KISAH GURAUAN NABI MUHAMMAD DENGAN SUHAIB TENTANG KURMA
Di antara ribuan sahabat yang
mengelilingi Nabi Muhammad, ada satu sosok yang memiliki latar belakang unik
dan kedudukan yang istimewa. Ia adalah Suhaib bin Sinan, yang lebih dikenal
dengan julukan Suhaib Ar-Rumi. Julukan "Ar-Rumi" atau "Orang
Romawi" melekat padanya bukan karena ia berdarah Romawi murni, melainkan
karena masa kecilnya yang dihabiskan sebagai tawanan di wilayah kekaisaran
Romawi. Lisan dan logat bicaranya pun terpengaruh oleh lingkungan tersebut.
Namun, takdir Allah membawanya ke Mekah dan mempertemukannya dengan cahaya
Islam.
Keimanan Suhaib begitu tulus dan
pengorbanannya begitu besar. Ketika kaum muslimin hijrah ke Madinah, ia rela
meninggalkan seluruh harta kekayaan yang telah ia kumpulkan dengan susah payah
di Mekah demi menyusul Rosulullah. Kaum musyrikin Quraisy mencegatnya dan hanya
mengizinkannya pergi jika ia menyerahkan semua hartanya. Tanpa ragu, Suhaib
menyetujuinya. Setibanya di Madinah, Nabi Muhammad menyambutnya dengan wajah
berseri dan berkata, "Sungguh beruntung perniagaanmu, wahai Abu
Yahya!" Sebuah pujian yang menunjukkan betapa tingginya nilai pengorbanan
Suhaib di mata Rosulullah.
Kedekatan antara Nabi Muhammad
dan Suhaib terjalin dengan sangat hangat. Suhaib bukanlah sekadar pengikut,
melainkan seorang sahabat karib yang sering berinteraksi langsung dengan
Rosulullah. Beliau melihat ketulusan yang luar biasa di dalam diri Suhaib,
seorang pria yang telah melepaskan identitas duniawinya demi mendapatkan rido Allah.
Kasih sayang Nabi kepada Suhaib terpancar dalam berbagai kesempatan, termasuk
dalam momen-momen santai yang dipenuhi keakraban.
Karakter Suhaib yang cerdas dan
berwawasan luas, hasil dari pengalamannya hidup di berbagai budaya, membuatnya
menjadi teman diskusi yang menyenangkan. Ia tidak canggung untuk berinteraksi
dengan Nabi, dan sebaliknya, Nabi pun merasa sangat nyaman berada di dekatnya.
Kedekatan inilah yang menjadi panggung bagi salah satu kisah gurauan paling
manis dan paling sering dikenang dalam sejarah kehidupan Rosulullah.
Kehidupan di Madinah berjalan
seperti biasa, dipenuhi dengan aktivitas ibadah, sosial, dan persiapan untuk
mempertahankan diri dari berbagai ancaman. Para sahabat, seperti manusia pada
umumnya, juga mengalami sakit dan berbagai ujian kesehatan. Pada suatu hari,
sahabat yang kita cintai, Suhaib Ar-Rumi, sedang mendapatkan ujian kecil dari Allah.
Salah satu matanya mengalami peradangan.
Kondisi ini dalam bahasa Arab
dikenal dengan istilah ramad, yaitu sejenis infeksi atau iritasi yang membuat
mata menjadi kemerahan, bengkak, dan terasa tidak nyaman. Terkadang, kondisi
ini juga membuat mata menjadi lebih sensitif terhadap cahaya dan mengeluarkan
kotoran lebih banyak dari biasanya. Tentu saja, siapapun yang mengalaminya akan
merasa sedikit terganggu dalam melakukan aktivitas sehari-hari.
Untuk melindungi matanya yang
sakit dari debu atau cahaya yang terlalu terang, atau mungkin untuk sekadar
menahan rasa nyeri, Suhaib mungkin membalut matanya atau sering memicingkannya.
Penampilannya hari itu sedikit berbeda dari biasanya. Wajahnya yang biasa
tampak ceria kini sedikit terganggu oleh rasa sakit pada matanya. Namun,
sebagai seorang mukmin yang sabar, ia menerima kondisi ini sebagai bagian dari
ketentuan Allah.
Meskipun sedang tidak dalam
kondisi prima, semangat hidupnya tidak padam. Ia tetap beraktivitas, bergaul
dengan para sahabat lainnya, dan berusaha untuk tidak menjadikan sakitnya
sebagai halangan untuk merasakan nikmat-nikmat lain yang telah Allah berikan.
Justru dalam kondisi inilah, sebuah peristiwa ringan yang penuh hikmah akan
terjadi, sebuah interaksi yang akan dicatat oleh sejarah sebagai bukti
kehangatan akhlak Sang Nabi.
Di tengah Jazirah Arab yang panas
dan gersang, buah kurma adalah anugerah yang luar biasa dari Allah. Ia bukan
sekadar buah, melainkan makanan pokok yang memberikan energi, sumber gizi, dan
juga hidangan penutup yang lezat. Bagi masyarakat Madinah, termasuk bagi Suhaib
Ar-Rumi, menyantap beberapa butir kurma adalah sebuah kenikmatan sederhana yang
mewarnai hari-hari mereka. Rasa manisnya yang legit seakan menjadi penawar dari
kerasnya kehidupan padang pasir.
Meskipun matanya sedang meradang
dan terasa tidak nyaman, hal itu tidak cukup kuat untuk memadamkan selera
Suhaib terhadap buah kesukaannya. Mungkin ia berpikir, sakit ada pada mata,
bukan pada lidah. Maka, dengan santai ia mengambil beberapa butir kurma matang
yang tampak begitu menggoda. Ia duduk di suatu tempat, mungkin di serambi
masjid atau di halaman rumahnya, dan mulai menikmati buah tersebut satu per
satu.
Ia memakan kurma itu dengan
nikmat, sejenak melupakan rasa perih di matanya. Setiap gigitan seolah membawa
kebahagiaan tersendiri. Mungkin ia memakannya dengan sedikit hati-hati,
memiringkan kepalanya agar tidak terlalu banyak bergerak dan mengganggu matanya
yang sakit. Pemandangan ini, jika dilihat sekilas, adalah pemandangan yang
sangat wajar dan manusiawi. Seorang pria yang sedang menikmati makanan
kesukaannya.
Namun, pemandangan sederhana
inilah yang akan menjadi pemicu sebuah interaksi yang penuh dengan kejenakaan
dan kasih sayang. Allah seakan sengaja menciptakan momen ini, di mana seorang
sahabat yang sedang sakit menikmati buah kurma, untuk menunjukkan kepada
seluruh dunia betapa indahnya hubungan antara Nabi Muhammad dengan orang-orang
yang dicintainya. Sebuah momen yang membuktikan bahwa tawa dan senyum adalah
bagian dari sunnahnya.
Pada saat yang bersamaan, Nabi
Muhammad sedang berjalan atau berada tidak jauh dari tempat Suhaib duduk. Mata
beliau yang mulia dan penuh perhatian selalu peka terhadap keadaan para
sahabatnya. Beliau bukan tipe pemimpin yang hanya duduk di menara gading,
melainkan seorang penggembala yang mengenal setiap dombanya, mengetahui setiap
detail keadaan umatnya. Beliau melihat sahabatnya, Suhaib, sedang duduk sambil
menyantap kurma.
Pandangan pertama beliau mungkin
tertuju pada kondisi mata Suhaib yang tampak berbeda. Beliau tentu menyadari
bahwa sahabatnya itu sedang tidak sehat. Namun, pandangan berikutnya menangkap
sebuah kontras yang menarik: di satu sisi ada mata yang sakit, di sisi lain ada
mulut yang sedang asyik mengunyah kurma dengan nikmatnya. Pemandangan ini
sontak memunculkan sisi humoris dari diri Rosulullah. Beliau melihat sebuah
kesempatan untuk menyapa sahabatnya dengan cara yang tidak biasa.
Dengan langkahnya yang tenang dan
penuh wibawa, beliau pun menghampiri Suhaib. Beliau tidak datang dengan wajah
cemas atau dengan niat untuk melarang Suhaib memakan kurma. Dalam beberapa
tradisi pengobatan kuno, ada anggapan bahwa makanan manis dapat memperburuk
peradangan, namun tujuan Nabi bukanlah untuk membahas hal itu. Tujuan beliau
adalah untuk menghibur, untuk menunjukkan perhatian, dan untuk berbagi momen
kebahagiaan ringan.
Suhaib yang sedang asyik dengan
kurmanya mungkin tidak langsung menyadari kehadiran Rosulullah. Ketika ia
mengangkat kepalanya dan melihat sosok yang paling ia cintai dan hormati
berdiri di dekatnya, tentu ia segera memperbaiki posisi duduknya. Ia menyambut
kehadiran Nabi dengan penuh suka cita, tidak menyangka bahwa perjumpaan singkat
ini akan menjadi sebuah kisah yang melegenda.
Setelah berada di dekat Suhaib,
Nabi Muhammad menatapnya dengan senyuman yang khas. Senyuman yang mampu
menenangkan hati siapa saja yang melihatnya. Namun kali ini, ada kilatan jenaka
di sudut matanya yang mulia. Beliau tidak memulai dengan pertanyaan tentang
bagaimana kabar matanya atau ucapan semoga lekas sembuh seperti yang biasa
dilakukan orang. Beliau memilih untuk langsung masuk ke inti godaannya.
Dengan nada yang lembut namun
terdengar lucu, Rosulullah melontarkan sebuah pertanyaan yang menjadi kunci
dari keseluruhan kisah ini. Beliau berkata, "Wahai Suhaib, engkau memakan
kurma padahal matamu sedang sakit?". Pertanyaan ini bukanlah pertanyaan
yang membutuhkan jawaban medis. Ini adalah sebuah sapaan penuh keakraban,
sebuah candaan yang hanya bisa dilontarkan antara dua orang sahabat yang sudah
sangat dekat.
Kalimat tersebut mengandung
sebuah observasi yang lucu. Seolah-olah Nabi berkata, "Bagaimana bisa
engkau menikmati makanan sementara sebagian dirimu sedang merasakan
sakit?". Ini adalah sebuah bentuk perhatian yang dibalut dengan humor.
Daripada bertanya, "Apakah matamu masih sakit?", yang mungkin akan
membuat Suhaib kembali fokus pada penderitaannya, Nabi justru mengalihkan
perhatian pada aktivitas menyantap kurma yang sedang ia lakukan.
Gurauan ini menunjukkan betapa
cerdasnya Nabi dalam berkomunikasi. Beliau tahu betul bagaimana cara menghibur
sahabatnya. Candaan tersebut tidak mengandung unsur ejekan atau penghinaan sama
sekali. Sebaliknya, ia adalah bentuk kepedulian tingkat tinggi. Gurauan itu
seolah berkata, "Aku melihatmu, aku memperhatikan kondisimu, dan aku ingin
membuatmu tersenyum."
Menghadapi gurauan dari sosok
yang paling ia hormati, Suhaib tidak merasa kecil hati atau tersinggung. Ia justru
merasa sangat senang. Mendapat perhatian khusus dari Rosulullah dalam bentuk
candaan adalah sebuah kehormatan tersendiri baginya. Sebagai seorang yang
cerdas dan juga memiliki selera humor, ia tidak membiarkan candaan itu berlalu
begitu saja. Ia tahu bahwa ini adalah sebuah permainan kata yang harus dibalas
dengan kecerdasan yang sepadan.
Seketika, otaknya bekerja cepat
untuk menemukan jawaban balasan yang tidak kalah jenaka. Ia tidak perlu waktu
lama. Dengan wajah yang juga dihiasi senyuman, ia menatap Nabi Muhammad dan
memberikan jawaban yang sangat spontan, cerdas, dan lucu. Jawaban yang
menunjukkan bahwa ia sepenuhnya mengerti arah dari gurauan sang Nabi.
Dengan penuh keyakinan, Suhaib
menjawab, "Tentu saja, wahai Rosulullah. Aku memakannya dengan menggunakan
sisi (mataku) yang lain yang sehat." Jawaban ini sungguh brilian. Ia
bermain dengan logika yang sama seperti yang digunakan oleh Nabi. Jika Nabi
menyoroti bagian tubuh yang sakit, maka Suhaib menyoroti bagian tubuhnya yang
sehat. Seolah ia berkata bahwa ia hanya menggunakan organ-organ tubuhnya yang
berfungsi normal untuk menikmati kurma tersebut.
Jawaban ini sempurna. Ia tidak
menyangkal bahwa ia sedang sakit, namun ia juga tidak membiarkan sakitnya itu
menghalangi kenikmatannya. Ia menunjukkan sikap optimis dan penuh semangat,
bahkan dalam keadaan yang kurang nyaman. Balasan yang cerdas ini menunjukkan
betapa cair dan setaranya hubungan mereka. Suhaib merasa cukup nyaman untuk
membalas candaan pemimpinnya dengan candaan pula.
Mendengar jawaban yang begitu
cepat, cerdas, dan di luar dugaan dari Suhaib, Nabi Muhammad tidak dapat
menahan rasa gelinya. Jawaban itu begitu mengena dan lucu, sehingga pertahanan
beliau untuk tetap tersenyum pun runtuh. Seketika, beliau tertawa dengan begitu
lepas dan tulus. Tawa beliau bukanlah tawa yang dibuat-buat atau sekadar
senyuman sopan. Para sahabat yang meriwayatkan kisah ini menggambarkannya
dengan sangat detail.
Disebutkan bahwa Rosulullah
tertawa hingga "terlihat gigi gerahamnya" atau nawajid beliau. Gigi
geraham adalah gigi yang terletak di bagian paling belakang mulut. Seseorang
yang tertawa hingga gigi gerahamnya terlihat berarti ia sedang tertawa dengan
sangat lebar dan lepas. Ini adalah ekspresi kebahagiaan dan keterhiburan yang
paling puncak dan paling tulus. Momen ini menunjukkan betapa Rosulullah sangat
menikmati dan menghargai kecerdasan humor sahabatnya.
Tawa lepas Rosulullah ini memecah
suasana, mengubah interaksi singkat itu menjadi sebuah kenangan yang penuh
dengan kebahagiaan. Bayangkan betapa bahagianya hati Suhaib saat itu. Tidak ada
hadiah yang lebih indah bagi seorang sahabat selain melihat pemimpin yang
dicintainya tertawa bahagia karena dirinya. Rasa sakit di matanya mungkin
seketika terlupakan, tergantikan oleh kehangatan dan kegembiraan yang
meluap-luap.
Momen berharga ini mengajarkan
kita bahwa Nabi Muhammad, sang utusan agung, juga seorang manusia yang bisa
tertawa dan menikmati lelucon. Tawa beliau adalah tawa yang penuh berkah, tawa
yang merekatkan hati, dan tawa yang mengajarkan bahwa kegembiraan adalah bagian
dari iman. Tawa itu menjadi saksi bisu akan indahnya persahabatan yang
dilandasi oleh cinta karena Allah.
Kisah singkat tentang kurma dan
mata yang sakit ini bukanlah sekadar anekdot ringan tanpa makna. Ia adalah
sebuah miniatur yang memuat pelajaran agung tentang akhlak dan pergaulan dalam
Islam. Di balik tawa Rosulullah, tersimpan hikmah yang mendalam bagi siapa saja
yang mau merenung. Kisah ini menunjukkan bahwa humor dan canda yang sehat
memiliki tempat yang terhormat dalam Islam. Ia bukanlah hal yang tabu atau
bertentangan dengan kesalehan, asalkan tetap berada dalam batas-batas etika.
Pelajaran utama dari kisah ini
adalah bagaimana sebuah candaan dapat berfungsi sebagai perekat kasih sayang
dan persahabatan. Gurauan Nabi kepada Suhaib adalah bentuk perhatian dan
kepedulian yang dibungkus dengan cara yang menyenangkan. Ia menunjukkan bahwa
untuk menghibur orang yang sakit, kita tidak selalu harus menggunakan kalimat
yang formal dan kaku. Terkadang, sebuah godaan ringan yang menunjukkan bahwa
kita memperhatikan detail keadaannya justru terasa lebih hangat dan personal,
membuat yang sakit merasa lebih dihargai dan tidak dikasihani.
Kisah ini juga merupakan perayaan
atas kecerdasan, baik kecerdasan Nabi dalam memulai gurauan maupun kecerdasan
Suhaib dalam menanggapinya. Ia mengajarkan pentingnya memiliki kepekaan sosial
dan kemampuan untuk merespons situasi dengan cara yang tepat. Suhaib tidak
merespons dengan keluhan tentang sakitnya, melainkan dengan jawaban jenaka yang
mengubah potensi keluhan menjadi sumber tawa. Ini adalah cerminan dari pribadi
yang kuat dan optimis, yang tidak membiarkan kesulitan kecil merenggut
kebahagiaannya.
Pada akhirnya, interaksi ini
melukiskan wajah Islam yang sejuk dan ramah. Ia menepis anggapan bahwa menjadi
orang yang taat beragama berarti harus selalu serius dan tanpa senyuman.
Rosulullah, sebagai teladan utama, menunjukkan bahwa kehidupan seorang mukmin
itu seimbang. Ada waktu untuk beribadah dengan khusyuk, ada waktu untuk
berjihad dengan gagah berani, dan ada pula waktu untuk tertawa lepas bersama
sahabat-sahabat tercinta. Candaan beliau menjadi bukti bahwa kebahagiaan dan
kehangatan dalam pergaulan adalah bagian tak terpisahkan dari sunnahnya.
Demikianlah kisah ini
diceritakan, segala kebenaran detailnya kita kembalikan kepada Allah, tuhan
yang maha kuasa.
.png)
Komentar
Posting Komentar