AKHLAK YANG MULIA (AKHLAKUL KARIMAH), CIRI MAKRIFATULLAH
Salah satu ciri makrifatullah
pada seorang hamba adalah manifestasi perilaku luhur dalam kehidupannya
sehari-hari. Makrifatullah, atau pengenalan hakiki kepada Allah, bukanlah
sekadar pengetahuan intelektual, melainkan sebuah pengalaman batiniah yang
meresap ke dalam jiwa dan mengubah esensi seorang insan. Pengenalan ini akan
terefleksi secara langsung pada setiap gerak-gerik dan ucapannya. Ia akan
memiliki akhlak yang agung, meneladani sifat-sifat Rasulullah, menjadi pribadi
yang sangat pemurah, pemaaf, rendah hati, sabar, dan penuh kasih sayang kepada
seluruh makhluk sebagai cerminan dari sifat-sifat Ilahi yang ia "saksikan".
Makrifatullah bukanlah
pengetahuan yang didapat semata-mata dari buku atau hafalan dalil, melainkan
sebuah anugerah cahaya yang dipancarkan ke dalam hati seorang hamba yang
bersih. Ia adalah tingkatan keyakinan kuat yang dicapai melalui penyerahan diri
secara total. Proses untuk mencapainya adalah melalui tazkiyatun nafs atau
penyucian jiwa, yaitu sebuah perjuangan tanpa henti membersihkan hati dari
penyakit-penyakit batin seperti kesombongan, iri hati, dan cinta dunia yang
berlebihan. Tasawuf mengajarkan bahwa jalan menuju pengenalan sejati ini adalah
dengan membersihkan cermin hati agar mampu menerima pantulan cahaya Ilahi.
Seorang hamba yang meniti jalan
ini akan bersungguh-sungguh dalam ibadahnya, bukan lagi karena mengharap surga
atau takut akan neraka, melainkan karena dorongan cinta dan kerinduan untuk
mengenal Sang Pencipta. Seluruh amalannya, baik shalat, zikir, maupun sedekah,
menjadi sarana untuk mendekatkan diri dan menjernihkan jiwa. Hatinya menjadi
hidup dan sadar melalui zikrullah yang terus menerus, mempersiapkan wadah batin
untuk menerima rahasia-rahasia ketuhanan. Menurut Imam Al-Ghazali, seseorang
tidak akan mampu mencapai derajat makrifat sebelum ia sadar serta mengenal
dirinya sendiri terlebih dahulu.
Pengenalan terhadap diri sendiri
ini akan membuka tabir pengenalan kepada Tuhannya. Ketika seorang insan
menyadari kelemahan, kefanaan, dan kebutuhannya yang mutlak kepada Sang Khalik,
saat itulah ia mulai menangkap secercah keagungan, kekekalan, dan kemandirian Allah.
Pengenalan ini melahirkan rasa takut yang diiringi harapan (khauf dan raja'),
sebuah rasa takut kehilangan kedekatan denganNya dan harapan untuk senantiasa
berada dalam naungan rahmatNya.
Puncak dari makrifat ini adalah ketika
seorang hamba "menyaksikan" Allah dengan mata hatinya (bashirah).
Bukan melihat wujud fisik, melainkan merasakan kehadiranNya dalam setiap atom
ciptaan, dalam setiap helaan napas, dan dalam setiap detak jantung. Dunia dan
seisinya menjadi tanda-tanda kebesaranNya, dan hatinya tidak lagi melihat
kepada selain Dia. Inilah buah termanis dari penyucian jiwa, sebuah pengenalan
yang melahirkan ketenangan dan kebahagiaan hakiki.
Akhlak bukanlah sekadar etika
atau sopan santun yang dibuat-buat, melainkan pancaran dari kondisi batin
seseorang. Para ulama sufi menegaskan bahwa amalan lahiriah adalah cermin dari
keadaan batiniah. Jika batinnya bersih, dipenuhi dengan cahaya makrifat, maka
secara otomatis perilaku lahiriahnya akan menjadi mulia dan indah. Sebaliknya,
jika batinnya keruh dan gelap, maka perilakunya akan cenderung tercela.
Keterkaitan antara akhlak dan tasawuf sangatlah erat, di mana tasawuf berfokus
pada penyucian hati untuk mencapai akhlak mulia.
Seorang yang telah mencapai
tingkatan makrifat tidak perlu lagi bersusah payah untuk berakhlak baik.
Perilaku mulia seperti kedermawanan, kesabaran, dan kasih sayang mengalir
begitu saja dari dalam dirinya, tanpa paksaan atau pertimbangan untung rugi.
Imam Al-Ghazali mendefinisikan akhlak sebagai sifat yang tertanam dalam jiwa,
yang darinya timbul perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran. Ini
terjadi karena hatinya telah dipenuhi oleh "penyaksian" terhadap
sifat-sifat kesempurnaan Allah, sehingga ia terdorong untuk meneladaninya.
Syekh M Nawawi Banten
mengibaratkan bahwa gerakan ketaatan (ibadah dan akhlak mulia) adalah bukti
adanya makrifat, sebagaimana gerakan tubuh adalah bukti adanya kehidupan.
Semakin banyak dan berkualitas ketaatan seorang hamba, maka itu menunjukkan
semakin terang cahaya makrifat dalam hatinya. Ketaatan ini tidak hanya terbatas
pada ibadah ritual seperti shalat dan puasa, tetapi meluas ke seluruh aspek
kehidupan, termasuk dalam berinteraksi dengan sesama manusia dan makhluk
lainnya.
Dengan demikian, akhlakul karimah
menjadi bukti paling otentik dari makrifatullah. Seseorang tidak bisa mengaku
mengenal Allah sementara perilakunya masih menyakiti sesama, hatinya masih
menyimpan dengki, atau lisannya masih gemar mencela. Cahaya pengenalan akan
Tuhannya secara niscaya akan membakar habis sifat-sifat buruk dan menggantinya
dengan keutamaan-keutamaan, menjadikan dirinya sebagai perwujudan rahmat bagi
semesta alam.
Rasulullah Muhammad adalah
manifestasi paripurna dari akhlak yang mulia. Beliau diutus bukan hanya untuk
menyampaikan risalah, tetapi untuk menyempurnakan akhlak manusia. Ketika
Sayyidah Aisyah ditanya tentang akhlak Rasulullah, ia menjawab dengan singkat
dan padat, "Akhlaknya adalah Al-Quran." Ini berarti seluruh hidup
beliau adalah tafsir berjalan dari kitab suci, sebuah perwujudan nyata dari
sifat-sifat luhur yang diperintahkan Allah. Beliau adalah uswatun hasanah, suri
teladan terbaik bagi seluruh umat manusia.
Dalam perspektif tasawuf,
Rasulullah adalah Al-Insan Al-Kamil, Manusia Sempurna. Konsep ini memandang
manusia ideal sebagai seorang yang dalam dirinya berpadu sifat-sifat ketuhanan
dan kemanusiaan. Beliau adalah cermin paling jernih tempat Sifat-sifat Ilahi
(Asmaul Husna) memanifestasikan dirinya di alam semesta. Melalui diri
Rasulullah, manusia dapat melihat bagaimana sifat-sifat agung seperti Ar-Rahman
(Maha Pengasih), Al-Ghafur (Maha Pengampun), dan Al-Adl (Maha Adil) dapat
terwujud dalam perilaku manusia.
Setiap detail kehidupan
Rasulullah adalah pelajaran akhlak. Sifat shiddiq (jujur) beliau telah diakui
bahkan oleh musuhmusuhnya, memberinya gelar Al-Amin, yang terpercaya, jauh
sebelum diutus menjadi Rasul. Sifat amanah (dapat dipercaya) beliau dalam
setiap urusan, tabligh (menyampaikan) dalam setiap kebenaran tanpa gentar, dan
fathonah (cerdas) dalam setiap pengambilan keputusan, semuanya menunjukkan
kesempurnaan karakter yang dibimbing langsung oleh wahyu.
Bagi para peniti jalan spiritual,
meneladani akhlak Rasulullah adalah sebuah keniscayaan. Dengan mengikuti jejak
langkah beliau, seorang hamba sesungguhnya sedang berupaya menyerap sebanyak
mungkin pantulan cahaya sifat-sifat Ilahi. Semakin seorang hamba mencintai
Rasulullah dan meneladani sunnahnya, baik dalam ibadah maupun muamalah, semakin
dekat pula ia dengan hakikat makrifatullah. Akhlak Rasulullah menjadi jembatan
yang menghubungkan kesadaran seorang hamba dengan Tuhannya.
Salah satu cerminan paling nyata
dari seorang yang arif billah (mengenal Allah) adalah kedermawanannya. Sifat
pemurah ini bukanlah sekadar tindakan memberi sebagian harta, melainkan sebuah
sikap jiwa yang memandang bahwa segala sesuatu yang dimilikinya hanyalah
titipan dari Sang Maha Pemurah, Al-Karim. Ketika hati telah menyaksikan betapa
luasnya kemurahan Allah yang tiada henti mengalir kepada seluruh makhluk, maka
sifat kikir dan menahan-nahan harta menjadi sirna.
Seorang hamba yang telah
"melihat" kemurahan Allah akan merasa malu untuk menjadi bakhil. Ia
sadar bahwa tangan yang ia gunakan untuk memberi sesungguhnya adalah
perpanjangan dari kemurahan Tuhannya. Ia tidak lagi merasa memiliki, melainkan
hanya sebagai penyalur. Seperti sebuah pipa yang dialiri air dari sumber yang
tak terbatas, ia merasa bahagia ketika dapat mengalirkan air itu kepada yang
membutuhkan. Menahan aliran itu justru akan membuatnya tersumbat dan tidak
berguna.
Sifat pemurah ini tidak terbatas
pada harta benda. Seorang yang arif akan menjadi pemurah dalam segala hal:
pemurah dalam senyuman, pemurah dalam memberikan maaf, pemurah dalam membagikan
ilmu, dan pemurah dalam mendoakan kebaikan bagi orang lain. Ia meneladani sifat
Al-Karim, Yang Maha Mulia, yang kemurahanNya melampaui permintaan dan harapan
hambaNya. Perilakunya menjadi manifestasi nyata dari keyakinannya akan Asmaul
Husna.
Kedermawanan ini lahir dari
keyakinan yang mendalam bahwa memberi tidak akan pernah mengurangi, melainkan
justru membuka pintu-pintu kemurahan yang lebih besar dari Allah. Baginya,
kebahagiaan sejati bukanlah saat menumpuk dan memiliki, tetapi saat melepas dan
berbagi. Inilah akhlak yang lahir dari makrifat, sebuah kemurahan yang tulus,
tanpa pamrih, dan tanpa mengharap balasan dari manusia, karena pandangan
hatinya hanya tertuju pada rida Sang Maha Pemurah.
Hati seorang yang telah mencapai makrifatullah
adalah hati yang lapang, seluas samudra yang mampu menerima apa pun tanpa
menjadi keruh. Salah satu tanda kelapangan hati itu adalah kemampuannya untuk
memaafkan kesalahan orang lain dengan mudah dan tulus. Sifat pemaaf ini
merupakan pantulan langsung dari pengenalannya terhadap sifat Allah, Al-Ghafur
(Maha Pengampun) dan Al-Afuww (Maha Pemaaf).
Seorang hamba yang arif
senantiasa menyadari betapa banyak kekurangan dan kesalahan dirinya sendiri di
hadapan Allah. Ia terus-menerus memohon ampunan dan mengharap belas kasihNya.
Kesadaran mendalam akan posisinya sebagai hamba yang selalu berbuat salah
inilah yang membuatnya ringan dalam memaafkan kesalahan sesama makhluk.
Bagaimana mungkin ia berharap ampunan dari Allah, sementara ia sendiri enggan
memaafkan saudaranya?
Memaafkan bagi seorang arif
bukanlah tanda kelemahan, melainkan kekuatan jiwa. Ia mampu mengatasi ego dan
amarah yang membisikkan untuk membalas dendam. Hatinya telah tercerahkan oleh
cahaya makrifat, yang membuatnya memahami bahwa menahan dendam hanya akan
mengotori cermin batinnya dan menghalanginya dari merasakan kedekatan dengan Allah.
Ia meneladani akhlak agung Rasulullah yang senantiasa memaafkan bahkan kepada
orang-orang yang paling menyakitinya.
Dengan memaafkan, jiwanya menjadi
merdeka dari beban kebencian. Ia melepaskan energi negatif dan menggantinya
dengan kelapangan dan kedamaian. Tindakan memaafkan menjadi sebuah proses
penyucian diri yang berkelanjutan. Ia melihat setiap perlakuan buruk dari orang
lain sebagai ujian dari Allah untuk meningkatkan derajat kesabaran dan
keikhlasannya. Hatinya yang terhubung dengan Sang Maha Pengampun membuatnya
menjadi saluran ampunan di muka bumi.
Semakin seorang hamba mendaki
puncak makrifat, semakin ia menunduk dalam kerendahan hati. Sifat tawadhu ini
lahir bukan dari kepura-puraan, melainkan dari kesadaran hakiki tentang siapa
dirinya dan siapa Tuhannya. Ketika mata hatinya menyaksikan keagungan,
kebesaran, dan kekayaan mutlak Allah, ia akan melihat dirinya tidak lebih dari
sebutir debu di alam semesta. Kesadaran inilah yang melunturkan segala bentuk
kesombongan dan keangkuhan dari dalam jiwanya.
Seorang yang arif tidak akan
pernah merasa lebih baik dari orang lain. Ia melihat setiap kelebihan yang ada
pada dirinya, baik itu ilmu, harta, maupun ibadah, sebagai anugerah semata dari
Allah. Ia sadar bahwa tanpa pertolonganNya, ia tidak memiliki daya dan kekuatan
apa-apa. Justru, setiap anugerah itu ia pandang sebagai amanah dan ujian yang
akan dimintai pertanggungjawaban, bukan sebagai sesuatu yang pantas untuk
dibanggakan. Sikap rendah hati Nabi Muhammad menjadi teladan utama, di mana
beliau tidak pernah menunjukkan keangkuhan meskipun merupakan pemimpin umat.
Kerendahan hati ini
termanifestasi dalam seluruh perilakunya. Ia mudah menerima nasihat, tidak
meremehkan orang lain, dan selalu merasa malu di hadapan Allah atas segala
kekurangannya. Ia memperlakukan semua orang dengan hormat, tanpa memandang
status sosial, karena ia melihat bahwa setiap manusia adalah ciptaan Allah yang
mulia. Ia menyadari bahwa kesombongan adalah selendang kebesaran Allah, dan
tidak ada makhluk yang berhak mengenakannya.
Berbeda dengan orang yang ilmunya
hanya di permukaan, yang seringkali menjadi sombong, ilmu seorang arif justru
membuatnya semakin tawadhu. Ilmunya adalah ilmu yang melahirkan rasa takut
(khasyyah) kepada Allah. Ia mengerti bahwa sumber segala kehancuran adalah
kesombongan, sebagaimana yang terjadi pada Iblis. Maka dari itu, ia senantiasa
menjaga hatinya, memohon perlindungan dari sifat tercela ini, dan memilih untuk
hidup dalam kesederhanaan dan kerendahan hati sebagai wujud pengabdiannya yang
tulus.
Kesabaran bagi seorang yang arif
bukanlah sekadar menahan diri saat ditimpa musibah, melainkan sebuah kondisi
jiwa yang tenang dan rida terhadap segala ketetapan (qadha dan qadar) Allah.
Kesabaran ini adalah buah dari keyakinan dan tawakal yang sempurna, di mana ia
"menyaksikan" bahwa segala yang terjadi di alam semesta ini berada
dalam genggaman dan pengaturanNya. Pandangan makrifatnya membuatnya melihat
hikmah di balik setiap peristiwa, baik yang tampak baik maupun buruk di mata
manusia biasa.
Hamba yang telah mencapai puncak
pengenalan ini melihat dunia sebagai panggung sandiwara, dan Allah adalah
sutradara terbaik. Ia memainkan perannya sebagai hamba dengan sebaik-baiknya,
tanpa pernah mengeluh atau memprotes skenario yang telah dituliskan untuknya.
Ia meyakini dengan sepenuh hati bahwa setiap ujian adalah cara Allah untuk
mengangkat derajatnya, membersihkan dosa-dosanya, atau memberinya pelajaran
berharga.
Kesabarannya adalah cerminan dari
sifat Allah, As-Sabur, Yang Maha Sabar. Allah sabar dalam menghadapi
kemaksiatan hambaNya, tidak langsung menurunkan azab, dan senantiasa membuka
pintu taubat. Seorang arif meneladani sifat ini dengan bersabar atas perlakuan
buruk sesama makhluk, sabar dalam menjalankan ketaatan yang terkadang terasa
berat, dan sabar dalam menjauhi larangan yang seringkali menggoda.
Sabar dalam pandangan sufi adalah
sebuah keindahan. Ia adalah penyerahan diri yang total, sebuah kondisi di mana
hati telah merasa damai dalam dekapan takdir Tuhannya. Tidak ada lagi rasa
cemas akan masa depan atau kesedihan atas masa lalu. Yang ada hanyalah
ketenangan saat ini, rida atas apa yang Allah berikan, dan kesabaran dalam
menanti apa yang akan Allah tetapkan. Inilah puncak dari tawakal, sebuah akhlak
agung yang hanya bisa dicapai oleh jiwa-jiwa yang telah benar-benar mengenal
Tuhannya.
Puncak dari akhlak seorang yang
arif billah adalah terpancarnya kasih sayang yang universal dari dalam dirinya.
Kasih sayang ini tidak lagi tersekat oleh perbedaan suku, agama, ras, bahkan
tidak terbatas hanya kepada sesama manusia. Ia mencintai dan mengasihi seluruh
makhluk—hewan, tumbuhan, dan alam semesta—karena ia melihat semuanya adalah
ciptaan dari Sang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
Kasih sayang ini adalah
manifestasi dari pengenalannya terhadap Asmaul Husna, Ar-Rahman dan Ar-Rahim.
Ketika hatinya telah tenggelam dalam lautan rahmat Allah, ia tidak bisa tidak
menjadi penebar rahmat di muka bumi. Ia menjadi perwujudan dari misi kerasulan
Nabi Muhammad sebagai rahmatan lil ‘alamin, rahmat bagi seluruh alam. Setiap
perbuatannya didasari oleh cinta, dan tujuannya adalah menebar kedamaian dan
kebaikan.
Seorang yang arif tidak akan
pernah dengan sengaja menyakiti makhluk manapun. Ia berhati-hati dalam
melangkah agar tidak menginjak semut tanpa sengaja. Ia tidak akan merusak
tanaman tanpa alasan. Lisannya terjaga dari ucapan yang menyakitkan. Tangannya
senantiasa ringan untuk menolong yang lemah. Hatinya dipenuhi empati, merasakan
penderitaan orang lain seolah penderitaannya sendiri. Kasih sayangnya adalah
cerminan langsung dari kasih sayang Ilahi.
Inilah tanda paling jelas dari
sebuah jiwa yang telah sampai pada tujuan perjalanannya. Makrifatullah telah
mengubahnya dari hamba yang hanya memikirkan diri sendiri menjadi hamba yang
hidup untuk memberi manfaat bagi semesta. Cintanya kepada Allah termanifestasi
menjadi cinta kepada seluruh ciptaanNya. Ia menjadi bukti hidup bahwa inti dari
ajaran spiritual yang tertinggi adalah akhlak yang mulia, dan inti dari akhlak
yang mulia adalah cinta dan kasih sayang yang tanpa batas.

Komentar
Posting Komentar