LEGENDA CIUNG WANARA
Jauh di tanah Pasundan, terhampar
sebuah kerajaan yang subur dan makmur bernama Galuh. Di balik kemegahannya,
tersimpan sebuah kisah yang melegenda, sebuah epik tentang perebutan takhta,
fitnah keji, dan takdir seorang pangeran yang terbuang. Kisah ini berpusat pada
dua sosok pangeran, Ciung Wanara dan Hariang Banga, yang takdirnya terjalin
dalam sebuah perseteruan yang akan menentukan masa depan Kerajaan Galuh. Mari
kita telusuri alur ceritanya, menyingkap intrik istana yang kelam dan
perjuangan seorang anak manusia untuk merebut kembali haknya yang terenggut.
Dahulu kala, di Kerajaan Galuh
yang permai, bertakhtalah seorang raja yang arif dan bijaksana bernama Prabu
Permana Di Kusumah. Ia memiliki dua orang permaisuri yang cantik jelita, Dewi
Naganingrum dan Dewi Pangrenyep. Setelah lama memerintah dengan adil, Sang
Prabu merasakan sebuah kegelisahan batin dan memutuskan untuk meninggalkan
singgasana kerajaan untuk menjadi seorang pertapa. Keputusan ini membuka jalan
bagi sebuah pengkhianatan yang akan mengubah nasib kerajaan selamanya.
Sebelum berangkat ke
pertapaannya, Prabu Permana Di Kusumah memanggil seorang menteri
kepercayaannya, Aria Kebonan. Dengan kesaktiannya, Sang Prabu mengetahui niat
tersembunyi Aria Kebonan yang berhasrat menjadi raja. Maka, Sang Prabu pun
menyerahkan takhtanya untuk sementara kepada Aria Kebonan dengan dua syarat: ia
harus memerintah dengan adil dan tidak boleh menganggap kedua permaisuri
sebagai istrinya. Aria Kebonan menyanggupi kedua syarat tersebut.
Dengan kesaktiannya pula, Prabu
Permana Di Kusumah mengubah penampilan Aria Kebonan menjadi lebih muda dan
memberinya nama baru, Prabu Barma Wijaya Kusumah. Namun, kekuasaan ternyata
membutakan mata hatinya. Prabu Barma Wijaya melupakan janjinya dan mulai
memerintah dengan sewenang-wenang. Ia bahkan berani mendekati kedua permaisuri,
Dewi Naganingrum dan Dewi Pangrenyep.
Sifat kedua permaisuri yang
berbeda menjadi penentu alur cerita selanjutnya. Dewi Naganingrum yang penyabar
dan baik hati menolak dengan halus, sementara Dewi Pangrenyep yang memiliki
sifat angkuh dan pencemburu justru melihat ini sebagai sebuah kesempatan. Ia
bersedia menjadi istri Prabu Barma Wijaya, memulai sebuah persekongkolan jahat
yang akan menimpa Dewi Naganingrum.
Persekongkolan ini menjadi awal
dari penderitaan panjang bagi Dewi Naganingrum dan putranya yang kelak akan
lahir. Kejahatan yang tersembunyi di balik kemegahan istana ini akan menjadi
bibit dari sebuah pertikaian besar yang akan mengguncang Kerajaan Galuh hingga
ke akar-akarnya.
Tidak lama setelah persekongkolan
itu, kedua permaisuri pun mengandung dalam waktu yang hampir bersamaan. Dewi
Pangrenyep, yang bersekutu dengan Prabu Barma Wijaya, melahirkan seorang putra
yang diberi nama Hariang Banga. Kelahirannya disambut dengan pesta pora oleh
pihak kerajaan. Namun, kebahagiaan ini ternoda oleh rasa iri dan dengki yang
membara di hati Dewi Pangrenyep terhadap Dewi Naganingrum.
Beberapa waktu kemudian, tibalah
saatnya Dewi Naganingrum melahirkan. Dewi Pangrenyep, dengan niat jahatnya,
menawarkan diri untuk membantu proses persalinan. Saat itulah, ia menjalankan
rencana kejinya. Bayi laki-laki yang baru dilahirkan oleh Dewi Naganingrum ia
tukar dengan seekor anak anjing, sementara bayi yang sesungguhnya ia masukkan
ke dalam sebuah kandaga emas bersama sebutir telur ayam.
Dewi Naganingrum yang malang
tidak menyadari tipu muslihat tersebut. Prabu Barma Wijaya, yang telah termakan
oleh fitnah Dewi Pangrenyep, menjadi murka luar biasa. Ia menuduh Dewi
Naganingrum telah melahirkan anak anjing dan dianggap telah membawa aib bagi
kerajaan. Tanpa berpikir panjang, ia memerintahkan seorang punggawa setia
bernama Uwa Batara Lengser untuk membuang Dewi Naganingrum ke hutan belantara.
Dengan hati yang hancur, Uwa
Batara Lengser membawa Dewi Naganingrum ke dalam hutan. Namun, ia tidak tega
untuk membunuhnya karena ia tahu bahwa sang permaisuri adalah korban dari
sebuah fitnah yang kejam. Ia pun meninggalkan Dewi Naganingrum di tengah hutan
dan kembali ke istana dengan membawa bukti palsu seolah-olah ia telah melaksanakan
perintah raja.
Sementara itu, kandaga emas yang
berisi bayi tak berdosa itu dihanyutkan ke Sungai Citanduy, terapung-apung
mengikuti arus nasib. Dari sinilah perjalanan hidup sang pangeran yang terbuang
dimulai, sebuah perjalanan yang akan membawanya kembali ke takhta yang
seharusnya menjadi miliknya.
Kandaga emas yang terapung di
Sungai Citanduy akhirnya tersangkut pada jala milik sepasang suami istri tua
yang baik hati, Aki dan Nini Balangantrang. Mereka sangat terkejut sekaligus
bahagia menemukan seorang bayi laki-laki yang mungil dan tampan di dalamnya.
Tanpa ragu, mereka membawa bayi itu pulang dan merawatnya seperti anak kandung
sendiri.
Bayi itu tumbuh menjadi seorang
pemuda yang gagah, cerdas, dan rupawan. Namun, hingga dewasa ia belum memiliki
nama. Suatu hari, ketika ia sedang menemani Aki Balangantrang berburu di hutan,
ia melihat seekor burung dan seekor kera. Ia pun bertanya kepada Aki nama kedua
binatang tersebut.
Aki Balangantrang menjelaskan
bahwa burung itu bernama "Ciung" dan kera itu disebut
"Wanara". Terinspirasi oleh kedua nama tersebut, pemuda itu meminta
kepada ayah angkatnya agar ia diberi nama Ciung Wanara. Aki Balangantrang pun
setuju, karena nama itu dirasa cocok dengan karakter anaknya yang lincah dan
cerdas.
Ciung Wanara tumbuh menjadi
pemuda yang sangat dihormati di desanya. Ia memiliki kemampuan berburu yang
hebat dan selalu bersikap baik kepada semua orang. Meskipun hidup sederhana, ia
menunjukkan tanda-tanda sebagai seorang keturunan ningrat, yang membuat Aki dan
Nini Balangantrang semakin yakin bahwa ia bukanlah anak sembarangan.
Aki dan Nini Balangantrang selalu
menyimpan rahasia tentang asal-usul Ciung Wanara. Mereka tidak pernah
memberitahukan bahwa ia ditemukan di dalam sebuah kandaga di sungai. Namun,
mereka yakin bahwa suatu saat nanti, takdir akan membawa Ciung Wanara untuk
mengetahui jati dirinya yang sebenarnya.
Suatu hari, Ciung Wanara
menemukan sebutir telur di dalam kandaga emas tempat ia dulu ditemukan. Ia pun
mengerami telur tersebut hingga menetas menjadi seekor ayam jantan yang gagah.
Ayam itu tumbuh dengan cepat dan memiliki kokokan yang sangat merdu. Namun,
yang lebih istimewa adalah kekuatan gaib yang dimilikinya.
Ayam jantan milik Ciung Wanara
bukanlah ayam biasa. Ia memiliki kesaktian yang luar biasa dan tidak
terkalahkan dalam setiap pertarungan sabung ayam di desanya. Kehebatan ayam
jantan ini menjadi buah bibir dan membuat nama Ciung Wanara semakin dikenal
luas. Ayam inilah yang kelak akan menjadi kunci bagi Ciung Wanara untuk membuka
tabir masa lalunya.
Ketika Ciung Wanara beranjak
dewasa, Aki Balangantrang merasa sudah saatnya ia mengetahui kebenaran. Ia pun
menceritakan semua tentang penemuannya di Sungai Citanduy, lengkap dengan
kandaga emas dan sebutir telur peninggalan orang tuanya. Mendengar cerita itu,
Ciung Wanara bertekad untuk pergi ke Kerajaan Galuh dan mencari tahu
asal-usulnya.
Dengan berbekal ayam jantan
saktinya, Ciung Wanara berpamitan kepada Aki dan Nini Balangantrang. Ia memulai
sebuah perjalanan panjang menuju ibu kota Kerajaan Galuh, sebuah perjalanan
yang penuh dengan tantangan dan misteri. Ia tidak tahu bahwa perjalanannya ini
akan membawanya pada sebuah pertarungan besar yang akan menentukan nasibnya dan
juga nasib Kerajaan Galuh.
Perjalanan Ciung Wanara ke Galuh
adalah sebuah perjalanan untuk mencari kebenaran dan keadilan. Ia membawa serta
harapan dari kedua orang tua angkatnya dan sebuah tekad yang membara untuk
mengungkap fitnah yang telah menimpa ibu kandungnya.
Setibanya di Galuh, Ciung Wanara
mendengar kabar bahwa Prabu Barma Wijaya sangat gemar menyelenggarakan sabung
ayam. Ini adalah kesempatan emas bagi Ciung Wanara. Dengan percaya diri, ia
mendaftarkan ayam jantannya untuk bertarung di arena kerajaan. Ayam sakti Ciung
Wanara dengan mudah mengalahkan semua lawannya, hingga akhirnya berita tentang
kehebatan ayam ini sampai ke telinga sang raja.
Prabu Barma Wijaya, yang merasa
tertantang, memerintahkan agar ayam jantan Ciung Wanara diadu dengan ayam jago
andalannya yang bernama si Jeling. Raja pun membuat sebuah taruhan yang sangat
besar. Jika ayam Ciung Wanara kalah, maka ia akan dihukum pancung. Namun, jika
ayamnya menang, Ciung Wanara berhak mendapatkan separuh dari Kerajaan Galuh.
Pertarungan sengit pun terjadi
antara kedua ayam jago tersebut. Ayam milik Ciung Wanara, yang ternyata
memiliki kekuatan gaib dari seekor naga bernama Nagawiru yang pernah
mengeraminya, berhasil mengalahkan ayam andalan sang raja. Sesuai dengan
perjanjian, Prabu Barma Wijaya dengan sangat terpaksa harus menyerahkan
setengah dari kerajaannya kepada Ciung Wanara.
Saat penobatan Ciung Wanara
sebagai penguasa setengah kerajaan, ayam jantannya berkokok dengan sangat aneh.
Kokokannya menceritakan semua kejadian di masa lalu: tentang seorang permaisuri
yang difitnah, seorang bayi yang dibuang ke sungai, dan sebuah persekongkolan
jahat di dalam istana. Uwa Batara Lengser, yang hadir dalam upacara itu,
langsung menyadari bahwa pemuda yang berdiri di hadapannya adalah putra dari
Dewi Naganingrum yang dulu ia selamatkan.
Kebenaran pun mulai terungkap.
Uwa Batara Lengser segera menceritakan semua yang ia ketahui kepada Ciung
Wanara. Betapa terkejutnya Ciung Wanara mengetahui bahwa raja yang baru saja ia
kalahkan adalah orang yang telah berbuat zalim kepada ibu kandungnya.
Setelah mengetahui seluruh
kebenaran tentang asal-usulnya dan kekejaman yang menimpa ibunya, Ciung Wanara
merencanakan sebuah pembalasan. Ia membangun sebuah penjara yang terbuat dari
besi yang sangat kuat. Setelah penjara itu selesai, ia mengundang Prabu Barma
Wijaya dan Dewi Pangrenyep untuk melihatnya.
Dengan dalih menunjukkan kekuatan
penjara tersebut, Ciung Wanara berhasil menjebak Prabu Barma Wijaya dan Dewi
Pangrenyep di dalamnya. Ia kemudian mengumumkan semua kejahatan yang telah
mereka lakukan di hadapan seluruh rakyat Galuh. Rakyat yang selama ini hidup
dalam ketakutan di bawah pemerintahan Prabu Barma Wijaya pun bersorak gembira.
Di saat yang bersamaan, Prabu
Permana Di Kusumah yang asli muncul dari pertapaannya. Dengan kesaktiannya, ia
mengutuk Prabu Barma Wijaya menjadi seekor monyet dan Dewi Pangrenyep menjadi
seekor burung gagak sebagai balasan atas perbuatan jahat mereka. Keduanya
kemudian diusir ke dalam hutan larangan untuk menjalani sisa hidup mereka dalam
wujud binatang.
Keadilan akhirnya ditegakkan.
Ciung Wanara kemudian menjemput ibu kandungnya, Dewi Naganingrum, dari hutan
dan membawanya kembali ke istana. Pertemuan antara ibu dan anak yang telah
terpisah selama bertahun-tahun itu diwarnai dengan isak tangis kebahagiaan.
Dengan terungkapnya kebenaran dan
dihukumnya para pengkhianat, Kerajaan Galuh kembali menemukan cahayanya. Ciung
Wanara, pangeran yang dulu terbuang, kini telah kembali untuk mengambil haknya
dan memulihkan nama baik keluarganya.
Kabar mengenai dipenjarakannya
Dewi Pangrenyep sampai ke telinga putranya, Hariang Banga. Ia tidak terima
ibunya diperlakukan seperti itu dan merasa bahwa Ciung Wanara telah merebut
haknya sebagai pewaris takhta. Dengan penuh amarah, Hariang Banga mengumpulkan
pasukan dan menyatakan perang terhadap Ciung Wanara.
Terjadilah perang saudara yang
dahsyat antara dua pangeran yang sebenarnya adalah saudara tiri. Pertempuran
berlangsung sangat sengit karena keduanya sama-sama memiliki kesaktian yang
tinggi. Tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah, hingga akhirnya
pertempuran mereka sampai di tepi sebuah sungai besar.
Di tengah pertarungan yang sengit
itu, muncullah Prabu Permana Di Kusumah bersama Dewi Naganingrum. Sang Prabu
melerai kedua putranya dan menjelaskan bahwa mereka adalah saudara. Ia
mengatakan bahwa adalah sebuah "pamali" atau tabu bagi seorang
saudara untuk saling berperang.
Untuk mengakhiri pertikaian,
Prabu Permana Di Kusumah membagi kerajaannya menjadi dua. Wilayah di sebelah
barat sungai diberikan kepada Ciung Wanara untuk memimpin orang-orang Sunda,
sementara wilayah di sebelah timur diberikan kepada Hariang Banga untuk
memimpin orang-orang Jawa. Sungai yang menjadi batas wilayah mereka pun dinamai
Sungai Pamali, sebagai pengingat bahwa perang saudara adalah sesuatu yang
terlarang.
Sejak saat itu, Kerajaan Galuh
terbagi menjadi dua, namun tetap hidup rukun dan damai. Ciung Wanara dan
Hariang Banga memerintah wilayah mereka masing-masing dengan adil dan
bijaksana, membawa kemakmuran bagi rakyatnya.
Setelah perang saudara berakhir,
Ciung Wanara memerintah Kerajaan Galuh dengan arif dan bijaksana. Ia membawa
kedamaian dan kemakmuran bagi rakyat Sunda. Sementara itu, Hariang Banga, yang
kemudian dikenal dengan nama Jaka Susuruh, membangun sebuah kerajaan baru di
sebelah timur Sungai Pamali dan menjadi leluhur bagi orang-orang Jawa.
Meskipun terpisah oleh batas
wilayah, kedua kerajaan hidup berdampingan dengan damai. Mereka saling
menghormati dan tidak pernah lagi terlibat dalam perselisihan. Kisah Ciung
Wanara dan Hariang Banga menjadi simbol persatuan antara dua budaya yang
berbeda, yaitu budaya Sunda dan budaya Jawa.
Sungai Pamali, yang menjadi saksi
bisu dari pertikaian dua saudara, kini menjadi lambang perdamaian dan pengingat
akan pentingnya persaudaraan. Kisah ini mengajarkan bahwa meskipun berbeda,
persatuan dan kerukunan adalah kunci untuk mencapai kehidupan yang damai dan
sejahtera.
Kisah Legenda Ciung Wanara
mengandung pesan moral yang mendalam. Perbuatan jahat dan fitnah, seperti yang
dilakukan oleh Prabu Barma Wijaya dan Dewi Pangrenyep, pada akhirnya akan
mendapatkan balasan yang setimpal. Sebaliknya, kebenaran dan kebaikan, meskipun
harus melalui jalan yang berliku, pada akhirnya akan selalu menemukan jalannya
menuju kemenangan. Kisah ini juga mengajarkan tentang pentingnya memaafkan dan
menjaga tali persaudaraan, karena permusuhan hanya akan membawa kehancuran.
Demikianlah kisah ini diceritakan,
segala kebenaran detailnya kita kembalikan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Komentar
Posting Komentar