LEGENDA PANGERAN SELINGSINGAN (ASAL USUL TELAGA REMIS) - KUNINGAN JAWA BARAT
Di antara sejuknya lereng Gunung
Ciremai yang permai, tersembunyi sebuah danau yang airnya tenang dan
memantulkan keindahan langit biru. Danau ini dikenal dengan nama Telaga Remis,
sebuah nama yang menyimpan kisah kesaktian, keimanan, dan keajaiban seorang
bangsawan muda dari lingkungan Kesultanan Cirebon. Legenda ini bukan sekadar
dongeng pengantar tidur, melainkan sebuah catatan lisan yang mengakar kuat
dalam budaya masyarakat Kuningan, Jawa Barat, mengisahkan tentang ujian berat
yang melahirkan sebuah nama abadi untuk telaga yang permai.
Alkisah, pada masa keemasan
Kesultanan Cirebon, hiduplah seorang bangsawan agung yang ilmunya sangat
mendalam, Pangeran Purbaya. Beliau bukanlah sekadar pangeran biasa, melainkan
seorang waliyullah yang dihormati karena kebijaksanaan, kerendahan hati, dan
karomah yang dianugerahkan Allah kepadanya. Kediamannya senantiasa menjadi
pusat pembelajaran bagi para bangsawan muda yang ingin menimba ilmu agama dan
kanuragan. Pangeran Purbaya dikenal sebagai sosok guru yang sabar namun juga
teliti dalam mendidik murid-muridnya.
Nama besar Pangeran Purbaya
terdengar hingga ke seluruh penjuru tanah Pasundan. Beliau dianggap sebagai
penjaga pilar spiritual kesultanan, tempat para pemimpin meminta nasihat dan
tempat para pemuda menempa diri. Ajarannya selalu menekankan bahwa kesaktian
sejati bukanlah untuk dipamerkan, melainkan sebuah amanah yang harus digunakan
untuk kebaikan dan semata-mata mencari Rido Allah. Oleh karena itu, beliau
sangat selektif dalam menurunkan ilmunya kepada generasi penerus.
Di antara sekian banyak muridnya,
Pangeran Purbaya menaruh perhatian khusus pada beberapa pemuda yang menunjukkan
potensi luar biasa, baik dari sisi ketekunan ibadah maupun kecerdasan dalam
menyerap ilmu. Beliau meyakini bahwa estafet perjuangan dan dakwah harus
dilanjutkan oleh insan-insan terpilih yang memiliki kematangan batin. Baginya,
sebuah ilmu tanpa diuji bagaikan sebilah pedang yang tidak pernah diasah,
terlihat indah namun belum terbukti ketajamannya.
Suatu ketika, terbersit di dalam
benak Pangeran Purbaya untuk menguji salah seorang murid terbaiknya. Ujian ini
dirancang bukan untuk menyulitkan, tetapi untuk menjadi sebuah pembuktian
akhir, sebuah penahbisan atas ilmu yang selama ini telah dipelajari. Ujian
tersebut haruslah sebuah tantangan yang melampaui batas kemampuan manusia
biasa, yang hanya bisa diatasi dengan kepasrahan total dan pertolongan langsung
dari Sang Maha Kuasa.
Maka, Pangeran Purbaya pun mulai
menyusun sebuah rencana ujian yang akan menjadi penentu tingkat spiritual sang
murid. Beliau telah menyiapkan sebilah pusaka berharga milik kesultanan dan
sebuah lokasi yang dianggap memiliki aura magis yang kuat. Peristiwa ini kelak
akan tercatat dalam sejarah lisan masyarakat Cirebon dan Kuningan sebagai salah
satu bukti kebesaran kuasa Allah yang ditampakkan melalui hamba-hamba
pilihan-Nya.
Di antara para murid Pangeran
Purbaya, ada seorang pemuda bangsawan yang menonjol karena ketekunan dan
kesalehannya. Namanya adalah Elang Syamsuri. Ia adalah seorang pemuda yang
pendiam, tidak banyak bicara, namun setiap tindakannya mencerminkan kedalaman
imannya. Siang dan malamnya diisi dengan beribadah, berzikir, dan mengkaji
ilmu-ilmu yang diajarkan oleh sang guru, Pangeran Purbaya.
Elang Syamsuri sangat mengagumi
dan menghormati gurunya. Baginya, Pangeran Purbaya bukan hanya seorang
pengajar, tetapi juga seorang pembimbing rohani yang menuntunnya di jalan
cahaya. Setiap wejangan dan perintah dari sang guru ia laksanakan dengan
sepenuh hati tanpa pernah bertanya atau ragu. Ia sadar bahwa jalan spiritual
adalah jalan kepatuhan dan keikhlasan, dua sifat yang senantiasa ia tanamkan
dalam dirinya.
Meskipun memiliki potensi ilmu
yang tinggi, Elang Syamsuri tidak pernah menunjukkan kelebihannya di hadapan
orang lain. Ia selalu bersikap rendah hati, menyembunyikan kemampuannya di
balik sikapnya yang tenang. Pangeran Purbaya yang bijaksana tentu dapat melihat
mutiara yang tersembunyi di dalam diri muridnya ini. Beliau tahu bahwa di balik
ketenangannya, Elang Syamsuri menyimpan kekuatan batin yang luar biasa.
Inilah alasan mengapa Pangeran
Purbaya memilih Elang Syamsuri sebagai orang yang akan menjalani ujian berat
tersebut. Sang guru ingin memunculkan potensi terpendam itu ke permukaan, bukan
untuk kesombongan, melainkan agar kelak ia siap mengemban tugas-tugas yang
lebih besar bagi kesultanan dan syiar agama. Inilah saatnya bagi sang murid
untuk membuktikan buah dari gemblengan spiritualnya selama bertahun-tahun.
Pangeran Purbaya yakin bahwa
Elang Syamsuri memiliki apa yang dibutuhkan, yaitu hati yang bersih dan
kepasrahan yang total. Dua modal inilah yang akan menjadi kunci untuk membuka
pintu keajaiban. Sang guru hanya perlu memberikan pemicunya, sebuah tugas yang
mustahil, untuk melihat bagaimana sang murid akan berserah diri dan memohon
pertolongan kepada sumber segala kekuatan.
Pada hari yang telah ditentukan,
Pangeran Purbaya memanggil Elang Syamsuri untuk menghadap. Dengan penuh takzim,
sang murid bersimpuh di hadapan gurunya. Pangeran Purbaya kemudian berbicara
dengan suara yang tenang namun penuh wibawa, menjelaskan maksud dan tujuannya.
Beliau menuturkan tentang sebuah telaga sunyi di kaki Gunung Ciremai yang terkenal
sangat dalam dan angker.
Sambil menunjukkan sebilah keris
pusaka yang gagah, Pangeran Purbaya berkata bahwa ia akan melemparkan pusaka
itu ke tengah telaga. Beliau kemudian memberikan tugas kepada Elang Syamsuri
untuk mengambil kembali keris pusaka tersebut dari dasar telaga yang gelap dan
misterius. Sebuah tugas yang jika dipikirkan dengan akal sehat, mustahil untuk
dilakukan oleh tangan manusia biasa tanpa bantuan alat apa pun.
Pangeran Purbaya sengaja memilih
ujian ini untuk mengukur tingkat keyakinan dan kepasrahan muridnya. Menyelam ke
dasar telaga yang dalam bukanlah ujian kekuatan fisik, melainkan ujian
kemampuan untuk terhubung dengan kekuatan gaib atas izin Allah. Hanya orang
dengan hati yang suci dan zikir yang tak putus yang mampu memohon pertolongan
semacam itu.
Mendengar tugas berat tersebut,
Elang Syamsuri tidak menunjukkan raut wajah gentar atau ragu sedikit pun. Ia
menundukkan kepalanya dalam-dalam, sebuah tanda penerimaan dan kepatuhan
mutlak. Ia paham bahwa ini bukanlah perintah yang semena-mena, melainkan sebuah
kehormatan dan kesempatan besar baginya untuk membuktikan baktinya kepada sang
guru dan mendekatkan dirinya kepada Sang Pencipta.
Dengan suara yang mantap dan
penuh kerendahan hati, Elang Syamsuri pun menyatakan kesanggupannya. Ia tidak
bertanya bagaimana caranya, ia hanya memohon doa restu dan Rido dari sang guru
agar diberi kemudahan dalam menjalankan amanah yang berat tersebut. Pangeran
Purbaya tersenyum, hatinya merasa lega melihat keteguhan iman murid
kepercayaannya itu.
Pernyataan kesanggupan Elang
Syamsuri disambut dengan anggukan puas dari Pangeran Purbaya. Sang guru
kemudian memberikan wejangan terakhir kepada muridnya. Beliau berpesan agar
Elang Syamsuri senantiasa menjaga niatnya agar tetap lurus, yaitu menjalankan
perintah semata-mata karena Allah dan gurunya. Jangan sampai terbersit sedikit
pun di dalam hati rasa ingin pamer kekuatan atau kesombongan.
Pangeran Purbaya menekankan bahwa
kunci dari keberhasilan tugas ini adalah keikhlasan dan kepasrahan total.
Manusia tidak memiliki daya dan upaya sedikit pun, semua kekuatan adalah milik Allah.
Tugas manusia hanyalah berusaha dan berdoa dengan kesungguhan hati. Jika niat
sudah lurus dan hati sudah bersih, maka pertolongan dari langit pasti akan
datang pada waktunya.
Elang Syamsuri menyimak setiap
patah kata dari gurunya dengan saksama, meresapinya hingga ke lubuk hati yang
paling dalam. Wejangan itu menjadi bekal utamanya, lebih berharga dari pusaka
atau ajian apa pun. Ia berjanji di dalam hatinya untuk memegang teguh pesan
sang guru dan tidak akan menyimpang sedikit pun dari jalan yang telah
digariskan.
Setelah merasa cukup memberikan
bekal batin, Pangeran Purbaya pun mempersilakan Elang Syamsuri untuk berangkat.
Tidak ada pasukan pengawal yang menemaninya, tidak ada pula peralatan canggih
yang dibawanya. Ia berangkat seorang diri, hanya berbekal pakaian yang melekat
di badan, tekad yang bulat di dalam dada, dan nama Allah yang senantiasa
terucap di bibirnya.
Perjalanan menuju kaki Gunung
Ciremai ia tempuh dengan penuh keyakinan. Setiap langkahnya diiringi dengan
zikir, hatinya terus terhubung dengan Sang Maha Pencipta. Ia menyerahkan
seluruh nasibnya, baik keberhasilan maupun kegagalan, sepenuhnya kepada
kehendak Yang Maha Kuasa. Inilah wujud sejati dari seorang murid yang telah
mencapai tingkat kepasrahan yang tinggi.
Setelah menempuh perjalanan yang
cukup jauh, Elang Syamsuri akhirnya tiba di tepi telaga yang dimaksud.
Pemandangan di hadapannya persis seperti yang digambarkan oleh gurunya. Sebuah
danau yang airnya biru kehijauan, sangat tenang, namun dikelilingi oleh hutan
lebat yang memberinya kesan angker dan sunyi. Suasana hening di sana seolah
menambah berat ujian yang akan dihadapinya.
Namun, Elang Syamsuri sama sekali
tidak merasa takut. Ia memandang permukaan telaga yang laksana cermin raksasa
itu dengan tatapan mata batinnya. Ia tahu bahwa di kedalaman sana, pusaka
gurunya menanti. Ia juga tahu bahwa kekerasan fisik atau keberanian semata
tidak akan mampu menaklukkan kedalaman air telaga ini. Satu-satunya jalan
adalah melalui pintu langit, melalui doa.
Ia kemudian mencari tempat yang
bersih di bawah sebatang pohon besar yang rindang. Di sana, ia membersihkan
diri dengan mengambil air wudu, menyucikan anggota tubuhnya sebagai persiapan
untuk menghadap Sang Khalik. Setelah itu, ia duduk bersila dengan tegap, memejamkan
kedua matanya, dan mulai memusatkan seluruh konsentrasinya untuk berdoa dan
berzikir.
Pikirannya ia kosongkan dari
segala urusan duniawi. Hatinya ia fokuskan hanya untuk mengingat dan memanggil
nama Allah. Bibirnya tanpa henti melantunkan ayat-ayat suci, sementara jiwanya
melayang menuju keharibaan Ilahi. Ia pasrah sepenuhnya, menyerahkan seluruh
jiwa dan raganya ke dalam genggaman kekuasaan Allah. Ia memohon agar
ditunjukkan sebuah keajaiban sebagai bukti kebesaran-Nya.
Siang berganti malam, malam pun kembali
berganti menjadi siang. Elang Syamsuri tetap khusyuk dalam semedinya, tak
bergeming sedikit pun. Tubuhnya diam membeku laksana patung, namun jiwanya
terus berkelana di alam zikir. Hutan yang sunyi seakan menjadi saksi bisu atas
perjuangan batin seorang hamba yang tengah memohon pertolongan kepada Tuhannya.
Atas izin Allah Yang Maha
Mengabulkan Doa, permohonan tulus dari Elang Syamsuri pun dijawab. Ketika
tingkat kepasrahannya mencapai puncaknya, sebuah peristiwa luar biasa mulai
terjadi. Permukaan telaga yang tadinya tenang laksana kaca, tiba-tiba mulai
beriak. Getaran gaib terasa di seluruh penjuru tempat itu, seolah alam pun ikut
tunduk pada kekuatan doa yang dipanjatkan.
Keajaiban besar pun dimulai.
Secara perlahan namun pasti, air telaga itu mulai surut. Bukan meluap atau
tumpah ke tepian, melainkan menyusut ke bawah seolah-olah ada sebuah lubang
raksasa tak kasat mata yang menyedotnya. Dinding-dinding tanah di tepi telaga
yang basah mulai tampak, semakin lama semakin jelas, menampakkan dasar telaga yang
selama ini menjadi misteri.
Elang Syamsuri tetap dalam
semedinya, namun ia bisa merasakan energi luar biasa yang sedang bekerja di
hadapannya. Peristiwa itu adalah bukti nyata bahwa doa yang dipanjatkan dengan
hati yang bersih dan ikhlas tidak akan pernah sia-sia. Kekuasaan Allah sedang
ditunjukkan secara nyata, membuktikan bahwa tiada yang mustahil bagi-Nya.
Hingga pada akhirnya, seluruh air
di dalam telaga itu surut sepenuhnya. Dasar telaga yang luas kini terhampar,
hanya menyisakan lumpur basah dan genangan-genangan kecil. Di tengah dasar
telaga itu, tampak berkilauan sebilah keris pusaka milik Pangeran Purbaya,
tergeletak di atas lumpur, persis di tempat ia dilemparkan. Sungguh sebuah
pemandangan yang agung dan di luar nalar manusia.
Setelah seluruh air surut, Elang
Syamsuri perlahan membuka matanya. Ia menyaksikan pemandangan menakjubkan di
hadapannya dengan penuh rasa syukur. Ia tidak terkejut, karena ia yakin
sepenuhnya pada kuasa Allah. Dengan tenang ia mengucap hamdalah, memuji
kebesaran Tuhannya yang telah menjawab doa seorang hamba yang lemah seperti
dirinya.
Saat Elang Syamsuri hendak
bangkit untuk turun mengambil keris, matanya menangkap pemandangan lain yang
tak kalah menakjubkan. Seluruh permukaan dasar telaga yang berlumpur itu ternyata
dipenuhi oleh jutaan kerang air tawar berukuran kecil. Kerang-kerang itu, yang
dalam bahasa Sunda dikenal dengan sebutan remis, berkelip-kelip saat cangkangnya
memantulkan sisa cahaya.
Pemandangan jutaan remis yang
menutupi dasar telaga itu merupakan sebuah tanda, sebuah anugerah lain yang
menyertai keajaiban surutnya air. Elang Syamsuri memahami ini sebagai isyarat
dari Allah untuk mengabadikan peristiwa tersebut. Ia merasa harus memberikan
nama pada tempat ini sebagai pengingat akan karomah besar yang baru saja
terjadi.
Maka, sembari berjalan hati-hati
menuruni tepian berlumpur untuk mengambil keris pusaka, ia pun menamakan tempat
itu Telaga Remis. Telaga yang berarti danau, dan Remis yang merujuk pada jutaan
kerang kecil yang menjadi saksi bisu dari peristiwa agung tersebut. Nama itu
kelak akan melekat abadi, menceritakan asal-usulnya yang penuh dengan
keajaiban.
Pada saat yang bersamaan, sebuah
gelar baru pun tersemat pada dirinya. Perbuatannya yang berhasil membuat air
telaga surut atau menyingkap, dalam bahasa Sunda Kuno disebut nyelingsingkeun,
yang artinya menyingsingkan atau menyingkapkan sesuatu. Dari perbuatan ajaibnya
menyingkap air telaga inilah, Elang Syamsuri mendapatkan julukan kehormatan
baru dari masyarakat.
Sejak saat itu, ia lebih dikenal
dengan nama Pangeran Selingsingan, yang bermakna pangeran yang mampu
menyingsingkan atau menyingkap air. Nama lahirnya, Elang Syamsuri, seolah
tergantikan oleh gelar yang merujuk langsung pada karomah yang ia miliki.
Pangeran Selingsingan dan Telaga Remis menjadi dua nama yang tak terpisahkan
dalam satu jalinan legenda.
Setelah mengambil keris pusaka
dan mengabadikan nama Telaga Remis, Pangeran Selingsingan kembali duduk bersila
di tepi danau. Ia kembali memanjatkan doa syukur, dan atas izin Allah, air telaga
perlahan-lahan kembali naik mengisi cekungan danau hingga penuh seperti sedia
kala. Dasar telaga beserta jutaan remis di dalamnya kembali tersembunyi di
balik tenangnya permukaan air.
Dengan membawa keris pusaka di
tangannya, Pangeran Selingsingan pun kembali ke Cirebon. Ia langsung menghadap
sang guru, Pangeran Purbaya, untuk melaporkan keberhasilannya dan menyerahkan
kembali pusaka yang diamanahkan kepadanya. Ia menceritakan semua kejadian ajaib
yang dialaminya dengan penuh kerendahan hati, tanpa sedikit pun rasa bangga
pada dirinya sendiri.
Pangeran Purbaya menerima kembali
keris pusaka itu dengan perasaan haru dan bangga yang luar biasa. Ujiannya
telah berhasil. Muridnya tidak hanya mampu menjalankan tugas, tetapi juga telah
membuktikan tingkat keimanan dan kepasrahan yang sangat tinggi. Keberhasilan
Pangeran Selingsingan adalah cerminan dari keberhasilan didikan sang guru dan
terutama adalah bukti nyata dari kebesaran Allah.
Pangeran Purbaya pun secara resmi
memberikan gelar Pangeran Selingsingan kepada muridnya sebagai pengakuan atas
karomah yang telah ia capai. Berita mengenai peristiwa ajaib di telaga kaki
Gunung Ciremai itu pun tersebar dengan cepat dari mulut ke mulut, menjadi buah
bibir di seluruh negeri. Nama Pangeran Selingsingan menjadi masyhur sebagai
seorang bangsawan yang saleh dan penuh karomah.
Legenda Pangeran Selingsingan dan
asal-usul Telaga Remis pun hidup abadi, diwariskan dari generasi ke generasi.
Kisah ini menjadi pengingat bahwa kekuatan sejati bersumber dari keimanan.
Telaga Remis hingga kini masih ada, menjadi saksi bisu dari sebuah legenda
tentang kepasrahan seorang hamba yang mampu menyingkap tabir alam atas izin
Tuhannya.
Kisah Legenda Pangeran
Selingsingan mengajarkan kita bahwa kekuatan terbesar seorang manusia tidak
berasal dari kemampuan fisik, kekayaan, atau jabatan, melainkan dari kedalaman
iman dan kerendahan hatinya di hadapan Sang Pencipta. Keikhlasan dalam berdoa dan
kepasrahan penuh terhadap kehendak Allah dapat mendatangkan pertolongan dan
keajaiban dari arah yang tidak terduga. Legenda ini juga mengingatkan kita
bahwa setiap amanah, sekecil apa pun itu, harus dijalankan dengan penuh
tanggung jawab dan niat yang lurus, karena di situlah letak keberkahan yang
sesungguhnya.
Komentar
Posting Komentar