KISAH ASAL USUL KOTA AMBON
Di tengah hamparan biru Laut
Banda, di jantung Kepulauan Maluku yang legendaris, bersemayamlah sebuah pulau
yang aromanya telah memikat para raja dan penjelajah selama berabad-abad. Pulau
ini dikenal dengan sebutan Ambon, sebuah nama yang manis semanis julukannya,
Manise. Di pesisir teluknya yang terlindung, kini berdiri sebuah kota yang
ramai dan dinamis. Namun, asal-usul kota ini bukanlah cerita biasa, ia terukir
dari aroma cengkih yang memabukkan, dibangun di atas fondasi benteng batu yang
menjadi saksi perebutan kuasa, dan disirami oleh darah para pahlawan yang
berjuang demi martabat. Inilah hikayat lahirnya Kota Ambon, sebuah legenda dari
Negeri Rempah-Rempah.
Jauh sebelum layar kapal-kapal
dari Barat membelah ombak Laut Banda, Pulau Ambon adalah sebuah surga
tersembunyi yang damai. Pulau ini diselimuti oleh hutan-hutan tropis yang
lebat, dan di antara rimbunnya dedaunan, tumbuhlah sebuah anugerah dari Sang
Pencipta. Anugerah itu adalah pohon-pohon cengkih yang menjulang tinggi,
menghasilkan kuncup bunga kering berwarna cokelat kehitaman yang kelak akan
disebut sebagai emas cokelat, lebih berharga daripada emas di pasar-pasar
Eropa.
Pulau ini didiami oleh suku-suku
asli Alifuru, nenek moyang orang Ambon saat ini. Mereka hidup dalam
kelompok-kelompok kecil yang tersebar di perbukitan dan lembah-lembah.
Kehidupan mereka sangat menyatu dengan alam. Hutan adalah ibu mereka,
menyediakan makanan, obat-obatan, dan tempat bernaung. Mereka adalah para
pemburu yang ulung, dan juga para peramu cengkih yang handal. Cengkih pada masa
itu belum ditanam secara sistematis, melainkan tumbuh liar, dan menjadi bagian
dari kehidupan mereka.
Nama Ambon sendiri diselimuti
oleh beberapa legenda. Ada yang mengatakan bahwa nama itu berasal dari kata
"embun" dalam bahasa setempat, karena udara di pegunungan Ambon pada
pagi hari selalu sejuk dan penuh embun. Ada pula yang meyakini bahwa nama itu
berasal dari kata "amon" atau "pong", yang berarti tempat
berkumpul atau keramaian. Hal ini merujuk pada kebiasaan masyarakat yang sering
berkumpul di satu titik untuk melakukan ritual adat atau kegiatan sosial
lainnya.
Kehidupan di negeri para pemburu
cengkih ini berjalan tenang selama berabad-abad. Mereka tidak menyadari bahwa
aroma harum dari rempah yang mereka anggap biasa saja, telah tercium hingga ke
benua yang sangat jauh. Angin laut seakan membisikkan kabar tentang surga
rempah-rempah ini ke telinga para pelaut di negeri-negeri Barat. Dan tak lama
kemudian, keheningan di perairan Ambon akan pecah oleh kedatangan tamu-tamu tak
diundang yang akan mengubah takdir pulau ini untuk selamanya.
Dalam kesederhanaan mereka,
masyarakat Ambon kuno telah membangun sebuah peradaban yang kaya akan kearifan
lokal. Mereka memiliki sistem kepercayaan, hukum adat, dan cara hidup yang
selaras dengan lingkungan. Namun, semua itu akan segera diuji ketika dunia luar
datang mengetuk pintu mereka dengan kekuatan kapal dan meriam, didorong oleh
satu hasrat yang membara: menguasai sumber dari aroma cengkih yang begitu
menggoda.
Memasuki fajar abad ke-16 Masehi,
dunia sedang diguncang oleh demam penjelajahan samudra. Bangsa-bangsa di Eropa,
terutama Portugis dan Spanyol, berlomba-lomba mengirimkan armada kapal mereka
untuk menemukan jalur baru ke sumber rempah-rempah di Timur Jauh.
Rempah-rempah, terutama cengkih dan pala dari Maluku, saat itu nilainya setara
dengan emas. Siapa yang menguasai perdagangannya, akan menjadi bangsa yang
paling kaya dan berkuasa di Eropa.
Pada sekitar tahun 1512 Masehi,
setelah berhasil menaklukkan Malaka, armada Portugis di bawah komando Antonio
de Abreu dan Francisco Serrao melanjutkan pelayaran mereka ke arah timur.
Merekalah bangsa Eropa pertama yang berhasil mencapai Kepulauan Banda dan
Ambon. Ketika kapal-kapal mereka memasuki Teluk Ambon, mereka terkesima oleh
keindahan alamnya dan, yang lebih penting, oleh aroma cengkih yang terbawa
angin dari daratan. Mereka tahu, mereka telah tiba di surga yang mereka cari.
Awalnya, kedatangan bangsa
Portugis disambut dengan cukup baik oleh penduduk setempat. Mereka datang
sebagai pedagang, menukarkan kain-kain dari India, manik-manik, dan
barang-barang logam dengan cengkih yang melimpah. Hubungan dagang pun terjalin.
Portugis mendirikan sebuah loji atau pos dagang di pesisir utara Pulau Ambon,
di wilayah yang dikuasai oleh Kerajaan Hitu. Mereka belajar banyak tentang
seluk-beluk perdagangan rempah-rempah dari para pedagang lokal dan Arab yang
telah lebih dulu berada di sana.
Namun, niat asli Portugis
bukanlah sekadar berdagang secara adil. Di balik senyum persahabatan,
tersembunyi sebuah ambisi besar untuk memonopoli seluruh perdagangan cengkih.
Mereka ingin mengusir semua pedagang lain dan memaksa penduduk lokal untuk
hanya menjual cengkih kepada mereka dengan harga yang mereka tentukan. Hasrat
untuk menguasai inilah yang secara perlahan mengubah hubungan baik menjadi
permusuhan.
Portugis mulai mencampuri urusan
politik di antara kerajaan-kerajaan kecil yang ada di Ambon, seperti Hitu dan
Ternate. Mereka menggunakan taktik adu domba untuk melemahkan kekuatan lokal.
Selain berdagang, mereka juga membawa para misionaris untuk menyebarkan ajaran
agama Katolik. Kedatangan layar-layar dari barat ini menjadi awal dari babak
baru yang penuh gejolak dalam sejarah Pulau Ambon, sebuah era di mana aroma
cengkih akan bercampur dengan bau mesiu.
Menyadari bahwa posisi mereka
tidak sepenuhnya aman dan terus-menerus mendapat perlawanan dari penduduk
Kerajaan Hitu, Portugis mencari lokasi baru yang lebih strategis dan dapat
dipertahankan. Pilihan mereka jatuh pada sebuah tanjung di sisi lain teluk yang
lebih terlindung, sebuah daerah yang saat itu dihuni oleh kelompok-kelompok
masyarakat yang lebih bersahabat dengan mereka. Di sinilah mereka memutuskan
untuk membangun sebuah benteng pertahanan yang permanen.
Pada tanggal 7 September tahun
1575 Masehi, sebuah upacara peletakan batu pertama dilangsungkan. Dipimpin oleh
Gubernur Portugis untuk Maluku saat itu, Sancho de Vasconcelos, pembangunan
benteng pun dimulai. Benteng ini pada awalnya dibangun menggunakan material
kayu dan gaba-gaba atau pelepah pohon sagu. Mereka menamainya dengan nama yang
indah, Benteng Nossa Senhora da Anunciada, yang berarti Bunda Maria Diangkat ke
Surga.
Pembangunan benteng ini adalah
sebuah pernyataan tegas dari Portugis. Ini bukan lagi sekadar pos dagang
sementara, melainkan sebuah pangkalan militer dan pusat pemerintahan yang
permanen. Dari balik benteng inilah mereka akan mengendalikan seluruh aktivitas
perdagangan dan politik di Pulau Ambon. Benteng ini menjadi simbol kehadiran
dan kekuasaan Portugis di jantung Kepulauan Rempah-Rempah.
Di sekitar benteng, sebuah
pemukiman baru mulai terbentuk. Para serdadu Portugis, pedagang, misionaris,
serta penduduk lokal yang bersekutu dengan mereka mulai membangun rumah-rumah.
Kelompok-kelompok masyarakat dari berbagai desa di sekitar teluk, seperti Soa,
Ema, dan Soya, diajak untuk menetap di sekitar benteng demi keamanan. Inilah
cikal bakal dari sebuah kota yang teratur, yang lahir dan tumbuh di bawah
bayang-bayang dinding benteng.
Momen pendirian Benteng Nossa
Senhora da Anunciada pada 7 September 1575 inilah yang kelak dianggap sebagai
titik kelahiran Kota Ambon. Meskipun pada saat itu belum bernama Ambon, inilah
pertama kalinya sebuah komunitas masyarakat yang terorganisir didirikan secara
permanen di lokasi yang kini menjadi pusat kota. Benteng ini menjadi nadi
pertama yang memompa kehidupan ke dalam embrio kota yang akan terus berkembang
selama berabad-abad kemudian.
Kekuasaan Portugis di Ambon, yang
dibangun dengan susah payah dan dipertahankan dengan benteng, ternyata tidak
bertahan selamanya. Di awal abad ke-17, sebuah kekuatan baru yang lebih besar,
lebih kaya, dan lebih terorganisir muncul di cakrawala Eropa. Kekuatan itu
adalah Vereenigde Oostindische Compagnie atau VOC, serikat dagang Hindia Timur
milik Belanda. Dengan armada kapal yang lebih banyak dan persenjataan yang
lebih modern, VOC berlayar ke timur dengan satu tujuan: merebut monopoli
rempah-rempah dari tangan Portugis.
Ambon menjadi salah satu target
utama VOC. Pada bulan Februari tahun 1605 Masehi, armada kapal VOC yang megah
di bawah pimpinan Admiral Steven van der Haghen tiba di Teluk Ambon.
Kapal-kapal perang Belanda mengepung Benteng Nossa Senhora da Anunciada,
mengarahkan moncong-moncong meriam mereka ke arah dinding benteng yang dijaga
oleh pasukan Portugis.
Melihat kekuatan lawan yang jauh
lebih superior, garnisun Portugis di dalam benteng menjadi gentar. Komandan
Portugis, Gaspar de Melo, menyadari bahwa perlawanan akan sia-sia dan hanya
akan menimbulkan pertumpahan darah yang tidak perlu. Setelah melalui
perundingan singkat, pihak Portugis memutuskan untuk menyerah tanpa perlawanan.
Mereka menyerahkan benteng dan seluruh isinya kepada VOC, dengan syarat mereka
diizinkan untuk meninggalkan Ambon dengan damai.
Peristiwa ini menjadi titik balik
yang sangat menentukan dalam sejarah Ambon. Kekuasaan Portugis yang telah
berlangsung selama hampir satu abad akhirnya runtuh. Bendera hijau dengan salib
Kristus milik Portugis diturunkan dari tiang tertinggi benteng, digantikan oleh
bendera tiga warna merah, putih, dan biru milik Belanda. Era baru di bawah
kekuasaan VOC pun dimulai.
Bagi penduduk Ambon, pergantian
penguasa ini pada awalnya mungkin membawa sedikit harapan. Mereka berharap VOC
akan lebih adil daripada Portugis. Namun, harapan itu segera pupus. Ternyata,
penguasa baru ini jauh lebih sistematis, lebih terorganisir, dan pada akhirnya,
jauh lebih kejam dalam menjalankan monopoli perdagangannya. Perebutan kuasa di
Benteng Ambon hanyalah awal dari sebuah penderitaan panjang yang akan dialami
oleh rakyat Maluku.
Setelah berhasil merebut benteng
dari tangan Portugis, VOC tidak membuang waktu. Mereka segera memperkuat dan
memodernisasi benteng tersebut. Dinding-dinding kayu dan gaba-gaba diganti
dengan konstruksi batu karang dan bata yang jauh lebih kokoh dan tebal.
Bastion-bastion atau menara penjuru dibangun di setiap sudutnya, dilengkapi
dengan puluhan meriam yang siap memuntahkan bola-bola besi kapan saja.
Untuk menandai kemenangan mereka
atas Portugis, VOC mengganti nama benteng tersebut. Nama Nossa Senhora da
Anunciada yang berbau Katolik dihapus, diganti dengan nama baru yang lebih
gagah dan sekuler: Benteng Victoria. Nama ini berarti "Kemenangan",
sebuah simbol supremasi dan kejayaan VOC di tanah Maluku. Benteng Victoria pun
menjadi pusat kekuasaan mutlak VOC di seluruh Kepulauan Rempah-Rempah.
Di sekitar Benteng Victoria
inilah sebuah kota yang sesungguhnya mulai tumbuh dan berkembang pesat. VOC
membangun sebuah pemukiman yang teratur di luar dinding benteng. Jalan-jalan
dibuat lurus dan saling berpotongan, membentuk blok-blok pemukiman yang rapi.
Di dalamnya dibangun kantor-kantor administrasi, gudang-gudang besar untuk
menyimpan cengkih, barak-barak untuk tentara, serta rumah-rumah megah untuk
para pejabat tinggi VOC.
Kota yang tumbuh di sekitar
Benteng Victoria ini adalah sebuah kota benteng atau kasteelstad. Seluruh
kehidupannya berpusat dan bergantung pada benteng. Benteng adalah pusat
pemerintahan, pusat militer, sekaligus pusat ekonomi. Siapa pun yang menguasai
benteng, dialah yang menguasai kota dan seluruh perdagangan rempah-rempah.
Inilah model kota kolonial yang khas, di mana benteng menjadi jantung dan
denyut nadinya.
Penduduk kota ini pun semakin
beragam. Selain para pejabat dan serdadu Belanda, ada pula para pedagang dari
Tiongkok dan Arab, serta para budak dan pekerja yang didatangkan dari berbagai
pulau. Tentu saja, orang-orang Ambon asli juga tinggal di sana, meskipun
seringkali diposisikan sebagai warga kelas dua di tanah mereka sendiri. Dari
sinilah wajah multikultural Kota Ambon mulai terbentuk, sebuah perpaduan yang
lahir dari kepentingan kolonial di bawah bayang-bayang Benteng Victoria yang
perkasa.
Dengan berdirinya Benteng
Victoria yang kokoh dan kota yang teratur di sekelilingnya, Ambon secara de facto
menjadi ibu kota dari pemerintahan VOC di seluruh Maluku. Dari sinilah Gubernur
VOC untuk Maluku memerintah dengan tangan besi. Semua kebijakan yang menyangkut
perdagangan rempah-rempah, urusan militer, dan hubungan dengan
kerajaan-kerajaan lokal diputuskan dari dalam benteng ini. Ambon menjadi pusat
saraf dari jaringan kolonialisme Belanda di Indonesia bagian timur.
Salah satu kebijakan paling kejam
yang dijalankan dari Ambon adalah sistem monopoli cengkih. Untuk menjaga agar
harga cengkih di pasar Eropa tetap tinggi, VOC melarang penanaman cengkih di
pulau-pulau lain selain Ambon dan beberapa pulau di sekitarnya. Untuk
menegakkan aturan ini, VOC secara rutin melakukan patroli militer yang dikenal
dengan sebutan Hongi tochten atau Pelayaran Hongi.
Armada kapal perang yang disebut
kora-kora, yang diawaki oleh tentara VOC dan dipaksa dibantu oleh penduduk
lokal, akan berlayar ke seluruh penjuru Maluku. Tugas mereka adalah mencari dan
memusnahkan setiap pohon cengkih yang mereka temukan di luar wilayah yang
diizinkan. Perlawanan sekecil apa pun akan ditumpas dengan brutal. Ribuan pohon
cengkih ditebang dan dibakar, ribuan nyawa melayang demi kerakusan VOC.
Kebijakan ini membuat rakyat
Maluku di pulau-pulau lain menderita kemiskinan yang luar biasa. Sumber penghidupan
utama mereka dihancurkan begitu saja. Sementara itu, Ambon sebagai pusat
monopoli terus berkembang. Pundi-pundi VOC terisi penuh oleh keuntungan dari
perdagangan cengkih. Namun, kekayaan ini dibangun di atas air mata dan darah
saudara-saudara mereka di pulau lain.
Benteng Victoria berdiri sebagai
saksi bisu dari era kelam ini. Dinding-dinding batunya yang dingin seakan
menyimpan jeritan dan rintihan rakyat Maluku yang tertindas. Ambon menjadi kota
yang makmur bagi kaum penjajah, tetapi menjadi simbol penindasan bagi sebagian
besar rakyat di sekitarnya. Benih-benih kebencian dan perlawanan pun diam-diam
mulai disemai, menunggu saat yang tepat untuk tumbuh dan berkobar menjadi api
yang besar.
Penindasan yang berlangsung
selama hampir dua abad akhirnya mencapai puncaknya. Kesabaran rakyat Maluku
telah habis. Pada awal abad ke-19, setelah VOC bangkrut dan kekuasaan diambil
alih langsung oleh Pemerintah Hindia Belanda, kebijakan yang menindas tidak
juga berakhir. Rakyat masih dipaksa kerja rodi, menyerahkan hasil bumi dengan
harga murah, dan menanggung berbagai pajak yang berat. Bara perlawanan yang
selama ini terpendam akhirnya meledak menjadi api perjuangan.
Pada tahun 1817 Masehi, muncullah
seorang sosok pahlawan yang gagah berani dari Pulau Saparua. Namanya adalah
Thomas Matulessy, namun sejarah akan mengenangnya dengan nama yang lebih agung,
Kapitan Pattimura. Ia adalah seorang mantan sersan mayor di dinas militer
Inggris, yang memiliki kecakapan militer dan jiwa kepemimpinan yang luar biasa.
Dengan kharismanya, ia berhasil menyatukan rakyat Maluku untuk mengangkat
senjata melawan penjajah Belanda.
Di bawah komando Pattimura, para
pejuang Maluku berhasil merebut Benteng Duurstede di Saparua dalam sebuah
serangan kilat yang heroik. Kemenangan ini menggemparkan seluruh Maluku dan
menebar kepanikan di kalangan petinggi Belanda di Ambon. Perang Pattimura pun
berkobar di seluruh kepulauan. Semangat "parang salawaku" atau perang
dengan perisai dan pedang, bergelora di dada setiap pejuang.
Perlawanan Pattimura sempat
mengancam kedudukan Belanda di pusat kekuasaan mereka, Benteng Victoria di
Ambon. Meskipun para pejuang tidak sampai menyerbu Ambon, perang ini telah
menggoyahkan sendi-sendi kekuasaan kolonial. Belanda harus mendatangkan pasukan
tambahan dalam jumlah besar dari Jawa untuk bisa memadamkan perlawanan ini.
Pada akhirnya, melalui taktik adu
domba dan pengkhianatan, Kapitan Pattimura berhasil ditangkap. Ia dibawa ke
Ambon dan diadili di dalam Benteng Victoria. Dengan kepala tegak, ia menolak
untuk bekerja sama dengan penjajah. Pada tanggal 16 Desember 1817, Kapitan
Pattimura bersama tiga orang rekannya dihukum gantung di depan Benteng
Victoria. Namun, semangatnya tidak pernah mati. Pengorbanannya menjadi api
abadi yang terus menyala dalam sanubari bangsa, sebuah bukti bahwa dari tanah
Ambon Manise, lahir para pahlawan sejati.
Setelah melewati berbagai zaman,
dari era Portugis, VOC, Pemerintah Hindia Belanda, hingga masa kemerdekaan
Indonesia, Kota Ambon terus tumbuh menjadi kota yang modern dan dinamis.
Sebagai sebuah kota yang memiliki sejarah panjang dan penuh makna, muncul
kebutuhan untuk menetapkan sebuah tanggal resmi sebagai hari jadinya, sebuah
hari untuk merayakan identitas dan perjalanan sejarahnya.
Para sejarawan dan pemangku
kepentingan melakukan kajian yang mendalam untuk mencari momen paling tepat
yang bisa dianggap sebagai titik awal lahirnya kota. Beberapa peristiwa penting
dipertimbangkan, seperti kedatangan Portugis atau pengambilalihan oleh VOC.
Namun, pilihan akhirnya jatuh pada sebuah momen yang lebih fundamental, yaitu
saat pertama kali sebuah komunitas masyarakat yang teratur didirikan secara
permanen.
Momen tersebut adalah pembangunan
Benteng Nossa Senhora da Anunciada oleh Portugis. Diputuskan bahwa tanggal
peletakan batu pertama benteng tersebut, yaitu 7 September 1575, adalah saat
yang paling tepat untuk dijadikan hari lahir Kota Ambon. Pada tanggal inilah
sekelompok masyarakat dari berbagai desa untuk pertama kalinya dikumpulkan dan
dimukimkan secara teratur di sekitar benteng, membentuk embrio dari sebuah
kota.
Meskipun benteng itu dibangun
oleh penjajah, penetapan tanggal ini bukanlah untuk merayakan kolonialisme.
Sebaliknya, ia adalah untuk menghormati fakta sejarah tentang berdirinya sebuah
pemukiman terorganisir yang menjadi cikal bakal kota. Ini adalah pengakuan atas
titik awal di mana denyut kehidupan sebuah kota mulai berdetak di lokasi yang
kini kita kenal sebagai pusat Kota Ambon. Sejak saat itu, setiap tanggal 7
September, seluruh masyarakat Ambon merayakan hari jadi kota mereka dengan
penuh suka cita dan kebanggaan.
Demikianlah kisah ini
diceritakan, segala kebenaran detailnya kita kembalikan kepada Allah, tuhan
pemilik kisah kehidupan.
.png)
Komentar
Posting Komentar