Legenda Ken Arok dan Ken Dedes
Alkisah, di tanah Jawa Dwipa yang
subur pada penghujung abad ke-12 Masehi, tersebutlah sebuah masa pancaroba.
Kerajaan Kediri yang pernah berjaya mulai menunjukkan tanda-tanda senja,
sementara di wilayah lain, benih-benih kekuatan baru mulai tumbuh. Di antara
riak-riak sejarah inilah muncul sesosok pemuda bernama Ken Arok, yang kelak
akan mengukir namanya dengan tinta darah, ambisi, dan legenda yang tak lekang
oleh waktu. Kisahnya berkelindan erat dengan seorang wanita luar biasa bernama
Ken Dedes, yang kecantikannya disebut-sebut mampu mengguncang takhta.
Nun jauh di lereng pegunungan,
menurut catatan kuno dalam Kitab Pararaton, kelahiran Ken Arok diselimuti kabut
misteri. Ada yang menyebutnya sebagai titisan dewa, putra dari Batara Brahma
yang turun ke bumi dan menjalin hubungan dengan seorang wanita desa bernama Ken
Endok. Namun, versi lain menceritakan ia adalah anak dari seorang lelaki
bernama Gajah Para. Apapun asal-usul sesungguhnya, takdir membawanya pada
kehidupan awal yang keras. Ia dibuang oleh ibunya di sebuah pemakaman dan
kemudian ditemukan serta diasuh oleh seorang pencuri bernama Lembong.
Masa muda Ken Arok diwarnai
kenakalan dan petualangan di dunia hitam. Ia tumbuh menjadi pemuda yang cerdas,
licin, berani, namun juga gemar berjudi dan merampok. Kehidupannya yang liar
membawanya berpindah-pindah tempat, menghindari kejaran para prajurit dan
mencari peruntungan dengan caranya sendiri. Nama "Arok" sendiri
seolah mencerminkan jalan hidupnya, yang berarti "mengaduk" atau
"membuat keributan", menandakan kehadirannya yang selalu membawa
perubahan dan gejolak di sekitarnya. Keberanian dan karismanya, meskipun
digunakan untuk jalan yang salah, mulai menarik perhatian.
Peruntungan Ken Arok mulai
berubah ketika ia bertemu dengan seorang Brahmana bijaksana dari India bernama
Lohgawe. Sang Brahmana, dengan ketajaman mata batinnya, melihat potensi luar
biasa dalam diri pemuda liar ini. Lohgawe percaya bahwa Ken Arok bukanlah orang
biasa, melainkan sosok yang ditakdirkan untuk menjadi pemimpin besar. Ia
melihat percikan api kepemimpinan dan aura kekuasaan yang tersembunyi di balik
penampilan Arok yang kasar.
Di bawah bimbingan Lohgawe, Ken
Arok mulai mempelajari banyak hal. Ia tidak hanya diajari tentang strategi dan
tata pemerintahan, tetapi juga mungkin tentang ajaran spiritual dan cara
mengendalikan diri. Lohgawe membersihkannya, memberinya pakaian yang layak, dan
yang terpenting, memberinya arah baru dalam hidup. Sang Brahmana inilah yang
kemudian membuka jalan bagi Ken Arok untuk mengabdi kepada penguasa Tumapel.
Dengan restu dan mungkin sedikit
siasat dari Lohgawe, Ken Arok berhasil diterima sebagai salah satu prajurit
atau pengawal di wilayah Tumapel. Tumapel saat itu merupakan sebuah daerah
bagian (semacam kabupaten) yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Kediri,
dipimpin oleh seorang Akuwu (setingkat bupati atau adipati) bernama Tunggul
Ametung. Inilah gerbang awal bagi Ken Arok untuk memasuki lingkaran kekuasaan
dan memulai babak baru dalam hidupnya yang penuh intrik.
Sementara Ken Arok meniti
jalannya dari bawah, di sebuah desa bernama Panawijen, hiduplah seorang wanita
yang kecantikannya menjadi buah bibir di seluruh penjuru negeri. Dialah Ken
Dedes, putri dari seorang pendeta Buddha Mahayana yang terhormat bernama Empu
Purwa. Ken Dedes tidak hanya dikaruniai paras yang ayu rupawan, tetapi juga
kecerdasan dan pengetahuan yang luas, hasil didikan langsung dari ayahnya. Ia
memahami ajaran-ajaran suci dan memiliki budi pekerti yang luhur.
Nama "Dedes" sendiri
sering diartikan sebagai sesuatu yang membawa kesejukan atau ketenangan, atau
mungkin merujuk pada jenis bunga atau tumbuhan tertentu yang indah. Namun,
takdir hidupnya ternyata jauh dari ketenangan. Kecantikannya yang memesona sampai
ke telinga Tunggul Ametung, Akuwu Tumapel. Terpesona oleh kabar tersebut,
Tunggul Ametung datang ke Panawijen saat Empu Purwa sedang pergi bertapa. Tanpa
Rido sang ayah, Tunggul Ametung memaksa membawa Ken Dedes ke Tumapel untuk
dijadikan istrinya.
Tindakan Tunggul Ametung ini
menyisakan luka mendalam bagi Ken Dedes dan kemarahan besar bagi Empu Purwa
sekembalinya dari pertapaan. Sang pendeta yang murka kemudian mengucapkan
kutukan. Ia bersumpah bahwa Tumapel akan menemui kehancuran, dan siapa pun yang
membunuh Tunggul Ametung kelak akan merebut Ken Dedes dan kekuasaannya. Kutukan
ini bagai awan gelap yang membayangi masa depan Tumapel dan menjadi salah satu
benang takdir dalam kisah Ken Arok.
Meskipun menjadi istri seorang
Akuwu yang berkuasa, kehidupan Ken Dedes di Tumapel diliputi kesedihan
tersembunyi. Ia terpaksa menjalani pernikahan yang tidak didasari cinta dan
terpisah dari ayahnya karena tindakan sewenang-wenang Tunggul Ametung. Ia
menjalani perannya sebagai permaisuri dengan anggun, namun hatinya mungkin
menyimpan bara perlawanan atau setidaknya harapan akan perubahan nasib, seiring
dengan kutukan yang pernah diucapkan ayahnya.
Kecantikan dan kecerdasan Ken
Dedes, ditambah latar belakangnya sebagai putri seorang pendeta terhormat,
menjadikannya sosok yang disegani sekaligus diinginkan. Ia bukan sekadar
perhiasan istana, tetapi wanita yang memiliki aura tersendiri, yang kelak akan
menjadi pusat dari pusaran ambisi, cinta, dan perebutan kekuasaan yang
melibatkan Ken Arok dan Tunggul Ametung. Kehadirannya di Tumapel menjadi magnet
yang menarik takdir.
Sebagai pengawal Tunggul Ametung,
Ken Arok kerap menyertai tuannya dalam berbagai kesempatan, termasuk saat sang
Akuwu bepergian bersama istrinya, Ken Dedes. Dalam salah satu perjalanan atau
ketika berada di sebuah taman istana (sering disebut Taman Larangan),
terjadilah peristiwa yang mengubah segalanya. Saat Ken Dedes turun dari
keretanya atau ketika kainnya tersingkap oleh angin, Ken Arok secara tak
sengaja melihat bagian pribadi Ken Dedes, tepatnya pahanya, yang memancarkan
sinar atau cahaya lembut.
Bagi Ken Arok yang telah mendapat
banyak ajaran dari Lohgawe, atau mungkin Lohgawe sendiri yang memberitahunya
kemudian, tanda istimewa ini memiliki makna yang sangat dalam. Dalam
kepercayaan Jawa kuno, wanita yang memiliki ciri katuranggan seperti itu, yang
bagian rahasianya bersinar (wadon kang silité murub), ditakdirkan untuk
melahirkan raja-raja besar. Wanita tersebut dianggap sebagai Nareswari, pembawa
wahyu kekuasaan.
Penglihatan ini seketika membakar
ambisi Ken Arok yang memang sudah terpendam. Ia tidak lagi hanya melihat Ken
Dedes sebagai wanita cantik milik tuannya, tetapi sebagai kunci menuju
takdirnya sendiri untuk menjadi penguasa besar. Hasratnya untuk memiliki Ken Dedes
kini bukan hanya didorong oleh nafsu, tetapi oleh keyakinan bahwa melalui
wanita itulah ia bisa mencapai puncak kekuasaan dan mendirikan dinastinya
sendiri.
Peristiwa ini menjadi titik balik
krusial. Ken Arok mulai merencanakan siasat untuk menyingkirkan Tunggul Ametung
dan merebut Ken Dedes. Ia melihat Tunggul Ametung sebagai penghalang utama
menuju takdirnya. Pertemuan takdir di taman itu menyatukan tiga elemen kunci:
ambisi membara Ken Arok, pesona dan takdir Ken Dedes, serta kekuasaan Tunggul
Ametung yang kini menjadi target.
Sejak saat itu, setiap
gerak-gerik Ken Arok dipenuhi perhitungan. Ia semakin mendekatkan diri pada
Tunggul Ametung untuk mempelajari kelemahannya, sambil terus mencari cara untuk
mendapatkan Ken Dedes. Visi tentang Ken Dedes yang bersinar dan ramalan tentang
wanita pembawa wahyu kekuasaan terus membayanginya, memberinya keberanian dan
tekad untuk melakukan tindakan nekat demi mewujudkan ambisinya yang setinggi
langit.
Tekad Ken Arok untuk merebut Ken
Dedes dan kekuasaan Tunggul Ametung semakin membara. Ia sadar bahwa untuk
menyingkirkan seorang Akuwu yang berkuasa, ia memerlukan senjata yang tidak
hanya ampuh secara fisik, tetapi juga memiliki kekuatan magis atau tuah yang
bisa menjamin keberhasilan rencananya. Jalan pikirannya tertuju pada seorang
pandai besi termasyhur yang dikenal kesaktiannya dalam membuat senjata pusaka,
yaitu Empu Gandring yang tinggal di desa Lulumbang.
Ken Arok mendatangi Empu Gandring
dan memesan sebilah keris dengan kualitas terbaik. Namun, didorong oleh
ambisinya yang menggebu dan ketidaksabarannya untuk segera melancarkan aksinya,
ia memberikan tenggat waktu yang sangat singkat kepada sang Empu, menurut
Pararaton hanya lima bulan (beberapa versi menyebut lebih singkat lagi, bahkan
satu malam). Ia ingin keris itu selesai secepat mungkin agar rencananya bisa
segera dijalankan.
Empu Gandring, seorang ahli
pembuat keris yang memahami betul seluk-beluk penempaan logam dan ritual yang
menyertainya, merasa permintaan Ken Arok sangat tidak masuk akal. Membuat keris
pusaka yang sempurna membutuhkan waktu, ketelitian, kesabaran, dan berbagai
ritual khusus untuk mengisi tuah ke dalamnya. Ia mencoba menjelaskan hal ini
kepada Ken Arok, bahwa ketergesa-gesaan hanya akan menghasilkan karya yang
tidak sempurna dan bahkan bisa membawa petaka.
Namun, Ken Arok yang sudah
dibutakan oleh ambisi tidak mau mendengar nasihat Empu Gandring. Ketika waktu
yang ditentukan tiba, ia kembali mendatangi sang Empu. Ternyata, keris tersebut
belum sepenuhnya selesai, masih dalam tahap penyempurnaan akhir. Melihat hal
ini, Ken Arok murka bukan kepalang. Merasa dipermainkan dan dihambat
rencananya, ia kehilangan kendali.
Dalam puncak kemarahannya, Ken
Arok merebut keris yang belum jadi itu dari tangan Empu Gandring dan tanpa ragu
menikam sang pandai besi hingga tewas. Sebelum menghembuskan napas terakhirnya,
Empu Gandring yang sekarat mengucapkan kutukan yang mengerikan. Ia bersumpah
bahwa keris buatannya itu kelak akan memakan korban tujuh raja (atau tujuh
turunan), termasuk Ken Arok sendiri. Kutukan inilah yang kemudian membayangi
sejarah Singhasari dan Majapahit, menjadi legenda tentang keris haus darah yang
membawa malapetaka bagi para pemiliknya.
Berbekal keris Empu Gandring yang
baru saja memakan korban pertamanya dan kini dibayangi kutukan, Ken Arok
kembali ke Tumapel. Ia mulai menyusun rencana licik untuk membunuh Tunggul
Ametung tanpa menimbulkan kecurigaan pada dirinya. Ia membutuhkan kambing hitam,
seseorang yang bisa dituduh sebagai pelaku pembunuhan. Pilihan jatuh pada Kebo
Hijo, seorang pejabat atau pengawal lain di Tumapel yang dikenal suka pamer dan
dekat dengan Tunggul Ametung.
Ken Arok dengan cerdik
meminjamkan keris barunya yang indah dan tampak bertuah itu kepada Kebo Hijo.
Kebo Hijo, merasa bangga mendapat kepercayaan dan memegang senjata yang begitu
mengesankan, dengan senang hati membawanya ke mana-mana dan memamerkannya
kepada semua orang. Ia tidak sadar bahwa dirinya sedang dijadikan bagian dari
sebuah rencana jahat. Setelah memastikan banyak orang melihat Kebo Hijo membawa
keris tersebut, Ken Arok diam-diam mencurinya kembali pada malam hari.
Pada malam yang telah ditentukan,
ketika suasana istana Tumapel lengang dan Tunggul Ametung sedang tertidur lelap
di peraduannya, Ken Arok menyelinap masuk. Dengan menggunakan keris Empu
Gandring, ia menikam tuannya hingga tewas. Setelah memastikan Tunggul Ametung
tidak bernyawa, ia meninggalkan keris terkutuk itu di dekat jasad sang Akuwu, seolah-olah
keris itu milik si pembunuh yang tertinggal.
Keesokan harinya, gemparlah
seluruh Tumapel. Sang Akuwu ditemukan tewas dengan luka tikaman, dan keris yang
tergeletak di dekatnya adalah keris yang selama ini dipamerkan oleh Kebo Hijo.
Tuduhan pun langsung mengarah kepada Kebo Hijo. Tanpa bisa membela diri dan
dengan bukti yang seolah tak terbantahkan, Kebo Hijo ditangkap dan dihukum mati
atas kejahatan yang tidak dilakukannya. Ken Arok, dengan sandiwara kesedihan
dan kesetiaan, justru tampil sebagai sosok yang sigap mengambil alih kendali
keamanan.
Setelah Tunggul Ametung tiada dan
Kebo Hijo dieksekusi, jalan bagi Ken Arok terbuka lebar. Ia kemudian mengambil
alih jabatan Akuwu Tumapel. Tidak berhenti di situ, ia pun menikahi Ken Dedes,
janda Tunggul Ametung yang saat itu tengah mengandung anak dari almarhum
suaminya (kelak bernama Anusapati). Dengan demikian, Ken Arok berhasil mencapai
dua tujuan utamanya: merebut kekuasaan di Tumapel dan memiliki Ken Dedes,
wanita yang diyakininya sebagai pembawa wahyu kerajaan. Nama Tumapel sendiri,
konon, bisa berarti tempat bunga Tumpa atau terkait dengan lokasi geografisnya.
Setelah berhasil menjadi Akuwu
Tumapel dan memperistri Ken Dedes, Ken Arok tidak lantas berpuas diri. Ia sadar
bahwa posisinya masih belum sepenuhnya kokoh dan Tumapel hanyalah sebuah daerah
bawahan Kerajaan Kediri. Langkah selanjutnya adalah mengkonsolidasikan
kekuasaannya di Tumapel dan membangun basis kekuatan yang cukup untuk menantang
Kediri. Ia mulai menjalankan pemerintahan dengan gaya kepemimpinan yang
karismatik namun juga tegas.
Ken Arok berusaha merebut hati
rakyat dan para elite Tumapel. Ia dikenal sebagai pemimpin yang dermawan kepada
para pengikutnya, pandai berbicara, dan mampu menunjukkan wibawa. Di sisi lain,
ia juga tidak segan menyingkirkan siapa saja yang dianggap sebagai ancaman atau
penghalang bagi ambisinya. Ia membangun pasukan yang kuat dan loyal, serta
menjalin hubungan baik dengan tokoh-tokoh penting di wilayahnya.
Pernikahannya dengan Ken Dedes
memberinya legitimasi tambahan, karena Ken Dedes berasal dari keluarga pendeta
yang dihormati dan dianggap sebagai wanita pembawa berkah kekuasaan. Kelahiran
anak-anaknya, baik dari Ken Dedes (seperti Mahisa Wongateleng) maupun dari selirnya
Ken Umang (seperti Tohjaya), semakin memperkuat posisinya sebagai pendiri
dinasti baru. Meskipun demikian, kehadiran Anusapati, anak tirinya dari Tunggul
Ametung, menjadi duri dalam daging yang kelak akan memainkan peran penting
dalam napak tilas kutukan Empu Gandring.
Selama masa pemerintahannya
sebagai Akuwu, Tumapel berkembang pesat menjadi daerah yang kuat dan makmur.
Kekuatan militer dan pengaruh politik Ken Arok semakin diperhitungkan. Ia mulai
menunjukkan tanda-tanda pembangkangan terhadap Kediri, mungkin dengan
mengurangi upeti atau tidak terlalu patuh pada perintah Raja Kertajaya. Ambisi
Ken Arok jelas tidak hanya berhenti di Tumapel; ia mengincar takhta seluruh
Jawa Timur.
Langkah-langkah konsolidasi ini
merupakan persiapan matang sebelum ia mengambil langkah paling berani:
menantang hegemoni Kerajaan Kediri yang saat itu dipimpin oleh Raja Kertajaya.
Ken Arok dengan sabar menunggu momen yang tepat, sambil terus memperkuat basis
kekuasaannya di Tumapel, baik secara militer, politik, maupun dengan membangun
citra dirinya sebagai pemimpin yang layak menggantikan dinasti Kediri.
Kesempatan emas bagi Ken Arok
untuk menantang Kediri akhirnya tiba. Raja Kertajaya dari Kediri, yang juga
dikenal dengan gelar Dandang Gendis, membuat kebijakan yang sangat tidak
populer dan menyinggung kalangan agamawan. Menurut Pararaton, Kertajaya
menyatakan dirinya setara dengan dewa dan menuntut para Brahmana (pendeta
Hindu) dan Bhiksu (pendeta Buddha) untuk menyembahnya. Tuntutan ini dianggap
sebagai penghinaan besar terhadap ajaran agama dan kedudukan para pendeta.
Para Brahmana dan Bhiksu yang
menolak tuntutan Kertajaya merasa terancam. Mereka memutuskan untuk
meninggalkan ibu kota Kediri, Daha, dan mencari perlindungan ke Tumapel. Mereka
melihat Ken Arok sebagai sosok pemimpin yang kuat, berani, dan potensial untuk
melawan Kertajaya. Kedatangan para pemuka agama ini menjadi berkah bagi Ken
Arok, karena dukungan mereka memberikan legitimasi religius dan politik yang
sangat dibutuhkannya untuk melawan Kediri. Para Brahmana bahkan menahbiskan Ken
Arok sebagai titisan Dewa Wisnu.
Dengan dukungan penuh dari para
Brahmana dan kekuatan militer Tumapel yang telah dipersiapkan, Ken Arok merasa
inilah saatnya untuk memberontak secara terbuka. Ia memproklamirkan Tumapel
sebagai kerajaan merdeka yang lepas dari Kediri. Konflik antara Tumapel dan
Kediri pun tak terhindarkan. Puncak dari konflik ini adalah pertempuran besar
yang terjadi di Ganter (atau Genter) pada tahun 1222 Masehi.
Pertempuran Ganter menjadi
pertarungan hidup mati antara kekuatan lama yang mulai rapuh (Kediri) dan
kekuatan baru yang sedang naik daun (Tumapel). Pasukan Ken Arok, yang didukung
semangat perlawanan terhadap Kertajaya dan mungkin juga keyakinan akan takdir pemimpin
mereka, bertempur dengan gagah berani. Di sisi lain, pasukan Kediri mungkin
mengalami demoralisasi akibat kebijakan raja mereka yang kontroversial.
Hasil pertempuran ini adalah
kemenangan mutlak bagi Ken Arok dan pasukan Tumapel. Pasukan Kediri hancur
lebur, dan Raja Kertajaya dikabarkan tewas atau melarikan diri dan kehilangan
kekuasaannya. Kemenangan di Ganter menandai berakhirnya riwayat Kerajaan Kediri
sebagai kekuatan dominan di Jawa Timur dan membuka jalan bagi Ken Arok untuk
menjadi raja tertinggi di wilayah tersebut. Ambisi Ken Arok selangkah lagi
mencapai puncaknya.
Setelah menaklukkan Kediri dalam
Pertempuran Ganter, Ken Arok menjadi penguasa tunggal atas sebagian besar
wilayah Jawa Timur. Ia kemudian memproklamirkan berdirinya sebuah kerajaan baru
dengan pusat pemerintahan di Kutaraja, yang kemudian lebih dikenal dengan nama
Singhasari. Nama "Singhasari" sering ditafsirkan sebagai "Sari
atau Inti dari Singa" atau bisa juga "Singa yang Tertidur"
(Singa = Raja/Kekuatan, Sari = Tidur), melambangkan kekuatan besar yang
bangkit. Ken Arok sendiri mengambil gelar kebesaran Sri Ranggah Rajasa Sang
Amurwabhumi, menandai dimulainya Wangsa Rajasa.
Sebagai raja pertama Singhasari,
Ken Arok memerintah dengan tangan besi namun juga berusaha membangun
kerajaannya. Ia menyatukan wilayah bekas Kediri dan Tumapel di bawah panji
Singhasari. Masa pemerintahannya, meskipun relatif singkat (sekitar 5 tahun
menurut Pararaton, atau lebih lama menurut interpretasi lain, sekitar 1222-1227
M atau hingga 1247 M), menjadi fondasi bagi kebesaran Singhasari di kemudian
hari. Ia berhasil membangun sebuah entitas politik baru yang kuat di Jawa
Timur.
Namun, di balik kegemilangan
pendirian Singhasari, bayang-bayang gelap kutukan Empu Gandring terus
mengintai. Anusapati, anak Ken Dedes dari Tunggul Ametung, tumbuh dewasa di
lingkungan istana. Suatu hari, ia mengetahui kebenaran tentang kematian ayah
kandungnya dari ibunya, Ken Dedes. Ia juga mengetahui bahwa keris yang
digunakan untuk membunuh ayahnya adalah keris Empu Gandring yang sama, yang
kini disimpan oleh Ken Arok.
Dendam membara di hati Anusapati.
Dengan bantuan seorang pengawal istana dari Desa Batil, ia berhasil mencuri
keris Empu Gandring. Pada saat yang tepat, Anusapati menggunakan pengawal
tersebut untuk membunuh Ken Arok dengan keris terkutuk itu. Setelah Ken Arok
tewas, Anusapati kemudian membunuh pengawal dari Batil itu untuk menghilangkan
jejak, persis seperti yang pernah dilakukan Ken Arok pada Kebo Hijo. Kutukan Empu
Gandring mulai memakan korbannya, dan ironisnya, Ken Arok tewas oleh senjata
yang sama yang ia gunakan untuk meraih kekuasaan.
Kematian Ken Arok mengawali
serangkaian pembunuhan dan perebutan takhta berdarah di kalangan keturunannya,
sebagaimana telah diramalkan oleh Empu Gandring. Anusapati naik takhta
menggantikan ayah tirinya, namun ia pun kelak akan tewas dibunuh oleh Tohjaya
(anak Ken Arok dari Ken Umang) dengan menggunakan keris yang sama. Kisah Ken
Arok dan Ken Dedes, yang dimulai dengan ambisi dan cinta terlarang, berakhir
dengan pertumpahan darah dan menjadi pengingat abadi tentang roda nasib dan
konsekuensi dari perbuatan manusia.
Demikianlah kisah ini
diceritakan, segala kebenaran detailnya kita kembalikan kepada Allah, tuhan
pemilik kisah kehidupan.
.png)
Komentar
Posting Komentar