LEGENDA KUIL TIRUPATI BALAJI
Di puncak tujuh bukit suci
Tirumala di Andhra Pradesh, India, berdiri sebuah kuil megah yang menjadi pusat
spiritual bagi jutaan umat manusia. Kuil ini adalah rumah bagi Sri
Venkateswara, manifestasi Dewa Wisnu, yang lebih dikenal sebagai Balaji. Namun,
mengapa Sang Pemelihara Semesta memilih untuk bersemayam di puncak bukit ini
dalam wujud arca batu? Di balik kemegahan kuil dan devosi para pemujanya,
tersimpan sebuah kisah epik tentang cinta ilahi, pengorbanan agung, dan sebuah
janji utang yang membentang melintasi zaman.
Pada suatu masa di zaman dahulu
kala, para resi agung berkumpul untuk melakukan sebuah upacara suci (yagna).
Namun, sebuah perdebatan besar muncul di antara mereka: siapakah di antara
Trimurti—Brahma Sang Pencipta, Wisnu Sang Pemelihara, dan Siwa Sang
Penghancur—yang paling utama dan paling layak menerima persembahan dari yagna
tersebut? Untuk menyelesaikan perdebatan ini, mereka menugaskan Resi Bhrigu,
seorang resi yang dikenal dengan kebijaksanaan namun juga temperamennya yang
tinggi, untuk menguji ketiga dewa tersebut.
Resi Bhrigu pertama-tama
mengunjungi Brahmaloka, kediaman Dewa Brahma. Di sana, ia dengan sengaja tidak
menunjukkan rasa hormat. Dewa Brahma, yang sedang sibuk dalam meditasinya dan
tersinggung oleh sikap sang resi, menjadi sangat marah. Melihat kemarahan
Brahma, Resi Bhrigu menyimpulkan bahwa dewa yang masih terpengaruh oleh ego dan
amarah tidaklah layak menjadi yang terutama. Ia pun melanjutkan perjalanannya
menuju Kailash, kediaman Dewa Siwa.
Di Kailash, Dewa Siwa sedang
asyik menari bersama permaisurinya, Parwati, dan tidak menyadari kedatangan
Resi Bhrigu. Merasa diabaikan, sang resi kembali merasa tidak dihargai. Dewa
Siwa yang akhirnya menyadari kehadiran Bhrigu menjadi murka. Namun, Parwati
berhasil menenangkannya. Lagi-lagi, Bhrigu menyimpulkan bahwa Siwa, yang mudah
terpancing amarah, bukanlah dewa yang tertinggi. Akhirnya, ia tiba di
Waikuntha, istana surgawi Dewa Wisnu.
Di Waikuntha, Resi Bhrigu melihat
Dewa Wisnu sedang berbaring di atas ular suci Adishesha, dengan Dewi Lakshmi
memijat kakinya. Merasa diabaikan untuk ketiga kalinya, kesabaran Resi Bhrigu
mencapai puncaknya. Dengan penuh amarah, ia melangkah maju dan menendang dada
Dewa Wisnu—tempat di mana Dewi Lakshmi bersemayam secara spiritual (dikenal
sebagai Srivatsa). Bukannya marah, Dewa Wisnu justru dengan lembut memegang
kaki Bhrigu, meminta maaf jika kaki sang resi terluka, dan dengan perlahan
menekan "mata ketiga" di telapak kaki Bhrigu yang merupakan sumber kekuatan
dan egonya.
Meskipun Dewa Wisnu menunjukkan
kesabaran yang luar biasa, Dewi Lakshmi merasa sangat terhina. Dadanya, tempat
suci kediamannya, telah dinodai oleh tendangan seorang resi, dan suaminya tidak
membela kehormatannya. Dengan hati yang terluka dan kecewa, Dewi Lakshmi
memutuskan untuk meninggalkan Waikuntha dan turun ke bumi, bertapa di sebuah
tempat bernama Kolhapur. Kepergian Lakshmi membuat Waikuntha kehilangan
cahayanya, dan Dewa Wisnu dilanda kesedihan yang mendalam.
Ditinggalkan oleh belahan jiwanya,
Dewa Wisnu merasakan kehampaan yang luar biasa. Waikuntha yang gemerlap terasa
sunyi dan suram tanpa kehadiran Dewi Lakshmi. Diliputi kesedihan dan kerinduan,
Sang Pemelihara Semesta memutuskan untuk turun ke bumi guna mencari
permaisurinya. Ia melepaskan segala kemegahan surgawinya dan menjelma menjadi
seorang manusia biasa, berkelana tanpa tujuan di hutan dan lembah di bumi.
Perjalanannya akhirnya membawanya
ke Perbukitan Tirumala di India Selatan. Tempat itu memiliki aura spiritual
yang kuat, dan Wisnu merasa ini adalah tempat yang tepat untuk memulai
pencariannya. Tanpa tempat tinggal dan makanan, ia menemukan sebuah bukit semut
yang besar di bawah pohon asam. Ia masuk ke dalamnya dan memulai tapa brata
yang sangat khusyuk, melupakan makan dan minum, dengan satu-satunya tujuan di
dalam hatinya: bersatu kembali dengan Lakshmi.
Selama bertahun-tahun ia bertapa
di dalam bukit semut itu. Dewa Brahma dan Siwa, yang prihatin melihat kondisi
Wisnu, memutuskan untuk membantunya. Mereka menjelma menjadi seekor sapi dan
anak sapi. Dewi Lakshmi, dalam wujud seorang gadis penggembala, menjual sapi
dan anak sapi jelmaan itu kepada raja dari Dinasti Chola yang berkuasa di
wilayah tersebut. Sapi itu kemudian dimasukkan ke dalam kawanan ternak
kerajaan.
Setiap hari, ketika digembalakan
di Perbukitan Tirumala, sapi jelmaan itu secara diam-diam akan meninggalkan
kawanannya. Ia akan pergi ke puncak bukit semut tempat Wisnu bertapa dan secara
ajaib memancarkan air susunya untuk memberi makan Sang Dewa. Hal ini
berlangsung cukup lama, hingga suatu hari gembala kerajaan menyadari bahwa sapi
tersebut tidak pernah menghasilkan susu ketika diperah di istana. Curiga, sang
gembala mengikuti sapi itu keesokan harinya.
Sang gembala terkejut melihat
sapi itu menuangkan susunya ke atas sebuah bukit semut. Dalam kemarahannya
karena merasa tertipu, ia mengangkat kapaknya dan mencoba memukul sapi itu.
Tiba-tiba, Dewa Wisnu keluar dari bukit semut untuk melindungi sapi jelmaan
Brahma. Pukulan kapak itu pun mengenai kepalanya, membuatnya terluka. Melihat
hal itu, sang gembala mati seketika karena terkejut dan rasa bersalah. Wisnu
kemudian mengutuk Raja Chola karena kelalaian bawahannya, dan sejak saat itu ia
dikenal dengan nama Srinivasa.
Setelah sembuh dari lukanya
berkat ramuan herbal yang diberikan oleh seorang wanita bernama Vakula Devi
(yang merupakan jelmaan dari Yashoda, ibu angkat Krishna di kehidupan
sebelumnya), Srinivasa memutuskan untuk mengakhiri tapanya. Ia mulai
menjelajahi keindahan Perbukitan Tirumala. Suatu hari, saat sedang
berjalan-jalan di hutan, ia melihat seekor gajah liar yang sedang mengamuk.
Srinivasa pun mengejar gajah tersebut untuk menenangkannya.
Pengejarannya membawa Srinivasa
ke sebuah taman yang indah. Di sana, ia melihat seorang putri yang sangat
cantik bersama para dayangnya sedang memetik bunga. Putri itu adalah
Padmavathi, putri dari Raja Akasha yang memerintah wilayah tersebut. Padmavathi
sebenarnya adalah jelmaan dari Vedavathi, seorang wanita suci di kehidupan
sebelumnya yang telah berjanji akan menikah dengan Wisnu. Pada saat itu,
kecantikannya memancar seperti bunga teratai yang sedang mekar.
Begitu mata Srinivasa dan
Padmavathi bertemu, mereka berdua merasakan getaran cinta yang kuat pada
pandangan pertama. Srinivasa terpikat oleh keanggunan dan kecantikan
Padmavathi, sementara Padmavathi terpesona oleh aura ilahi dan ketampanan
pemuda asing yang berdiri di hadapannya. Keduanya seolah-olah mengenali jiwa
masing-masing dari kehidupan masa lalu yang tak terhitung jumlahnya.
Setelah pertemuan singkat itu, keduanya
tidak bisa berhenti memikirkan satu sama lain. Srinivasa kembali ke pondoknya
dengan hati yang berbunga-bunga, menceritakan pertemuannya dengan sang putri
kepada ibu angkatnya, Vakula Devi. Demikian pula Padmavathi, ia menceritakan
pertemuannya dengan pemuda tampan di taman kepada para dayangnya. Cinta telah
bersemi di antara penguasa surga yang menyamar dan putri penguasa bumi.
Vakula Devi, yang melihat betapa
dalamnya cinta Srinivasa kepada Padmavathi, memutuskan untuk bertindak sebagai
utusan. Ia pergi ke istana Raja Akasha untuk menyampaikan lamaran pernikahan
atas nama putra angkatnya. Ini adalah langkah pertama menuju penyatuan dua jiwa
ilahi yang telah lama terpisah oleh takdir dan waktu.
Vakula Devi tiba di istana dan
dengan penuh hormat menghadap Raja Akasha dan Ratu Dharani Devi. Ia
menceritakan tentang Srinivasa, seorang pemuda luar biasa yang tinggal di
Perbukitan Tirumala, dan menyampaikan niat tulusnya untuk mempersunting Putri
Padmavathi. Raja dan Ratu, yang sebelumnya telah mendengar ramalan bahwa putri
mereka akan menikah dengan manifestasi Dewa Wisnu sendiri, menjadi sangat
gembira.
Raja Akasha menyambut baik
lamaran tersebut. Namun, sebagai seorang raja yang sangat mencintai putrinya
dan ingin memastikan masa depannya terjamin, ia harus mengikuti adat dan
tradisi kerajaan. Sesuai dengan statusnya sebagai seorang putri raja,
pernikahan Padmavathi haruslah sebuah perayaan yang paling megah dan mewah yang
pernah ada, sebagai cerminan kebesaran kerajaannya.
Maka, Raja Akasha mengajukan syarat
pernikahan kepada Srinivasa melalui Vakula Devi. Ia meminta mahar yang sangat
besar, terdiri dari berton-ton emas, permata, kain sutra terbaik, dan berbagai
harta benda lainnya yang pantas untuk seorang putri raja. Mahar ini bukanlah
untuk memperkaya diri sendiri, melainkan sebagai simbol status dan untuk
membiayai pesta pernikahan agung yang akan berlangsung selama berhari-hari.
Ketika Vakula Devi menyampaikan
syarat ini kepada Srinivasa, sang pemuda jelmaan Wisnu itu menjadi bingung dan
sedih. Meskipun ia adalah penguasa seluruh alam semesta, dalam penyamarannya
sebagai manusia biasa yang hidup sederhana di hutan, ia sama sekali tidak
memiliki harta benda duniawi. Ia tidak memiliki emas ataupun permata untuk
memenuhi permintaan calon mertuanya.
Cintanya yang besar kepada
Padmavathi membuatnya tidak ingin menyerah. Namun, di sisi lain, ia dihadapkan
pada sebuah tantangan yang tampaknya mustahil untuk diatasi. Bagaimana mungkin
seorang pertapa miskin bisa menyediakan mahar yang begitu mewah? Srinivasa merenungkan
nasibnya, mencari jalan keluar agar bisa bersatu dengan kekasih hatinya.
Dalam kebingungannya, Srinivasa
memutuskan untuk mencari bantuan. Ia memanggil Dewa Brahma dan Siwa untuk
meminta nasihat. Kedua dewa tersebut mengingatkan Srinivasa akan tujuannya
turun ke bumi dan meyakinkannya bahwa semua rintangan ini adalah bagian dari
drama ilahi yang harus ia jalani. Mereka menyarankan sebuah solusi yang tidak
biasa untuk masalah keuangan yang dihadapinya.
Atas saran dari Brahma dan Siwa,
Srinivasa memutuskan untuk menemui Dewa Kubera, bendahara para dewa sekaligus
dewa kekayaan. Srinivasa menjelaskan situasinya dan niatnya untuk menikahi
Putri Padmavathi. Ia meminta pinjaman sejumlah besar kekayaan untuk memenuhi
syarat mahar yang diajukan oleh Raja Akasha dan untuk membiayai upacara
pernikahan yang megah.
Dewa Kubera, sebagai pemuja setia
Dewa Wisnu, merasa sangat terhormat mendapat permintaan langsung dari Sang
Penguasa Waikuntha. Namun, pinjaman ini haruslah terikat oleh sebuah perjanjian
yang sah, bahkan di antara para dewa sekalipun, untuk menjaga tatanan kosmik.
Kubera setuju untuk memberikan pinjaman dengan bunga yang harus dibayar.
Maka, dibuatlah sebuah perjanjian
suci yang disaksikan oleh Dewa Brahma, Siwa, dan pohon asam tempat Srinivasa pernah
bertapa. Dalam perjanjian itu, Srinivasa berjanji akan melunasi utangnya
beserta bunganya kepada Dewa Kubera. Pembayaran ini akan terus dilakukan hingga
akhir zaman saat ini, yaitu Kali Yuga. Srinivasa menetapkan bahwa para
pemujanya yang datang menemuinya di Tirumala akan membantunya melunasi utang
tersebut melalui persembahan mereka.
Dengan pinjaman dari Kubera di
tangannya, Srinivasa kini memiliki semua yang ia butuhkan untuk memenuhi syarat
dari Raja Akasha. Ia menyerahkan mahar yang luar biasa mewah itu kepada raja.
Raja Akasha sangat terkesan dan puas, dan dengan gembira menetapkan tanggal
untuk pernikahan agung antara putrinya, Padmavathi, dengan Srinivasa.
Persiapan pernikahan pun dimulai
dengan gegap gempita. Kabar tentang pernikahan Putri Padmavathi dengan
Srinivasa yang misterius namun kaya raya menyebar ke seluruh negeri. Istana
dihias dengan jutaan bunga aneka warna, panji-panji sutra berkibar ditiup
angin, dan jalan-jalan ditaburi dengan kelopak mawar. Seluruh rakyat bersuka
cita menyambut hari bahagia tersebut.
Pernikahan ini bukan hanya
perayaan duniawi, tetapi juga sebuah peristiwa surgawi. Para dewa dan dewi dari
seluruh penjuru alam semesta turun ke bumi untuk menghadiri dan memberkati
penyatuan Srinivasa dan Padmavathi. Dewa Brahma bertindak sebagai pendeta utama
yang memimpin upacara, sementara Dewa Siwa dan dewa-dewa lainnya menjadi saksi
agung. Suasana menjadi begitu sakral dan magis.
Srinivasa, dengan pakaian
pengantin pria yang gemerlap, tiba di istana diiringi oleh para dewa. Sementara
itu, Padmavathi, dalam balutan kain sari terindah dan dihiasi perhiasan dari
surga, tampak begitu anggun laksana dewi. Ketika keduanya duduk bersanding di
pelaminan, seluruh hadirin terpana melihat pasangan yang begitu serasi,
seolah-olah surga dan bumi bersatu dalam diri mereka.
Upacara pernikahan dilangsungkan
dengan mengikuti semua ritual dan tradisi suci. Janji suci diucapkan, dan
Srinivasa mengikatkan mangalsutra di leher Padmavathi, menandai mereka sebagai
suami istri. Para dewa menaburkan bunga surgawi dari atas, dan alunan musik
surgawi memenuhi udara. Pernikahan itu menjadi perayaan termegah yang pernah
disaksikan di ketiga dunia.
Setelah pernikahan, Srinivasa dan
Padmavathi hidup bahagia bersama selama beberapa waktu. Cinta mereka menjadi teladan,
dan kebersamaan mereka membawa kedamaian dan kemakmuran bagi seluruh wilayah.
Namun, takdir memiliki rencana lain. Kebahagiaan mereka yang sempurna akan
segera diuji oleh sebuah peristiwa tak terduga yang akan mengubah nasib mereka
selamanya.
Kabar tentang pernikahan megah
Srinivasa sampai ke telinga Dewi Lakshmi yang sedang bertapa di Kolhapur. Ia
merasakan ikatan batin yang kuat dengan peristiwa itu. Didorong oleh rasa
penasaran dan firasat, ia memutuskan untuk pergi ke Perbukitan Tirumala untuk melihat
sendiri siapa gerangan Srinivasa yang telah menikahi seorang putri bernama
Padmavathi.
Ketika Lakshmi tiba di kediaman
Srinivasa dan Padmavathi, ia langsung mengenali suaminya, Dewa Wisnu, dalam
wujud Srinivasa. Di saat yang bersamaan, Padmavathi juga menyadari bahwa
suaminya tidak lain adalah Dewa Wisnu yang telah ia puja sejak lama, dan
dirinya sendiri adalah jelmaan dari Vedavathi yang ditakdirkan untuknya. Momen
itu seharusnya menjadi reuni yang membahagiakan.
Namun, pertemuan itu menjadi
rumit. Lakshmi, sebagai istri pertama, menghampiri Wisnu dan menanyakan mengapa
ia menikah lagi tanpa memberitahunya. Di sisi lain, Padmavathi juga berdiri di
sana sebagai istri yang sah. Terjadilah konfrontasi yang penuh emosi antara
kedua permaisuri Dewa Wisnu, yang keduanya merupakan manifestasi dari Dewi
Lakshmi sendiri dalam bentuk yang berbeda.
Dihadapkan pada situasi yang
sulit di antara kedua istri yang sama-sama ia cintai, Dewa Wisnu dilanda
dilema. Ia tidak bisa memilih satu di antara yang lain, karena keduanya adalah
bagian dari dirinya. Dalam keheningan yang dalam dan untuk menghindari konflik
lebih lanjut serta menunjukkan cintanya yang setara kepada keduanya, Wisnu
mengambil keputusan yang mengejutkan.
Dengan kekuatan ilahinya, Dewa
Wisnu perlahan-lahan mengubah dirinya menjadi sebuah arca (murti) yang terbuat
dari batu granit hitam. Ia memutuskan untuk bersemayam di tempat itu selamanya,
agar semua pemujanya dari segala zaman dapat datang dan menerima berkahnya.
Melihat pengorbanan suaminya, Lakshmi dan Padmavathi juga mengubah diri mereka
menjadi arca batu dan mengambil tempat di dada Sang Dewa, menyatu dengannya
untuk selamanya.
Berita tentang transformasi ilahi
Dewa Wisnu, Lakshmi, dan Padmavathi menjadi arca suci menyebar dengan cepat.
Para raja dari dinasti-dinasti yang berkuasa di India Selatan, seperti Chola,
Pandya, dan kemudian Vijayanagara, datang untuk memberikan penghormatan. Mereka
merasa terpanggil untuk melindungi dan memuliakan arca suci tersebut. Maka,
dimulailah pembangunan sebuah kuil di sekitar arca Sri Venkateswara.
Selama berabad-abad, kuil
tersebut terus diperluas dan diperindah oleh para raja dan pemuja yang saleh.
Mereka membangun gopuram (menara gerbang) yang menjulang tinggi, mandapam (aula
pilar), dan melapisi vimana (kubah di atas ruang suci) dengan emas murni, yang
membuatnya dikenal sebagai Ananda Nilayam atau "Kediaman
Kebahagiaan". Kuil Tirumala pun tumbuh menjadi salah satu pusat ziarah
Hindu yang paling penting dan terkaya di dunia.
Legenda pinjaman Srinivasa dari
Dewa Kubera menjadi inti dari tradisi persembahan di kuil ini. Jutaan peziarah
datang setiap tahun, membawa persembahan berupa uang, emas, dan perhiasan, lalu
memasukkannya ke dalam "hundi" (kotak persembahan). Mereka percaya
bahwa dengan memberikan persembahan, mereka tidak hanya mendapatkan berkah dari
Dewa, tetapi juga membantunya secara simbolis untuk melunasi utangnya yang
abadi kepada Kubera.
Kisah ini mengandung pesan moral
yang sangat dalam. Ia mengajarkan tentang kekuatan cinta ilahi yang melampaui
segala rintangan, dan pengorbanan agung yang dilakukan demi keharmonisan. Kisah
Srinivasa adalah pengingat bahwa bahkan Tuhan pun harus menjalani takdir dan
drama kosmik untuk mengajarkan pelajaran penting kepada umat manusia.
Pada akhirnya, legenda Kuil Tirupati
Balaji adalah cerminan dari pengabdian (bhakti) yang tak terbatas. Para pemuja
datang bukan hanya untuk meminta, tetapi juga untuk memberi, berpartisipasi
dalam janji suci yang dibuat oleh Dewa mereka ribuan tahun yang lalu. Ini
adalah warisan abadi tentang bagaimana cinta, pengoriban, dan keyakinan dapat
membangun sebuah tempat suci yang menyatukan jutaan jiwa dalam satu ikatan
spiritual.

.png)
Komentar
Posting Komentar