CERITA PENGALAMAN HOROR DI JEMBATAN MERAH, SURABAYA

 


Jembatan Merah di Surabaya bukan hanya sekadar persilangan jalan di atas sungai. Ia adalah monumen hidup yang menyimpan denyut sejarah perjuangan dan geliat perdagangan sejak zaman lampau. Namun, di balik warna merahnya yang gagah, tersembunyi lapisan kisah kelam yang diwarnai oleh darah para pejuang. Banyak yang berkata, jembatan ini adalah saksi bisu ribuan nyawa yang melayang, dan pada malam-malam tertentu, tabir antara dunia kita dan dunia mereka menjadi begitu tipis, mengundang siapa saja yang bernasib sial untuk melihat gema masa lalu yang menolak untuk beristirahat dengan tenang.

Bimo, nama yang cukup umum bagi seorang pria Jawa, adalah tulang punggung bagi keluarganya di sebuah kampung padat di Surabaya. Pada tahun 1998 Masehi, saat gema krisis moneter masih terasa denyutnya, Bimo berjuang keras sebagai seorang pengemudi ojek. Baginya, siang dan malam hampir tak ada bedanya. Aspal jalanan adalah ladang rezekinya, dan deru mesin motor adalah musik pengiring hidupnya. Setiap hari ia berangkat sebelum matahari terbit dan seringkali baru kembali saat rembulan sudah tinggi di angkasa, membawa pulang lembaran rupiah yang terkadang tak seberapa, namun cukup untuk mengepulkan asap dapur esok hari.

Ia adalah seorang suami dan ayah dari dua anak yang masih kecil. Tanggung jawab inilah yang membuatnya menjadi pribadi yang tegar dan sangat realistis. Bimo tidak punya waktu untuk memikirkan hal-hal di luar nalar. Baginya, yang nyata adalah perut lapar yang harus diisi dan biaya sekolah anak yang harus dibayar. Cerita-cerita seram tentang pocong di gang sempit atau kuntilanak di pohon besar yang sering ia dengar dari rekan-rekannya sesama pengojek hanya dianggapnya sebagai bumbu obrolan pengusir kantuk. Ia lebih takut tidak bisa membawa pulang uang daripada bertemu hantu.

Prinsip hidupnya sederhana, bekerja keras, berdoa, dan bersyukur. Ia selalu percaya bahwa selama niatnya baik untuk menafkahi keluarga, Allah akan senantiasa melindunginya dari segala marabahaya, baik yang terlihat maupun yang tidak. Setiap kali melewati tempat yang konon angker, Bimo hanya akan bergumam dalam hati, memohon perlindungan tanpa rasa takut yang berlebihan. Ia sering menasihati teman-temannya untuk tidak terlalu percaya pada takhayul, karena menurutnya rasa takut itu sendiri yang seringkali menciptakan bahaya.

Bagi Bimo, Surabaya adalah kota pahlawan yang keras, kota yang menuntut setiap penghuninya untuk berjuang. Sudut-sudut kota yang bagi sebagian orang menyimpan misteri, baginya adalah area yang harus dijelajahi demi mencari penumpang. Dari terminal Bungurasih hingga pelabuhan Tanjung Perak, dari kawasan industri Rungkut hingga pusat perbelanjaan Tunjungan, semua sudah menjadi peta dalam kepalanya. Namun, ada satu area yang, meskipun sering ia lewati, selalu meninggalkan perasaan aneh di hatinya, yaitu kawasan tua di sekitar Jembatan Merah.

Meski ia menepis semua cerita horor, Bimo tidak bisa memungkiri aura berbeda yang dipancarkan oleh area tersebut, terutama saat malam mulai larut. Bangunan-bangunan tua peninggalan Belanda yang megah namun kusam seolah menyimpan ribuan cerita yang tak terucap. Sejarah pertempuran dahsyat yang pernah ia pelajari di sekolah seakan hidup kembali dalam imajinasinya setiap kali melintasi jembatan berwarna merah darah itu. Namun, semua itu tetap berada dalam batas kewajaran, sebuah kekaguman pada sejarah, bukan ketakutan pada hantu. Setidaknya, itulah yang ia yakini sebelum malam nahas itu tiba.

 

Malam itu, jarum jam sudah menunjukkan pukul sebelas lebih. Jalanan Surabaya yang biasanya riuh kini mulai lengang. Hanya satu dua kendaraan yang masih melintas, memecah kesunyian malam. Bimo mangkal di pangkalan ojeknya yang sudah sepi, hanya ditemani secangkir kopi yang mulai dingin dan kepulan asap rokok kretek. Rekan-rekannya sudah pulang satu per satu, menyerah pada sepinya orderan malam itu. Bimo sendiri sudah hampir menyerah, pikirannya sudah tertuju pada kasur di rumah dan senyum anak-anaknya.

Ia menghisap rokoknya dalam-dalam, menimbang-nimbang antara menunggu sedikit lebih lama atau menyudahi perjuangannya hari itu. Kebutuhan akan susu kaleng untuk si bungsu yang hampir habis menjadi pemberat utama yang menahannya untuk tetap di sana. Dalam lamunannya, tiba-tiba seorang pria dari sebuah warung telepon di seberang jalan memanggilnya. Pria itu mengatakan ada telepon dari seseorang yang butuh jasa ojek. Hati Bimo sedikit berdebar, secercah harapan muncul. Ini mungkin rezeki penutupnya malam ini.

Bimo segera mengangkat gagang telepon umum yang disodorkan kepadanya. Di seberang sana, terdengar suara yang aneh. Suara seorang wanita, namun terdengar datar dan sangat lirih, seolah datang dari kejauhan. Wanita itu meminta untuk dijemput di sebuah titik yang membuat Bimo terdiam sejenak, yaitu di ujung Jalan Rajawali, sangat dekat dengan Jembatan Merah. Saraf Bimo yang biasanya tebal mendadak menegang. Semua cerita seram yang pernah ia dengar tentang jembatan itu sontak berkelebat di benaknya.

Ia sempat ragu, ingin menolak permintaan itu. Hatinya berdebat sengit. Satu sisi otaknya yang logis menyuruhnya menolak, karena sudah terlalu malam dan lokasinya kurang menyenangkan. Namun, sisi lainnya, yang didorong oleh gambaran wajah anaknya, memaksanya untuk berpikir ulang. Suara lirih di telepon itu kembali terdengar, bertanya apakah ia bersedia atau tidak. Dengan helaan napas berat, Bimo akhirnya mengiyakan. Ia mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa ini hanyalah pekerjaan biasa, dan rasa takutnya hanyalah ilusi.

Setelah menutup telepon, Bimo segera menyalakan mesin motornya. Suara deru mesin yang biasanya terasa gagah, malam itu terdengar seperti teman yang berusaha memberinya kekuatan. Ia pamit pada penjaga warung telepon, lalu melajukan motornya membelah malam yang terasa semakin dingin dan pekat. Sepanjang perjalanan menuju Jembatan Merah, ia terus menerus merapal doa dalam hati, sebuah kebiasaan yang jarang ia lakukan seserius ini. Ia tidak tahu bahwa keputusan yang ia ambil malam itu akan membawanya pada sebuah pengalaman yang akan terpatri selamanya dalam ingatannya.

 

Semakin dekat Bimo dengan Jembatan Merah, semakin berat pula suasana yang ia rasakan. Lampu-lampu jalan berwarna kuning pucat memantulkan cahaya redup pada struktur baja jembatan yang kokoh, memberikan kesan warna merahnya menjadi lebih gelap, seolah baru saja disiram darah. Angin berembus lebih kencang dari biasanya, membawa hawa dingin yang menusuk tulang meski ia sudah mengenakan jaket tebal. Tak ada satu pun kendaraan lain yang melintas, hanya Bimo dan motornya yang bergerak dalam kesunyian yang mencekam.

Bimo tiba di titik penjemputan yang disebutkan di telepon. Matanya menyapu sekitar, mencari sosok penumpangnya. Di bawah salah satu tiang lampu jalan yang cahayanya sedikit berkedip-kedip, ia melihatnya. Seorang wanita berdiri memunggunginya, menatap ke arah sungai Kalimas yang airnya tampak hitam legam. Wanita itu berdiri dengan postur yang sangat tegak dan anggun. Saat Bimo menghentikan motornya beberapa meter dari wanita itu, ia berbalik perlahan. Di momen itulah Bimo merasakan keanehan pertama yang membuat bulu kuduknya berdiri.

Wanita itu sangat cantik, namun dengan kecantikan yang ganjil. Kulitnya seputih porselen, nyaris tanpa warna, kontras dengan gaun merah bergaya Eropa kuno yang dikenakannya. Gaun itu tampak mewah, namun jika diperhatikan lebih saksama, terlihat sedikit kusam dan usang di beberapa bagian. Rambutnya yang hitam panjang tergerai begitu saja, sebagian menutupi wajahnya. Namun yang paling membuat Bimo terpaku adalah tatapan matanya. Matanya indah, namun kosong, tanpa binar kehidupan, seolah menatap menembus Bimo, ke suatu tempat yang jauh di masa lalu.

Tanpa banyak bicara, wanita itu mendekati Bimo. Bimo yang sedikit gugup mencoba bersikap profesional. Selamat malam, Bu, dengan saya Bimo, ojek yang tadi ditelepon, sapanya dengan suara yang sedikit bergetar. Wanita itu hanya mengangguk tipis. Ia lalu menyebutkan tujuannya, sebuah alamat di kawasan Kembang Jepun, area pecinan tua yang juga terkenal dengan bangunan-bangunan kunonya. Suaranya persis seperti di telepon, lirih, datar, dan terasa sangat dingin, seperti hembusan angin malam itu sendiri.

Wanita itu kemudian naik ke jok belakang motor Bimo. Gerakannya terasa sangat ringan, nyaris tanpa suara. Bimo sempat tertegun sesaat merasakan betapa ringannya beban di belakangnya, hampir seolah tidak ada siapa-siapa di sana. Namun, ia segera menepis pikiran aneh itu. Mungkin wanita ini memang bertubuh sangat ramping. Dengan jantung yang berdebar sedikit lebih kencang, Bimo memutar gas motornya, meninggalkan area Jembatan Merah yang diselimuti misteri, dan mulai membawa penumpangnya menuju perjalanan yang tidak akan pernah ia lupakan.

 

Perjalanan dari Jembatan Merah menuju Kembang Jepun seharusnya tidak memakan waktu lama, namun bagi Bimo, malam itu rasanya seperti perjalanan terpanjang dalam hidupnya. Keheningan di antara mereka begitu pekat, hanya dipecah oleh suara mesin motor. Biasanya, Bimo akan mencoba mengajak penumpangnya mengobrol untuk membuat perjalanan lebih nyaman, namun kali ini lidahnya terasa kelu. Aura yang dipancarkan wanita di belakangnya terasa begitu berat dan penuh duka, membuatnya enggan untuk bersuara.

Bimo memberanikan diri melirik dari kaca spion. Wajah wanita itu tetap sama, pucat dengan tatapan lurus ke depan, seolah tidak peduli dengan pemandangan kota yang mereka lewati. Tiba-tiba, Bimo mencium sebuah aroma yang sangat khas. Wangi bunga melati yang menyengat, begitu kuat hingga hampir memuakkan. Awalnya ia berpikir mungkin itu adalah parfum penumpangnya, namun aroma itu terasa aneh, lebih mirip wangi bunga sesajen daripada parfum modern.

Tak lama setelah wangi melati itu muncul, Bimo mencium aroma lain yang mengikutinya. Sebuah bau anyir yang tipis namun sangat jelas, seperti bau darah segar. Jantung Bimo mulai berdegup kencang. Ia mencoba menenangkan dirinya, berpikir mungkin ada bangkai tikus atau hewan lain di pinggir jalan yang mereka lewati. Namun bau itu tidak hilang, seolah menempel terus di belakangnya. Suhu udara pun terasa menurun drastis, jauh lebih dingin dari sebelumnya. Bimo sampai harus mengeratkan genggamannya pada stang motor untuk menahan getaran tangannya.

Dengan sisa keberanian yang ia miliki, Bimo mencoba bertanya. Sudah lama tinggal di Surabaya, Bu? tanyanya dengan suara serak. Wanita itu tidak langsung menjawab. Setelah hening beberapa saat, ia hanya menggumamkan satu kata. Selamanya. Jawaban singkat itu, dengan nadanya yang datar dan dingin, sudah cukup untuk membuat semua darah di tubuh Bimo serasa membeku. Ia tidak berani bertanya lebih jauh lagi. Ia hanya ingin perjalanan ini cepat berakhir.

Bimo semakin mempercepat laju motornya, tidak lagi peduli pada jalanan yang berlubang. Ia hanya ingin segera menurunkan penumpang misterius ini dan pergi sejauh mungkin. Setiap detik terasa seperti satu jam. Bayangan bangunan-bangunan tua di sepanjang jalan Kembang Jepun tampak seperti siluet monster yang mengintai dalam kegelapan. Perjalanan singkat yang seharusnya biasa saja kini telah berubah menjadi sebuah teror sunyi yang menguji kewarasan dan keberanian Bimo hingga ke batasnya.

 

Setelah melewati beberapa kelokan di jalanan sempit kawasan Kembang Jepun, wanita itu menepuk pundak Bimo dengan sangat pelan. Sentuhannya terasa dingin seperti es, membuat Bimo sedikit terlonjak kaget. Kiri, di depan rumah besar itu, bisiknya lirih. Bimo mengikuti arahan itu dan segera menepikan motornya di depan sebuah bangunan yang membuatnya tercengang. Di hadapannya berdiri sebuah rumah kolonial Belanda yang sangat besar, namun kondisinya sungguh memprihatinkan.

Rumah itu tampak seperti raksasa yang tertidur dalam kegelapan. Cat dindingnya sudah mengelupas di sana-sini, menampakkan tembok bata yang kusam. Beberapa jendelanya pecah, menyisakan lubang hitam yang seolah menganga ke dalam kekosongan. Halamannya yang luas dipenuhi oleh ilalang dan semak belukar setinggi pinggang orang dewasa. Pagar besi tempa yang dulunya mungkin megah, kini sudah bengkok dan berkarat parah, diselimuti oleh tanaman rambat liar. Tidak ada satu pun tanda kehidupan di sana, bahkan lampunya pun tidak ada yang menyala.

Wanita itu turun dari motor dengan gerakan yang sama ringannya seperti saat ia naik. Ia kemudian merogoh sesuatu dari dalam gaunnya dan menyodorkannya pada Bimo. Tiga lembar uang kertas. Bimo menerimanya dengan tangan sedikit gemetar. Saat itulah ia menyadari keanehan lainnya. Uang itu bukanlah rupiah yang biasa ia terima. Uang itu adalah gulden, mata uang zaman Hindia Belanda, dengan gambar dan tulisan ejaan lama. Anehnya, kondisi uang itu masih sangat bagus, kaku dan bersih, seolah baru saja dicetak.

Terima kasih, kata wanita itu singkat. Ia kemudian berbalik dan berjalan menuju gerbang rumah yang tertutup rapat. Bimo hanya bisa mematung, kebingungan melihat uang di tangannya dan rumah terbengkalai di depannya. Ia ingin bertanya, ingin mengatakan sesuatu, namun tak ada kata yang bisa keluar dari mulutnya. Matanya terpaku pada sosok wanita bergaun merah itu.

Dengan gerakan yang mustahil, wanita itu seolah menembus gerbang besi yang terkunci rapat itu tanpa membukanya. Ia terus berjalan menyusuri jalan setapak yang tertutup semak, menuju pintu utama rumah yang gelap gulita. Perlahan tapi pasti, sosoknya melebur ke dalam kegelapan pekat di teras rumah itu, hingga akhirnya lenyap sepenuhnya dari pandangan Bimo. Bimo ditinggalkan sendirian di jalan yang sepi, dengan tiga lembar uang kuno di tangannya dan jantung yang berdetak tak karuan.

 

Setelah sosok wanita itu hilang, Bimo masih terpaku di atas motornya selama beberapa menit. Keheningan malam tiba-tiba terasa begitu menekan. Ia menatap rumah besar yang gelap itu, lalu menatap uang kuno di tangannya secara bergantian. Otaknya yang biasanya bekerja secara logis kini dipenuhi kabut kebingungan dan rasa takut yang luar biasa. Semua ini tidak masuk akal. Seorang wanita dengan penampilan kuno, minta diantar ke rumah kosong, dan membayarnya dengan uang zaman Belanda.

Bimo dengan cepat memasukkan uang itu ke dalam dompetnya, seolah takut benda itu akan hilang jika terus dilihatnya. Ia segera menyalakan mesin motornya, kali ini tanpa ragu sedikit pun. Ia memutar gas sekencang-kencangnya, meninggalkan rumah angker itu di belakangnya secepat yang ia bisa. Ia tidak berani menoleh ke belakang melalui kaca spion, takut akan melihat sesuatu yang lebih mengerikan. Sepanjang perjalanan pulang, aroma melati dan anyir darah seolah masih membekas di hidungnya.

Sesampainya di rumah, ia masuk dengan mengendap-endap agar tidak membangunkan istri dan anaknya. Ia langsung menuju kamar mandi, membasuh mukanya berkali-kali dengan air, mencoba menyadarkan dirinya dari apa yang baru saja ia alami. Namun, bayangan wajah pucat wanita itu dan rumah kosong yang megah terus berputar di kepalanya. Malam itu, Bimo tidak bisa tidur. Setiap kali ia mencoba memejamkan mata, pemandangan di Kembang Jepun itu kembali muncul.

Rasa penasaran bercampur dengan ketakutan menggerogoti pikirannya. Siapa wanita itu? Mengapa ia pergi ke rumah kosong itu? Dan yang paling penting, apakah yang ia alami itu nyata atau hanya halusinasi karena kelelahan? Untuk mendapatkan jawaban, hanya ada satu cara. Ia harus kembali ke tempat itu. Bukan pada malam hari, tentu saja, tetapi saat matahari bersinar terang, saat semua ilusi dan ketakutan seharusnya sirna oleh cahaya.

Meskipun separuh hatinya berteriak untuk melupakan kejadian itu dan tidak pernah kembali, separuh hatinya yang lain, sisi logisnya yang selalu mencari penjelasan, menuntut sebuah jawaban. Ia harus membuktikan pada dirinya sendiri bahwa ada penjelasan rasional di balik semua ini. Mungkin rumah itu tidak sekosong kelihatannya, mungkin ada penghuni lain yang tidak ia lihat. Dengan tekad itulah, Bimo akhirnya memutuskan. Esok pagi, ia akan kembali ke rumah misterius itu.

 

Keesokan paginya, setelah semalaman tidak bisa tidur, Bimo melaksanakan niatnya. Matahari Surabaya yang terik terasa sedikit menenangkan hatinya yang masih gelisah. Ia sengaja tidak langsung menuju rumah itu, melainkan berhenti di sebuah warung kopi kecil yang letaknya tidak terlalu jauh dari sana. Ia memesan segelas kopi dan mencoba mengumpulkan informasi dengan cara yang tidak mencurigakan. Ia mulai mengobrol dengan pemilik warung, seorang bapak tua yang tampaknya sudah puluhan tahun tinggal di daerah itu.

Setelah basa-basi sejenak, Bimo dengan hati-hati bertanya tentang rumah besar di ujung jalan itu. Pak, rumah besar yang di pojok itu kok sepertinya kosong ya? Apa tidak ada yang menempati? tanyanya sepelan mungkin. Bapak pemilik warung itu menghentikan aktivitasnya sejenak, menatap Bimo dengan tatapan serius. Oh, rumah itu. Sampean orang baru ta di sini? Jangan sekali-kali mendekat ke sana, Le, apalagi kalau malam, jawabnya dengan logat Suroboyoan yang kental.

Bapak itu kemudian mulai bercerita. Menurutnya, rumah itu sudah kosong sejak zaman perjuangan dulu, sekitar tahun 1945 Masehi. Dulu, rumah itu milik keluarga seorang pejabat tinggi Belanda. Mereka punya seorang anak gadis yang sangat cantik, kabarnya ia sangat suka mengenakan gaun berwarna merah. Saat pertempuran 10 November meletus dan Surabaya menjadi lautan api, keluarga itu menolak untuk mengungsi. Mereka ditemukan tewas mengenaskan di dalam rumah itu, menjadi korban amuk massa.

Sejak saat itu, rumah itu menjadi angker. Banyak warga sekitar yang sering melihat penampakan seorang noni Belanda bergaun merah, terkadang berdiri di balkon, terkadang berjalan mondar-mandir di halaman. Katanya, arwah gadis itu masih mencari kedamaian, terus menerus mengulang kembali malam-malam terakhirnya yang tragis. Cerita bapak itu begitu detail dan meyakinkan, membuat sekujur tubuh Bimo terasa dingin meskipun cuaca sedang panas.

Cerita itu persis menggambarkan sosok yang ia antarkan semalam. Gaun merah, wajah pucat, dan aura kesedihan yang mendalam. Jantung Bimo serasa berhenti berdetak. Semua potongan teka-teki kini menyatu menjadi sebuah gambar yang mengerikan. Dengan tubuh gemetar, ia mengucapkan terima kasih kepada bapak pemilik warung, lalu berjalan gontai menuju motornya. Ia tidak jadi memeriksa rumah itu dari dekat. Ia sudah mendapatkan jawaban yang ia cari, sebuah jawaban yang jauh lebih menakutkan daripada pertanyaannya.

 

Bimo berdiri di samping motornya, menatap nanar ke arah rumah besar itu dari kejauhan. Di bawah terik matahari, rumah itu memang tampak tua dan rusak, namun tidak semengerikan saat gelap malam. Namun kini, setelah mendengar cerita dari pemilik warung, Bimo justru melihatnya dengan kengerian yang berlipat ganda. Ia kini tidak hanya melihat bangunan kosong, tetapi sebuah makam bisu yang menyimpan tragedi dan arwah yang gelisah. Kenyataan itu menghantamnya seperti palu godam.

Dengan tangan yang masih gemetar, ia merogoh dompetnya. Ia ingin melihat kembali uang gulden pemberian wanita itu, sebagai satu-satunya bukti fisik dari kejadian semalam. Ia membuka dompetnya di tempat ia menyimpan uang itu semalam. Namun, tiga lembar uang kuno itu telah lenyap. Tidak ada di sana. Sebagai gantinya, yang ia temukan hanyalah sehelai kelopak bunga melati yang sudah layu dan kering, mengeluarkan sisa-sisa aroma wangi yang semalam membuatnya mual. Bimo terperanjat dan langsung menutup dompetnya rapat-rapat.

Saat itu juga, semua keraguan Bimo lenyap. Semua sikap rasional dan skeptisnya terhadap dunia gaib runtuh seketika. Ia sadar sepenuhnya bahwa semalam ia tidak berhalusinasi. Ia benar-benar telah mengantarkan arwah seorang noni Belanda yang tewas puluhan tahun lalu. Pengalaman itu begitu nyata, begitu membekas, hingga meninggalkan luka trauma yang dalam di benaknya. Ia merasa seolah sebagian dari semangatnya telah tertinggal di malam yang dingin itu.

Bimo tidak pernah lagi menceritakan pengalaman ini kepada siapa pun, bahkan kepada istrinya. Ia takut dianggap gila atau mengada-ada. Namun, peristiwa itu mengubahnya selamanya. Ia menjadi lebih pendiam dan lebih religius. Ia tidak pernah lagi berani mengambil orderan ojek hingga larut malam, apalagi jika tujuannya ke arah kawasan kota tua. Setiap kali ia terpaksa melewati Jembatan Merah, bahkan di siang hari, ia akan memejamkan mata sejenak dan berdoa, berharap tidak akan pernah lagi bertemu dengan gema masa lalu yang menolak untuk mati.

Baginya, Jembatan Merah dan kawasan sekitarnya bukan lagi hanya sekadar tempat bersejarah. Tempat itu adalah sebuah pengingat abadi bahwa ada dunia lain yang berjalan beriringan dengan dunia kita, sebuah dunia yang tak kasat mata namun terkadang bisa menampakkan dirinya kepada mereka yang tidak beruntung. Pandangannya terhadap hidup, mati, dan hal-hal di luar nalar telah berubah total, semua karena satu malam dan satu penumpang misterius bergaun merah.

Demikianlah kisah ini diceritakan, segala kebenaran detailnya kita kembalikan kepada Allah, tuhan pemilik kisah kehidupan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Legenda Putri Gunung Ledang, Cerita Rakyat Malaka

Kisah Legenda Puteri Junjung Buih, Cerita Rakyat Kalimantan

Kisah Gunung Sumbing: Sejarah, Legenda dan Cerita Mistis