LEGENDA PANGERAN ARYA KAMUNING DAN NYI MAS RATU SELAWATI ((KISAH ASAL USUL KABUPATEN KUNINGAN)
Di lereng Gunung Ciremai yang
agung dan subur, terhampar sebuah negeri yang damai bernama Kajene. Negeri ini
dianugerahi tanah yang subur dan sumber air yang melimpah, menjadikan rakyatnya
hidup dalam kemakmuran di bawah pimpinan seorang penguasa yang bijaksana, Sang
Adipati Kajene. Ia memimpin dengan berpegang teguh pada ajaran luhur para
leluhur, sebuah kepercayaan yang dikenal sebagai Sunda Wiwitan, yang
mengajarkan untuk memuliakan alam dan menghormati arwah para karuhun.
Kehidupan di Kajene berjalan dalam
ritme yang teratur dan tenteram. Para petani menggarap sawah dan ladang dengan
gembira, menghasilkan panen yang berlimpah ruah. Para punggawa kerajaan dengan
setia menjaga keamanan, memastikan setiap sudut negeri aman dari segala
gangguan. Sang Adipati dikenal sebagai pemimpin yang adil, dan kebijaksanaannya
menjadi payung yang menaungi seluruh rakyat tanpa terkecuali, menciptakan
suasana kerukunan yang erat.
Di tengah kemegahan istananya,
Sang Adipati memiliki seorang putri yang menjadi permata hatinya. Sang putri
bernama Nyi Mas Ratu Selawati, seorang gadis yang tidak hanya berparas cantik
rupawan, tetapi juga memiliki kecerdasan dan kelembutan hati yang luar biasa.
Ia dididik dengan berbagai ilmu pengetahuan dan tata krama, dipersiapkan untuk
menjadi penerus kebijaksanaan atau menjadi pendamping bagi seorang pemimpin
besar kelak.
Sang Adipati Kajene sangat kokoh
dalam memegang pendirian dan tradisi nenek moyang. Ia percaya bahwa jalan hidup
yang dianutnya adalah warisan terbaik yang telah terbukti membawa
kesejahteraan. Oleh karena itu, setiap upacara adat selalu dilaksanakan dengan
khidmat sebagai wujud rasa syukur atas karunia semesta. Ia memandang keyakinan
lain dengan rasa hormat, namun hatinya belum tergerak untuk meninggalkan jalan
leluhurnya.
Akan tetapi, takdir telah
menyiapkan skenario yang berbeda bagi negeri yang damai ini. Nun jauh di
pesisir utara, angin perubahan mulai berhembus kencang, membawa serta sebuah
ajaran baru yang cahayanya perlahan mulai merambat ke seluruh penjuru tanah
Pasundan. Sebuah perubahan besar yang pada akhirnya akan menguji keteguhan hati
Sang Adipati dan mengubah jalan sejarah negerinya untuk selamanya.
Di kawasan pesisir utara,
Kesultanan Cirebon di bawah kepemimpinan Syech Syarif Hidayatullah, yang lebih
dikenal dengan gelar Sunan Gunung Jati, tumbuh menjadi pusat peradaban dan
penyebaran Islam yang paling berpengaruh di tanah Sunda. Sunan Gunung Jati,
seorang anggota Wali Songo, adalah sosok ulama sekaligus pemimpin negara yang
memiliki wibawa dan kharisma yang sangat besar. Ajaran Islam disampaikannya
dengan penuh kelembutan dan kebijaksanaan.
Dakwah yang dibawa oleh Sunan
Gunung Jati menyentuh kalbu banyak orang karena pesan utamanya adalah tentang
keesaan Allah, persaudaraan, dan keadilan bagi semua manusia. Banyak penguasa
dari berbagai daerah kecil di Tatar Pasundan yang dengan kesadaran sendiri
datang ke Cirebon untuk menyatakan keislaman mereka. Sunan Gunung Jati
menyambut mereka semua dengan tangan terbuka, memperlakukan mereka sebagai
saudara dalam iman, bukan sebagai taklukan.
Salah satu kunci keberhasilan
dakwah Sunan Gunung Jati adalah pendekatannya yang sangat menghargai budaya
lokal. Beliau tidak serta merta menghapus tradisi yang telah mengakar,
melainkan memadukannya dengan nilai-nilai Islam. Kesenian seperti gamelan dan
wayang kulit diadaptasi menjadi media yang efektif untuk mengajarkan tauhid dan
akhlak mulia. Cara inilah yang membuat Islam dapat diterima dengan lapang dada
oleh masyarakat.
Kabar mengenai kemajuan pesat
Kesultanan Cirebon dan ajaran baru yang menyejukkan itu akhirnya terdengar
hingga ke telinga Adipati Kajene di lereng gunung. Pada mulanya, ia tidak
terlalu memperhatikannya, menganggapnya sebagai dinamika biasa antar kerajaan.
Ia masih sangat yakin bahwa adat istiadat leluhur yang dipegangnya adalah
benteng pertahanan yang paling kokoh untuk negerinya dari pengaruh luar.
Namun, pengaruh Cirebon terus
meluas dan semakin mendekat. Sunan Gunung Jati, dengan visi mempersatukan tanah
Pasundan dalam naungan Islam yang damai, memandang Kajene sebagai wilayah
strategis yang harus dirangkul. Oleh karena itu, dengan niat yang tulus untuk
menjalin persahabatan dan menyampaikan risalah kebenaran, diputuskanlah untuk
mengirim sebuah rombongan utusan damai ke negeri Kajene.
Dengan membawa pesan persaudaraan,
rombongan utusan dari Cirebon pun tiba di istana Kajene. Mereka datang tanpa
membawa senjata atau niat untuk menaklukkan, melainkan dengan tutur kata yang
sopan dan sikap yang menghormati Adipati Kajene sebagai penguasa wilayah
tersebut. Misi mereka adalah untuk membuka pintu dialog dan mengajak kepada
jalan kebaikan, jalan Islam yang penuh rahmat.
Di balairung istana yang megah,
Adipati Kajene menerima para utusan dengan segala hormat. Ia mendengarkan
dengan penuh perhatian setiap penjelasan yang disampaikan mengenai ajaran
Islam, tentang keesaan Allah, tentang keadilan, dan tentang tujuan hidup
manusia. Para utusan juga menyampaikan salam hangat dari Sunan Gunung Jati
sebagai tanda niat baik untuk menjalin hubungan persahabatan.
Walaupun semua penjelasan
disampaikan dengan cara yang sangat arif dan bijaksana, hati Adipati Kajene
tetap tidak bergeming dari keyakinan leluhurnya. Ia menghargai niat tulus para
utusan tersebut, namun dengan bahasa yang halus dan penuh tata krama, ia
menolak ajakan untuk berpindah keyakinan. Ia menegaskan bahwa ia dan rakyatnya
telah memiliki jalan hidup warisan nenek moyang yang tidak mungkin
ditinggalkan.
Penolakan tersebut disampaikan
tanpa diiringi permusuhan. Adipati Kajene bahkan menjamu rombongan utusan
dengan sangat baik sebelum melepas kepulangan mereka. Namun, di dalam hatinya,
benih-benih kewaspadaan mulai tumbuh. Ia mulai merasakan adanya sebuah kekuatan
besar di balik ajaran yang mampu membuat banyak adipati lain berikrar setia
kepada Cirebon. Sebagai langkah antisipasi, ia pun mulai memperkuat pertahanan
negerinya.
Sementara itu, dari balik tirai,
sang putri Nyi Mas Ratu Selawati turut menyimak seluruh percakapan. Berbeda
dengan ayahnya, hatinya justru merasakan getaran yang aneh. Ia terpesona oleh
keindahan dan kedalaman ajaran yang disampaikan oleh para utusan Cirebon.
Sebuah benih ketertarikan pada ajaran tauhid mulai tersemai di dalam
sanubarinya, sebuah rahasia yang harus ia simpan rapat-rapat.
Rasa penasaran dan ketertarikan
Nyi Mas Ratu Selawati terhadap ajaran Islam tidak dapat lagi dibendung. Secara
sembunyi-sembunyi, ia mencari informasi lebih dalam mengenai agama yang dibawa
oleh Sunan Gunung Jati. Beberapa versi hikayat menceritakan bahwa ia menjalin
komunikasi rahasia dengan para ulama Cirebon. Bahkan, ada yang mengisahkan ia
berhasil menemui Sunan Gunung Jati secara langsung dalam sebuah pertemuan yang
sangat dirahasiakan.
Melalui pendalaman tersebut, hati
Nyi Mas Ratu Selawati menjadi semakin mantap. Ia menemukan sebuah kebenaran dan
kedamaian yang selama ini dicarinya dalam ajaran Islam. Atas kehendak Allah,
dari hubungan sucinya dengan seorang utusan Cirebon, atau menurut versi lain
melalui sebuah karomah dari Sunan Gunung Jati, Nyi Mas Ratu Selawati pun
mengandung. Kehamilannya ini menjadi sebuah rahasia besar yang harus ia jaga
dari ayahnya.
Dengan bantuan para dayang yang
paling ia percayai, kehamilan itu berhasil disembunyikan hingga tiba waktunya
untuk melahirkan. Lahirlah seorang bayi laki-laki yang sangat tampan, dari
wajahnya telah memancar aura seorang pemimpin. Bayi itu kemudian diberi nama
Sang Suranggajaya, sebuah nama yang berarti kemenangan dari surga, seolah
menjadi pertanda akan datangnya fajar baru bagi negerinya.
Menyadari situasi yang sangat
sulit dan untuk melindungi putranya, Nyi Mas Ratu Selawati membuat keputusan
yang teramat berat. Ia harus merelakan putranya diasuh di luar tembok istana.
Bayi Sang Suranggajaya kemudian diserahkan kepada Ki Gedeng Kuningan, seorang
tokoh yang sangat dihormati dan telah lebih dulu memeluk Islam. Ki Gedeng
Kuningan menerima amanah tersebut dengan sepenuh hati.
Maka dimulailah babak baru dalam
kehidupan Sang Suranggajaya. Ia tumbuh besar dalam lingkungan yang sederhana
namun penuh dengan nilai-nilai keislaman. Ia dibesarkan tanpa mengetahui bahwa
ibunya adalah seorang putri raja dan kakeknya adalah seorang adipati yang
berkuasa. Di bawah asuhan Ki Gedeng Kuningan, ia ditempa untuk menjadi seorang
ksatria yang beriman, berilmu, dan berakhlak mulia.
Sang Suranggajaya tumbuh di bawah
bimbingan Ki Gedeng Kuningan menjadi seorang pemuda yang luar biasa. Setiap
hari ia tekun mempelajari Al-Quran dan ilmu-ilmu agama, membentuk pondasi
keimanan yang kokoh di dalam jiwanya. Tidak hanya itu, ia juga giat berlatih
ilmu kanuragan dan strategi peperangan, menempa fisiknya menjadi tangguh dan
sigap, siap menghadapi segala tantangan.
Ki Gedeng Kuningan tidak hanya
mendidiknya dengan ilmu, tetapi juga menanamkan akhlak yang terpuji. Sang
Suranggajaya diajarkan untuk selalu rendah hati, menghormati sesama, dan
memiliki rasa kepedulian yang tinggi terhadap kaum yang lemah. Kepribadiannya
terbentuk menjadi sosok yang disegani karena ilmunya, dihormati karena
akhlaknya, dan dikagumi karena ketampanan serta wibawanya.
Ketika beranjak dewasa, sosoknya
yang karismatik membuatnya dikenal oleh masyarakat luas dengan sebutan Adipati
Ewangga. Nama Ewangga memiliki makna sebagai sosok yang gagah berani, sebuah
nama yang seolah meramalkan peran besar yang akan ia emban di masa depan.
Meskipun hidup jauh dari kemewahan istana, aura kebangsawanan terpancar kuat
dari dalam dirinya, tidak dapat disembunyikan.
Kabar mengenai kehebatan pemuda
bernama Adipati Ewangga ini akhirnya sampai ke telinga Sunan Gunung Jati di
Cirebon. Sang Sunan yang bijaksana tentu telah mengetahui siapa sesungguhnya
pemuda tersebut. Beliau melihat potensi besar dalam diri Adipati Ewangga untuk
menjadi jembatan perdamaian antara Cirebon dan Kajene. Adipati Ewangga pun
dipanggil untuk menghadap ke Kesultanan Cirebon.
Di hadapan Sunan Gunung Jati,
Adipati Ewangga akhirnya mengetahui seluruh kisah masa lalunya dan siapa jati
dirinya yang sebenarnya. Ia adalah cucu dari Adipati Kajene. Sunan Gunung Jati
kemudian memberinya sebuah tugas mulia, yaitu untuk berdakwah kepada kakeknya
sendiri, mengajaknya ke jalan Islam dengan cara yang paling bijaksana. Dengan
hati yang mantap, Adipati Ewangga menerima tugas suci tersebut.
Adipati Ewangga pun berangkat
menuju negeri Kajene, tanah kelahirannya. Ia datang bukan lagi sebagai rakyat
biasa, melainkan sebagai utusan resmi Kesultanan Cirebon yang mengemban misi
suci. Pertemuan antara dirinya dengan Sang Adipati Kajene, kakek yang belum
pernah ia temui seumur hidupnya, berlangsung dalam suasana yang penuh
ketegangan. Sang Adipati terkejut sekaligus murka mengetahui pemuda gagah di
hadapannya adalah putra dari aib yang disembunyikan putrinya.
Namun, Adipati Ewangga
menunjukkan keluhuran budinya. Ia bersujud di kaki sang kakek, memohon ampun
atas segala hal yang telah terjadi, dan dengan tutur kata yang lembut ia
menjelaskan tujuannya. Ia mengajak kakeknya untuk membuka hati dan menerima
Islam sebagai jalan keselamatan. Namun, ajakan itu ditolak mentah-mentah oleh
Adipati Kajene yang merasa harga dirinya terinjak.
Merasa tertantang, Adipati Kajene
kemudian memberikan sebuah syarat yang ia anggap mustahil untuk dipenuhi. Ia
akan mempertimbangkan ajaran cucunya jika Adipati Ewangga mampu menaklukkan
kuda kesayangannya yang paling perkasa dan liar, bernama Si Windu. Kuda ini
bukan kuda sembarangan, ia memiliki tenaga yang luar biasa dan belum pernah ada
seorang pun yang mampu menungganginya. Ini adalah cara sang adipati untuk
mempermalukan cucunya di hadapan seluruh rakyat.
Dengan tawakal kepada Allah,
Adipati Ewangga menerima tantangan itu. Di alun-alun utama Kajene, disaksikan
oleh seluruh rakyat, kuda Si Windu dilepaskan. Kuda itu berlari kencang,
meringkik marah, matanya menyala liar. Adipati Ewangga tidak gentar, ia berdiri
tenang di tengah lapangan, memusatkan seluruh jiwa dan raganya seraya
memanjatkan doa, memohon pertolongan dan Rido dari Yang Maha Kuasa.
Saat Si Windu menerjang dengan
kecepatan penuh, Adipati Ewangga tidak menghindar. Dengan izin Allah, ia
menunjukkan sebuah karomah. Ia mengulurkan tangannya dan dengan lembut menyentuh
kepala kuda liar itu. Dalam sekejap, kuda yang tadinya buas itu langsung
tenang, lalu bertekuk lutut dan tunduk di hadapan Adipati Ewangga. Seluruh
rakyat yang menyaksikan terdiam, takjub oleh pemandangan luar biasa itu.
Melihat kejadian ajaib itu, luluhlah
kekerasan hati Sang Adipati Kajene. Ia terdiam seribu bahasa, menyadari bahwa
kekuatan yang dimiliki cucunya bukanlah kekuatan manusia biasa, melainkan
sebuah kekuatan yang bersumber dari keyakinan yang agung dan Rido ilahi. Ia
akhirnya mengakui kehebatan Adipati Ewangga dan kebenaran ajaran yang
dibawanya.
Dengan kesadaran penuh dan hati
yang tulus, di hadapan Adipati Ewangga dan seluruh rakyat Kajene yang
berkumpul, Sang Adipati mengucapkan dua kalimat syahadat. Ia menyatakan dirinya
dan seluruh negerinya untuk memeluk agama Islam. Momen bersejarah itu disambut
dengan gema takbir dan isak tangis haru, menandai bersatunya kembali sebuah
keluarga dan bersatunya sebuah negeri dalam naungan iman.
Sebagai bentuk pengakuan atas
keberhasilan misinya, Sunan Gunung Jati kemudian menganugerahkan gelar
kehormatan kepada Adipati Ewangga. Ia dianugerahi gelar Pangeran Arya Kamuning.
Nama Kamuning diambil dari nama kayu kemuning yang berwarna kuning keemasan,
memiliki sifat yang keras namun indah, melambangkan kemuliaan, kekuatan, dan
keluhuran budi sang pangeran.
Sejak saat itu, wilayah Kajene
secara resmi menjadi sebuah kadipaten baru di bawah naungan Kesultanan Cirebon.
Atas musyawarah bersama, negeri baru ini diberi nama Kuningan. Nama ini
diyakini berasal dari gelar sang pangeran, Arya Kamuning, yang kemudian dalam
pelafalan masyarakat sehari-hari menjadi lebih singkat dan mudah diucapkan
sebagai Kuningan. Ada pula yang menafsirkan nama itu berasal dari kata Sunda
ka-uninga-an, yang berarti tempat yang termasyhur karena peristiwa besar
takluknya kuda Si Windu.
Peristiwa penobatan Pangeran Arya
Kamuning sebagai adipati pertama inilah yang kemudian ditetapkan sebagai hari
jadi Kabupaten Kuningan. Momen bersejarah tersebut diperingati setiap tanggal 1
September, merujuk pada kejadian di tanggal 1 September Tahun 1498 Masehi.
Sejak saat itulah, Kuningan memulai babak barunya sebagai sebuah kadipaten
Islam yang makmur.
Di bawah kepemimpinan Adipati
Ewangga yang kini bergelar Pangeran Arya Kamuning, Kadipaten Kuningan memasuki
era yang cemerlang. Ia memerintah dengan penuh keadilan dan kebijaksanaan,
berhasil memadukan semangat syiar Islam dari Cirebon dengan kearifan lokal
warisan leluhur dari Kajene yang tidak bertentangan dengan ajaran tauhid.
Rakyatnya hidup dalam suasana yang damai, sejahtera, dan religius.
Pangeran Arya Kamuning menjadi
simbol persatuan. Ia adalah jembatan yang menghubungkan generasi lama yang
diwakili kakeknya dengan generasi baru yang ia pimpin. Ia membuktikan bahwa
perubahan dan penyebaran keyakinan dapat dicapai melalui jalan damai,
kesabaran, dan hikmah, tanpa perlu adanya pertumpahan darah. Kepemimpinannya
menjadi teladan tentang bagaimana mengelola transisi dengan bijaksana.
Sebagai seorang adipati, ia
menunjukkan kesetiaan yang tinggi kepada Sunan Gunung Jati dan Kesultanan
Cirebon. Kuningan menjadi salah satu pilar utama yang menopang kekuatan Cirebon
di wilayah Priangan Timur. Ia aktif membantu perjuangan Sunan Gunung Jati dalam
menyebarkan ajaran Islam ke wilayah-wilayah yang lebih luas, menjadikan
Kuningan sebagai basis dakwah yang penting.
Kisah kepahlawanan Adipati
Ewangga atau Pangeran Arya Kamuning senantiasa hidup dan terpatri dalam
sanubari masyarakat Kuningan. Namanya diabadikan menjadi nama-nama jalan dan
bangunan penting sebagai bentuk penghormatan. Makamnya yang berada di Desa
Winduherang hingga saat ini tidak pernah sepi dari para peziarah yang datang
untuk mendoakan dan mengambil teladan dari semangat juangnya.
Warisan terbesar dari Adipati
Ewangga bukanlah sekadar wilayah kekuasaan, melainkan semangat kepemimpinan
yang adil, keberanian dalam menegakkan kebenaran, dan kebijaksanaan dalam
menyatukan perbedaan. Ia adalah sang cikal bakal, pahlawan pendiri, dan teladan
abadi bagi seluruh masyarakat Kabupaten Kuningan, dari generasi ke generasi.
Demikianlah kisah ini
diceritakan, segala kebenaran detailnya kita kembalikan kepada Allah, tuhan
pemilik kisah kehidupan.
Komentar
Posting Komentar