KISAH TSALABAH, SI MISKIN YANG MENJADI KAYA

 

 

 


 

Di Madinah, pada masa awal perkembangan Islam, hiduplah seorang sahabat Anshar bernama Tsalabah bin Hathib. Ia dikenal sebagai seorang yang sangat miskin, namun di sisi lain, ia juga sangat tekun dalam beribadah. Tsalabah tidak pernah ketinggalan untuk melaksanakan salat berjamaah di belakang Rosulullah di Masjid Nabawi. Saking seringnya ia berada di masjid, ia bahkan mendapat julukan "Merpati Masjid". Setiap kali selesai salat, ia tidak berlama-lama berzikir seperti sahabat lainnya. Ia akan bergegas pulang dengan terburu-buru.

Perilakunya yang selalu tergesa-gesa ini menarik perhatian Nabi Muhammad. Suatu hari, Nabi bertanya kepadanya, "Wahai Tsalabah, mengapa engkau selalu terburu-buru pulang seolah sedang dikejar sesuatu?" Dengan wajah yang menunduk malu, Tsalabah menjawab, "Wahai Rosulullah, aku dan istriku di rumah hanya memiliki selembar kain ini saja. Aku memakainya untuk salat, dan setelah itu aku harus segera pulang agar istriku bisa memakainya untuk salat di rumah."

Jawaban itu menunjukkan betapa dalam kemiskinan yang dialami oleh Tsalabah dan keluarganya. Keadaannya yang serba kekurangan tidak melunturkan semangatnya untuk beribadah dan selalu berusaha berada di shaf terdepan dalam salat berjamaah. Ia adalah contoh seorang hamba yang pada awalnya menunjukkan ketakwaan yang tinggi di tengah ujian kemiskinan.

Kisah awalnya ini melukiskan potret seorang mukmin yang zuhud dan taat. Ia tidak menjadikan kemiskinan sebagai alasan untuk lalai dari kewajibannya kepada Allah. Justru, kedekatannya dengan masjid dan Rosulullah menunjukkan betapa ia mendambakan kebaikan dan keberkahan dalam hidupnya, meskipun dunia tidak berpihak kepadanya.

 

Meskipun Tsalabah dikenal sebagai ahli ibadah, kemiskinan yang menderanya terasa begitu berat. Hari demi hari, ia merenungi nasibnya dan mulai berpikir bahwa kekayaan adalah jalan keluar dari kesulitannya. Dengan pemikiran ini, ia memberanikan diri untuk menghadap Nabi Muhammad dan mengajukan sebuah permohonan yang akan mengubah jalan hidupnya selamanya. Ia berkata, "Wahai Rosulullah, doakanlah kepada Allah agar Dia memberiku harta kekayaan."

Mendengar permohonan itu, Nabi Muhammad dengan bijaksana menasihatinya. Rosulullah berkata, "Wahai Tsalabah, sedikit harta yang dapat engkau syukuri itu lebih baik daripada banyak harta namun tidak mampu engkau pikul (tanggung jawabnya)." Nabi memahami betul bahwa kekayaan adalah ujian yang berat dan bisa melalaikan seseorang dari Tuhannya. Nasihat ini adalah bentuk kasih sayang Rosulullah kepada umatnya, agar tidak terjerumus dalam fitnah dunia.

Namun, Tsalabah tidak puas dengan nasihat tersebut. Setelah beberapa waktu, ia datang kembali kepada Rosulullah dan mengulangi permohonan yang sama. Sekali lagi, Nabi Muhammad memberikan nasihat serupa, mengingatkannya akan bahaya dari harta yang melimpah. Beliau bersabda, "Tidakkah engkau memiliki teladan yang baik padaku? Demi Dia yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya aku mau, niscaya gunung-gunung akan berubah menjadi emas dan perak untukku."

Nasihat dan teladan dari Rosulullah ternyata belum mampu meredam keinginan Tsalabah yang begitu kuat untuk menjadi kaya. Baginya, kekayaan adalah solusi utama dari segala masalahnya. Ia terus mendesak, didorong oleh bayang-bayang kehidupan yang lebih baik dan terbebas dari jerat kemiskinan yang selama ini ia rasakan.

 

Setelah beberapa kali permohonannya ditolak dengan nasihat yang lembut, Tsalabah datang untuk ketiga kalinya dengan tekad yang lebih bulat. Kali ini, ia tidak hanya memohon, tetapi juga mengikat dirinya dengan sebuah janji dan sumpah yang agung di hadapan Rosulullah. Dengan penuh keyakinan, ia berkata, "Wahai Rosulullah, demi Allah yang telah mengutusmu dengan kebenaran, doakanlah aku. Jika Allah memberiku harta, aku bersumpah akan memberikan hak kepada setiap pemiliknya."

Janji ini adalah sebuah ikrar yang sangat serius. Tsalabah berjanji bahwa jika ia menjadi kaya, ia tidak akan lupa diri. Ia akan menunaikan semua kewajiban yang melekat pada harta tersebut, termasuk zakat, sedekah, dan membantu sesama. Ia ingin meyakinkan Rosulullah bahwa ia akan menjadi seorang kaya yang bersyukur dan tidak akan tergelincir oleh godaan duniawi.

Melihat kesungguhan dan sumpah yang diucapkan Tsalabah, hati Nabi Muhammad pun luluh. Beliau tidak ingin menghalangi harapan umatnya yang tampak begitu tulus. Dengan mengangkat kedua tangannya, Rosulullah akhirnya mendoakan Tsalabah sesuai dengan permintaannya. Beliau berdoa, "Ya Allah, berikanlah Tsalabah harta."

Doa seorang Nabi yang dikasihi Allah adalah doa yang mustajab. Sejak saat itu, pintu rezeki seolah terbuka lebar untuk Tsalabah. Sumpah yang telah ia ucapkan kini menjadi sebuah perjanjian suci antara dirinya dan Tuhannya, dengan Rosulullah sebagai saksinya. Perjanjian inilah yang kelak akan menjadi tolok ukur keimanannya ketika ujian kekayaan benar-benar datang menghampirinya.

 

Setelah didoakan oleh Nabi Muhammad, Tsalabah memulai usahanya dengan membeli beberapa ekor kambing. Dengan izin Allah, kambing-kambing itu berkembang biak dengan sangat pesat, seolah-olah dihinggapi wabah cacing yang membuatnya beranak pinak tanpa henti. Dalam waktu singkat, jumlah ternaknya meningkat drastis hingga memenuhi setiap sudut lembah di Madinah.

Kekayaan yang datang begitu cepat membuat Tsalabah menjadi sangat sibuk. Ia harus mengurus ternaknya dari pagi hingga petang. Kesibukan ini perlahan-lahan mulai menggerus waktu ibadahnya yang dahulu begitu ia jaga. Jika sebelumnya ia adalah "Merpati Masjid", kini kehadirannya di masjid mulai jarang terlihat. Awalnya, ia masih sanggup untuk salat berjamaah lima waktu.

Namun, seiring dengan jumlah ternaknya yang semakin banyak dan membutuhkan lahan yang lebih luas, Tsalabah terpaksa harus memindahkan peternakannya ke luar Madinah. Ia pindah ke lembah-lembah di sekitar kota yang lebih lapang. Akibatnya, ia tidak lagi bisa mengikuti salat berjamaah lima waktu. Ia hanya sanggup datang ke Madinah untuk menunaikan salat Dzuhur dan Ashar saja secara berjamaah.

Ternaknya terus berkembang, dan kesibukannya pun semakin menjadi-jadi. Ia harus pindah lebih jauh lagi dari pusat kota Madinah. Pada tahap ini, ia bahkan tidak sanggup lagi untuk datang salat berjamaah sama sekali, kecuali hanya pada hari Jumat. Kekayaan yang dulu ia dambakan kini telah menjadi penghalang antara dirinya dengan masjid dan majelis ilmu Rosulullah.

 

Kekayaan Tsalabah terus bertambah hingga tak terkendali. Ternaknya memenuhi lembah-lembah dan perbukitan, membuatnya harus mencari tempat yang semakin jauh dari Madinah. Kesibukannya mengurus ribuan ternak telah menyita seluruh waktu dan perhatiannya. Akhirnya, tibalah saat di mana Tsalabah benar-benar terputus dari komunitas muslim di Madinah. Ia bahkan tidak lagi datang untuk melaksanakan salat Jumat.

Ia telah benar-benar tenggelam dalam lautan dunia. Pagi, siang, dan malam, yang ada di pikirannya hanyalah bagaimana menggembalakan ternaknya, menghitung jumlahnya, dan memastikan semuanya dalam keadaan baik. Janjinya untuk tetap taat seolah terlupakan, tertimbun oleh tumpukan kekayaan yang semakin menggunung. Ia telah jauh dari zikir, jauh dari salat berjamaah, dan jauh dari petunjuk Rosulullah.

Nabi Muhammad yang merasa kehilangan salah satu jamaahnya, bertanya kepada para sahabat, "Apa yang terjadi pada Tsalabah?" Para sahabat pun menceritakan keadaannya, bahwa Tsalabah kini telah menjadi saudagar ternak yang sangat kaya raya dan sibuk hingga tidak punya waktu lagi untuk datang ke masjid. Mendengar hal itu, Nabi Muhammad mengucapkan kalimat yang penuh makna, "Celakalah Tsalabah, celakalah Tsalabah."

Ucapan Rosulullah ini bukanlah kutukan, melainkan sebuah ungkapan kesedihan dan keprihatinan yang mendalam. Beliau melihat bagaimana dunia telah berhasil menawan hati Tsalabah dan melalaikannya dari tujuan hidup yang sebenarnya. Harta yang dahulu ia kejar-kejar dengan doa dan sumpah, kini telah menjadi belenggu yang menjauhkannya dari rahmat Allah.

 

Beberapa waktu kemudian, turunlah perintah dari Allah kepada Nabi Muhammad untuk mengambil zakat dari orang-orang yang mampu, sebagaimana firman-Nya dalam Surah At-Taubah ayat 103. Zakat adalah pilar penting dalam Islam, berfungsi untuk membersihkan harta dan jiwa, serta membantu kaum fakir miskin. Menindaklanjuti perintah ini, Nabi Muhammad segera membentuk tim untuk memungut zakat dan mengutus dua orang sahabat untuk mengambil zakat dari kaum muslimin, termasuk dari Tsalabah.

Ketika kedua utusan Rosulullah itu tiba di peternakan Tsalabah dan menyampaikan surat perintah dari Nabi, wajah Tsalabah berubah. Setelah membaca surat itu dan melihat daftar perhitungan zakat yang harus ia keluarkan dari hartanya yang melimpah, hatinya menjadi berat. Sifat kikir yang lahir dari kecintaannya pada harta mulai menguasai dirinya. Ia merasa sayang untuk mengeluarkan sebagian kecil dari kekayaannya yang telah ia kumpulkan dengan susah payah.

Dengan angkuh, Tsalabah berkata kepada kedua utusan itu, "Apa ini? Ini tidak lain hanyalah upeti! Ini seperti jizyah (pajak yang dikenakan pada non-muslim) saja." Dengan kata-kata itu, ia menolak untuk membayar zakat. Ia meminta kedua utusan itu untuk pergi ke tempat lain terlebih dahulu dan kembali lagi nanti. Ia berpikir bahwa dengan menunda-nunda, ia bisa terhindar dari kewajiban ini.

Penolakan Tsalabah adalah puncak dari kejatuhannya. Ia tidak hanya lalai dari ibadah, tetapi kini ia secara terang-terangan menentang perintah Allah dan Rosul-Nya. Sumpahnya dahulu untuk memberikan hak kepada setiap pemiliknya telah ia khianati sepenuhnya. Kecintaannya pada harta telah membutakan mata hatinya dari kebenaran dan mengubahnya menjadi seorang yang bakhil dan durhaka.

 

Kedua utusan itu kembali ke Madinah dan melaporkan penolakan Tsalabah kepada Nabi Muhammad. Sebelum mereka sempat berbicara, Nabi sudah mengetahui apa yang terjadi melalui wahyu. Beliau kembali mengucapkan, "Celakalah Tsalabah!" Sebagai tanggapan atas peristiwa ini, Allah menurunkan firman-Nya dalam Surah At-Taubah ayat 75-76, yang artinya: "Dan di antara mereka ada orang yang telah berikrar kepada Allah, 'Sesungguhnya jika Allah memberikan sebagian dari karunia-Nya kepada kami, pastilah kami akan bersedekah dan pastilah kami termasuk orang-orang yang saleh.' Maka setelah Allah memberikan kepada mereka sebagian dari karunia-Nya, mereka kikir dengan karunia itu, dan berpaling, dan mereka memanglah orang-orang yang membelakangi (kebenaran)."

Ayat ini menjadi teguran yang keras dan abadi, mengabadikan kisah pengkhianatan janji akibat keserakahan. Berita turunnya ayat yang berkaitan dengan dirinya akhirnya sampai ke telinga Tsalabah. Seketika itu juga, ia diselimuti oleh penyesalan yang luar biasa. Ia sadar telah melakukan kesalahan fatal. Dengan tergesa-gesa, ia mengumpulkan zakatnya dan berlari ke Madinah untuk menyerahkannya kepada Nabi Muhammad. Namun, segalanya sudah terlambat.

Sesampainya di hadapan Nabi, Tsalabah memohon agar zakatnya diterima. Tetapi Nabi Muhammad menolaknya dengan tegas seraya berkata, "Sesungguhnya Allah telah melarangku untuk menerima zakatmu." Betapa hancur hati Tsalabah. Ia menangis dan menaburkan tanah di atas kepalanya, namun penyesalan itu tidak dapat mengubah ketetapan Allah. Nabi Muhammad tidak mau menerimanya hingga beliau wafat.

Setelah Nabi wafat, Tsalabah mencoba lagi pada masa kekhalifahan Abu Bakar, namun Abu Bakar menolaknya, "Rosulullah saja tidak mau menerimanya, bagaimana mungkin aku menerimanya?" Hal yang sama terjadi pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan. Mereka semua menolak untuk menerima zakat dari Tsalabah. Akhirnya, Tsalabah meninggal dunia pada masa kekhalifahan Utsman dalam keadaan yang penuh penyesalan dan hartanya tidak lagi memiliki nilai di sisi Allah.

 

Kisah Tsalabah bin Hathib menyajikan pelajaran yang sangat berharga tentang hakikat ujian dalam kehidupan. Ia mengajarkan bahwa ujian dari Allah tidak hanya datang dalam bentuk kesulitan dan kemiskinan, tetapi juga dalam bentuk kelapangan dan kekayaan. Bahkan, ujian kekayaan seringkali jauh lebih berat karena ia berpotensi melalaikan manusia dari Tuhannya. Kisah ini adalah peringatan keras tentang bahaya sifat kikir, cinta dunia yang berlebihan, dan ingkar janji kepada Allah. Sedikit harta yang disyukuri dan digunakan untuk taat, jauh lebih mulia daripada harta melimpah yang justru menjerumuskan pemiliknya ke dalam kemurkaan Allah.

Pelajaran penting lainnya adalah tentang kebijaksanaan nasihat Rosulullah. Beliau telah memperingatkan Tsalabah, namun keinginan nafsunya lebih mendominasi. Ini menunjukkan betapa pentingnya untuk menaati petunjuk dari orang-orang berilmu dan tidak memaksakan kehendak pribadi yang belum tentu membawa kebaikan. Kisah ini juga menjadi bukti nyata bahwa penyesalan di akhir tidak akan berguna jika pintu ampunan atas kesalahan tertentu telah tertutup. Ia mengajarkan untuk segera bertaubat dan tidak menunda-nunda kewajiban, terutama zakat, karena ia adalah hak orang lain dalam harta kita dan pilar utama agama.

Pada intinya, kisah Tsalabah adalah cerminan bagi setiap insan agar selalu waspada terhadap godaan dunia. Harta bukanlah tujuan, melainkan sarana untuk meraih keridoan Allah. Kesuksesan sejati bukanlah diukur dari banyaknya harta yang dimiliki, melainkan dari seberapa besar rasa syukur dan ketaatan yang mampu kita wujudkan, baik dalam keadaan sempit maupun lapang. Kisah tragis Tsalabah akan selalu menjadi pengingat abadi agar kita tidak menukar kebahagiaan akhirat yang kekal dengan kenikmatan dunia yang fana.

Demikianlah kisah ini diceritakan, segala kebenaran detailnya kita kembalikan kepada Allah, tuhan pemilik kisah kehidupan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Legenda Putri Gunung Ledang, Cerita Rakyat Malaka

Kisah Legenda Puteri Junjung Buih, Cerita Rakyat Kalimantan

Kisah Gunung Sumbing: Sejarah, Legenda dan Cerita Mistis