Kisah Ketegasan Umar bin Khattab Dalam Menghukum Putranya

 


Di bawah langit Mesir yang biru cerah, terjadi sebuah peristiwa yang mengguncang kerajaan Islam. Abdurrahman, putra dari Khalifah Umar bin Khattab, seorang pemuda yang berdarah biru dan memiliki masa depan yang cerah, terjerumus dalam perbuatan yang tidak terpuji.

Abdurrahman dan beberapa kawan-kawannya ditemukan dalam keadaan mabuk berat, tengah menikmati minuman keras yang dilarang oleh ajaran agama mereka. Mereka tertawa riang, berbicara dengan nada keras, dan berperilaku tidak pantas, mengganggu ketentraman umum dan merusak tatanan sosial yang ada.

Mesir, yang saat itu merupakan bagian dari kekhalifahan Islam, adalah tempat di mana hukum-hukum Islam ditegakkan dengan tegas. Minuman keras adalah salah satu hal yang dilarang keras dalam Islam, dan bagi siapa saja yang melanggar, hukuman yang berat menanti mereka.

Namun, Abdurrahman dan kawan-kawannya, dalam keadaan mabuk, tampaknya lupa akan hal ini. Mereka terjebak dalam euforia sesaat yang ditimbulkan oleh minuman keras, melupakan status mereka sebagai Muslim dan juga sebagai warga negara yang harus mematuhi hukum.


Amr bin Ash, Gubernur Mesir saat itu, adalah seorang pemimpin yang tegas dan berwibawa. Ketika berita tentang perilaku buruk Abdurrahman dan kawan-kawannya mencapainya, ia merasa sangat kecewa dan marah. Sebagai seorang pemimpin, ia tahu bahwa tindakan mereka tidak hanya melanggar hukum Islam, tetapi juga merusak ketertiban dan kedamaian masyarakat.

Dengan tegas, Amr bin Ash memerintahkan aparatnya untuk menangkap Abdurrahman dan kawan-kawannya. Mereka ditangkap tanpa perlawanan dan dibawa ke hadapan Amr bin Ash. Meskipun Abdurrahman adalah putra Khalifah, Amr bin Ash tidak memberinya perlakuan khusus. Baginya, semua orang sama di hadapan hukum.

Abdurrahman kemudian dihukum cambuk, sebuah hukuman yang sangat berat dan menyakitkan. Namun, hukuman ini tidak dilakukan di depan umum. Amr bin Ash memilih untuk melaksanakannya di dalam rumahnya sendiri. Mungkin ini adalah bentuk belas kasihan dari Amr bin Ash, atau mungkin juga ini adalah cara untuk menghindari kerumunan dan kekacauan yang mungkin terjadi jika hukuman dilakukan di depan umum.

Namun, meskipun hukuman dilakukan di dalam rumah, berita tentang hukuman tersebut cepat menyebar. Orang-orang di Mesir dan juga di Madinah, tempat Umar bin Khattab berada, mengetahui tentang hukuman yang diterima oleh putra Khalifah tersebut. Ini menjadi peringatan bagi semua orang bahwa tidak ada yang kebal hukum, bahkan jika itu adalah putra Khalifah sekalipun.


Kabar tentang peristiwa yang terjadi di Mesir itu menyebar seperti angin kencang, melintasi padang pasir yang luas, melalui karavan pedagang dan utusan, hingga akhirnya sampai ke Madinah. Madinah, kota yang menjadi pusat pemerintahan Islam saat itu, adalah tempat di mana Umar bin Khattab, Khalifah kedua umat Islam, berada.

Berita tentang putranya, Abdurrahman, yang telah melanggar hukum Islam dengan minum minuman keras dan mengganggu ketertiban umum, tentu saja sangat mengejutkan dan memilukan Umar. Sebagai seorang pemimpin, Umar sangat tegas dalam menegakkan hukum dan keadilan, dan sebagai seorang ayah, dia tentu merasa sedih dan kecewa dengan perilaku putranya.

Namun, Umar adalah seorang pemimpin yang bijaksana. Dia tahu bahwa dia harus bertindak cepat dan tegas. Dengan nada amarah dan kecewa yang mendalam, Umar segera mengambil pena dan kertas, dan menulis surat kepada Amr bin Ash, Gubernur Mesir saat itu.

Dalam suratnya, Umar menyampaikan rasa amarah dan kekecewaannya. Dia memerintahkan Amr bin Ash untuk segera mengirim Abdurrahman kembali ke Madinah. Umar ingin menegakkan hukum dan keadilan dengan tangannya sendiri. Dia ingin memastikan bahwa semua orang, termasuk putranya sendiri, tahu bahwa tidak ada yang kebal hukum.

Peristiwa ini menjadi bukti bahwa Umar bin Khattab adalah seorang pemimpin yang adil dan tegas. Dia tidak membiarkan status atau kedudukan seseorang menghalangi penegakan hukum dan keadilan. Ini adalah pelajaran berharga tentang pentingnya keadilan dan penegakan hukum dalam Islam.


Perjalanan Abdurrahman dari Mesir ke Madinah bukanlah perjalanan biasa. Ini adalah perjalanan yang penuh dengan penyesalan, malu, dan hukuman. Umar bin Khattab, ayahnya dan juga Khalifah saat itu, telah menegaskan bahwa Abdurrahman harus membungkuk sepanjang perjalanan tersebut.

Membungkuk di sini bukan hanya secara fisik, tetapi juga simbolis. Ini adalah bentuk penyesalan dan pengakuan atas kesalahan yang telah dilakukan. Abdurrahman harus merasakan beratnya hukuman dan malu di depan rakyat. Dia tidak boleh berdiri tegak, melainkan harus membungkuk-bungkuk, sebagai tanda rendah hati dan penyesalan.

Perjalanan ini bukan hanya melintasi jarak fisik antara Mesir dan Madinah, tetapi juga melintasi hati dan pikiran rakyat. Mereka melihat putra Khalifah, yang seharusnya menjadi contoh, justru melakukan kesalahan besar. Mereka melihat bagaimana hukum ditegakkan, tanpa pandang bulu. Mereka melihat bagaimana seorang pemimpin, Umar bin Khattab, tidak membiarkan putranya sendiri lolos dari hukuman.

Perjalanan ini juga menjadi perjalanan batin bagi Abdurrahman sendiri. Dia merasakan beratnya hukuman, merasakan malu di depan rakyat, dan merasakan penyesalan yang mendalam. Dia merasakan betapa beratnya konsekuensi dari kesalahan yang telah dia lakukan.


Di tengah kegaduhan yang terjadi di Madinah, ada satu suara yang mencoba untuk meredamnya. Suara itu datang dari Abdurrahman bin Auf, salah satu sahabat Nabi yang paling dihormati dan disegani. Dia adalah seorang yang bijaksana dan memiliki pengaruh besar di kalangan umat Islam saat itu.

Abdurrahman bin Auf, dengan nada yang lembut namun penuh kekhawatiran, mendekati Umar bin Khattab. Dia meminta Umar untuk mempertimbangkan ulang keputusannya. Dia tahu bahwa Umar adalah seorang pemimpin yang adil dan tegas, tetapi dia juga tahu bahwa Abdurrahman adalah putra Umar, dan dia khawatir bahwa hukuman yang akan diterima Abdurrahman akan terlalu berat.

Namun, permintaan Abdurrahman bin Auf ini tampaknya tidak didengar oleh Umar. Umar, dengan wajah yang tegang dan mata yang tajam, tidak memberikan jawaban. Dia tetap diam, seolah-olah dia tidak mendengar apa yang dikatakan oleh Abdurrahman bin Auf.

Ini bukan karena Umar tidak menghargai Abdurrahman bin Auf. Sebaliknya, Umar sangat menghargai dan menghormati Abdurrahman bin Auf. Namun, dalam hal ini, Umar merasa bahwa dia harus bertindak tegas dan adil, tanpa memandang siapa yang terlibat.

Peristiwa ini menunjukkan betapa sulitnya posisi yang dihadapi oleh Umar saat itu. Dia harus memilih antara menegakkan hukum dan keadilan, atau mempertimbangkan perasaan dan hubungan pribadinya. Namun, sebagai seorang pemimpin, Umar memilih untuk menegakkan hukum dan keadilan, meskipun itu berarti harus menghukum putranya sendiri. Ini adalah bukti dari komitmen Umar terhadap prinsip-prinsip keadilan dan hukum dalam Islam.


Hari itu adalah hari yang suram di Madinah. Di tengah lapangan kota, sebuah hukuman akan dilaksanakan. Abdurrahman, putra dari Khalifah Umar bin Khattab, berdiri dengan wajah pucat dan mata yang penuh ketakutan. Di sekelilingnya, rakyat Madinah berkumpul, menunggu dengan napas yang terhenti.

Umar, dengan wajah yang tegang dan mata yang tajam, memerintahkan algojo untuk melaksanakan hukuman. Algojo, seorang pria besar dengan tangan yang kuat, mengangguk dan mengambil cambuk yang telah disiapkan. Dia mendekati Abdurrahman, mengangkat cambuknya, dan dengan satu gerakan cepat dan kuat, cambuk itu mendarat di punggung Abdurrahman.

Rakyat Madinah menutup mata mereka, tidak tahan melihat penderitaan yang dialami oleh putra Khalifah mereka. Namun, Umar tetap berdiri tegak, matahari terik Madinah menyinari wajahnya yang tegang. Dia menonton eksekusi tersebut dengan mata yang tidak berkedip, wajahnya tidak menunjukkan rasa belas kasihan atau penyesalan.

Setelah algojo selesai melaksanakan hukuman, Umar mengambil alih. Dia mengambil cambuk dari tangan algojo dan mendekati Abdurrahman. Dengan tangan yang kuat dan pasti, Umar melanjutkan eksekusi tersebut. Setiap cambukan yang mendarat di punggung Abdurrahman adalah bukti dari komitmen Umar terhadap keadilan dan hukum.


Selama proses eksekusi berlangsung, Umar bin Khattab, Khalifah yang adil dan tegas, berkali-kali menyampaikan pesan moral yang mendalam. Dengan suara yang lantang dan penuh penekanan, dia menyatakan, “Kebinasaan orang-orang sebelum kalian adalah karena tidak mau menindak tegas kalangan terhormat yang mencuri, tetapi langsung menghukum orang lemah!” Pesan ini adalah peringatan keras bagi semua orang bahwa dalam hukum Islam, tidak ada yang diistimewakan.

Meski Abdurrahman tampak sangat kepayahan dan meraung-raung karena sakit, Umar tetap mencambuk tubuh putranya itu dengan keras. Setiap cambukan adalah bukti dari komitmen Umar terhadap keadilan dan hukum. Setiap cambukan adalah pengingat bahwa tidak ada yang kebal hukum, bahkan jika itu adalah putra Khalifah sekalipun.

Pada akhirnya, Abdurrahman meminta belas kasihan ayahnya. Dengan suara yang lemah dan penuh penyesalan, dia berkata, “Rupanya ayah ingin membunuh saya.” Namun, Umar, dengan hati yang berat, tetap melanjutkan hukuman tersebut. Dia tahu bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk menegakkan hukum dan keadilan.

Setelah itu, Abdurrahman dikirim ke pengasingan. Dia harus menjalani hidupnya jauh dari keluarga dan teman-temannya, sebagai bagian dari hukumannya. Setelah sebulan dalam pengasingan, berita datang bahwa Abdurrahman telah meninggal. Kabar ini menyebar cepat dan menjadi duka yang mendalam bagi semua orang, terutama bagi Umar bin Khattab.

Kisah ini adalah cerminan dari betapa tegas dan adilnya Umar bin Khattab, bahkan terhadap putranya sendiri. Ini adalah contoh nyata dari prinsip keadilan dalam Islam, di mana tidak ada yang diistimewakan, bahkan jika itu adalah anggota keluarga pemimpin. Kisah ini menjadi pelajaran berharga bagi kita semua tentang pentingnya keadilan dan penegakan hukum. Wawlohu A’lam Bishawab.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Asal Usul Suku Mentawai, Tertua di Indonesia, Warisan Budaya yang Menawan

Sejarah Asal Usul Pulau Sumatera, Pulau Emas yang Menawan di Nusantara

Sejarah Asal Usul Pekalongan: Kota Batik yang Menawan di Jawa Tengah