Kisah Legenda Kyai Ageng Gribig

 


Alkisah, di hamparan tanah Jawa yang subur dan kaya akan sejarah, hiduplah seorang tokoh ulama yang luhur budi pekertinya dan dalam ilmunya. Beliau dikenal dengan nama Kyai Ageng Gribig, seorang waliyullah yang kisah hidupnya terukir abadi dalam ingatan masyarakat, terutama di Jatinom, Klaten, dan Malang. Kisahnya adalah perpaduan antara jejak sejarah para penyebar Islam dan keajaiban yang dianugerahkan Allah kepada hamba-Nya yang terpilih.

Syahdan, Kyai Ageng Gribig bukanlah insan biasa. Beliau diyakini merupakan keturunan langsung dari Prabu Brawijaya kelima, raja terakhir dari Kerajaan Majapahit yang agung. Garis keturunan bangsawan ini mengalirkan darah kepemimpinan dalam dirinya, namun hatinya lebih terpaut pada jalan spiritual dan pengabdian kepada Sang Pencipta. Sejak belia, beliau telah menunjukkan minat yang mendalam pada ajaran suci Islam, yang pada masa itu sedang tumbuh pesat di tanah Jawa.

Perpaduan antara darah biru Majapahit dan semangat keislaman yang kental membentuk pribadinya menjadi sosok yang unik. Beliau tidak silau dengan kemegahan duniawi yang seharusnya menjadi haknya sebagai seorang keturunan raja. Sebaliknya, beliau memilih jalan kesederhanaan, menjauhkan diri dari hiruk pikuk politik dan kekuasaan untuk menimba ilmu agama dengan tekun. Perjalanan hidupnya adalah bukti bahwa kemuliaan sejati tidak terletak pada tahta, melainkan pada ketakwaan dan manfaat yang diberikan kepada sesama.

Nama kecilnya, yang sering disebut dalam beberapa riwayat lisan, adalah Djoko Gribig. Nama ini mencerminkan masa mudanya yang penuh semangat dalam mencari jati diri dan kebenaran hakiki. Beliau berkelana dari satu guru ke guru lainnya, dari satu padepokan ke padepokan lainnya, menyerap setiap butir ilmu laksana tanah kering yang merindukan hujan. Setiap langkahnya didasari oleh keinginan tulus untuk memahami ajaran Islam secara mendalam agar kelak dapat menyebarkannya dengan penuh hikmah.

Lingkungan tempat beliau tumbuh, di tengah transisi besar dari era Hindu Buddha ke era Islam di Jawa, sangat mempengaruhi cara pandangnya. Beliau menyaksikan bagaimana para Wali Songo menyebarkan Islam dengan cara yang damai, menghargai budaya lokal, dan mengedepankan kebijaksanaan. Hal ini menginspirasi beliau untuk meneladani metode dakwah yang santun dan merangkul, sebuah pendekatan yang kelak menjadi ciri khas dalam setiap ajaran dan tindakannya.

Dengan bekal silsilah yang luhur dan hati yang tulus, Djoko Gribig memulai perjalanan spiritualnya. Beliau sadar bahwa garis keturunannya adalah sebuah amanah, bukan sebuah keistimewaan. Amanah untuk menjadi jembatan antara masa lalu yang agung dan masa depan yang tercerahkan oleh cahaya Islam, serta untuk membimbing masyarakat menuju jalan kebaikan yang diridoi oleh Allah.

 

Dorongan jiwa untuk menyempurnakan rukun Islam kelima membawa Kyai Ageng Gribig pada sebuah perjalanan besar yang penuh tantangan, yakni menunaikan ibadah haji ke Baitullah di Mekkah. Pada zaman itu, sekitar abad ke-17 Masehi, perjalanan menuju Tanah Suci adalah sebuah ujian berat bagi iman dan fisik. Seseorang harus mengarungi samudra luas dengan kapal kayu sederhana, menghadapi amukan badai, terik matahari, dan ancaman perompak yang mengintai di lautan.

Namun, tekad Kyai Ageng Gribig sudah bulat laksana bulan purnama. Beliau mempersiapkan segalanya dengan matang, bukan hanya bekal materi, tetapi yang lebih utama adalah bekal spiritual. Beliau memantapkan hati, menyerahkan seluruh jiwa dan raganya kepada perlindungan Allah. Perjalanan ini bukanlah sekadar perjalanan fisik, melainkan sebuah pengembaraan batin untuk mendekatkan diri sedekat-dekatnya kepada Sang Khalik, membuktikan kecintaannya yang tiada tara.

Selama berbulan-bulan di atas kapal, beliau tidak pernah lalai dalam beribadah. Setiap debur ombak dan tiupan angin menjadi pengingat akan kebesaran Allah. Beliau menggunakan waktu luangnya untuk berzikir, merenung, dan berbagi ilmu dengan sesama penumpang. Sikapnya yang tenang, santun, dan penuh wibawa membuatnya dihormati oleh semua orang di kapal, menjadi penyejuk di tengah kerasnya perjalanan samudra.

Setibanya di Tanah Suci, Kyai Ageng Gribig menunaikan seluruh rangkaian ibadah haji dengan penuh kekhusyukan. Beliau larut dalam lautan manusia yang datang dari berbagai penjuru dunia, semua bersatu dalam panggilan tauhid. Di hadapan Ka'bah, beliau menumpahkan segala kerinduan dan doa, memohon ampunan serta petunjuk agar kelak dapat menjadi penyebar risalah yang amanah di kampung halamannya.

Selain beribadah, beliau juga memanfaatkan waktunya di Mekkah dan Madinah untuk memperdalam ilmu agama. Beliau bertemu dan berdiskusi dengan banyak ulama besar dari berbagai belahan dunia Islam. Pertukaran ilmu ini semakin memperkaya wawasan keislamannya, memberinya pemahaman yang lebih luas dan mendalam tentang syariat, tasawuf, dan berbagai cabang ilmu Islam lainnya, yang akan menjadi bekal berharga untuk dakwahnya di Tanah Jawa.

 

Di tengah khusyuknya beribadah di Mekkah, sebuah peristiwa luar biasa terjadi, yang menunjukkan betapa tingginya derajat beliau di sisi Allah. Konon, para santri dan pengikutnya di Jatinom, Jawa, merasakan kerinduan yang mendalam kepada sang guru. Mereka sangat berharap bisa mendapatkan buah tangan atau oleh-oleh dari perjalanan suci beliau, sebagai pengobat rindu dan tanda berkah. Keinginan tulus mereka ini entah bagaimana dapat dirasakan oleh Kyai Ageng Gribig nun jauh di seberang lautan.

Dengan kepekaan batinnya, Kyai Ageng Gribig mengetahui isi hati para santrinya. Beliau kemudian berdoa kepada Allah, memohon agar dapat mengirimkan sesuatu untuk mereka. Saat itu, hari Jumat, beliau baru saja usai melaksanakan salat di Masjidil Haram. Tiba-tiba, di hadapannya muncul sebuah wadah besar yang terbuat dari anyaman bambu. Wadah inilah yang dalam bahasa Jawa dikenal dengan sebutan gribig, sebuah keranjang besar yang biasa digunakan untuk membawa barang dalam jumlah banyak.

Tanpa ragu sedikit pun, beliau segera mengisi gribig tersebut dengan berbagai macam oleh-oleh khas Tanah Arab. Di dalamnya terdapat beberapa potong kue, buah kurma, dan yang paling istimewa adalah air zamzam yang penuh berkah. Setelah wadah itu terisi, beliau menutupnya kembali dan dengan izin Allah, keajaiban pun terjadi. Wadah gribig itu lenyap dari hadapannya dalam sekejap mata, dikirimkan melintasi jarak ribuan kilometer menuju Tanah Jawa.

Secara ajaib, gribig tersebut tiba di Jatinom pada hari yang sama, tepat di tengah-tengah para santri yang sedang berkumpul. Mereka terkejut sekaligus takjub melihat kedatangan wadah besar yang tidak diketahui asalnya. Ketika dibuka, mereka menemukan oleh-oleh yang dikirimkan oleh guru mereka. Peristiwa ini menjadi bukti nyata atas karomah atau kemuliaan yang dianugerahkan Allah kepada Kyai Ageng Gribig, semakin mengukuhkan keyakinan para pengikutnya akan kewalian beliau.

Dari peristiwa inilah nama beliau yang paling populer berasal. Masyarakat mulai memanggilnya dengan sebutan Kyai Ageng Gribig, merujuk pada keajaiban wadah gribig yang datang dari Mekkah. Nama ini melekat erat dan menjadi lebih dikenal daripada nama aslinya. Nama Gribig menjadi simbol dari karomah beliau, sebuah pengingat abadi akan hubungan batin yang kuat antara seorang guru dan muridnya, serta bukti kekuasaan Allah yang tiada batas.

 

Setelah menyelesaikan ibadah haji dan menimba ilmu di Tanah Suci, Kyai Ageng Gribig kembali ke Tanah Jawa. Kepulangannya disambut dengan suka cita yang luar biasa oleh para pengikut dan masyarakat luas. Berita tentang karomahnya dengan wadah gribig telah tersebar dari mulut ke mulut, membuat namanya semakin harum dan dihormati. Beliau kini bukan hanya seorang bangsawan atau pencari ilmu, tetapi telah diakui sebagai seorang Waliyullah, kekasih Allah.

Beliau kemudian memutuskan untuk menetap dan memusatkan dakwahnya di sebuah daerah yang bernama Jatinom, di wilayah Klaten. Di sanalah beliau mendirikan sebuah padepokan atau pesantren yang menjadi pusat pengajaran Islam. Padepokan ini dengan cepat menjadi mercusuar ilmu bagi masyarakat dari berbagai penjuru. Orang-orang berdatangan, baik dari kalangan rakyat jelata maupun bangsawan, untuk belajar langsung dari kebijaksanaan sang kyai.

Metode dakwah Kyai Ageng Gribig sangatlah sejuk dan menenangkan. Beliau meneladani cara dakwah para Wali Songo yang mengedepankan pendekatan budaya. Beliau tidak menentang tradisi lokal secara frontal, melainkan memasukkan nilai-nilai Islam ke dalamnya secara perlahan dan bijaksana. Beliau mengajarkan Islam sebagai agama yang membawa rahmat, kedamaian, dan kebahagiaan, bukan sebagai ajaran yang kaku dan menakutkan.

Keseharian beliau di Jatinom diisi dengan mengajar, membimbing umat, dan bertani. Beliau menunjukkan bahwa menjadi seorang ulama tidak berarti harus menjauhkan diri dari kehidupan duniawi. Sebaliknya, beliau mengajarkan pentingnya bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidup, sambil senantiasa menjaga hati agar tetap terhubung dengan Allah. Kharisma dan teladan hidupnya membuat ajaran Islam mudah diterima dan meresap ke dalam sanubari masyarakat Jatinom dan sekitarnya.

Pengaruh Kyai Ageng Gribig terus meluas, menjadikan Jatinom sebagai salah satu pusat penyebaran Islam yang penting di wilayah selatan Jawa Tengah. Padepokannya melahirkan banyak kader-kader dakwah yang kemudian menyebar ke berbagai daerah, melanjutkan perjuangannya. Jatinom pun menjadi tanah yang berkah, diberkahi oleh jejak langkah dan doa dari seorang wali yang agung.

 

Ketenaran dan kebijaksanaan Kyai Ageng Gribig akhirnya sampai ke telinga penguasa terbesar tanah Jawa pada masa itu, Sultan Agung Hanyokrokusumo dari Kesultanan Mataram Islam. Sultan Agung, yang memerintah sekitar tahun 1613 hingga 1645 Masehi, adalah seorang raja yang sangat religius dan memiliki perhatian besar terhadap para ulama. Beliau sadar bahwa kekuatan sebuah kerajaan tidak hanya terletak pada kekuatan militer, tetapi juga pada fondasi spiritual yang kokoh.

Mendengar tentang kedalaman ilmu dan keluhuran budi Kyai Ageng Gribig, Sultan Agung merasa perlu untuk menemuinya. Sang Sultan kemudian mengundang Kyai Ageng Gribig ke keraton Mataram. Pertemuan antara dua tokoh besar ini, seorang raja adil dan seorang ulama bijaksana, menjadi momen penting dalam sejarah. Sultan Agung sangat terkesan dengan wawasan dan nasihat-nasihat Kyai Ageng Gribig.

Sejak saat itu, terjalinlah hubungan yang sangat erat antara keduanya. Kyai Ageng Gribig diangkat menjadi salah satu penasihat spiritual utama Sultan Agung. Beliau kerap memberikan masukan-masukan berharga kepada Sultan, tidak hanya dalam urusan keagamaan, tetapi juga dalam tata kelola pemerintahan yang berlandaskan keadilan dan kesejahteraan rakyat. Nasihatnya selalu didengar dan dipertimbangkan oleh sang raja.

Keterlibatan Kyai Ageng Gribig dalam lingkaran istana memperkuat posisi Islam sebagai pilar utama Kesultanan Mataram. Beliau membantu Sultan Agung dalam menyelaraskan antara hukum negara atau adat dengan hukum syariat Islam. Salah satu hasil monumental dari kerjasama ini adalah penyusunan Kalender Jawa Islam, yang memadukan sistem penanggalan Saka dari Hindu dengan sistem penanggalan Hijriyah dari Islam, sebuah sistem yang masih digunakan hingga kini.

Meskipun telah menjadi orang kepercayaan raja dan berada di pusat kekuasaan, Kyai Ageng Gribig tetap menjaga kesederhanaan dan kerendahan hatinya. Beliau tidak pernah memanfaatkan posisinya untuk kepentingan pribadi. Fokus utamanya tetap pada dakwah dan pendidikan umat. Hubungannya dengan Sultan Agung adalah bukti sinergi ideal antara umara atau pemimpin pemerintahan dan ulama atau pemimpin spiritual dalam membangun sebuah peradaban yang agung.

 

Warisan Kyai Ageng Gribig yang paling hidup dan dapat dirasakan hingga hari ini adalah tradisi Yaqowiyu, yang berpusat pada sebuah kue sederhana bernama apem. Kisah ini berawal dari oleh-oleh yang beliau bawa sepulangnya dari Mekkah. Kue yang beliau bagikan jumlahnya tentu sangat terbatas dan tidak cukup untuk dibagikan kepada semua orang yang menginginkannya. Melihat hal ini, Kyai Ageng Gribig pun menunjukkan kearifannya.

Untuk mengatasi kekecewaan sebagian warga yang tidak kebagian, beliau mengajarkan kepada mereka cara membuat kue serupa dengan bahan-bahan lokal yang mudah didapat, seperti tepung beras dan santan. Kue inilah yang kemudian dikenal sebagai kue apem. Namun, nama apem ini memiliki makna filosofis yang sangat dalam. Diyakini, nama tersebut berasal dari kata dalam Bahasa Arab, affuwun atau afwan, yang berarti ampunan atau maaf.

Dengan demikian, Kyai Ageng Gribig mengajarkan bahwa kue apem bukan sekadar makanan, melainkan simbol permohonan ampun kepada Allah atas segala dosa dan kesalahan. Selain itu, berbagi kue apem juga menjadi lambang permintaan maaf dan saling memaafkan antar sesama manusia, untuk mempererat tali persaudaraan dan membersihkan hati dari dendam serta prasangka buruk. Sebuah ajaran luhur yang dibalut dalam tradisi kuliner yang sederhana.

Tradisi berbagi apem ini kemudian dilembagakan menjadi sebuah perayaan besar yang dilaksanakan setiap tahun. Perayaan ini diadakan pada hari Jumat di bulan Safar dalam penanggalan Jawa. Nama perayaan ini adalah Yaqowiyu, yang diambil dari penggalan akhir doa yang sering dipanjatkan oleh Kyai Ageng Gribig, yang berbunyi Yaa Qowiyyu, Yaa Aziz, Qowwina wal muslimiin, yang artinya Wahai Zat Yang Maha Kuat, Wahai Zat Yang Maha Perkasa, berilah kekuatan kepada kami dan kaum muslimin.

Hingga saat ini, tradisi Yaqowiyu atau yang lebih dikenal sebagai Sebaran Apem masih dilestarikan dengan meriah di Jatinom, Klaten. Jutaan kue apem dibuat oleh masyarakat dan kemudian disebarkan dari sebuah menara di dekat kompleks makam Kyai Ageng Gribig. Ribuan orang berebut untuk mendapatkan apem tersebut, karena diyakini membawa berkah. Tradisi ini adalah warisan hidup yang terus mengingatkan umat akan ajaran luhur sang wali tentang ampunan dan persatuan.

 

Misi dakwah Kyai Ageng Gribig tidak berhenti di Jatinom dan lingkungan keraton Mataram saja. Jiwa pendakwahnya terus bergelora, mendorongnya untuk menyebarkan cahaya Islam ke wilayah-wilayah lain yang masih membutuhkan bimbingan. Atas dorongan hati dan mungkin juga atas perintah dari Sultan Agung, beliau melakukan perjalanan dakwah menuju ke arah timur, ke sebuah wilayah yang kini dikenal sebagai Kota Malang di Jawa Timur.

Perjalanan ke timur ini bukanlah tanpa rintangan. Wilayah tersebut pada masa itu masih kental dengan berbagai kepercayaan lama dan pengaruh sisa-sisa kebudayaan pra Islam. Namun, dengan bekal ilmu, hikmah, dan karomah yang beliau miliki, Kyai Ageng Gribig mampu memasuki komunitas baru ini dengan cara yang damai. Beliau tidak datang sebagai penakluk, melainkan sebagai seorang guru dan bapak yang penuh kasih sayang.

Di Malang, beliau membuka sebuah perkampungan baru dan mendirikan tempat ibadah. Daerah tempat beliau menetap ini hingga sekarang dikenal dengan nama Gribig, terletak di Kecamatan Kedungkandang, Kota Malang. Penamaan kampung ini jelas merupakan penghormatan dan pengingat abadi akan kehadiran sang wali agung di wilayah tersebut. Kehadirannya menjadi titik awal perkembangan Islam yang lebih pesat di kawasan Malang dan sekitarnya.

Sama seperti di Jatinom, metode dakwahnya di Malang juga sangat santun dan adaptif. Beliau mendekati masyarakat melalui kesenian, pertanian, dan pengobatan. Beliau memahami budaya dan cara berpikir masyarakat setempat, sehingga ajaran Islam dapat disampaikan dengan bahasa yang mudah mereka mengerti dan terima. Perlahan tapi pasti, banyak penduduk yang bersimpati dan akhirnya dengan tulus memeluk ajaran Islam.

Beliau menghabiskan sisa usianya di Malang, terus membimbing umat dengan tanpa lelah. Kehadirannya di Malang melengkapi jejak dakwahnya yang membentang dari pusat kekuasaan Mataram hingga ke ujung timur wilayah kekuasaannya. Kyai Ageng Gribig telah berhasil menanamkan benih-benih keislaman di dua tempat yang berbeda, Jatinom dan Malang, yang keduanya kini menjadi tempat di mana namanya selalu disebut dengan penuh hormat dan cinta.

 

Setelah mengabdikan seluruh hidupnya untuk menyebarkan agama Allah dan membimbing umat manusia, tiba saatnya bagi Kyai Ageng Gribig untuk kembali ke haribaan Sang Pencipta. Beliau wafat dalam ketenangan dan diiringi oleh duka mendalam dari para pengikutnya serta masyarakat luas. Sesuai dengan tempat tinggalnya di masa tua, jenazah beliau dimakamkan di Gribig, Malang, di sebuah kompleks pemakaman yang kini menjadi salah satu situs religi terpenting di kota tersebut.

Wafatnya Kyai Ageng Gribig tidak berarti akhir dari pengaruhnya. Justru, warisannya tumbuh semakin kuat seiring berjalannya waktu. Makam beliau di Gribig, Malang, tidak pernah sepi dari para peziarah yang datang dari berbagai daerah. Mereka datang untuk berdoa, mengenang jasa-jasanya, dan mencari berkah dari jejak kesalehan yang beliau tinggalkan. Makam ini menjadi saksi bisu atas keagungan seorang hamba yang hidupnya penuh dengan pengabdian.

Warisan terbesar beliau tentunya bukanlah makam fisik, melainkan ajaran-ajaran luhur yang terus hidup dalam sanubari umat. Ajaran tentang Islam yang ramah, pentingnya persatuan, simbolisme kue apem sebagai permohonan ampun, dan sinergi antara ulama dan umara. Tradisi Yaqowiyu di Jatinom adalah bukti paling nyata dari warisan budaya-religi yang beliau ciptakan, sebuah perayaan yang terus menggemakan namanya setiap tahun.

Kisah Kyai Ageng Gribig adalah cerminan ideal seorang tokoh dalam sejarah Islam Jawa. Beliau memiliki silsilah luhur dari Majapahit, kedalaman ilmu agama yang diperoleh hingga ke Tanah Suci, karomah yang membuktikan kewaliannya, kedekatan dengan pusat kekuasaan Mataram, serta jejak dakwah nyata yang dirasakan langsung oleh rakyat jelata. Sosoknya menjadi penghubung antara era lama dan baru, antara tradisi dan syariat.

Hingga kini, nama Kyai Ageng Gribig tetap abadi. Beliau dikenang sebagai seorang guru agung, seorang waliyullah, seorang penasihat raja, dan seorang bapak bagi masyarakatnya. Kisah hidupnya terus diceritakan dari generasi ke generasi, menjadi sumber inspirasi tentang bagaimana menjalani hidup yang penuh makna, yakni hidup yang sepenuhnya didedikasikan untuk mencari Rido Allah dengan cara menebar kebaikan dan manfaat bagi seluruh alam.

Demikianlah kisah ini diceritakan, segala kebenaran detailnya kita kembalikan kepada Allah, tuhan pemilik kisah kehidupan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Legenda Putri Gunung Ledang, Cerita Rakyat Malaka

Kisah Legenda Puteri Junjung Buih, Cerita Rakyat Kalimantan

Kisah Gunung Sumbing: Sejarah, Legenda dan Cerita Mistis