CERITA PENGALAMAN HOROR DI JEMBATAN MERAH, SURABAYA
Jembatan Merah di Surabaya bukan
hanya sekadar persilangan jalan di atas sungai. Ia adalah monumen hidup yang
menyimpan denyut sejarah perjuangan dan geliat perdagangan sejak zaman lampau.
Namun, di balik warna merahnya yang gagah, tersembunyi lapisan kisah kelam yang
diwarnai oleh darah para pejuang. Banyak yang berkata, jembatan ini adalah
saksi bisu ribuan nyawa yang melayang, dan pada malam-malam tertentu, tabir
antara dunia kita dan dunia mereka menjadi begitu tipis, mengundang siapa saja
yang bernasib sial untuk melihat gema masa lalu yang menolak untuk beristirahat
dengan tenang.
Bimo, nama yang cukup umum bagi
seorang pria Jawa, adalah tulang punggung bagi keluarganya di sebuah kampung
padat di Surabaya. Pada tahun 1998 Masehi, saat gema krisis moneter masih
terasa denyutnya, Bimo berjuang keras sebagai seorang pengemudi ojek. Baginya,
siang dan malam hampir tak ada bedanya. Aspal jalanan adalah ladang rezekinya,
dan deru mesin motor adalah musik pengiring hidupnya. Setiap hari ia berangkat
sebelum matahari terbit dan seringkali baru kembali saat rembulan sudah tinggi
di angkasa, membawa pulang lembaran rupiah yang terkadang tak seberapa, namun
cukup untuk mengepulkan asap dapur esok hari.
Ia adalah seorang suami dan ayah
dari dua anak yang masih kecil. Tanggung jawab inilah yang membuatnya menjadi
pribadi yang tegar dan sangat realistis. Bimo tidak punya waktu untuk
memikirkan hal-hal di luar nalar. Baginya, yang nyata adalah perut lapar yang
harus diisi dan biaya sekolah anak yang harus dibayar. Cerita-cerita seram
tentang pocong di gang sempit atau kuntilanak di pohon besar yang sering ia
dengar dari rekan-rekannya sesama pengojek hanya dianggapnya sebagai bumbu
obrolan pengusir kantuk. Ia lebih takut tidak bisa membawa pulang uang daripada
bertemu hantu.
Prinsip hidupnya sederhana,
bekerja keras, berdoa, dan bersyukur. Ia selalu percaya bahwa selama niatnya
baik untuk menafkahi keluarga, Allah akan senantiasa melindunginya dari segala
marabahaya, baik yang terlihat maupun yang tidak. Setiap kali melewati tempat
yang konon angker, Bimo hanya akan bergumam dalam hati, memohon perlindungan
tanpa rasa takut yang berlebihan. Ia sering menasihati teman-temannya untuk
tidak terlalu percaya pada takhayul, karena menurutnya rasa takut itu sendiri
yang seringkali menciptakan bahaya.
Bagi Bimo, Surabaya adalah kota
pahlawan yang keras, kota yang menuntut setiap penghuninya untuk berjuang.
Sudut-sudut kota yang bagi sebagian orang menyimpan misteri, baginya adalah
area yang harus dijelajahi demi mencari penumpang. Dari terminal Bungurasih
hingga pelabuhan Tanjung Perak, dari kawasan industri Rungkut hingga pusat
perbelanjaan Tunjungan, semua sudah menjadi peta dalam kepalanya. Namun, ada
satu area yang, meskipun sering ia lewati, selalu meninggalkan perasaan aneh di
hatinya, yaitu kawasan tua di sekitar Jembatan Merah.
Meski ia menepis semua cerita
horor, Bimo tidak bisa memungkiri aura berbeda yang dipancarkan oleh area
tersebut, terutama saat malam mulai larut. Bangunan-bangunan tua peninggalan
Belanda yang megah namun kusam seolah menyimpan ribuan cerita yang tak terucap.
Sejarah pertempuran dahsyat yang pernah ia pelajari di sekolah seakan hidup
kembali dalam imajinasinya setiap kali melintasi jembatan berwarna merah darah
itu. Namun, semua itu tetap berada dalam batas kewajaran, sebuah kekaguman pada
sejarah, bukan ketakutan pada hantu. Setidaknya, itulah yang ia yakini sebelum
malam nahas itu tiba.
Malam itu, jarum jam sudah
menunjukkan pukul sebelas lebih. Jalanan Surabaya yang biasanya riuh kini mulai
lengang. Hanya satu dua kendaraan yang masih melintas, memecah kesunyian malam.
Bimo mangkal di pangkalan ojeknya yang sudah sepi, hanya ditemani secangkir
kopi yang mulai dingin dan kepulan asap rokok kretek. Rekan-rekannya sudah
pulang satu per satu, menyerah pada sepinya orderan malam itu. Bimo sendiri
sudah hampir menyerah, pikirannya sudah tertuju pada kasur di rumah dan senyum
anak-anaknya.
Ia menghisap rokoknya
dalam-dalam, menimbang-nimbang antara menunggu sedikit lebih lama atau
menyudahi perjuangannya hari itu. Kebutuhan akan susu kaleng untuk si bungsu
yang hampir habis menjadi pemberat utama yang menahannya untuk tetap di sana.
Dalam lamunannya, tiba-tiba seorang pria dari sebuah warung telepon di seberang
jalan memanggilnya. Pria itu mengatakan ada telepon dari seseorang yang butuh
jasa ojek. Hati Bimo sedikit berdebar, secercah harapan muncul. Ini mungkin
rezeki penutupnya malam ini.
Bimo segera mengangkat gagang
telepon umum yang disodorkan kepadanya. Di seberang sana, terdengar suara yang
aneh. Suara seorang wanita, namun terdengar datar dan sangat lirih, seolah
datang dari kejauhan. Wanita itu meminta untuk dijemput di sebuah titik yang
membuat Bimo terdiam sejenak, yaitu di ujung Jalan Rajawali, sangat dekat
dengan Jembatan Merah. Saraf Bimo yang biasanya tebal mendadak menegang. Semua
cerita seram yang pernah ia dengar tentang jembatan itu sontak berkelebat di
benaknya.
Ia sempat ragu, ingin menolak
permintaan itu. Hatinya berdebat sengit. Satu sisi otaknya yang logis
menyuruhnya menolak, karena sudah terlalu malam dan lokasinya kurang
menyenangkan. Namun, sisi lainnya, yang didorong oleh gambaran wajah anaknya,
memaksanya untuk berpikir ulang. Suara lirih di telepon itu kembali terdengar,
bertanya apakah ia bersedia atau tidak. Dengan helaan napas berat, Bimo
akhirnya mengiyakan. Ia mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa ini hanyalah
pekerjaan biasa, dan rasa takutnya hanyalah ilusi.
Setelah menutup telepon, Bimo
segera menyalakan mesin motornya. Suara deru mesin yang biasanya terasa gagah,
malam itu terdengar seperti teman yang berusaha memberinya kekuatan. Ia pamit
pada penjaga warung telepon, lalu melajukan motornya membelah malam yang terasa
semakin dingin dan pekat. Sepanjang perjalanan menuju Jembatan Merah, ia terus
menerus merapal doa dalam hati, sebuah kebiasaan yang jarang ia lakukan
seserius ini. Ia tidak tahu bahwa keputusan yang ia ambil malam itu akan
membawanya pada sebuah pengalaman yang akan terpatri selamanya dalam
ingatannya.
Semakin dekat Bimo dengan
Jembatan Merah, semakin berat pula suasana yang ia rasakan. Lampu-lampu jalan
berwarna kuning pucat memantulkan cahaya redup pada struktur baja jembatan yang
kokoh, memberikan kesan warna merahnya menjadi lebih gelap, seolah baru saja
disiram darah. Angin berembus lebih kencang dari biasanya, membawa hawa dingin
yang menusuk tulang meski ia sudah mengenakan jaket tebal. Tak ada satu pun
kendaraan lain yang melintas, hanya Bimo dan motornya yang bergerak dalam
kesunyian yang mencekam.
Bimo tiba di titik penjemputan
yang disebutkan di telepon. Matanya menyapu sekitar, mencari sosok
penumpangnya. Di bawah salah satu tiang lampu jalan yang cahayanya sedikit
berkedip-kedip, ia melihatnya. Seorang wanita berdiri memunggunginya, menatap
ke arah sungai Kalimas yang airnya tampak hitam legam. Wanita itu berdiri
dengan postur yang sangat tegak dan anggun. Saat Bimo menghentikan motornya
beberapa meter dari wanita itu, ia berbalik perlahan. Di momen itulah Bimo
merasakan keanehan pertama yang membuat bulu kuduknya berdiri.
Wanita itu sangat cantik, namun
dengan kecantikan yang ganjil. Kulitnya seputih porselen, nyaris tanpa warna,
kontras dengan gaun merah bergaya Eropa kuno yang dikenakannya. Gaun itu tampak
mewah, namun jika diperhatikan lebih saksama, terlihat sedikit kusam dan usang
di beberapa bagian. Rambutnya yang hitam panjang tergerai begitu saja, sebagian
menutupi wajahnya. Namun yang paling membuat Bimo terpaku adalah tatapan
matanya. Matanya indah, namun kosong, tanpa binar kehidupan, seolah menatap
menembus Bimo, ke suatu tempat yang jauh di masa lalu.
Tanpa banyak bicara, wanita itu
mendekati Bimo. Bimo yang sedikit gugup mencoba bersikap profesional. Selamat
malam, Bu, dengan saya Bimo, ojek yang tadi ditelepon, sapanya dengan suara
yang sedikit bergetar. Wanita itu hanya mengangguk tipis. Ia lalu menyebutkan
tujuannya, sebuah alamat di kawasan Kembang Jepun, area pecinan tua yang juga
terkenal dengan bangunan-bangunan kunonya. Suaranya persis seperti di telepon,
lirih, datar, dan terasa sangat dingin, seperti hembusan angin malam itu
sendiri.
Wanita itu kemudian naik ke jok
belakang motor Bimo. Gerakannya terasa sangat ringan, nyaris tanpa suara. Bimo
sempat tertegun sesaat merasakan betapa ringannya beban di belakangnya, hampir
seolah tidak ada siapa-siapa di sana. Namun, ia segera menepis pikiran aneh
itu. Mungkin wanita ini memang bertubuh sangat ramping. Dengan jantung yang
berdebar sedikit lebih kencang, Bimo memutar gas motornya, meninggalkan area
Jembatan Merah yang diselimuti misteri, dan mulai membawa penumpangnya menuju
perjalanan yang tidak akan pernah ia lupakan.
Perjalanan dari Jembatan Merah
menuju Kembang Jepun seharusnya tidak memakan waktu lama, namun bagi Bimo,
malam itu rasanya seperti perjalanan terpanjang dalam hidupnya. Keheningan di
antara mereka begitu pekat, hanya dipecah oleh suara mesin motor. Biasanya,
Bimo akan mencoba mengajak penumpangnya mengobrol untuk membuat perjalanan
lebih nyaman, namun kali ini lidahnya terasa kelu. Aura yang dipancarkan wanita
di belakangnya terasa begitu berat dan penuh duka, membuatnya enggan untuk
bersuara.
Bimo memberanikan diri melirik
dari kaca spion. Wajah wanita itu tetap sama, pucat dengan tatapan lurus ke
depan, seolah tidak peduli dengan pemandangan kota yang mereka lewati.
Tiba-tiba, Bimo mencium sebuah aroma yang sangat khas. Wangi bunga melati yang
menyengat, begitu kuat hingga hampir memuakkan. Awalnya ia berpikir mungkin itu
adalah parfum penumpangnya, namun aroma itu terasa aneh, lebih mirip wangi
bunga sesajen daripada parfum modern.
Tak lama setelah wangi melati itu
muncul, Bimo mencium aroma lain yang mengikutinya. Sebuah bau anyir yang tipis
namun sangat jelas, seperti bau darah segar. Jantung Bimo mulai berdegup
kencang. Ia mencoba menenangkan dirinya, berpikir mungkin ada bangkai tikus
atau hewan lain di pinggir jalan yang mereka lewati. Namun bau itu tidak
hilang, seolah menempel terus di belakangnya. Suhu udara pun terasa menurun
drastis, jauh lebih dingin dari sebelumnya. Bimo sampai harus mengeratkan
genggamannya pada stang motor untuk menahan getaran tangannya.
Dengan sisa keberanian yang ia
miliki, Bimo mencoba bertanya. Sudah lama tinggal di Surabaya, Bu? tanyanya
dengan suara serak. Wanita itu tidak langsung menjawab. Setelah hening beberapa
saat, ia hanya menggumamkan satu kata. Selamanya. Jawaban singkat itu, dengan
nadanya yang datar dan dingin, sudah cukup untuk membuat semua darah di tubuh
Bimo serasa membeku. Ia tidak berani bertanya lebih jauh lagi. Ia hanya ingin
perjalanan ini cepat berakhir.
Bimo semakin mempercepat laju
motornya, tidak lagi peduli pada jalanan yang berlubang. Ia hanya ingin segera
menurunkan penumpang misterius ini dan pergi sejauh mungkin. Setiap detik
terasa seperti satu jam. Bayangan bangunan-bangunan tua di sepanjang jalan
Kembang Jepun tampak seperti siluet monster yang mengintai dalam kegelapan.
Perjalanan singkat yang seharusnya biasa saja kini telah berubah menjadi sebuah
teror sunyi yang menguji kewarasan dan keberanian Bimo hingga ke batasnya.
Setelah melewati beberapa kelokan
di jalanan sempit kawasan Kembang Jepun, wanita itu menepuk pundak Bimo dengan
sangat pelan. Sentuhannya terasa dingin seperti es, membuat Bimo sedikit
terlonjak kaget. Kiri, di depan rumah besar itu, bisiknya lirih. Bimo mengikuti
arahan itu dan segera menepikan motornya di depan sebuah bangunan yang
membuatnya tercengang. Di hadapannya berdiri sebuah rumah kolonial Belanda yang
sangat besar, namun kondisinya sungguh memprihatinkan.
Rumah itu tampak seperti raksasa
yang tertidur dalam kegelapan. Cat dindingnya sudah mengelupas di sana-sini,
menampakkan tembok bata yang kusam. Beberapa jendelanya pecah, menyisakan
lubang hitam yang seolah menganga ke dalam kekosongan. Halamannya yang luas
dipenuhi oleh ilalang dan semak belukar setinggi pinggang orang dewasa. Pagar
besi tempa yang dulunya mungkin megah, kini sudah bengkok dan berkarat parah,
diselimuti oleh tanaman rambat liar. Tidak ada satu pun tanda kehidupan di
sana, bahkan lampunya pun tidak ada yang menyala.
Wanita itu turun dari motor
dengan gerakan yang sama ringannya seperti saat ia naik. Ia kemudian merogoh
sesuatu dari dalam gaunnya dan menyodorkannya pada Bimo. Tiga lembar uang
kertas. Bimo menerimanya dengan tangan sedikit gemetar. Saat itulah ia
menyadari keanehan lainnya. Uang itu bukanlah rupiah yang biasa ia terima. Uang
itu adalah gulden, mata uang zaman Hindia Belanda, dengan gambar dan tulisan
ejaan lama. Anehnya, kondisi uang itu masih sangat bagus, kaku dan bersih, seolah
baru saja dicetak.
Terima kasih, kata wanita itu
singkat. Ia kemudian berbalik dan berjalan menuju gerbang rumah yang tertutup
rapat. Bimo hanya bisa mematung, kebingungan melihat uang di tangannya dan
rumah terbengkalai di depannya. Ia ingin bertanya, ingin mengatakan sesuatu,
namun tak ada kata yang bisa keluar dari mulutnya. Matanya terpaku pada sosok
wanita bergaun merah itu.
Dengan gerakan yang mustahil,
wanita itu seolah menembus gerbang besi yang terkunci rapat itu tanpa
membukanya. Ia terus berjalan menyusuri jalan setapak yang tertutup semak,
menuju pintu utama rumah yang gelap gulita. Perlahan tapi pasti, sosoknya
melebur ke dalam kegelapan pekat di teras rumah itu, hingga akhirnya lenyap
sepenuhnya dari pandangan Bimo. Bimo ditinggalkan sendirian di jalan yang sepi,
dengan tiga lembar uang kuno di tangannya dan jantung yang berdetak tak karuan.
Setelah sosok wanita itu hilang,
Bimo masih terpaku di atas motornya selama beberapa menit. Keheningan malam
tiba-tiba terasa begitu menekan. Ia menatap rumah besar yang gelap itu, lalu
menatap uang kuno di tangannya secara bergantian. Otaknya yang biasanya bekerja
secara logis kini dipenuhi kabut kebingungan dan rasa takut yang luar biasa.
Semua ini tidak masuk akal. Seorang wanita dengan penampilan kuno, minta
diantar ke rumah kosong, dan membayarnya dengan uang zaman Belanda.
Bimo dengan cepat memasukkan uang
itu ke dalam dompetnya, seolah takut benda itu akan hilang jika terus
dilihatnya. Ia segera menyalakan mesin motornya, kali ini tanpa ragu sedikit
pun. Ia memutar gas sekencang-kencangnya, meninggalkan rumah angker itu di
belakangnya secepat yang ia bisa. Ia tidak berani menoleh ke belakang melalui
kaca spion, takut akan melihat sesuatu yang lebih mengerikan. Sepanjang
perjalanan pulang, aroma melati dan anyir darah seolah masih membekas di
hidungnya.
Sesampainya di rumah, ia masuk
dengan mengendap-endap agar tidak membangunkan istri dan anaknya. Ia langsung
menuju kamar mandi, membasuh mukanya berkali-kali dengan air, mencoba
menyadarkan dirinya dari apa yang baru saja ia alami. Namun, bayangan wajah
pucat wanita itu dan rumah kosong yang megah terus berputar di kepalanya. Malam
itu, Bimo tidak bisa tidur. Setiap kali ia mencoba memejamkan mata, pemandangan
di Kembang Jepun itu kembali muncul.
Rasa penasaran bercampur dengan
ketakutan menggerogoti pikirannya. Siapa wanita itu? Mengapa ia pergi ke rumah
kosong itu? Dan yang paling penting, apakah yang ia alami itu nyata atau hanya
halusinasi karena kelelahan? Untuk mendapatkan jawaban, hanya ada satu cara. Ia
harus kembali ke tempat itu. Bukan pada malam hari, tentu saja, tetapi saat
matahari bersinar terang, saat semua ilusi dan ketakutan seharusnya sirna oleh
cahaya.
Meskipun separuh hatinya
berteriak untuk melupakan kejadian itu dan tidak pernah kembali, separuh
hatinya yang lain, sisi logisnya yang selalu mencari penjelasan, menuntut
sebuah jawaban. Ia harus membuktikan pada dirinya sendiri bahwa ada penjelasan
rasional di balik semua ini. Mungkin rumah itu tidak sekosong kelihatannya,
mungkin ada penghuni lain yang tidak ia lihat. Dengan tekad itulah, Bimo
akhirnya memutuskan. Esok pagi, ia akan kembali ke rumah misterius itu.
Keesokan paginya, setelah
semalaman tidak bisa tidur, Bimo melaksanakan niatnya. Matahari Surabaya yang
terik terasa sedikit menenangkan hatinya yang masih gelisah. Ia sengaja tidak
langsung menuju rumah itu, melainkan berhenti di sebuah warung kopi kecil yang
letaknya tidak terlalu jauh dari sana. Ia memesan segelas kopi dan mencoba
mengumpulkan informasi dengan cara yang tidak mencurigakan. Ia mulai mengobrol
dengan pemilik warung, seorang bapak tua yang tampaknya sudah puluhan tahun
tinggal di daerah itu.
Setelah basa-basi sejenak, Bimo
dengan hati-hati bertanya tentang rumah besar di ujung jalan itu. Pak, rumah
besar yang di pojok itu kok sepertinya kosong ya? Apa tidak ada yang menempati?
tanyanya sepelan mungkin. Bapak pemilik warung itu menghentikan aktivitasnya
sejenak, menatap Bimo dengan tatapan serius. Oh, rumah itu. Sampean orang baru
ta di sini? Jangan sekali-kali mendekat ke sana, Le, apalagi kalau malam,
jawabnya dengan logat Suroboyoan yang kental.
Bapak itu kemudian mulai
bercerita. Menurutnya, rumah itu sudah kosong sejak zaman perjuangan dulu,
sekitar tahun 1945 Masehi. Dulu, rumah itu milik keluarga seorang pejabat
tinggi Belanda. Mereka punya seorang anak gadis yang sangat cantik, kabarnya ia
sangat suka mengenakan gaun berwarna merah. Saat pertempuran 10 November
meletus dan Surabaya menjadi lautan api, keluarga itu menolak untuk mengungsi.
Mereka ditemukan tewas mengenaskan di dalam rumah itu, menjadi korban amuk
massa.
Sejak saat itu, rumah itu menjadi
angker. Banyak warga sekitar yang sering melihat penampakan seorang noni
Belanda bergaun merah, terkadang berdiri di balkon, terkadang berjalan
mondar-mandir di halaman. Katanya, arwah gadis itu masih mencari kedamaian,
terus menerus mengulang kembali malam-malam terakhirnya yang tragis. Cerita
bapak itu begitu detail dan meyakinkan, membuat sekujur tubuh Bimo terasa
dingin meskipun cuaca sedang panas.
Cerita itu persis menggambarkan
sosok yang ia antarkan semalam. Gaun merah, wajah pucat, dan aura kesedihan
yang mendalam. Jantung Bimo serasa berhenti berdetak. Semua potongan teka-teki
kini menyatu menjadi sebuah gambar yang mengerikan. Dengan tubuh gemetar, ia
mengucapkan terima kasih kepada bapak pemilik warung, lalu berjalan gontai
menuju motornya. Ia tidak jadi memeriksa rumah itu dari dekat. Ia sudah
mendapatkan jawaban yang ia cari, sebuah jawaban yang jauh lebih menakutkan
daripada pertanyaannya.
Bimo berdiri di samping motornya,
menatap nanar ke arah rumah besar itu dari kejauhan. Di bawah terik matahari,
rumah itu memang tampak tua dan rusak, namun tidak semengerikan saat gelap
malam. Namun kini, setelah mendengar cerita dari pemilik warung, Bimo justru
melihatnya dengan kengerian yang berlipat ganda. Ia kini tidak hanya melihat
bangunan kosong, tetapi sebuah makam bisu yang menyimpan tragedi dan arwah yang
gelisah. Kenyataan itu menghantamnya seperti palu godam.
Dengan tangan yang masih gemetar,
ia merogoh dompetnya. Ia ingin melihat kembali uang gulden pemberian wanita
itu, sebagai satu-satunya bukti fisik dari kejadian semalam. Ia membuka
dompetnya di tempat ia menyimpan uang itu semalam. Namun, tiga lembar uang kuno
itu telah lenyap. Tidak ada di sana. Sebagai gantinya, yang ia temukan hanyalah
sehelai kelopak bunga melati yang sudah layu dan kering, mengeluarkan sisa-sisa
aroma wangi yang semalam membuatnya mual. Bimo terperanjat dan langsung menutup
dompetnya rapat-rapat.
Saat itu juga, semua keraguan
Bimo lenyap. Semua sikap rasional dan skeptisnya terhadap dunia gaib runtuh
seketika. Ia sadar sepenuhnya bahwa semalam ia tidak berhalusinasi. Ia
benar-benar telah mengantarkan arwah seorang noni Belanda yang tewas puluhan
tahun lalu. Pengalaman itu begitu nyata, begitu membekas, hingga meninggalkan
luka trauma yang dalam di benaknya. Ia merasa seolah sebagian dari semangatnya
telah tertinggal di malam yang dingin itu.
Bimo tidak pernah lagi
menceritakan pengalaman ini kepada siapa pun, bahkan kepada istrinya. Ia takut
dianggap gila atau mengada-ada. Namun, peristiwa itu mengubahnya selamanya. Ia
menjadi lebih pendiam dan lebih religius. Ia tidak pernah lagi berani mengambil
orderan ojek hingga larut malam, apalagi jika tujuannya ke arah kawasan kota tua.
Setiap kali ia terpaksa melewati Jembatan Merah, bahkan di siang hari, ia akan
memejamkan mata sejenak dan berdoa, berharap tidak akan pernah lagi bertemu
dengan gema masa lalu yang menolak untuk mati.
Baginya, Jembatan Merah dan
kawasan sekitarnya bukan lagi hanya sekadar tempat bersejarah. Tempat itu
adalah sebuah pengingat abadi bahwa ada dunia lain yang berjalan beriringan
dengan dunia kita, sebuah dunia yang tak kasat mata namun terkadang bisa
menampakkan dirinya kepada mereka yang tidak beruntung. Pandangannya terhadap
hidup, mati, dan hal-hal di luar nalar telah berubah total, semua karena satu
malam dan satu penumpang misterius bergaun merah.
Demikianlah kisah ini
diceritakan, segala kebenaran detailnya kita kembalikan kepada Allah, tuhan
pemilik kisah kehidupan.
Komentar
Posting Komentar