LEGENDA ASAL USUL NAMA AMBULU (JEMBER)

 


Di sudut selatan Kabupaten Jember, terhampar sebuah wilayah subur yang menyimpan sebuah nama dengan gema masa lalu yang kuat: Ambulu. Nama ini bukanlah sekadar penanda geografis, melainkan sebuah prasasti lisan dari sebuah pengejaran legendaris antara dua tokoh sakti mandraguna. Kisah ini membawa kita kembali ke masa ketika tanah Jawa masih diselimuti hutan lebat dan ilmu kanuragan menjadi penentu kehormatan, menuturkan bagaimana sebuah persembunyian, aroma khas, dan ucapan sakral dapat melahirkan sebuah nama yang abadi hingga kini.

Alkisah, pada zaman dahulu, jauh sebelum Jember terbentuk seperti sekarang, wilayah ini masih menjadi bagian dari kekuasaan Blambangan yang luas dan penuh gejolak. Di masa itu, hiduplah dua orang tokoh besar yang namanya disegani di seluruh penjuru negeri. Keduanya dikenal memiliki ilmu kesaktian yang sangat tinggi, mampu berjalan secepat angin, dan memiliki pengikut yang setia. Namun, takdir menempatkan mereka pada dua jalan yang berbeda, menjadikan mereka musuh bebuyutan.

Tokoh pertama adalah Embah Sayyid, seorang ulama yang dikenal alim, penyabar, dan menyebarkan ajaran kebaikan dengan cara yang lemah lembut. Ia dihormati karena kebijaksanaannya dan kemampuannya mengobati berbagai penyakit. Ajaran Embah Sayyid menekankan pada kedamaian batin dan kepasrahan kepada Awloh, menarik banyak pengikut dari kalangan rakyat jelata yang mendambakan ketenteraman hidup.

Di sisi lain, hiduplah Embah Jenggot, seorang pertapa sakti dengan perawakan gagah dan jenggot lebat kemerahan yang menjadi ciri khasnya. Ia adalah seorang penganut ilmu kebatinan kuno yang keras dan lugas. Baginya, kekuatan dan kekuasaan adalah jalan untuk mencapai kehormatan. Perbedaan prinsip dan cara pandang dalam menyikapi kehidupan inilah yang menjadi jurang pemisah antara dirinya dan Embah Sayyid.

Perbedaan ideologi ini seringkali memicu perselisihan di antara para pengikut mereka. Embah Jenggot menganggap ajaran Embah Sayyid terlalu lunak dan tidak sesuai dengan jiwa ksatria tanah Jawa. Sebaliknya, Embah Sayyid melihat metode Embah Jenggot terlalu mengandalkan kekuatan duniawi dan dapat menjerumuskan orang pada kesombongan. Ketidakcocokan ini terus meruncing dari waktu ke waktu.

Konflik yang semula hanya berupa perdebatan ajaran, perlahan berubah menjadi perseteruan pribadi yang sengit. Embah Jenggot, dengan wataknya yang keras, merasa terhina karena pengaruh Embah Sayyid yang semakin meluas. Ia pun bersumpah untuk menyingkirkan Embah Sayyid dari tanah itu, membuktikan bahwa ilmunya adalah yang paling unggul. Sumpah inilah yang menjadi awal dari sebuah pengejaran legendaris yang akan menentukan sejarah sebuah tempat.

 

Sumpah Embah Jenggot bukanlah gertakan sambal. Pada suatu hari yang telah ditentukan, ia bersama para pengikutnya mendatangi padepokan Embah Sayyid dengan niat untuk menantangnya dalam sebuah pertarungan hidup dan mati. Embah Sayyid, yang cinta damai dan tidak ingin terjadi pertumpahan darah di antara para pengikut, memutuskan untuk menghindari pertarungan tersebut. Baginya, melayani amarah hanya akan menimbulkan kerusakan yang lebih besar.

Maka, dimulailah sebuah pengejaran yang luar biasa. Embah Sayyid, dengan ilmu meringankan tubuhnya, melesat meninggalkan padepokannya, berlari ke arah selatan menuju hutan belantara yang masih perawan. Embah Jenggot, yang tak mau kehilangan buruannya, segera mengerahkan seluruh kesaktiannya untuk mengejar. Pengejaran itu bukanlah pengejaran biasa, melainkan adu kesaktian tingkat tinggi.

Keduanya melintasi sungai-sungai besar dengan sekali lompatan, melewati perbukitan terjal seolah berjalan di tanah datar, dan menembus lebatnya hutan tanpa meninggalkan jejak yang berarti. Rakyat yang kebetulan melihat peristiwa itu hanya bisa terperangah, menyaksikan dua bayangan yang melesat begitu cepat di antara pepohonan. Angin bertiup kencang mengiringi setiap langkah mereka, seolah alam pun turut menjadi saksi dari perseteruan dua manusia sakti itu.

Pengejaran berlangsung selama berhari-hari tanpa henti. Tenaga Embah Sayyid yang terus berlari mulai terkuras, sementara Embah Jenggot di belakangnya seakan tidak mengenal lelah, didorong oleh amarah dan ambisinya yang membara. Embah Sayyid tahu ia tidak bisa terus berlari. Ia harus segera mencari sebuah tempat persembunyian yang aman, sebuah tempat yang tidak akan bisa ditemukan oleh Embah Jenggot.

Semakin jauh ke selatan mereka berlari, medan yang dilalui pun semakin sulit. Hutan semakin rapat, dan suara binatang buas terdengar bersahutan. Namun, semua itu tidak menyurutkan tekad Embah Jenggot untuk menangkap musuh bebuyutannya. Di sisi lain, Embah Sayyid terus berdoa dalam hatinya, memohon petunjuk dan perlindungan dari Yang Maha Kuasa dalam situasi yang sangat genting itu.

 

Menyadari bahwa lawannya adalah pelacak yang ulung, Embah Sayyid mulai menggunakan berbagai cara untuk menghilangkan jejaknya. Ia sengaja berlari melintasi aliran sungai yang deras, berharap aroma tubuh dan jejak kakinya akan terhapus oleh air. Ia melompat dari satu dahan pohon ke dahan pohon lainnya, berusaha untuk tidak menyentuh tanah sama sekali agar tidak meninggalkan bekas apa pun.

Setiap kali ia merasa Embah Jenggot hampir mendekat, ia akan menggunakan ilmu kanuragan untuk mengecoh. Terkadang ia memecah dirinya menjadi beberapa bayangan yang berlari ke arah yang berbeda, atau membuat ilusi pepohonan yang bergerak untuk membingungkan pandangan lawannya. Semua itu dilakukan demi mendapatkan sedikit waktu untuk beristirahat dan memikirkan langkah selanjutnya.

Namun, Embah Jenggot bukanlah lawan yang mudah ditipu. Kesaktiannya dalam melacak tidak hanya mengandalkan mata fisik, tetapi juga mata batin dan indera penciuman yang luar biasa tajam. Ia dapat merasakan getaran energi yang ditinggalkan oleh Embah Sayyid dan mencium aroma khas tubuh sang ulama meskipun telah berusaha dihapus oleh air dan angin. Setiap tipuan yang dibuat oleh Embah Sayyid dapat ia patahkan dengan mudah.

Frustrasi karena semua usahanya sia-sia, Embah Sayyid mulai merasa putus asa. Tenaganya benar-benar sudah di ambang batas. Napasnya tersengal-sengal, dan kakinya terasa berat untuk melangkah. Ia tiba di sebuah dataran terbuka yang dikelilingi oleh rerimbunan pohon bambu dan semak belukar yang lebat. Dari kejauhan, ia bisa mendengar teriakan Embah Jenggot yang semakin mendekat.

Di titik inilah, Embah Sayyid merasa terpojok. Tidak ada lagi jalan untuk berlari. Di hadapannya hanya ada semak belukar yang rapat. Ia memejamkan mata sejenak, memasrahkan seluruh nasibnya kepada Awloh. Ia percaya bahwa jika memang takdirnya harus berakhir di sini, ia akan menerimanya dengan Rido. Namun, dalam kepasrahannya itulah sebuah petunjuk gaib datang kepadanya.

 

Tepat ketika Embah Sayyid merasa semua harapan telah pupus, matanya menangkap sesuatu yang ganjil di antara akar-akar sebuah pohon bambu besar. Terdapat sebuah lubang kecil di dalam tanah, tidak lebih besar dari lubang yang dibuat oleh hewan luwing atau kaki seribu. Dalam keadaan normal, tidak mungkin seorang manusia dewasa dapat masuk ke dalam lubang sekecil itu.

Namun, bagi seorang yang memiliki ilmu kesaktian tinggi, hal yang mustahil bisa menjadi mungkin. Embah Sayyid melihat lubang itu sebagai satu-satunya jalan keluar, sebuah jawaban atas doanya. Tanpa berpikir panjang lagi, ia segera memusatkan seluruh sisa tenaga dan kekuatan batinnya. Ia membaca sebuah ajian atau doa khusus untuk membuat tubuhnya menjadi lentur dan mampu menyesuaikan diri.

Dengan izin Awloh, keajaiban pun terjadi. Tubuh Embah Sayyid seakan menyusut dan dengan mudah ia masuk ke dalam lubang kecil itu. Ia terus merayap masuk ke dalam, menyusuri lorong tanah yang gelap dan pengap. Di dalam sana, ia menemukan sebuah rongga yang cukup besar untuk bersembunyi dan mengatur napas. Ia segera menutup kembali mulut lubang dari dalam dengan tanah dan dedaunan kering.

Dari dalam persembunyiannya yang sempit, Embah Sayyid bisa mendengar suara langkah kaki Embah Jenggot yang tiba di lokasi itu. Jantungnya berdebar kencang. Ia menahan napas, berdoa agar persembunyiannya tidak terungkap. Kegelapan dan kesunyian di dalam lubang itu menjadi satu-satunya pelindungnya saat itu. Ia memasrahkan segalanya, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.

Lubang kecil yang menjadi penyelamat itu bukanlah lubang biasa. Konon, lubang itu adalah sebuah lorong gaib yang hanya bisa dilihat oleh orang-orang tertentu yang berada dalam keadaan terdesak dan memiliki hati yang bersih. Itu adalah pertolongan dari alam semesta yang berpihak pada niat baik Embah Sayyid untuk menghindari pertikaian.

 

Beberapa saat setelah Embah Sayyid berhasil menyembunyikan diri, Embah Jenggot tiba di dataran terbuka itu. Ia berhenti sejenak, mengedarkan pandangannya ke sekeliling dengan mata yang awas. Jejak terakhir musuhnya berhenti tepat di tempat itu, lalu lenyap tanpa bekas. Embah Jenggot menggeram marah. Ia merasa dipermainkan. Ia tahu Embah Sayyid pasti bersembunyi di suatu tempat di dekatnya.

Dengan amarah yang meluap, ia mulai membabat semak belukar dengan tangannya yang sekeras baja. Pohon-pohon bambu ia tebang dengan sekali hentakan, berharap dapat menemukan tempat persembunyian Embah Sayyid. Namun, usahanya sia-sia. Ia tidak menemukan apa-apa selain tanah kosong dan akar-akar pohon yang berserakan.

Meskipun lawannya telah hilang dari pandangan, Embah Jenggot tidak menyerah. Ia duduk bersila di tengah dataran itu, memejamkan mata dan memusatkan seluruh indera batinnya. Ia adalah seorang ahli dalam ilmu pelacakan gaib. Ia mencoba merasakan getaran energi kehidupan Embah Sayyid, namun anehnya, energi itu seakan lenyap ditelan bumi. Ini membuatnya semakin penasaran sekaligus tertantang.

Ia kemudian beralih menggunakan indera penciumannya yang sangat tajam, sebuah kesaktian yang jarang dimiliki orang lain. Ia mampu mengenali aroma khas setiap orang dari jarak yang sangat jauh. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menangkap sisa-sisa aroma tubuh Embah Sayyid yang mungkin masih tertinggal di udara. Angin sepoi-sepoi yang berhembus seakan menjadi temannya dalam pencarian ini.

Embah Jenggot berjalan perlahan, mengendus udara seperti seekor hewan pemburu yang sedang melacak mangsanya. Ia berkeliling di area itu, dari satu sudut ke sudut lainnya. Setiap jengkal tanah ia periksa, setiap rerimbunan daun ia selidiki. Kesabarannya yang mulai menipis kini diuji. Namun, keyakinannya bahwa Embah Sayyid ada di dekat situ tidak pernah goyah sedikit pun.

 

Setelah beberapa lama berkeliling tanpa hasil, Embah Jenggot hampir saja menyerah. Ia berpikir mungkin Embah Sayyid telah menggunakan ilmu menghilang yang sempurna. Namun, tepat ketika ia hendak beranjak pergi, angin bertiup sedikit lebih kencang dari arah rumpun bambu besar. Bersama hembusan angin itu, terciumlah sebuah aroma yang sangat ia kenal.

Aroma itu sangat samar, namun begitu khas. Itu adalah aroma wewangian dari bunga melati dan kayu gaharu yang sering digunakan oleh Embah Sayyid untuk beribadah. Aroma itu seakan keluar dari dalam tanah. Embah Jenggot berhenti, hidungnya kembang kempis, memastikan bahwa ia tidak salah. Tidak salah lagi, ini adalah bau atau "ambu" dari musuh bebuyutannya.

Dengan mata yang menyala penuh kemenangan, Embah Jenggot mengikuti arah datangnya aroma itu. Semakin ia mendekati rumpun bambu besar, aroma itu menjadi semakin jelas. Ia menyingkirkan dedaunan kering yang menutupi tanah di bawah pohon bambu itu, dan hidungnya menuntunnya pada sebuah titik di mana aroma itu paling kuat. Di sanalah ia melihat sebuah lubang kecil yang tertutup dengan tanah yang masih baru.

Hatinya bersorak. Ia tahu ia telah menemukan tempat persembunyian Embah Sayyid. Sebuah senyum sinis terukir di wajahnya. Ia tidak menyangka bahwa seorang yang sakti seperti Embah Sayyid akan bersembunyi di dalam lubang kecil seperti seekor tikus tanah. Ia merasa kemenangannya sudah di depan mata.

Di dalam lubang, Embah Sayyid yang mendengar langkah kaki berhenti tepat di atasnya menjadi semakin waspada. Ia pun bisa mencium aroma tubuh Embah Jenggot dari luar. Ia tahu bahwa persembunyiannya telah terungkap. Tidak ada lagi yang bisa ia lakukan selain bersiap menghadapi apa pun yang akan terjadi. Ia terus berzikir, memohon kekuatan dan ketabahan hati.

 

Berdiri di depan lubang persembunyian itu, Embah Jenggot tidak langsung membongkarnya. Ia justru tertawa terbahak-bahak, sebuah tawa kemenangan yang menggema di seluruh hutan. Ia ingin mempermainkan lawannya terlebih dahulu, menikmati momen ketika ia berhasil memojokkan sang ulama yang selama ini ia anggap sebagai saingan beratnya.

Sambil menunjuk ke arah lubang itu, dengan suara yang keras dan penuh keyakinan, Embah Jenggot berteriak. Ucapannya bukan teriakan amarah, melainkan sebuah proklamasi penemuannya. Ia berkata dalam bahasa Jawa khas daerah itu, "Ambu...!" yang berarti "Bau ini...!" atau "Aroma ini...!". Ia berhenti sejenak, seolah ingin memastikan seluruh alam mendengar kata-katanya.

Kemudian, ia melanjutkan kalimatnya dengan sebuah kata penegasan, "...Wis mbulu!". Kata "mbulu" dalam konteks ini adalah bahasa lokal yang berarti "sudah ketemu" atau "sudah kutemukan". Jadi, kalimat lengkap yang ia ucapkan adalah "Ambu... wis mbulu!", yang secara harfiah berarti "Aromanya... sudah kutemukan!". Sebuah kalimat sederhana namun penuh dengan makna kemenangan baginya.

Ucapan itu begitu kuat dan penuh dengan energi kesaktian, hingga konon kata-kata itu terpatri di tempat tersebut. Angin berhenti berhembus, dan suara binatang hutan pun sejenak terdiam, seolah ikut menjadi saksi dari ucapan sakral itu. Kalimat "Ambu... mbulu" itu menjadi penanda akhir dari pengejaran panjang dan awal dari sebuah nama.

Mendengar teriakan itu dari dalam tanah, Embah Sayyid pun menghela napas panjang. Ia tahu permainannya telah usai. Dengan tenang, ia keluar dari lubang persembunyiannya, berdiri tegak di hadapan Embah Jenggot. Wajahnya tidak menunjukkan rasa takut, hanya kepasrahan dan ketenangan. Perseteruan dua tokoh sakti itu kini mencapai puncaknya.

 

Melihat Embah Sayyid keluar dari persembunyiannya, Embah Jenggot tertegun sejenak. Ia mengharapkan melihat wajah yang ketakutan, namun yang ia lihat adalah ketenangan yang luar biasa. Entah mengapa, melihat ketenangan itu, amarah di dalam dada Embah Jenggot perlahan mereda. Ia sadar, pertarungan fisik tidak akan pernah bisa mengalahkan ketenangan batin yang dimiliki lawannya.

Dalam keheningan itu, kedua tokoh sakti itu hanya saling berpandangan. Tidak ada lagi kata-kata yang terucap. Mereka seakan menyadari bahwa perseteruan mereka tidak akan membawa kebaikan bagi siapa pun. Di tempat di mana Embah Jenggot mengucapkan kata sakralnya, mereka berdua akhirnya mencapai sebuah kesepakatan damai, mengakhiri permusuhan yang telah berlangsung lama.

Sejak peristiwa legendaris itu, orang-orang yang mengetahui kisah tersebut mulai menyebut daerah tempat pengejaran itu berakhir dengan nama yang berasal dari ucapan Embah Jenggot. Dari gabungan kata "Ambu" dan "Mbulu", lahirlah nama "Ambulu". Nama itu terus melekat, dari sebuah sebutan lisan hingga akhirnya menjadi nama resmi bagi sebuah wilayah yang kini kita kenal sebagai Kecamatan Ambulu.

Lubang kecil tempat Embah Sayyid bersembunyi pun menjadi sebuah tempat yang dikeramatkan. Tempat itu kini dikenal sebagai Petilasan Embah Sayyid dan masih sering dikunjungi oleh orang-orang untuk berziarah dan mengenang kembali kisah asal-usul nama desa mereka. Batu-batu yang ada di sekitar petilasan konon adalah jelmaan dari para pengikut Embah Jenggot yang menyaksikan peristiwa itu.

Kisah ini mengajarkan kita bahwa sebuah nama dapat lahir dari peristiwa yang luar biasa. Ia juga memberi pesan moral bahwa permusuhan yang didasari oleh amarah dan keegoisan tidak akan pernah menghasilkan kemenangan sejati. Justru kebijaksanaan dan kesabaranlah yang pada akhirnya membawa kedamaian. Legenda Ambulu menjadi bukti bahwa bahkan sebuah pengejaran pun dapat mewariskan sebuah identitas yang abadi bagi generasi sesudahnya. Demikianlah kisah ini diceritakan, segala kebenaran detailnya kita kembalikan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Legenda Putri Gunung Ledang, Cerita Rakyat Malaka

Manunggaling Kawula Gusti: Penyatuan Spiritual dalam Budaya Jawa.

Kisah Asal-Usul Padi, Legenda Dewi Sri