KISAH ASAL USUL NAMA PULAU BUTON
Jauh di tenggara lengan Pulau
Sulawesi, terhampar sebuah daratan yang diselimuti misteri dan diberkahi
kekayaan alam melimpah. Pulau ini, yang kelak dikenal dunia sebagai penghasil
aspal alami, menyimpan sebuah kisah purba yang jauh lebih berharga dari segala
harta di perut buminya. Ini bukanlah sekadar cerita tentang sebuah kerajaan,
melainkan hikayat tentang bagaimana sebuah nama yang agung terlahir dari
bisikan para pertapa, keberanian para perantau, dan kebijaksanaan seorang ratu.
Mari kita singkap tabir waktu untuk menelusuri jejak-jejak pertama yang
menorehkan nama Buton dalam lembaran abadi Nusantara.
Jauh sebelum panji-panji kerajaan
berkibar, pulau ini adalah sebuah tanah keramat yang dikenal sebagai Butuni.
Nama ini tercatat dalam naskah kuno Nagarakertagama, sebuah pertanda bahwa
kemasyhurannya telah terdengar hingga ke jantung Majapahit. Butuni bukanlah
negeri biasa, ia adalah Negeri Keresian, tempat di mana para resi atau pertapa
suci mengabdikan hidup mereka untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.
Mereka hidup dalam keheningan hutan, di dalam gua-gua sunyi, dan di
puncak-puncak bukit, menjaga keseimbangan alam dan spiritual pulau tersebut
dengan doa dan tapa brata yang khusyuk.
Di jantung pulau itu, tumbuh
sebatang pohon raksasa yang tidak ada duanya. Masyarakat purba menyebutnya
Pohon Butun. Pohon ini menjulang tinggi menembus kanopi hutan, dahannya yang
kokoh seolah menopang langit, dan akarnya yang perkasa mencengkeram bumi dengan
erat. Pohon Butun bukanlah sekadar kayu dan dedaunan; ia diyakini sebagai pusat
kekuatan gaib pulau tersebut. Air yang menetes dari sela-sela akarnya dipercaya
mampu menyembuhkan segala penyakit, dan daunnya yang rimbun menjadi tempat
berteduh bagi segala jenis satwa dalam kedamaian.
Para resi menjadikan lingkungan
di sekitar Pohon Butun sebagai tempat paling suci. Mereka percaya bahwa pohon
itu adalah gerbang menuju alam gaib, tempat para leluhur bersemayam dan wahyu
dari Allah diturunkan. Setiap purnama, para resi akan berkumpul di bawah
naungan Pohon Butun, melantunkan kidung-kidung suci dan memanjatkan doa untuk
keselamatan serta kedamaian jagat raya. Mereka adalah para penjaga pulau, dan
Pohon Butun adalah tiang pancang spiritual mereka.
Aura kesucian yang dipancarkan
oleh Pohon Butun dan para resi membuat pulau ini disegani. Para pelaut yang
melintas akan memberikan hormat dari kejauhan, tak berani sembarangan
menjejakkan kaki di tanah yang dianggap sebagai tempat tinggal orang-orang
suci. Mereka membawa kabar dari mulut ke mulut tentang sebuah pulau di timur yang
penuh dengan keajaiban, sebuah daratan yang dijaga oleh kekuatan tak kasat
mata, sebuah negeri yang dikenal dengan nama Butuni.
Kisah tentang Negeri Keresian dan
Pohon Butun yang keramat menyebar perlahan, dibawa oleh angin dan ombak,
melintasi lautan luas. Ia menjadi sebuah legenda yang samar-samar terdengar di
pelabuhan-pelabuhan Nusantara. Namun, takdir telah menggariskan bahwa pulau ini
tidak akan selamanya menjadi tempat yang tersembunyi. Sebuah zaman baru akan
segera tiba, membawa para musafir dari negeri yang jauh untuk menggenapi sebuah
ramalan kuno.
Dalam keheningan tapa mereka di
bawah Pohon Butun, para resi senior mendapatkan sebuah penglihatan gaib. Mereka
melihat empat berkas cahaya terang melesat dari ufuk barat, melintasi lautan
yang bergelora, dan akhirnya mendarat di tanah Butuni. Cahaya-cahaya itu
bukanlah bintang jatuh biasa, melainkan pertanda akan datangnya empat jiwa
agung yang ditakdirkan untuk membangun sebuah peradaban baru di pulau yang
sunyi itu. Ramalan itu menyebutkan bahwa kedatangan mereka akan menjadi awal
dari sebuah kerajaan besar.
Penglihatan itu membawa pesan
yang jelas: sebuah kerajaan akan berdiri, bukan melalui pertumpahan darah atau
penaklukan, melainkan melalui penyatuan hati dan tujuan. Kerajaan ini akan
dipimpin bukan oleh kekuatan fisik, tetapi oleh kebijaksanaan luhur. Para resi
diperintahkan untuk menyambut kedatangan empat cahaya itu dan membimbing
mereka, sebab di tangan merekalah benih peradaban Butuni akan disemai. Kerajaan
yang akan lahir kelak harus berdiri di atas fondasi keadilan, kebijaksanaan,
dan penghormatan terhadap adat istiadat leluhur.
Ramalan ini menjadi pengetahuan
rahasia di antara para resi. Mereka mulai mempersiapkan diri, bukan dengan
senjata, melainkan dengan membersihkan hati dan mempertajam batin. Mereka tahu
bahwa tugas mereka sebagai penjaga spiritual akan segera memasuki babak baru.
Dari sekadar pertapa yang menjaga kesunyian, mereka akan menjadi penasihat dan
pembimbing bagi para pendiri sebuah negeri yang gemilang di masa depan.
Waktu pun berlalu, musim berganti
musim. Para resi dengan sabar menanti penggenapan ramalan tersebut. Mereka
mengamati cakrawala setiap senja, mencari tanda-tanda kedatangan empat cahaya
yang telah dijanjikan. Mereka terus menjaga kesucian Pohon Butun, memastikan
sumber kekuatan spiritual pulau itu tetap murni dan tak ternoda, siap untuk
menyambut era baru yang akan segera menjelang.
Penantian itu adalah sebuah ujian
kesabaran dan keimanan. Beberapa resi muda sempat meragukan kebenaran ramalan
itu seiring berjalannya waktu. Namun, para tetua yang bijaksana terus meyakinkan
mereka untuk tetap teguh dalam keyakinan. Mereka tahu bahwa janji gaib tidak
pernah ingkar, dan takdir agung untuk Pulau Butuni pasti akan tiba pada waktu
yang telah ditentukan oleh Sang Maha Kuasa.
Ribuan kilometer di sebelah
barat, di Semenanjung Johor yang makmur, hiduplah empat orang sahabat yang
gelisah. Mereka adalah Sipanjonga, Simalui, Sitamanajo, dan Sijawangkati.
Mereka bukanlah pangeran atau bangsawan tinggi, melainkan para pemuda yang
memiliki jiwa petualang, visi yang tajam, dan hati yang mendambakan sebuah
negeri baru untuk dibangun sesuai dengan cita-cita luhur mereka. Mereka merasa
bahwa negeri asal mereka sudah terlalu sesak dengan intrik kekuasaan dan
keserakahan.
Didorong oleh sebuah bisikan jiwa
yang sama, mereka memutuskan untuk meninggalkan tanah kelahiran mereka. Mereka
mengumpulkan pengikut yang setia, membangun beberapa perahu yang kokoh, dan
berlayar ke arah timur, menuju matahari terbit, tanpa tujuan yang pasti. Mereka
hanya berbekal keyakinan bahwa di suatu tempat di lautan luas, ada sebuah tanah
harapan yang menunggu untuk mereka temukan dan mereka bangun menjadi sebuah
negeri yang adil dan damai.
Perjalanan mereka bukanlah
pelayaran yang mudah. Badai dahsyat berkali-kali menerjang, mengancam menelan
perahu mereka ke dasar lautan. Penyakit dan kelaparan sempat melanda, menguji
keteguhan hati para pengikutnya. Namun, kepemimpinan empat sahabat yang dikenal
sebagai Mia Patamiana atau empat orang itu, begitu kokoh. Sipanjonga dengan
keberaniannya, Simalui dengan strateginya, Sitamanajo dengan kebijaksanaannya,
dan Sijawangkati dengan kemampuan diplomasinya, berhasil menjaga semangat
rombongan mereka tetap menyala.
Setelah berbulan-bulan
terombang-ambing di lautan, melewati pulau-pulau asing dan bertemu dengan
berbagai suku bangsa, mereka mulai kehabisan harapan. Suatu malam, ketika
keputusasaan hampir mencapai puncaknya, mereka berempat berdoa dengan khusyuk.
Tiba-tiba, mereka melihat seberkas cahaya lembut memancar dari kejauhan di ufuk
timur. Cahaya itu seolah memanggil mereka, memberikan arah baru di tengah
kegelapan samudra.
Mengikuti arah cahaya misterius
itu, mereka mengarahkan perahu mereka dengan sisa-sisa tenaga yang ada. Semakin
dekat, mereka melihat sebuah pulau yang diselimuti kabut tipis, tampak hijau,
subur, dan damai. Mereka merasakan aura yang berbeda dari pulau ini, sebuah
ketenangan dan kekuatan spiritual yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya.
Inilah tanah yang telah memanggil mereka, tanah yang ditakdirkan menjadi rumah
baru bagi mereka.
Mendarat di sebuah teluk yang
tenang, rombongan Mia Patamiana disambut bukan oleh pasukan bersenjata,
melainkan oleh sekelompok orang tua berpakaian sederhana dengan tatapan mata
yang penuh kebijaksanaan. Mereka adalah para resi penjaga pulau yang telah
menantikan kedatangan empat cahaya sesuai ramalan. Para resi tidak langsung
menerima mereka, melainkan membawa keempat pemimpin perantau itu ke hadapan
dewan resi yang paling dihormati.
Di bawah naungan Pohon Butun yang
agung, keempat sahabat itu diuji. Ujiannya bukanlah adu kesaktian atau kekuatan
fisik, melainkan ujian kebijaksanaan, kerendahan hati, dan niat suci. Para resi
bertanya tentang tujuan mereka datang ke pulau itu. Sipanjonga, Simalui,
Sitamanajo, dan Sijawangkati dengan jujur menjelaskan cita-cita mereka untuk membangun
sebuah negeri yang damai, adil, dan sejahtera, tempat di mana setiap orang bisa
hidup dalam harmoni.
Para resi mendengarkan dengan
saksama, menatap jauh ke dalam lubuk hati keempat pemuda itu. Mereka mampu
melihat ketulusan niat dan kemurnian jiwa yang terpancar dari setiap kata yang
diucapkan. Mereka melihat bahwa keempat pemuda ini bukanlah penakluk yang haus
kekuasaan, melainkan para pembangun peradaban yang membawa harapan.
Jawaban-jawaban mereka selaras dengan isi ramalan yang telah mereka terima.
Sebagai ujian terakhir, para resi
meminta mereka untuk menunjukkan bagaimana cara mereka akan memimpin. Keempat
sahabat itu kemudian berdiskusi dan membagi peran sesuai kelebihan
masing-masing. Mereka menunjukkan kemampuan mereka dalam mengatur pengikut,
menyelesaikan perselisihan dengan adil, dan merencanakan pembangunan pemukiman
dengan menghormati alam sekitar. Mereka menunjukkan bahwa kepemimpinan mereka
didasarkan pada musyawarah dan mufakat, bukan perintah mutlak.
Melihat semua itu, para resi pun
tersenyum. Mereka yakin bahwa keempat pemuda inilah yang dimaksud dalam
ramalan. Para resi akhirnya menerima kedatangan rombongan Mia Patamiana dengan
tangan terbuka. Mereka berjanji akan membimbing dan memberikan nasihat
spiritual, sementara urusan pemerintahan dan pembangunan diserahkan kepada
keempat perantau tersebut. Pertemuan itu menjadi sebuah ikrar suci antara para
penjaga spiritual dan para pembangun fisik, sebuah pilar pertama bagi
berdirinya sebuah kerajaan.
Dengan restu dan bimbingan para
resi, rombongan Mia Patamiana mulai membuka lahan untuk pemukiman. Mereka
memilih sebuah dataran yang subur di dekat pantai, di sebuah wilayah yang kelak
dikenal sebagai Kalampa. Tempat itu ditumbuhi ilalang yang tinggi dan lebat.
Dengan semangat gotong royong, mereka menebang dan membersihkan ilalang
tersebut. Dalam bahasa setempat, pekerjaan membabat ilalang ini disebut Welia.
Dari kata inilah nama pemukiman pertama mereka berasal, yaitu Wolio, sebagai
pengingat kerja keras mereka dalam membangun rumah baru.
Perkampungan Wolio tumbuh dengan
pesat. Sistem pengairan dibangun, lahan pertanian dibuka, dan rumah-rumah
didirikan dengan teratur. Kehidupan berjalan dengan damai di bawah kepemimpinan
empat sahabat. Namun, seiring berkembangnya pemukiman, mereka menyadari
perlunya sebuah tatanan pemerintahan yang lebih formal, sebuah kerajaan dengan
satu pemimpin tertinggi yang dapat menjadi simbol pemersatu.
Mereka kembali menghadap para
resi untuk meminta petunjuk. Para resi, setelah bersemedi di bawah Pohon Butun,
menyampaikan sebuah pesan gaib. Pesan itu menyatakan bahwa pemimpin pertama
kerajaan ini haruslah seorang yang memiliki kebijaksanaan melebihi kekuatan,
kelembutan melebihi kekerasan, dan kasih sayang yang mampu merangkul semua
golongan. Dan sosok yang paling memenuhi kriteria itu, menurut petunjuk gaib,
adalah seorang perempuan titisan dewi bulan bernama Wa Kaa Kaa.
Wa Kaa Kaa adalah seorang wanita
yang telah lama hidup di antara para resi. Ia dikenal karena kecantikannya yang
luar biasa, tetapi yang lebih utama adalah kecerdasan, kebijaksanaan, dan
keanggunan budi pekertinya. Ia memahami hukum alam dan ajaran-ajaran luhur para
leluhur. Mia Patamiana dan seluruh rakyat pun dengan suara bulat setuju untuk
menobatkannya sebagai pemimpin mereka. Mereka percaya bahwa di bawah
kepemimpinan seorang ibu, kerajaan mereka akan tumbuh dengan penuh kasih dan
kedamaian.
Maka, pada tahun 1332,
dilangsungkanlah upacara penobatan yang khidmat. Wa Kaa Kaa dinobatkan sebagai
Ratu pertama Kerajaan Wolio. Penobatan ini menandai berdirinya sebuah kerajaan
baru, sebuah kerajaan yang lahir dari perpaduan antara keberanian para perantau
dan kebijaksanaan para pertapa. Empat sahabat pendiri, Mia Patamiana, menjadi
dewan penasihat utama atau Bonto, yang membantu Ratu dalam menjalankan roda
pemerintahan.
Setelah resmi menjadi Ratu, Wa
Kaa Kaa menunjukkan kepemimpinan yang luar biasa. Ia memerintah dengan adil dan
bijaksana, didampingi oleh dewan Bonto yang setia. Kerajaan Wolio semakin
makmur dan tertata. Namun, Sang Ratu merasa bahwa kerajaan mereka memerlukan
sebuah nama yang lebih besar, sebuah nama yang tidak hanya merujuk pada
perkampungan utama, tetapi mencakup seluruh pulau yang menjadi tanah air
mereka.
Suatu hari, Ratu Wa Kaa Kaa
bersama para Bonto dan dewan resi berkumpul di bawah Pohon Butun yang agung.
Sang Ratu menyampaikan niatnya untuk memberikan nama resmi bagi seluruh pulau.
Ia merasa bahwa nama kuno Butuni, yang dikenal oleh orang luar, perlu
diresmikan dan diabadikan sebagai identitas sejati mereka. Nama itu harus mencerminkan
asal-usul, kekuatan spiritual, dan cita-cita luhur kerajaan mereka.
Seorang resi tertua kemudian
angkat bicara. Ia menjelaskan kembali bahwa sejak zaman purba, pulau itu
mendapatkan kekuatannya dari Pohon Butun yang keramat. Pohon itulah yang menjadi
saksi bisu perjalanan mereka, dari sebuah pulau sunyi hingga menjadi sebuah
kerajaan yang teratur. Pohon itu adalah simbol keteguhan, kebijaksanaan, dan
kehidupan. Oleh karena itu, sang resi mengusulkan agar nama pulau ini diambil
dari nama pohon keramat tersebut.
Ratu Wa Kaa Kaa dan semua yang
hadir merasakan kebenaran dalam usulan tersebut. Menamai pulau itu dengan nama
Pohon Butun adalah cara terbaik untuk menghormati para leluhur, para resi, dan
kekuatan alam yang telah melindungi mereka. Nama itu akan selalu mengingatkan
generasi penerus tentang akar spiritual mereka dan fondasi kebijaksanaan yang
menjadi dasar kerajaan mereka.
Maka, dengan suara bulat dan
penuh hikmat, Ratu Wa Kaa Kaa meresmikan nama pulau itu. Ia berdiri tegak dan
bersabda, Wahai rakyatku, saksikanlah hari ini. Untuk menghormati pohon keramat
yang menjadi sumber kekuatan dan kebijaksanaan kita, dengan ini aku menamai
tanah air kita tercinta ini sebagai Pulau Butun. Nama ini, yang seiring zaman
akan dikenal sebagai Buton, akan menjadi simbol persatuan, kekuatan, dan
kemakmuran kita.
Sejak saat itu, nama Buton resmi
digunakan. Ia bukan sekadar sebutan geografis, melainkan sebuah nama yang
mengandung sejarah panjang tentang perjalanan spiritual, keberanian para
perantau, dan kebijaksanaan seorang Ratu. Nama Buton menjadi sebuah warisan
yang dijaga dengan penuh kebanggaan oleh seluruh anak cucu mereka.
Di bawah panji nama Buton,
kerajaan itu terus berkembang pesat. Ratu Wa Kaa Kaa, dengan nasihat dari para
Bonto dan dewan resi, meletakkan dasar-dasar sistem pemerintahan yang unik dan
tangguh. Aturan dan hukum tidak dibuat berdasarkan keinginan penguasa,
melainkan digali dari nilai-nilai luhur dan musyawarah mufakat. Prinsip-prinsip
keadilan, keseimbangan, dan harmoni yang diajarkan oleh para resi menjadi napas
dalam setiap sendi kehidupan masyarakat.
Warisan kebijaksanaan para resi
dan semangat persatuan Mia Patamiana terwujud dalam sebuah konstitusi tak
tertulis yang ditaati bersama. Konstitusi ini mengatur hubungan antara penguasa
dan rakyat, memastikan bahwa kekuasaan tidak digunakan sewenang-wenang. Setiap
orang, dari rakyat jelata hingga para pejabat istana, memiliki hak dan
kewajiban yang sama di mata hukum. Sistem ini membuat Kerajaan Buton menjadi
sebuah negeri yang stabil dan disegani.
Ratu Wa Kaa Kaa memimpin hingga
usia senja dan digantikan oleh para pemimpin berikutnya yang juga dipilih
melalui pertimbangan yang matang. Salah satu peninggalan terbesar dari masa
awal kerajaan ini adalah semangat pertahanan yang tinggi. Menyadari posisi
strategis pulau mereka di jalur pelayaran Nusantara, para pemimpin Buton mulai
membangun benteng-benteng pertahanan sederhana di sekitar pusat pemerintahan
untuk melindungi rakyat dari ancaman perompak dan bangsa asing.
Kerajaan Buton menjadi pusat
perdagangan yang ramai. Letaknya yang strategis menjadikannya tempat
persinggahan yang aman bagi para pedagang dari berbagai penjuru, dari Melayu,
Tiongkok, hingga Arab. Mereka tidak hanya membawa barang dagangan, tetapi juga
gagasan-gagasan baru, pengetahuan, dan ajaran-ajaran agama yang turut
memperkaya kebudayaan masyarakat Buton.
Namun, di tengah segala kemajuan
itu, masyarakat Buton tidak pernah melupakan asal-usul mereka. Kisah tentang
para resi dan Pohon Butun, serta perjuangan empat perantau, terus diceritakan
dari generasi ke generasi. Nama Buton menjadi pengingat abadi bahwa kekuatan
sejati sebuah bangsa tidak hanya terletak pada kekuatan militernya, tetapi pada
kebijaksanaan, persatuan, dan restu dari Sang Maha Pencipta.
Seiring waktu berjalan, angin
perubahan kembali berhembus di Pulau Buton. Ajaran Islam, yang dibawa oleh para
pedagang dan ulama dari tanah Arab, mulai menyentuh hati masyarakat dan para
bangsawan istana. Ajaran tentang keesaan Allah dan persaudaraan universal ini
diterima dengan tangan terbuka karena selaras dengan nilai-nilai luhur yang
telah mereka anut selama ini.
Pada masa pemerintahan Raja ke-6,
La Kilaponto, proses perubahan ini mencapai puncaknya. Setelah memeluk Islam,
ia mengubah bentuk kerajaan menjadi kesultanan dan mengambil gelar Sultan
Murhum Kaimuddin Khalifatul Khamis. Perubahan ini bukanlah sebuah revolusi yang
merusak tatanan lama, melainkan sebuah evolusi yang memperkaya dan memperkuat
fondasi yang sudah ada. Konstitusi dan hukum adat yang bijaksana diintegrasikan
dengan syariat Islam, menciptakan sebuah sistem pemerintahan yang semakin
kokoh.
Di bawah era kesultanan, semangat
untuk mempertahankan kedaulatan semakin membara. Sultan-sultan Buton
melanjutkan pembangunan benteng pertahanan di sekitar istana. Benteng yang
semula hanya tumpukan batu itu disempurnakan menjadi sebuah benteng keraton
yang megah dan kokoh, yang kelak diakui sebagai salah satu benteng terluas di
dunia. Benteng ini menjadi simbol fisik dari keteguhan dan semangat perlawanan
rakyat Buton yang tak pernah bisa sepenuhnya ditaklukkan oleh kekuatan asing
mana pun.
Meski Pohon Butun yang asli
mungkin telah lama tiada dimakan zaman, semangatnya tidak pernah padam.
Semangat itu menjelma menjadi kearifan para pemimpinnya, keteguhan bentengnya,
dan keunikan budayanya. Nama Buton, yang lahir dari sebuah pohon keramat di
negeri para resi, terus hidup dan berkumandang, membawa gema kisah tentang
sebuah peradaban yang dibangun di atas fondasi kebijaksanaan, keberanian, dan
keimanan.
Legenda asal-usul nama ini
mengajarkan bahwa sebuah nama bukanlah sekadar label. Ia adalah doa, sejarah,
dan identitas. Nama Buton adalah bukti bahwa sebuah bangsa yang besar adalah
bangsa yang menghormati akar spiritualnya, menghargai perjuangan para
pendirinya, dan senantiasa berpegang pada nilai-nilai keadilan dan
kebijaksanaan dalam menapaki perjalanan zaman.
Demikianlah kisah ini
diceritakan, segala kebenaran detailnya kita kembalikan kepada Allah, Sang
Pemilik Kisah Kehidupan.
.png)
Komentar
Posting Komentar