LEGENDA ARYA PENANGSANG

 


Di tengah pusaran takhta Kesultanan Demak yang mulai goyah pasca kepergian Sultan Patah, lahirlah sebuah kisah tentang dendam kesumat seorang ksatria perkasa. Dari tanah Jipang Panolan yang kering, bangkitlah Arya Penangsang, seorang Adipati yang tersohor dengan kesaktiannya, kuda jantannya yang gagah bernama Gagak Rimang, serta amarahnya yang membara. Legenda ini akan membawa kita menelusuri jejak darah dan perebutan kekuasaan yang mewarnai akhir riwayat Demak dan menjadi cikal bakal lahirnya Kesultanan Pajang. Siapakah sesungguhnya Arya Penangsang, dan bagaimana takdir tragis menjemputnya di tepi Bengawan Sore yang keruh?

Kisah ini berakar pada konflik takhta di Kesultanan Demak setelah wafatnya Raden Patah. Putra mahkota, Pangeran Sabrang Lor, wafat tanpa meninggalkan keturunan, sehingga takhta diperebutkan oleh kedua adiknya, Raden Kikin dan Raden Trenggana. Raden Kikin, atau yang bergelar Pangeran Surawiyata, merasa lebih berhak atas takhta tersebut. Namun, Raden Trenggana yang ambisius juga menginginkan kekuasaan. Konflik di antara keduanya menjadi benih perpecahan yang kelak akan tumbuh menjadi pohon dendam yang berbuah malapetaka bagi seluruh keturunan mereka di kemudian hari.

Perseteruan ini mencapai puncaknya pada suatu malam yang kelam. Putra Raden Trenggana yang bernama Sunan Prawoto, dengan siasat liciknya, menyelinap dan membunuh Raden Kikin di tepi sebuah sungai. Peristiwa tragis inilah yang membuat Raden Kikin mendapat julukan Pangeran Sekar Seda Lepen, yang berarti "Bunga yang Gugur di Sungai". Kematian sang ayah menyisakan luka dan bara dendam yang abadi di dalam dada putranya yang masih belia, Arya Penangsang. Sejak saat itu, ia bersumpah akan menuntut balas atas darah ayahnya yang telah ditumpahkan secara khianat.

Arya Penangsang tumbuh menjadi seorang pemuda yang tangguh di Kadipaten Jipang Panolan. Ia diasuh dan dididik dalam lingkungan yang keras, di bawah bimbingan salah satu Walisongo, Sunan Kudus, yang dikenal memiliki pandangan politik yang tajam. Dari sang guru, Arya Penangsang tidak hanya mempelajari ilmu agama, tetapi juga ilmu kanuragan dan strategi perang. Kesaktiannya semakin lengkap dengan dimilikinya sebuah keris pusaka yang ampuh, bernama Kiai Setan Kober, yang konon memiliki hawa panas dan mampu membangkitkan amarah pemiliknya.

Di bawah asuhan Sunan Kudus, dendam Arya Penangsang terus dipupuk. Sunan Kudus meyakini bahwa setelah Sultan Trenggana wafat, takhta Demak seharusnya jatuh ke tangan Arya Penangsang sebagai ahli waris sah dari Pangeran Surawiyata, yang merupakan kakak dari Sultan Trenggana. Keyakinan inilah yang menjadi justifikasi bagi Arya Penangsang untuk menuntut haknya, sebuah tuntutan yang akan ia perjuangkan dengan pertumpahan darah sekalipun. Ia menunggu saat yang tepat untuk membalaskan dendam keluarganya dan merebut apa yang ia anggap sebagai miliknya.

Waktu terus berjalan, dan Sultan Trenggana memerintah Demak dengan tangan besi, memperluas kekuasaannya hingga ke berbagai penjuru Jawa. Namun, di Jipang, Arya Penangsang terus mengasah pedangnya, mempersiapkan pasukannya, dan menanti dengan sabar. Kuda kesayangannya, Gagak Rimang, ia rawat dengan baik, seolah tahu bahwa kuda gagah itu akan menjadi saksi sebuah pertarungan besar yang akan mengubah peta kekuasaan di tanah Jawa selamanya. Api di Jipang telah tersulut, hanya tinggal menunggu angin untuk membuatnya berkobar menjadi kebakaran besar.

 

Pada tahun 1546 Masehi, Sultan Trenggana, penguasa ketiga Kesultanan Demak, memimpin sebuah ekspedisi militer besar ke arah timur. Ambisinya adalah menaklukkan Pasuruan, salah satu benteng terakhir dari sisa-sisa kekuatan Majapahit yang menolak untuk tunduk di bawah panji-panji Islam Demak. Dengan kekuatan penuh dan kepercayaan diri yang tinggi, Sultan Trenggana mengepung kota pelabuhan yang strategis tersebut. Kemenangan seolah sudah berada di depan mata, yang akan melengkapi kejayaan pemerintahannya atas tanah Jawa.

Namun, takdir berkata lain. Di tengah panasnya pertempuran, saat kemenangan hampir diraih, sebuah peristiwa nahas terjadi. Sultan Trenggana tewas secara tak terduga, bukan oleh sabetan pedang musuh di medan perang, melainkan oleh seorang anak-anak. Konon, seorang bocah laki-laki yang merupakan abdi dalem, menusuknya saat sang Sultan sedang beristirahat. Kematian yang mendadak dan ironis ini sontak menggemparkan seluruh pasukan Demak dan menghentikan laju penaklukan mereka.

Gugurnya Sultan Trenggana di Pasuruan meninggalkan kekosongan kekuasaan yang sangat besar di pusat pemerintahan Demak. Pasukan ditarik mundur, dan kabar duka ini dengan cepat menyebar ke seluruh negeri, membangkitkan kembali hantu perpecahan yang selama ini tertidur. Sesuai dengan garis keturunan, putra Sultan Trenggana, yaitu Sunan Prawoto, naik menggantikannya sebagai Sultan Demak yang keempat. Namun, suksesi ini bukanlah sebuah jalan yang mulus tanpa halangan.

Naiknya Sunan Prawoto ke singgasana Demak kembali membuka luka lama di hati Arya Penangsang. Bagi Adipati Jipang tersebut, Sunan Prawoto adalah pembunuh ayahnya, Pangeran Surawiyata. Kini, sang pembunuh justru duduk di takhta tertinggi kerajaan. Hal ini dianggap sebagai sebuah ketidakadilan yang luar biasa dan penghinaan terhadap garis keturunannya. Bara dendam yang selama bertahun-tahun ia pendam kini mendapatkan bahan bakar untuk berkobar semakin hebat.

Arya Penangsang merasa bahwa inilah saat yang paling tepat untuk bergerak. Dengan mangkatnya Sultan Trenggana yang perkasa, tidak ada lagi sosok sentral yang mampu meredam gejolak di internal keluarga bangsawan Demak. Didukung penuh oleh gurunya, Sunan Kudus, dan keyakinan bahwa dirinyalah pewaris takhta yang sesungguhnya, Arya Penangsang mulai menyusun rencana untuk menyingkirkan Sunan Prawoto dan merebut kembali hak yang ia yakini telah dirampas dari keluarganya. Era pertumpahan darah di Demak akan segera dimulai.

 

Sunan Kudus memegang peranan kunci dalam pusaran konflik ini. Sebagai seorang wali yang dihormati sekaligus penasihat politik yang ulung, ia memberikan legitimasi spiritual dan dukungan penuh kepada Arya Penangsang. Menurut pandangannya, Pangeran Surawiyata (ayah Arya Penangsang) adalah putra sulung Raden Patah yang seharusnya mewarisi takhta, sehingga Arya Penangsang adalah pewaris yang paling sah. Ia melihat naiknya Sunan Prawoto sebagai sebuah penyimpangan dari garis suksesi yang semestinya.

Dengan restu dan siasat dari Sunan Kudus, Arya Penangsang mengirimkan utusan kepercayaannya, seorang prajurit Jipang yang bernama Rangkud, untuk melaksanakan tugas suci sekaligus keji. Rangkud diperintahkan untuk menyusup ke keraton Demak dan membunuh Sunan Prawoto. Misi ini adalah langkah pertama dari pembalasan dendam yang telah lama direncanakan, sebuah tindakan untuk menebus darah Pangeran Sekar Seda Lepen yang telah tumpah di masa lalu.

Rangkud, dengan kesaktian dan kelihaiannya, berhasil menjalankan tugasnya dengan sempurna. Pada suatu malam, ia berhasil menerobos penjagaan ketat istana Demak dan langsung berhadapan dengan Sultan Demak ke-4 itu. Sunan Prawoto, yang konon saat itu sedang dalam kondisi sakit, tidak mampu memberikan perlawanan yang berarti. Dengan kerisnya, Rangkud menghabisi nyawa Sunan Prawoto, menuntaskan babak pertama dari dendam Arya Penangsang yang membara.

Setelah berhasil membunuh Sunan Prawoto, Rangkud mencoba untuk melarikan diri dari keraton. Namun, usahanya diketahui oleh para penjaga istana. Dalam kepungan prajurit Demak, Rangkud yang gagah berani akhirnya tewas. Meskipun ia gugur, misinya telah berhasil. Kematian Sunan Prawoto di tangan utusan dari Jipang menjadi bukti nyata bahwa Arya Penangsang telah secara terbuka menyatakan perang terhadap sisa-sisa keluarga Sultan Trenggana.

Kabar kematian Sunan Prawoto menyebar dengan cepat dan menimbulkan ketakutan di kalangan bangsawan Demak. Arya Penangsang kini dipandang sebagai ancaman terbesar bagi stabilitas kerajaan. Dendamnya ternyata tidak berhenti pada Sunan Prawoto. Ia percaya bahwa semua yang terlibat dan menikmati keuntungan dari kematian ayahnya harus turut menanggung akibatnya. Target selanjutnya pun telah ia tetapkan, yaitu Pangeran Hadiri, suami dari Ratu Kalinyamat.

 

Target selanjutnya dari amuk dendam Arya Penangsang adalah Pangeran Hadiri, yang juga dikenal sebagai Pangeran Kalinyamat. Ia adalah suami dari Ratu Kalinyamat, putri dari Sultan Trenggana. Pangeran Hadiri dianggap sebagai salah satu pilar kekuatan keluarga Cirebon yang bersekutu dengan Demak dan menjadi penghalang bagi ambisi Arya Penangsang untuk menguasai takhta sepenuhnya. Oleh karena itu, ia pun harus disingkirkan dari panggung kekuasaan.

Setelah pemakaman Sunan Prawoto, Pangeran Hadiri dan istrinya, Ratu Kalinyamat, memutuskan untuk kembali ke Jepara, wilayah kekuasaan mereka. Di tengah perjalanan pulang, rombongan mereka dicegat oleh pasukan Jipang yang dipimpin langsung oleh Arya Penangsang. Tanpa basa-basi, pasukan Jipang menyerang rombongan tersebut. Pangeran Hadiri, meskipun seorang adipati, tidak siap menghadapi serangan mendadak yang brutal dari pasukan Arya Penangsang yang jauh lebih kuat.

Dalam pertarungan yang tidak seimbang itu, Pangeran Hadiri tewas terbunuh oleh amukan Arya Penangsang dan pasukannya. Ratu Kalinyamat, dengan hati yang hancur melihat suaminya tewas di hadapannya, berhasil meloloskan diri dari pembantaian tersebut. Ia berlari tanpa tujuan, membawa duka dan amarah yang mendalam. Kematian suaminya, menyusul kematian kakaknya, Sunan Prawoto, membuatnya kehilangan segalanya.

Dengan jiwa yang terguncang, Ratu Kalinyamat memutuskan untuk melakukan sebuah tindakan ekstrem demi menuntut keadilan. Ia pergi ke puncak Gunung Muria untuk menghadap Sunan Kudus, guru dari Arya Penangsang, berharap sang wali dapat menghentikan tindakan muridnya. Namun, Sunan Kudus justru membela tindakan Arya Penangsang. Kecewa dan putus asa, Ratu Kalinyamat kemudian melakukan sumpah yang menggemparkan seluruh tanah Jawa.

Di hadapan para pengikutnya, ia bersumpah tidak akan mengenakan pakaian ("tapa wuda") sebelum ia melihat kepala Arya Penangsang. Sumpahnya yang sakral ini menjadi simbol perlawanan dan tuntutan keadilan tertinggi dari seorang wanita yang terzalimi. Ia bertapa di Gunung Danaraja, memohon kepada Allah Yang Maha Kuasa agar ada seorang ksatria yang mampu mengalahkan Arya Penangsang dan mengakhiri tiraninya. Sumpah ini memberikan tekanan moral yang luar biasa bagi para bangsawan Demak lainnya untuk segera bertindak.

 

Dengan tewasnya Sunan Prawoto dan Pangeran Hadiri, serta Ratu Kalinyamat yang mengasingkan diri untuk bertapa, takhta Demak praktis berada dalam keadaan vakum kekuasaan. Para bangsawan dan adipati bawahan Demak diliputi kebingungan dan ketakutan. Di satu sisi, Arya Penangsang dengan kekuatan militernya dari Jipang siap untuk mengambil alih takhta. Di sisi lain, tidak ada figur sentral yang cukup kuat untuk menandinginya. Kerajaan Demak berada di ambang keruntuhan total.

Dalam situasi genting inilah, muncul sosok Joko Tingkir, menantu kesayangan almarhum Sultan Trenggana. Joko Tingkir, yang telah diangkat menjadi Adipati Pajang dan bergelar Sultan Hadiwijaya, tampil sebagai figur pemersatu. Ia mengumpulkan sisa-sisa bangsawan Demak yang menentang Arya Penangsang. Atas desakan Ratu Kalinyamat dan para sesepuh lainnya, Hadiwijaya didaulat untuk mengambil alih kepemimpinan dan menghadapi ancaman dari Jipang.

Sultan Hadiwijaya sadar bahwa menghadapi Arya Penangsang secara langsung dalam perang terbuka akan sangat berisiko. Arya Penangsang bukan hanya sakti, tetapi juga memiliki pusaka Kiai Setan Kober dan didukung oleh pasukan yang setia dan tangguh. Oleh karena itu, Hadiwijaya memutuskan untuk menggunakan cara yang lebih halus namun mengikat, yaitu dengan menggelar sebuah sayembara agung yang ditujukan kepada seluruh adipati dan ksatria di bawah panji Pajang.

Isi sayembaranya sangat jelas: "Barang siapa yang mampu mengalahkan Arya Penangsang dan memenggal kepalanya, maka ia akan dihadiahi tanah perdikan di Pati dan Mentaok (Mataram)." Sayembara ini adalah sebuah langkah politik yang cerdas. Hadiwijaya tidak perlu mempertaruhkan nyawanya sendiri, namun ia dapat memobilisasi kekuatan para bawahannya yang paling sakti untuk menyingkirkan musuh utamanya. Janji tanah perdikan adalah imbalan yang sangat menggiurkan pada masa itu.

Kabar mengenai sayembara ini menyebar dengan cepat dan menjadi harapan baru bagi mereka yang menentang Arya Penangsang. Para ksatria dari berbagai daerah mulai mempersiapkan diri. Namun, semua mata tertuju pada tiga orang abdi andalan dari Pajang yang dikenal memiliki kesaktian dan kecerdasan di atas rata-rata. Mereka adalah Ki Ageng Pemanahan, Ki Penjawi, dan putra angkat Ki Ageng Pemanahan yang masih sangat muda namun pemberani, Danang Sutawijaya.

 

Menanggapi sayembara yang digelar oleh Sultan Hadiwijaya, dua abdi senior yang paling diandalkan menyatakan kesanggupan mereka. Mereka adalah Ki Ageng Pemanahan dan sahabat karibnya, Ki Penjawi. Keduanya adalah ksatria pilihan yang memiliki kesetiaan tanpa batas kepada Sultan Hadiwijaya dan Kesultanan Pajang. Mereka memahami betul betapa berbahayanya misi ini, namun demi tegaknya keadilan dan masa depan Pajang, mereka siap mempertaruhkan segalanya.

Namun, yang mengejutkan adalah keikutsertaan seorang pemuda belia bernama Danang Sutawijaya. Ia adalah putra kandung dari Ki Ageng Pemanahan yang telah diangkat menjadi anak oleh Sultan Hadiwijaya sendiri. Meskipun usianya masih sangat muda, Sutawijaya telah menunjukkan bakat luar biasa dalam olah kanuragan dan memiliki keberanian yang melampaui usianya. Dengan tekad bulat, ia memohon izin kepada ayah dan Sultan Hadiwijaya untuk turut serta dalam misi berbahaya ini.

Melihat kesungguhan dan keberanian anak angkatnya, Sultan Hadiwijaya merasa terkesan sekaligus khawatir. Untuk membekali Sutawijaya dalam pertarungan melawan Arya Penangsang yang sakti, Sultan Hadiwijaya memberikannya sebuah pusaka andalan milik Pajang. Pusaka tersebut bukanlah keris atau pedang, melainkan sebuah tombak pusaka yang dahsyat bernama Kiai Plered. Tombak ini diyakini memiliki kekuatan gaib yang mampu menandingi kesaktian keris Kiai Setan Kober.

Maka, berangkatlah tiga generasi ksatria Pajang ini menuju medan laga. Ki Ageng Pemanahan sebagai ahli siasat yang matang, Ki Penjawi sebagai ksatria berpengalaman yang tangguh, dan Danang Sutawijaya sebagai pemuda pemberani yang membawa pusaka andalan kerajaan. Mereka memimpin pasukan Pajang untuk bergerak maju, mencari medan terbaik guna memancing Arya Penangsang keluar dari bentengnya di Jipang Panolan.

Misi mereka bukanlah misi yang mudah. Mereka harus menghadapi seorang adipati yang sedang berada di puncak kekuatan dan amarahnya. Arya Penangsang bukanlah musuh sembarangan; ia adalah simbol dari kekuatan, kesaktian, dan dendam yang telah mendarah daging. Pertarungan yang akan terjadi bukan hanya pertarungan fisik, tetapi juga pertarungan siasat, mental, dan kekuatan batin antara dua kubu yang bertikai.

 

Pasukan Pajang, di bawah komando tiga ksatria utamanya, memutuskan untuk tidak langsung menyerang Jipang. Ki Ageng Pemanahan, dengan kecerdikan strateginya, tahu bahwa mereka harus memancing Arya Penangsang keluar dari sarangnya. Mereka kemudian berhenti di tepi Bengawan Sore, sebuah sungai besar yang menjadi batas alami wilayah. Dari seberang sungai, mereka mulai memprovokasi Arya Penangsang dengan caci maki dan tantangan.

Mendengar kabar bahwa pasukan Pajang telah tiba di dekat wilayahnya dan berani menantangnya, Arya Penangsang menjadi murka. Amarahnya semakin memuncak ketika ia melihat Danang Sutawijaya, seorang bocah ingusan, menunggangi kuda betina di tepi sungai, seolah mengejek kejantanannya. Tanpa berpikir panjang dan mengabaikan nasihat para punggawanya untuk tidak terpancing, Arya Penangsang langsung memerintahkan pasukannya untuk menyeberangi Bengawan Sore dan menghabisi pasukan Pajang.

Dengan amarah yang meluap-luap, Arya Penangsang memacu kuda jantan kesayangannya, Gagak Rimang, untuk menerjang derasnya arus Bengawan Sore. Gagak Rimang adalah kuda yang luar biasa, mampu menyeberangi sungai dengan cepat. Namun, siasat Sutawijaya mulai bekerja. Kuda betina yang ditunggangi Sutawijaya sengaja diolesi wewangian yang membuat Gagak Rimang menjadi liar dan sulit dikendalikan. Di tengah sungai, Arya Penangsang harus berjuang keras mengendalikan kudanya yang birahi sekaligus menghadapi serangan dari Sutawijaya.

Pertarungan sengit pun terjadi di tengah sungai yang berarus deras. Danang Sutawijaya, dengan lincah memanfaatkan keadaan, berhasil menusukkan tombak Kiai Plered ke perut Arya Penangsang. Luka yang menganga lebar membuat usus Adipati Jipang itu terburai keluar. Namun, Arya Penangsang bukanlah ksatria biasa. Dalam keadaan terluka parah, ia menunjukkan kesaktiannya yang luar biasa.

Dengan raut muka menahan sakit, ia sampirkan ususnya yang terburai itu ke gagang keris Kiai Setan Kober yang terselip di pinggangnya. Setelah berhasil mencapai seberang sungai, ia kembali berdiri tegak, siap untuk melanjutkan pertarungan. Pasukan Pajang yang melihatnya sempat gentar, tak menyangka ada manusia yang masih bisa berdiri setelah mengalami luka separah itu. Pertarungan akhir yang akan menjadi legenda pun tak terhindarkan.

 

Dengan usus yang tersampir di gagang kerisnya, Arya Penangsang yang terluka parah kembali mengamuk. Ia melompat dari kudanya dan berniat untuk menghabisi Sutawijaya yang masih muda. Melihat lawannya yang begitu tangguh, Sutawijaya mempersiapkan diri untuk pertarungan terakhir. Pertarungan satu lawan satu antara pemuda pembawa takdir Pajang dan adipati terakhir pewaris dendam Demak pun terjadi.

Dalam puncak amarahnya, Arya Penangsang mencabut pusaka andalannya, Keris Kiai Setan Kober, untuk memberikan serangan pamungkas kepada Sutawijaya. Namun, di sinilah takdir tragisnya tersegel. Ketika ia mencabut keris tersebut dari warangkanya, ia lupa bahwa ususnya sendiri tersampir di sana. Ujung keris yang tajam itu pun tanpa sengaja memotong ususnya sendiri. Seketika, Arya Penangsang roboh ke tanah, tewas bukan oleh tangan lawan, melainkan oleh pusakanya sendiri.

Kematian Sang Adipati Jipang yang dramatis dan tragis itu sontak memadamkan semangat juang seluruh pasukannya. Melihat pemimpin mereka telah gugur dengan cara yang demikian, pasukan Jipang menjadi kacau balau dan tercerai-berai. Pasukan Pajang dengan mudah memenangkan pertempuran. Ki Ageng Pemanahan kemudian memenggal kepala Arya Penangsang untuk dibawa ke hadapan Sultan Hadiwijaya sebagai bukti kemenangan sayembara.

Dengan tewasnya Arya Penangsang, berakhirlah era kekuasaan Kesultanan Demak yang telah diwarnai oleh pertumpahan darah antar saudara. Sultan Hadiwijaya kemudian memindahkan pusat kekuasaan dari Demak ke Pajang, dan secara resmi mendirikan Kesultanan Pajang. Sesuai janjinya, ia memberikan hadiah tanah perdikan di Mentaok kepada Ki Ageng Pemanahan dan di Pati kepada Ki Penjawi. Tanah Mentaok inilah yang kelak akan menjadi cikal bakal dari kerajaan Mataram Islam yang agung.

Kisah Arya Penangsang menjadi sebuah pelajaran abadi tentang bagaimana dendam dan amarah yang tak terkendali dapat membawa kehancuran, tidak hanya bagi diri sendiri tetapi juga bagi sebuah kerajaan besar. Ambisi pribadi yang dibalut dengan dalih memperjuangkan hak telah menenggelamkan Demak ke dalam jurang perang saudara. Di sisi lain, kisah ini juga menunjukkan bahwa kesabaran, kecerdikan, dan keberanian pada akhirnya akan membuahkan kemenangan. Takdir tanah Jawa pun bergulir, dari Demak ke Pajang, dan kelak menuju Mataram, meninggalkan jejak legenda para ksatria yang tak akan lekang oleh waktu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Legenda Putri Gunung Ledang, Cerita Rakyat Malaka

Kisah Legenda Puteri Junjung Buih, Cerita Rakyat Kalimantan

Kisah Gunung Sumbing: Sejarah, Legenda dan Cerita Mistis