Jangan Mengandalkan Mahluk (Tasawuf & Makrifatullah)
Wahai jiwa yang sedang
mengembara, sebuah pesan agung yang seringkali terabaikan dalam kesibukan
dunia: "Jangan Mengandalkan Mahluk". Kalimat ini bukan sekadar
nasihat biasa, melainkan kunci pembuka gerbang pemahaman tentang hakikat diri
dan tujuan hidup sesungguhnya. Ia adalah bisikan lembut dari Sang Maha Pencipta
yang rindu hati kita sepenuhnya tertuju padaNya, mengingatkan kita akan sumber
kekuatan dan ketenangan yang abadi.
Ketika hati merasa perih oleh
kekecewaan, saat harapan yang disandarkan pada teman karib, keluarga terkasih,
bahkan pada kemampuan diri sendiri, runtuh berkeping-keping, ketahuilah itu
bukan akhir segalanya. Justru, di situlah seringkali Awloh membukakan mata hati
kita. Dia ingin kita tersadar bahwa semua yang ada di alam semesta ini,
termasuk diri kita dan orang-orang di sekitar kita, hanyalah
"selang-selang kehidupan", saluran-saluran sementara. Mereka laksana
bayangan yang bergerak karena ada cahaya, namun bukanlah sumber cahaya itu
sendiri. Sumber dari segala sumber, cahaya di atas segala cahaya, adalah Awloh
semata.
Sejak hembusan nafas pertama,
kita terlahir dalam keadaan lemah dan membutuhkan. Kita butuh udara untuk
bernafas, butuh asuhan untuk tumbuh, butuh ilmu untuk memahami. Fitrah ini
menunjukkan bahwa kita adalah mahluk yang dependen, yang tidak bisa berdiri
sendiri. Pengakuan akan kelemahan dan kebutuhan ini adalah langkah awal menuju
pintu marifatullah, mengenal Awloh. Inilah esensi penghambaan, mengakui bahwa
diri ini tiada daya dan upaya kecuali atas pertolonganNya.
Dalam perjalanan hidup,
seringkali kita keliru menempatkan sandaran. Kita mencari kekuatan pada
jabatan, keamanan pada harta, kebahagiaan pada pasangan, atau dukungan pada
relasi. Kita lupa bahwa semua itu adalah ciptaan, sama seperti diri kita,
memiliki keterbatasan dan sifat membutuhkan. Menggantungkan harapan pada
sesuatu yang sama-sama rapuh adalah laksana membangun istana pasir di tepi
pantai, indah sesaat namun siap tersapu ombak kapan saja.
Kesadaran akan fitrah
ketergantungan ini seharusnya membawa kita pada satu kesimpulan: kita harus
mencari sandaran yang kokoh, yang tidak pernah goyah, tidak pernah lemah, dan
tidak pernah meninggalkan. Sandaran itu bukanlah pada sesama mahluk, bukan pada
materi duniawi, bukan pula pada kekuatan diri yang fana. Sandaran hakiki itu
hanyalah Dia Yang Maha Kuat, Maha Abadi, Maha Pengasih.
Oleh karena itu, wahai jiwa,
kenali dirimu. Akui kelemahanmu, akui kebutuhanmu. Jangan malu untuk merasa
tidak cukup, karena memang demikianlah fitrah kita sebagai hamba. Justru dengan
pengakuan inilah, kita membuka diri untuk menerima kekuatan dan kecukupan dari
Sang Khaliq, Awloh, Dzat Yang Maha Kaya dan Maha Pemberi. Mengakui kefakiran
diri di hadapan Awloh adalah kekayaan yang sesungguhnya.
Melihat ke sekeliling, bahkan menatap
ke dalam diri sendiri. Semua yang tercipta membawa tanda-tanda keterbatasan.
Bunga yang indah akan layu, gunung yang kokoh bisa luluh lantak, tubuh yang
kuat akan menua dan melemah, akal yang cerdas terkadang buntu. Sahabat yang
setia bisa berkhianat, keluarga yang dicinta bisa mengecewakan, pemimpin yang
diagungkan bisa terjatuh. Inilah sunnatullah, hukum alam yang Awloh tetapkan
bagi ciptaanNya.
Keterbatasan ini bukanlah aib,
melainkan ciri khas kemahlukan. Ia berfungsi laksana cermin raksasa yang
memantulkan sifat sebaliknya: sifat Kesempurnaan, Kekekalan, dan Kemandirian
Mutlak milik Sang Pencipta. Ketika kita melihat kelemahan pada mahluk, hati
yang jernih akan teringat pada Kekuatan Awloh. Ketika kita menyaksikan kefanaan
ciptaan, jiwa yang sadar akan merindukan Keabadian Awloh. Ketika kita merasakan
keterbatasan mahluk, ruh yang rindu akan mencari Kecukupan Awloh.
Maka, janganlah berputus asa
ketika menyaksikan keterbatasan ini pada orang lain atau pada diri sendiri.
Jangan pula menuntut kesempurnaan dari sesuatu yang memang diciptakan tidak
sempurna. Sebaliknya, jadikanlah pengamatan ini sebagai sarana untuk semakin
mengenal Awloh. Setiap kelemahan yang kau lihat pada mahluk adalah undangan
untuk bersandar pada kekuatan Awloh. Setiap kefanaan yang kau saksikan adalah
panggilan untuk bergantung pada keabadian Awloh.
Dengan memahami ini, interaksi
kita dengan sesama mahluk akan berubah. Kita tidak lagi menuntut mereka menjadi
sumber sandaran, melainkan melihat mereka sebagai sesama pengembara yang juga
memiliki keterbatasan. Rasa kecewa akan berkurang, tergantikan oleh pemahaman
dan kasih sayang. Hati menjadi lebih lapang karena tidak lagi terbebani oleh
ekspektasi yang salah alamat. Kita belajar mencintai dan berinteraksi karena
Awloh, bukan karena mengharap balas jasa atau sandaran dari mereka.
Setelah menyadari keterbatasan
mahluk, hati secara alami akan mencari sandaran yang sejati. Di sinilah
pentingnya mengenal Awloh melalui nama-nama dan sifat-sifatNya yang Agung. Dua
nama yang sangat relevan dengan pembahasan ini adalah Al-Qayyum dan As-Samad.
Al-Qayyum berarti Yang Maha Berdiri Sendiri dan Yang Maha Mengurusi segala
sesuatu. Langit dan bumi beserta isinya tegak dan teratur karena Dia yang
mengurusnya. Dia tidak butuh pada apapun, sementara segala sesuatu butuh
kepadaNya.
As-Samad bermakna Dzat Yang Maha
Menjadi Tumpuan, tempat bergantung segala hajat dan kebutuhan. Seluruh mahluk,
dari yang terkecil hingga terbesar, dari yang tampak hingga ghaib, semua
bergantung padaNya. Dia adalah tujuan akhir dari segala pencarian, sumber dari
segala pemberian. Ketika hati memahami makna Al-Qayyum dan As-Samad, ia akan
menemukan alamat sandaran yang benar. Ia tidak akan lagi mengetuk pintu-pintu
mahluk yang sama-sama membutuhkan, melainkan langsung menuju Pintu Sang Maha
Kaya dan Maha Pemurah.
Renungkanlah ayat kursi yang
agung, di mana Awloh menyatakan diriNya sebagai Al-Hayyu Al-Qayyum, Yang Maha
Hidup dan Terus Menerus Mengurus mahlukNya. Dia tidak pernah mengantuk apalagi
tidur. Pengawasan dan pengaturanNya meliputi segala sesuatu. Kesadaran ini
menumbuhkan rasa aman dan tenang yang luar biasa. Kita tahu bahwa urusan kita,
sekecil apapun, berada dalam genggaman Dzat Yang Maha Perkasa dan Maha
Bijaksana.
Maka, arahkanlah hatimu
sepenuhnya kepadaNya. Jadikan Dia sebagai satu-satunya Samad, tempat kau
gantungkan segala asa dan harapan. Mohonlah kekuatan dari Al-Qayyum untuk
menjalani hidup ini. Ketika engkau bersandar pada Yang Maha Berdiri Sendiri,
engkau tidak akan pernah jatuh. Ketika engkau bergantung pada Yang Maha Menjadi
Tumpuan, engkau tidak akan pernah kekurangan. Inilah kunci kekuatan dan
kemuliaan seorang hamba.
Seringkali, jalan menuju Awloh
dihiasi dengan duri-duri kekecewaan. Saat kita terlalu berharap pada mahluk,
Awloh dengan kasih sayangNya, terkadang mematahkan harapan itu. Bukan karena
Dia tidak suka kita bahagia, tetapi karena Dia cemburu jika hati kita lebih
condong kepada ciptaan daripada kepadaNya. Dia ingin menyelamatkan kita dari
ketergantungan yang salah, yang hanya akan membawa pada kerapuhan dan
kegelisahan jiwa.
Kekecewaan yang datang dari
mahluk sejatinya adalah sebuah pesan cinta, sebuah tarbiyah (pendidikan)
ruhani. Ia laksana sentilan lembut yang membangunkan kita dari tidur lelap
ketergantungan pada selain Awloh. Rasa sakit akibat kecewa itu adalah obat
pahit yang menyembuhkan penyakit hati berupa kemusyrikan terselubung, yaitu
menjadikan mahluk sebagai sandaran tandingan bagi Awloh. Para sufi melihat ini
sebagai bentuk ghirah (kecemburuan) Ilahi yang bertujuan memurnikan tauhid
seorang hamba.
Terimalah kekecewaan itu bukan
sebagai bencana, melainkan sebagai rahmat tersembunyi. Ia adalah kesempatan
emas untuk introspeksi diri: "Di manakah selama ini hatiku bersandar?
Kepada siapa aku paling berharap?" Jika jawabannya masih tertuju pada
mahluk, maka kekecewaan itu adalah alarm pengingat untuk segera kembali ke jalur
yang benar, kembali kepada Awloh Sang Kekasih Sejati yang tak pernah
mengecewakan.
Jangan biarkan kekecewaan
membuatmu terpuruk dalam keputusasaan atau kebencian terhadap mahluk. Justru,
jadikan ia sebagai momentum untuk hijrah hati, berpindah dari mengandalkan yang
fana menuju berserah diri kepada Yang Maha Kekal. Ucapkan syukur atas pelajaran
berharga ini, karena melalui patahan inilah, cahaya kesadaran Ilahi dapat
merembes masuk, menerangi sudut hati yang sebelumnya gelap oleh ketergantungan
pada dunia.
Pesan "Jangan Mengandalkan
Mahluk" sering disalahpahami sebagai sikap pasif, malas berusaha, dan
meninggalkan sebab-akibat. Ini adalah kekeliruan fatal. Tasawuf mengajarkan
tawakkul yang sejati, yaitu keseimbangan antara ikhtiar (usaha) lahiriah dan
penyandaran hati (tawakkul) batiniah. Tubuh dan akal kita diperintahkan untuk
berusaha semaksimal mungkin sesuai dengan syariat dan hukum sebab-akibat yang
telah Awloh tetapkan. Namun, hati kita harus tetap bergantung sepenuhnya hanya
kepada Awloh.
Seorang petani menanam benih,
mengairi, dan memupuk (ikhtiar), namun hatinya bertawakkul kepada Awloh untuk
menumbuhkan tanaman itu, melindunginya dari hama, dan memberikan hasil panen
(hasil adalah urusan Awloh). Seorang pedagang membuka toko, menata barang,
melayani pembeli (ikhtiar), namun hatinya bersandar pada Awloh Sang Maha
Pemberi Rezeki (Ar-Razzaq) untuk mendatangkan keuntungan. Inilah tawakkul yang
diajarkan oleh Rosulullah. Beliau adalah orang yang paling bertawakkul, namun
juga paling gigih dalam berikhtiar.
Maka, jangan mengandalkan usahamu
sendiri. Bekerjalah seolah semuanya bergantung padamu, namun bersandarlah
seolah semuanya bergantung pada Awloh. Lepaskan keterikatan hati pada hasil
usahamu. Apapun hasilnya, baik sukses maupun gagal dalam pandangan manusia,
terimalah dengan lapang dada sebagai ketetapan terbaik dariNya. Ingatlah janji
Awloh dalam Al Quran, "Dan barangsiapa yang bertawakkul kepada Awloh
niscaya Awloh akan mencukupkan (keperluan)nya."
Tawakkul yang benar membebaskan
jiwa dari kecemasan akan masa depan dan kesedihan atas masa lalu. Ia membuat
kita fokus pada tugas saat ini (ikhtiar) dengan hati yang tenang, karena kita
tahu bahwa Pengatur segala urusan adalah Awloh Yang Maha Bijaksana dan Maha
Pengasih. Usaha kita adalah bentuk ibadah dan ketaatan, sedangkan hasilnya
adalah anugerah dan ketetapanNya yang penuh hikmah.
Hati seorang mukmin ibarat cermin
yang seharusnya memantulkan cahaya Ilahi. Namun, ketergantungan dan harapan
kepada selain Awloh laksana debu dan noda yang mengotorinya. Setiap kali kita
menyandarkan harapan pada mahluk, sejatinya kita sedang mendirikan berhala
kecil di dalam hati kita. Berhala ini tidak selalu berupa patung batu, tetapi
bisa berupa keterikatan pada harta, jabatan, pujian manusia, atau bahkan rasa
takut kepada selain Awloh.
Proses tazkiyatun nafs (penyucian
jiwa) dalam tasawuf salah satunya adalah membersihkan hati dari berhala-berhala
halus ini. Ini memerlukan perjuangan (mujahadah) yang terus-menerus. Caranya
adalah dengan melatih diri untuk senantiasa mengembalikan segala urusan kepada
Awloh. Ketika mendapat nikmat, segera sadari itu datang dari Awloh, bukan
semata karena usaha kita atau bantuan si Fulan. Ketika ditimpa musibah, yakini
itu atas izin Awloh dan mohon pertolongan hanya kepadaNya.
Para sufi mengajarkan dzikir dan
tafakur sebagai sarana ampuh untuk membersihkan hati. Dengan banyak mengingat
Awloh (dzikrullah), hati akan terlepas dari ingatan dan ketergantungan pada
selainNya. Dengan merenungkan keagungan Awloh dan kefanaan mahluk (tafakur),
keyakinan akan Awloh sebagai satu-satunya sandaran akan semakin kokoh. Latihlah
hati untuk berkata, "Laa haula wa laa quwwata illa billah" (Tiada
daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Awloh) dalam setiap keadaan.
Pembersihan hati ini adalah
perjalanan seumur hidup. Semakin bersih hati dari ketergantungan pada mahluk,
semakin jernih ia memantulkan cahaya marifatullah. Hati yang bersih akan
merasakan kehadiran Awloh dalam setiap denyut nadi kehidupan, merasakan
ketenangan di tengah badai, dan menemukan kekuatan di saat lemah. Inilah tujuan
dari penyucian jiwa: menjadikan hati sebagai Arsy tempat bersemayamnya cinta
dan pengagungan hanya kepada Awloh.
Ada sebuah rasa manis yang tak
terlukiskan, sebuah ketenangan yang mendalam, yang hanya bisa dirasakan oleh
hati yang telah berhasil melepaskan ketergantungannya pada mahluk dan bersandar
sepenuhnya kepada Sang Khaliq. Ketika jangkar hati tertambat kokoh pada Awloh,
badai kehidupan tak lagi mampu menggoyahkannya. Jiwa menjadi merdeka dari
belenggu harapan dan ketakutan kepada sesama manusia.
Bergantung hanya kepada Awloh
melahirkan sakinah, ketenangan batin yang luar biasa. Tidak ada lagi kecemasan
berlebihan tentang rezeki, jodoh, atau masa depan, karena yakin semua telah
diatur oleh Yang Maha Tahu yang terbaik bagi hambaNya. Tidak ada lagi kesedihan
mendalam atas kehilangan atau kegagalan, karena mengerti bahwa semua adalah
bagian dari rencanaNya yang indah, meski terkadang sulit dipahami akal. Yang
ada hanyalah rido, penerimaan sepenuh hati atas segala ketetapanNya.
Kekuatan sejati pun muncul dari
penyandaran ini. Bukan kekuatan fisik atau materi, melainkan kekuatan jiwa yang
tak terkalahkan. Orang yang bergantung pada Awloh tidak mudah terintimidasi
oleh ancaman mahluk, tidak silau oleh gemerlap dunia, dan tidak goyah oleh
celaan manusia. Ia berjalan di muka bumi dengan kepala tegak, bukan karena
kesombongan, melainkan karena kesadaran bahwa ia berada dalam lindungan Dzat
Yang Maha Perkasa. Ia merasa cukup dengan Awloh (istiana billah).
Inilah manisnya iman, manisnya
tauhid, manisnya tawakkul. Sebuah rasa yang menjadi pratinjau kenikmatan surga
di dunia. Seperti yang digambarkan dalam hadis, ia akan merasakan lezatnya
iman. Rasa manis ini adalah buah dari perjuangan membersihkan hati dan
meluruskan arah kiblat jiwa hanya kepada Awloh. Carilah rasa manis ini, wahai
para pencari kebenaran, karena di dalamnya terdapat kebahagiaan dan kebebasan
yang hakiki.
Tingkatan tertinggi dari "Jangan
Mengandalkan Mahluk" bukanlah berarti mengucilkan diri atau membenci
ciptaan. Justru, buah dari marifatullah adalah kemampuan untuk melihat Awloh di
balik tirai ciptaanNya. Seorang arif (orang yang mengenal Awloh) tetap
berinteraksi dengan mahluk, tetap menjalankan sebab-akibat, namun hatinya tidak
lagi tertipu oleh tampilan luar. Ia melihat tangan Awloh bekerja di setiap
peristiwa.
Ketika ia menerima bantuan dari
seseorang, lisannya berterima kasih kepada orang tersebut sebagai bentuk adab
sesama mahluk, namun hatinya bersyukur kepada Awloh sebagai Penggerak sejati
hati orang itu untuk menolong. Ketika ia menghadapi kesulitan atau perlakuan
buruk dari mahluk, ia melihatnya sebagai ujian atau teguran dari Awloh, bukan
semata-mata karena keburukan mahluk tersebut. Hatinya tetap terhubung dengan
Sang Sumber.
Pada maqam (kedudukan spiritual)
ini, mahluk tidak lagi menjadi hijab (penghalang) antara dirinya dengan Awloh,
melainkan menjadi mazhar (tempat tampaknya) sifat-sifat dan perbuatan Awloh. Ia
melihat Kemurahan Awloh pada orang dermawan, Keadilan Awloh pada hukum alam,
Keindahan Awloh pada alam semesta, bahkan Keperkasaan Awloh pada ujian yang
datang. Interaksinya dengan dunia menjadi ibadah, karena setiap pandangan dan
pengalamannya senantiasa mengembalikannya kepada Awloh.
Inilah puncak dari pemahaman
"Jangan Mengandalkan Mahluk". Bukan menafikan mahluk, tetapi
menempatkannya pada posisi yang sebenarnya: sebagai ciptaan, sebagai sarana,
sebagai tanda kebesaran Sang Pencipta. Hati tetap fokus pada Sang Dalang, bukan
pada wayang yang dimainkanNya. Mencapai tingkatan ini adalah anugerah agung,
buah dari kesungguhan menapaki jalan tauhid dan tawakkul, sebuah perjalanan
menuju penyaksian hakikat bahwa segala sesuatu berasal dari Awloh dan akan
kembali kepadaNya.
Wahai jiwa, mulailah perjalananmu
hari ini. Lepaskan genggaman hatimu dari sandaran-sandaran fana. Arahkan wajah
jiwamu sepenuhnya kepada Awloh, Sang Sumber Abadi kekuatan, ketenangan, dan
kebahagiaan. Jangan andalkan mahluk, andalkanlah Awloh semata, niscaya engkau
akan menemukan kekuatan yang tak tergoyahkan dan kedamaian yang tak terperi.
Komentar
Posting Komentar