh bendera tiga warna Belanda. Peristiwa ini menjadi akhir dari era kekuasaan
Inggris di Sumatra dan menjadi awal dari babak baru penjajahan di bawah
pemerintahan Hindia Belanda, yang akan berlangsung hingga kedatangan Jepang
lebih dari satu abad kemudian.
Setelah serah terima resmi pada
tahun 1825 Masehi, Bengkulu memasuki era baru di bawah kendali pemerintah
kolonial Hindia Belanda. Belanda mewarisi sebuah wilayah dengan infrastruktur
yang sudah terbangun, termasuk sistem administrasi dan benteng yang kokoh. Fort
Marlborough, yang sebelumnya menjadi pusat kekuasaan Inggris, kini beralih
fungsi menjadi markas militer dan pusat pemerintahan Belanda di Karesidenan
Bengkulu. Nama Bencoolen pun perlahan tergantikan dengan ejaan Belanda,
Bengkoelen.
Pemerintahan Belanda melanjutkan
dan mengintensifkan eksploitasi hasil bumi di Bengkulu. Meskipun pamor lada
mulai menurun di pasar dunia, Belanda mulai mengembangkan komoditas lain
seperti kopi dan karet. Mereka menerapkan kebijakan-kebijakan yang bertujuan
untuk memaksimalkan keuntungan ekonomi bagi negeri induk. Kehidupan masyarakat
lokal tidak banyak berubah, mereka hanya berganti tuan dari Inggris ke Belanda,
dengan tekanan ekonomi yang terkadang terasa lebih berat.
Di bawah pemerintahan Belanda,
Bengkulu tidak lagi menjadi pusat kekuasaan utama di Sumatra. Statusnya turun
menjadi sebuah karesidenan, sebuah wilayah administrasi di bawah provinsi yang
lebih besar. Pembangunan infrastruktur seperti jalan dan jembatan tetap dilanjutkan
oleh Belanda, namun tujuannya adalah untuk mempermudah pengangkutan hasil bumi
dari pedalaman ke pelabuhan. Pembangunan ini tidak selalu sejalan dengan
kebutuhan dan kesejahteraan masyarakat pribumi.
Perlawanan terhadap kekuasaan
kolonial juga terus berlanjut dalam skala yang lebih kecil. Ketidakpuasan
terhadap kebijakan pajak dan kerja paksa seringkali memicu pemberontakan lokal
di berbagai daerah di dalam Karesidenan Bengkulu. Namun, kekuatan militer
Belanda yang terorganisir dengan baik selalu berhasil memadamkan
perlawanan-perlawanan tersebut. Era kekuasaan Belanda berlangsung cukup lama
dan meninggalkan jejak yang dalam pada struktur sosial dan ekonomi masyarakat.
Era Belanda di Bengkulu baru
berakhir ketika Jepang datang dan menduduki Indonesia pada tahun 1942 Masehi
selama Perang Dunia Kedua. Pendudukan Jepang yang singkat namun brutal
mengakhiri kekuasaan Belanda selama lebih dari satu abad. Masa ini menjadi
periode transisi penting yang membangkitkan semangat nasionalisme dan
mempersiapkan rakyat Bengkulu untuk menyambut era kemerdekaan Indonesia yang
akan segera tiba.
Pada tahun 1938 Masehi,
pemerintah kolonial Hindia Belanda memindahkan seorang tahanan politik yang
dianggap paling berbahaya bagi kekuasaan mereka. Tahanan itu adalah Soekarno,
seorang tokoh pergerakan nasional yang karismatik dan kelak menjadi proklamator
kemerdekaan Indonesia. Setelah diasingkan di Ende, Flores, Soekarno dipindahkan
ke Bengkulu. Belanda berharap, dengan memindahkannya ke kota yang relatif
terpencil ini, pengaruh Soekarno akan meredup.
Namun, yang terjadi justru
sebaliknya. Di Bengkulu, semangat perjuangan Soekarno tidak pernah padam. Ia
tetap aktif dalam kegiatan sosial dan keagamaan. Ia mendirikan sebuah grup
tonil atau sandiwara bernama Monte Carlo. Melalui pementasan-pementasan
sandiwara, Soekarno secara halus menyisipkan pesan-pesan nasionalisme dan
semangat perjuangan kepada masyarakat Bengkulu. Rumah kediamannya di Jalan
Soekarno-Hatta menjadi pusat pertemuan para aktivis pergerakan.
Di tengah masa pengasingannya
itulah takdir mempertemukan Soekarno dengan seorang gadis muda bernama
Fatmawati. Fatmawati adalah putri dari Hassan Din, seorang tokoh Muhammadiyah
di Bengkulu. Pertemuan mereka berawal ketika Soekarno menjadi guru bagi
Fatmawati. Seiring berjalannya waktu, benih-benih cinta tumbuh di antara
keduanya. Kisah cinta mereka di bumi pengasingan menjadi salah satu episode
paling romantis dalam sejarah perjuangan bangsa.
Hubungan mereka berlanjut ke
jenjang pernikahan pada tahun 1943 Masehi. Fatmawati kemudian menjadi sosok
yang sangat penting dalam sejarah Indonesia. Dari tangan beliaulah, bendera
pusaka pertama Indonesia, Sang Saka Merah Putih, dijahit. Bendera itulah yang
kemudian dikibarkan dengan gagah pada saat Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada
tanggal 17 Agustus 1945. Kisah ini menjadikan Bengkulu sebagai tempat
berseminya cinta yang melahirkan simbol pemersatu bangsa.
Peran Bengkulu sebagai tempat
pengasingan Soekarno memberinya tempat yang istimewa dalam narasi sejarah
nasional. Kota ini bukan hanya saksi bisu penjajahan, tetapi juga menjadi
tempat di mana salah satu babak terpenting dalam kehidupan pribadi sang
proklamator ditulis. Warisan Soekarno dan Fatmawati kini menjadi bagian tak
terpisahkan dari identitas dan kebanggaan masyarakat Bengkulu. Rumah
pengasingan Soekarno dan rumah Fatmawati kini menjadi monumen sejarah yang
terus dikunjungi hingga hari ini.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia pada 17 Agustus 1945, perjuangan rakyat Bengkulu belum berakhir.
Mereka turut aktif dalam perang mempertahankan kemerdekaan melawan upaya
Belanda untuk kembali berkuasa. Semangat nasionalisme yang telah ditanamkan
oleh Soekarno selama masa pengasingannya menjadi bahan bakar bagi para pejuang
di daerah ini. Setelah pengakuan kedaulatan pada tahun 1949 Masehi, Bengkulu
secara administratif menjadi bagian dari Provinsi Sumatera Selatan.
Namun, masyarakat dan para tokoh
Bengkulu merasa bahwa wilayah mereka memiliki sejarah, budaya, dan potensi yang
unik. Mereka mulai menyuarakan aspirasi untuk menjadi sebuah provinsi yang
mandiri. Perjuangan untuk menjadikan Bengkulu sebagai provinsi sendiri memakan
waktu yang cukup lama. Melalui proses politik dan lobi yang panjang di tingkat
pusat, aspirasi ini akhirnya membuahkan hasil.
Pada tanggal 18 November 1968
Masehi, berdasarkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1967, Pemerintah Republik
Indonesia secara resmi menetapkan Bengkulu sebagai provinsi ke 26 di Indonesia.
Kota Bengkulu pun ditetapkan sebagai ibu kotanya. Ini adalah momen bersejarah
yang disambut dengan suka cita oleh seluruh rakyat Bengkulu. Mereka akhirnya
memiliki otonomi untuk mengatur dan membangun daerahnya sendiri sesuai dengan
potensi dan kearifan lokal yang dimiliki.
Sejak menjadi provinsi, Bengkulu
terus berbenah dan membangun. Pembangunan difokuskan pada berbagai sektor,
mulai dari infrastruktur, pendidikan, kesehatan, hingga pariwisata. Pemerintah
provinsi dan kota berupaya mengangkat kembali warisan sejarahnya yang kaya,
seperti Benteng Marlborough dan rumah pengasingan Bung Karno, sebagai daya
tarik utama. Selain itu, keindahan alamnya yang mempesona, seperti Pantai
Panjang dan bunga langka Rafflesia arnoldii, juga terus dipromosikan.
Kini, Bengkulu berdiri tegak
sebagai sebuah provinsi yang dinamis dengan identitas yang kuat. Mereka bangga
dengan julukan Bumi Rafflesia dan sejarah panjangnya yang melibatkan kerajaan
lokal, kekuasaan Inggris, Belanda, hingga perannya dalam perjuangan kemerdekaan
nasional. Kisah asal-usul Bengkulu adalah cerminan dari sebuah perjalanan
panjang, dari sebuah pelabuhan lada yang diperebutkan menjadi sebuah provinsi
yang mandiri dan terus bergerak maju menuju masa depan.
Demikianlah kisah ini
diceritakan, segala kebenaran detailnya kita kembalikan kepada Tuhan Yang Maha
Esa.
Komentar
Posting Komentar