LEGENDA BATU GOLOG (LOMBOK)
Di hamparan tanah Lombok yang
subur namun terkadang dapat menjadi sangat kering, terjalin sebuah kisah abadi
tentang pengorbanan dan kasih sayang orang tua yang tak lekang oleh waktu.
Cerita ini bukan sekadar dongeng pengantar tidur, melainkan sebuah cerminan
mendalam dari perjuangan hidup dan kekuatan cinta keluarga. Legenda Batu Golog
mengisahkan sebuah batu besar yang menjadi saksi bisu dari sebuah janji, sebuah
pengorbanan, dan sebuah keajaiban yang lahir dari air mata dan keputusasaan,
menjadi salah satu warisan lisan paling berharga bagi masyarakat Sasak hingga
kini.
Di sebuah dusun terpencil di
Pulau Lombok, hiduplah sepasang suami istri bernama Amaq Golog dan Inaq Golog.
Mereka adalah perlambang keluarga yang terjerat dalam cengkeraman kemiskinan
paling dalam. Tanah garapan mereka begitu kering dan tandus, seringkali gagal
memberikan hasil panen yang cukup bahkan hanya untuk mengisi perut mereka
sendiri. Setiap hari adalah perjuangan, setiap fajar menyingsing membawa
harapan yang kerap kali padam saat senja tiba. Kehidupan terasa begitu berat,
seolah langit pun enggan menurunkan berkahnya ke atap gubuk mereka yang reot.
Amaq Golog dan Inaq Golog
dikaruniai beberapa orang anak yang sangat mereka cintai. Menyaksikan anak-anak
mereka menahan lapar adalah sayatan paling pedih di relung hati keduanya. Tawa
canda anak-anak yang seharusnya riang gembira, seringkali tergantikan oleh isak
tangis karena perut yang keroncongan. Sebagai orang tua, tiada duka yang lebih
mendalam daripada ketidakmampuan memberikan kehidupan yang layak bagi buah hati
mereka. Cinta mereka pada anak-anaknya begitu besar, sebuah cinta tanpa syarat
yang menjadi satu-satunya harta yang mereka miliki di tengah kemelaratan.
Hari demi hari, Amaq Golog bekerja
membanting tulang, namun usahanya seakan sia-sia di hadapan alam yang tidak
bersahabat. Inaq Golog di rumah mencoba mengolah apa saja yang bisa dimasak,
terkadang hanya merebus dedaunan pahit agar ada sesuatu yang bisa mengganjal
perut. Mereka seringkali mengikat perut mereka sendiri dengan kencang, menahan
lapar yang melilit, agar sisa makanan yang hanya secuil dapat dinikmati oleh
anak-anak tercinta mereka. Kepasrahan dan kesabaran menjadi teman setia mereka
dalam menjalani takdir yang terasa begitu kejam.
Meskipun hidup dalam serba
kekurangan, mereka adalah pasangan yang tidak pernah lupa untuk berdoa. Setiap
malam, dalam keheningan dan kegelapan, mereka menengadahkan tangan kepada Allah
Yang Maha Kuasa. Mereka memohon belas kasihan, memohon jalan keluar dari
penderitaan yang tak kunjung usai. Doa mereka sederhana, hanya meminta agar
anak-anak mereka dapat makan dengan kenyang dan tumbuh dengan sehat. Mereka
percaya bahwa setiap kesulitan pasti memiliki akhir, dan setiap doa pasti akan
didengar.
Akan tetapi, musim kemarau yang
panjang seolah menulikan telinga langit. Keputusasaan mulai merayap pelan-pelan
ke dalam kalbu Amaq Golog dan Inaq Golog. Mereka merasa telah sampai di ujung
jalan, di mana tiada lagi harapan yang tersisa untuk diperjuangkan. Melihat
tubuh anak-anak mereka yang semakin kurus dan lemah adalah puncak dari
penderitaan batin mereka. Dalam benak mereka, sebuah pemikiran nekat mulai
terbentuk, sebuah jalan terakhir yang mungkin harus mereka tempuh demi masa
depan anak-anak mereka.
Di tengah keputusasaan yang
memuncak, Amaq Golog mulai mendengar desas-desus di antara para penduduk desa.
Sebuah cerita yang dituturkan dengan berbisik, seolah takut didengar oleh angin
sekalipun. Cerita itu berkisah tentang sebuah tempat keramat yang terletak
tidak jauh dari desa mereka, sebuah tempat yang dijaga oleh kekuatan gaib. Di
sana, berdiri sebuah batu raksasa yang oleh masyarakat sekitar dipercaya
memiliki kekuatan magis yang luar biasa, sebuah batu yang konon bisa
mengabulkan permohonan.
Batu besar itu dikenal dengan
nama Batu Golog. Letaknya berada di sebuah lembah sunyi yang jarang dijamah
manusia, dikelilingi oleh pepohonan tua yang angker. Aura mistis begitu kental
terasa di sekitarnya, membuat siapa pun yang mendekat akan merasa bulu kuduknya
meremang. Orang-orang percaya bahwa batu itu bukanlah batu biasa, melainkan
gerbang menuju dunia lain, atau bahkan entitas hidup yang dapat mendengar dan
merasakan keinginan manusia yang datang dengan niat tulus dan tekad yang bulat.
Legenda yang menyelimuti Batu
Golog menyebutkan bahwa batu itu dapat memberikan kekayaan yang melimpah ruah
bagi siapa saja yang memintanya. Emas, perak, permata, hewan ternak, dan segala
kemewahan duniawi bisa keluar dari batu tersebut. Namun, kekayaan itu tidak
datang dengan cuma-cuma. Batu itu meminta sebuah imbalan yang setimpal, sebuah
pengorbanan tertinggi dari sang pemohon. Barang siapa yang meminta, maka ia
harus bersedia menyerahkan dirinya untuk masuk ke dalam batu dan tidak akan
pernah bisa kembali lagi ke dunia.
Pada mulanya, Amaq Golog
menganggap cerita itu hanyalah takhayul belaka, sebuah dongeng yang diciptakan
untuk menakut-nakuti anak-anak. Akal sehatnya menolak untuk percaya pada
hal-hal di luar nalar semacam itu. Bagaimana mungkin sebuah batu bisa
memberikan kekayaan? Dan bagaimana mungkin sebuah batu bisa menelan manusia? Ia
mencoba mengabaikan bisikan-bisikan itu dan kembali fokus pada usahanya mencari
nafkah, meskipun hasilnya selalu nihil.
Akan tetapi, tangisan lapar
anak-anaknya di setiap malam menjadi suara yang jauh lebih nyaring daripada
keraguan di dalam hatinya. Wajah-wajah lesu buah hatinya terus membayangi
pikirannya, membuatnya tidak bisa tidur nyenyak. Perlahan tapi pasti, cerita
tentang Batu Golog yang semula ia anggap sebagai omong kosong, kini mulai
terdengar seperti satu-satunya jawaban atas doa-doanya. Keputusasaan telah
mendorongnya ke tepi jurang, di mana hal yang tidak mungkin pun kini terlihat
sebagai sebuah harapan.
Suatu sore yang kelabu, setelah
seharian pulang dengan tangan hampa, Amaq Golog mendapati anak bungsunya
menangis tanpa henti karena rasa lapar yang tak tertahankan. Hati Amaq Golog
hancur berkeping-keping. Pada saat itulah, semua keraguannya sirna. Ia
membulatkan tekadnya. Ia akan mendatangi Batu Golog dan menukarkan hidupnya dengan
kemakmuran untuk anak-anaknya. Baginya, tiada pengorbanan yang terlalu besar
demi melihat senyum dan perut kenyang anak-anaknya.
Dengan suara bergetar menahan
gejolak di dalam dada, Amaq Golog menyampaikan niatnya kepada sang istri, Inaq
Golog. Tentu saja, Inaq Golog terperanjat bukan kepalang. Ia menolak rencana
suaminya mentah-mentah, memeluknya erat sambil menangis tersedu-sedu. Ia lebih
baik menahan lapar bersama daripada harus kehilangan orang yang paling ia
cintai. Baginya, kebersamaan dalam duka jauh lebih berharga daripada kekayaan
dalam kesendirian.
Namun, Amaq Golog dengan sabar
meyakinkan istrinya. Ia menjelaskan bahwa ini adalah satu-satunya cara yang
tersisa. Ia tidak sanggup lagi melihat penderitaan anak-anak mereka. Ia berkata
bahwa sebagai seorang ayah, adalah tugasnya untuk memastikan masa depan mereka
terjamin, bahkan jika itu harus dibayar dengan nyawanya sendiri. Ia memohon
pengertian dan keikhlasan dari istrinya, agar pengorbanannya nanti diterima dan
mendapatkan Rido dari Yang Maha Kuasa.
Setelah perdebatan panjang yang
diwarnai air mata, Inaq Golog akhirnya luluh. Ia mengerti betapa besar cinta
suaminya kepada anak-anak mereka. Meskipun hatinya remuk, ia sadar bahwa tidak
ada pilihan lain. Dengan berat hati, ia memberikan persetujuannya. Malam itu,
mereka berdua berdoa bersama, memohon kekuatan kepada Allah untuk menghadapi
cobaan terberat dalam hidup mereka. Mereka memohon agar pengorbanan ini
benar-benar membawa berkah bagi anak-anak yang mereka tinggalkan.
Menjelang fajar, Amaq Golog
mempersiapkan dirinya. Ia menatap wajah anak-anaknya yang tertidur lelap untuk
terakhir kalinya. Ia mengecup kening mereka satu per satu dengan penuh kasih
sayang, membisikkan doa dan harapan di telinga mereka. Ia berpamitan kepada
Inaq Golog dengan pelukan yang erat dan tatapan mata yang menyimpan sejuta
makna. Itulah saat terakhir Inaq Golog melihat suaminya, seorang pahlawan yang
berjalan menuju takdirnya demi kebahagiaan keluarga.
Perjalanan Amaq Golog menuju
lembah sunyi tempat Batu Golog berada adalah sebuah perjalanan senyap yang
ditemani oleh debaran jantungnya sendiri. Ia melintasi jalan setapak yang
jarang dilalui, menembus semak belukar dan pepohonan yang seolah mengawasinya
dengan tatapan ganjil. Udara terasa dingin dan suasana begitu hening, hanya
suara langkah kakinya dan desau angin yang menjadi musik pengiring
perjalanannya yang penuh dengan kepiluan sekaligus keteguhan hati.
Setiap langkah yang ia ambil,
bayangan wajah anak-anaknya dan istrinya silih berganti muncul di pelupuk mata.
Ada keraguan yang sesekali menyelinap, membisikkan agar ia kembali. Namun,
suara tangis lapar anak-anaknya jauh lebih kuat, mendorong kakinya untuk terus
melangkah maju tanpa menoleh ke belakang. Tekadnya sudah bulat laksana baja
yang ditempa dalam api penderitaan. Ia rela menukar apa saja, bahkan jiwanya,
demi masa depan mereka.
Akhirnya, setelah berjalan cukup
lama, ia tiba di tempat tujuan. Di hadapannya, berdiri dengan megah sebuah batu
raksasa yang tampak begitu purba dan agung. Batu Golog. Ukurannya begitu besar,
permukaannya licin dan berwarna kehitaman, seolah menyerap semua cahaya di
sekitarnya. Suasana di tempat itu begitu mencekam, sunyi senyap, dan terasa ada
energi besar yang tak kasat mata menyelimuti seluruh area tersebut. Amaq Golog
menelan ludah, merasakan getaran aneh menjalari tubuhnya.
Dengan tubuh gemetar namun suara
yang mantap, Amaq Golog mulai mengucapkan niatnya. Ia tidak melakukan ritual
yang rumit, ia hanya berbicara dari lubuk hatinya yang paling dalam. Ia
menceritakan kemiskinannya, penderitaan keluarganya, dan rasa laparnya
anak-anaknya. Ia memohon kepada penunggu Batu Golog agar diberikan kekayaan
untuk menghidupi keluarganya. Sebagai gantinya, ia menawarkan dirinya sendiri,
seluruh jiwa dan raganya, untuk diambil oleh batu keramat itu.
Ajaib, seolah mengerti ucapan
tulus Amaq Golog, batu itu bergetar hebat. Terdengar suara gemuruh pelan dari
dalam batu, dan perlahan-lahan, sebuah celah mulai terbuka di permukaan batu
itu, memancarkan cahaya redup yang misterius. Celah itu seakan menjadi sebuah
mulut yang siap menelan, sebuah gerbang yang mengundang Amaq Golog untuk masuk
ke dalamnya. Inilah momen penentuan, jawaban atas doa dan keputusasaannya
selama ini.
Menatap gerbang batu yang terbuka
di hadapannya, Amaq Golog mengambil napas dalam-dalam. Untuk sesaat, ia
memejamkan mata dan sekali lagi, wajah lugu anak-anaknya serta wajah sedih
istrinya menari-nari dalam benaknya. Itulah kekuatan terakhirnya, sumber keberaniannya
untuk melangkah maju. Ia tahu, setelah melewati ambang pintu itu, ia tidak akan
pernah lagi bisa memeluk mereka. Air mata mengalir di pipinya, bukan karena
takut, melainkan karena cinta yang begitu dalam.
Tanpa keraguan lagi, ia
melangkahkan kakinya yang terasa berat. Ia berjalan tegap memasuki celah di
Batu Golog yang bersinar remang-remang itu. Selangkah demi selangkah, tubuhnya
ditelan oleh kegelapan di dalam batu. Ia tidak melawan, ia pasrah sepenuhnya
pada takdir yang telah ia pilih. Ia menyerahkan dirinya dengan ikhlas, dengan
satu harapan besar bahwa pengorbanannya ini tidak akan sia-sia dan akan membawa
kebahagiaan bagi mereka yang ditinggalkan.
Begitu seluruh tubuh Amaq Golog
masuk, celah pada batu itu pun perlahan-lahan menutup kembali dengan suara
berdebam pelan. Batu Golog kembali menjadi batu raksasa yang utuh dan sunyi,
seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Lembah itu kembali hening, hanya
menyisakan jejak kaki Amaq Golog sebagai saksi bisu dari sebuah pengorbanan
agung yang baru saja terjadi. Sang ayah telah pergi, ditelan oleh batu keramat
demi menepati janjinya.
Di rumah, Inaq Golog merasakan
firasat yang kuat di dalam hatinya. Jantungnya berdebar kencang dan air matanya
tak henti-hentinya mengalir. Ia tahu, suaminya telah pergi untuk selamanya. Ia
menatap anak-anaknya yang masih tertidur, belum menyadari bahwa mereka telah
kehilangan ayah mereka. Dalam kesedihannya, ia berdoa agar suaminya tenang dan
pengorbanannya diterima oleh Allah.
Tidak lama kemudian, keajaiban
pun mulai terjadi. Dari dekat halaman rumah mereka, dari sebuah celah tanah
yang semula kering, mulailah mengalir butiran-butiran beras. Awalnya sedikit,
lalu semakin banyak hingga membentuk sebuah gundukan kecil. Kemudian, muncul
pula kepingan-kepingan uang emas dan perak, berkilauan di bawah cahaya pagi.
Janji Batu Golog telah terbukti, pengorbanan Amaq Golog telah terbayar.
Kisah pengorbanan Amaq Golog
inilah yang menjadi dasar dari penamaan batu keramat tersebut. Nama Batu Golog
memiliki makna yang sangat mendalam dalam bahasa Sasak, bahasa asli masyarakat
Lombok. Nama ini sejatinya merupakan gabungan dari dua kata yang sangat
deskriptif, yaitu Batu dan Golog. Kedua kata ini secara langsung menceritakan
fungsi dan legenda yang melekat pada batu raksasa tersebut.
Kata Batu secara harfiah berarti
batu, merujuk pada wujud fisik dari objek keramat ini yang memang merupakan
sebuah bongkahan batu alam yang sangat besar. Namun, kata Golog memiliki
interpretasi yang lebih dalam dan mistis. Dalam beberapa dialek bahasa Sasak, kata
Golog atau Menggolong dapat diartikan sebagai menelan, menggulung, atau
memasukkan sesuatu ke dalam. Ini merujuk pada kemampuan gaib batu tersebut
untuk menelan atau memasukkan manusia ke dalamnya.
Dengan demikian, nama Batu Golog
dapat dimaknai secara bebas sebagai Batu yang Menelan atau Batu Penggulung.
Nama ini secara sempurna merangkum inti dari legenda tersebut, yaitu peristiwa
gaib di mana Amaq Golog dan kemudian Inaq Golog ditelan masuk ke dalam batu
sebagai syarat untuk mendapatkan kekayaan. Nama ini bukan sekadar sebutan,
melainkan sebuah ringkasan dari keseluruhan cerita yang tragis sekaligus ajaib
itu.
Penamaan ini diyakini diberikan
oleh masyarakat sekitar yang mengetahui dan menyaksikan akibat dari peristiwa
tersebut. Mereka melihat bagaimana Amaq Golog pergi dan tidak pernah kembali,
lalu kekayaan mulai muncul secara misterius. Mereka menyimpulkan bahwa ia telah
digolong oleh batu besar itu. Sejak saat itu, nama Batu Golog melekat erat dan
diwariskan dari generasi ke generasi sebagai pengingat akan adanya kekuatan di
luar nalar manusia.
Kisah di balik nama ini juga
berfungsi sebagai pelajaran. Nama Batu Golog menjadi sebuah penanda yang abadi,
sebuah monumen lisan yang mengingatkan semua orang akan dua hal. Pertama,
tentang betapa dahsyatnya kekuatan cinta kasih orang tua kepada anaknya. Kedua,
sebagai peringatan bahwa jalan pintas untuk meraih kekayaan seringkali meminta
pengorbanan yang tidak ternilai harganya, bahkan nyawa sekalipun.
Harta benda kini melimpah ruah di
rumah keluarga Golog. Beras tidak pernah habis, emas dan perak terus mengalir,
dan hewan ternak mulai berdatangan dengan sendirinya. Anak-anak mereka kini
bisa makan sampai kenyang, mengenakan pakaian yang bagus, dan tidak lagi
merasakan dinginnya lantai tanah. Secara materi, kehidupan mereka telah berubah
seratus delapan puluh derajat. Penderitaan akibat kemiskinan telah sirna,
digantikan oleh kemewahan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.
Akan tetapi, di tengah kelimpahan
harta itu, ada satu hati yang hampa dan merana. Hati itu adalah milik Inaq
Golog. Baginya, semua kekayaan ini terasa hambar dan tidak berarti tanpa
kehadiran suami tercinta di sisinya. Setiap sudut rumah mengingatkannya pada
Amaq Golog, setiap butir nasi yang ia makan terasa seperti menelan kerinduan. Ia
melihat anak-anaknya bahagia, namun ia sendiri dilanda kesepian dan duka yang
mendalam.
Rasa rindu dan cinta yang begitu
besar kepada suaminya membuat Inaq Golog tidak tahan lagi. Ia tidak sanggup
menjalani hidup dalam kemewahan namun dengan jiwa yang terpisah dari belahan
hatinya. Ia merasa bahwa tempatnya adalah di sisi suaminya, baik di dunia
maupun di alam lain. Setelah memastikan anak-anaknya memiliki bekal yang lebih
dari cukup untuk hidup, ia pun mengambil keputusan yang sama beratnya dengan
yang diambil oleh suaminya. Ia akan menyusul Amaq Golog.
Sebelum pergi, ia mengumpulkan
anak-anaknya. Ia memeluk mereka dengan erat, menciumi mereka dengan air mata
yang berlinang. Ia berpesan agar mereka menjadi anak yang baik, hidup rukun,
dan selalu ingat pada pengorbanan kedua orang tuanya. Ia meyakinkan mereka
bahwa ia dan ayah mereka akan selalu mengawasi dari kejauhan. Dengan berat
hati, ia meninggalkan anak-anaknya yang kini telah terjamin masa depannya.
Inaq Golog pun menempuh
perjalanan yang sama menuju Batu Golog. Setibanya di sana, ia memanggil nama
suaminya dan menyatakan niatnya untuk bersatu kembali dengannya. Sama seperti
sebelumnya, batu itu bergetar dan membuka celahnya. Tanpa ragu, Inaq Golog
melangkah masuk ke dalam kegelapan untuk menyusul suaminya. Setelah ia masuk,
aliran kekayaan yang keluar menjadi semakin deras untuk sesaat, sebelum
akhirnya berhenti untuk selamanya, menandakan bahwa pengorbanan terakhir telah
diberikan.
Kini, anak-anak Amaq dan Inaq
Golog telah menjadi yatim piatu. Namun, mereka tidak lagi miskin dan kelaparan.
Mereka mewarisi kekayaan yang sangat melimpah, hasil dari pengorbanan kedua
orang tua yang sangat mencintai mereka. Mereka mengerti sepenuhnya bahwa setiap
keping emas dan setiap butir beras yang mereka nikmati dibeli dengan harga yang
sangat mahal, yaitu nyawa ayah dan ibu mereka. Kesedihan karena kehilangan
berbaur dengan rasa terima kasih yang tak terhingga.
Tumbuh dewasa, anak-anak itu
tidak menjadi sombong atau lupa diri. Mereka selalu teringat pesan terakhir ibu
mereka dan penderitaan yang pernah mereka alami. Mereka mengelola harta warisan
orang tua mereka dengan sangat bijaksana. Sebagian mereka gunakan untuk
membangun kehidupan yang baik, dan sebagian lagi mereka gunakan untuk membantu
penduduk desa lain yang mengalami kesulitan, agar tidak ada lagi keluarga yang
harus mengalami nasib tragis seperti keluarga mereka.
Kisah pengorbanan Amaq dan Inaq
Golog menyebar ke seluruh penjuru Lombok dan menjadi sebuah legenda yang terus
hidup. Anak-anak mereka dihormati oleh masyarakat, bukan hanya karena kekayaan
mereka, tetapi juga karena kedermawanan dan kerendahan hati mereka. Mereka
dipandang sebagai bukti nyata dari buah cinta dan pengorbanan orang tua. Rumah
mereka menjadi simbol kemakmuran yang lahir dari air mata dan kasih sayang
Anak-anak itu menjalani sisa
hidup mereka dengan baik, berkeluarga, dan meneruskan keturunan mereka. Mereka
tidak pernah melupakan asal-usul kekayaan mereka dan selalu menceritakan kisah
heroik orang tua mereka kepada anak cucu mereka. Dengan cara itu, legenda Batu
Golog terus dijaga dan diwariskan, menjadi bagian tak terpisahkan dari
identitas dan budaya masyarakat setempat. Mereka hidup dalam kemakmuran, namun
selalu membawa sedikit kesedihan dan kebanggaan di dalam hati mereka.
Hingga kini, Batu Golog masih
diyakini berdiri di suatu tempat di Lombok, menjadi monumen abadi yang sunyi.
Ia menjadi saksi bisu dari sebuah tragedi, tetapi juga dari sebuah cinta
keluarga yang luar biasa. Batu itu mengajarkan bahwa pengorbanan orang tua
adalah pengorbanan paling tulus, sebuah kekuatan dahsyat yang mampu mengubah
nasib, bahkan jika harus melampaui batas antara dunia nyata dan dunia gaib.
Legenda Batu Golog mengajarkan
kita tentang dalamnya kasih sayang orang tua yang rela berkorban apa saja demi
kebahagiaan anak-anaknya. Namun, kisah ini juga mengingatkan bahwa mencari
jalan pintas atau bergantung pada hal-hal di luar nalar untuk meraih kekayaan
seringkali menuntut harga yang sangat mahal dan berakhir dengan kepedihan.
Harta yang paling berharga sesungguhnya bukanlah emas atau permata, melainkan
kebersamaan dan keutuhan keluarga.
Komentar
Posting Komentar