LEGENDA ROMULUS DAN REMUS (ROMAWI KUNO)

 

 


Di antara perbukitan Latium yang subur, tersembunyi sebuah kisah abadi tentang darah, pengkhianatan, dan takdir ilahi yang melahirkan salah satu kekaisaran terbesar yang pernah dikenal dunia. Ini adalah cerita tentang dua saudara kembar, yang dibuang saat bayi namun ditakdirkan untuk mendirikan sebuah kota abadi, Roma. Namun, jalan menuju takdir tersebut dipenuhi dengan pertanda langit, pertarungan sengit, dan sebuah tragedi yang akan selamanya membayangi kemegahan kota yang mereka bangun. Kisah ini membawa kita kembali ke masa ketika para dewa masih berjalan di antara manusia, dan nasib sebuah peradaban besar ditentukan oleh keberanian dan ambisi dua orang pemuda.

 

Kisah ini bermula di kota kuno Alba Longa, sebuah kerajaan yang didirikan oleh keturunan pahlawan Troya, Aeneas. Kerajaan ini diperintah oleh seorang raja yang adil dan bijaksana bernama Numitor. Numitor memiliki seorang adik bernama Amulius, yang hatinya dipenuhi dengan iri hati dan ambisi yang membara untuk merebut takhta. Amulius melihat kakaknya sebagai penghalang utama bagi kekuasaannya, dan dengan licik, ia merencanakan sebuah kudeta untuk menggulingkan Numitor dari singgasananya.

 

Dengan kekuatan militer yang telah ia kumpulkan secara diam-diam, Amulius berhasil merebut kekuasaan, mengusir Numitor dari istana, dan menyatakan dirinya sebagai raja baru Alba Longa. Tidak puas hanya dengan takhta, Amulius juga membunuh putra-putra Numitor untuk memastikan tidak ada pewaris laki-laki yang dapat menuntut kembali haknya di masa depan. Satu-satunya keturunan Numitor yang tersisa adalah putrinya yang cantik, Rhea Silvia. Amulius tahu bahwa jika Rhea Silvia menikah dan memiliki anak, anak-anak itu akan menjadi ancaman bagi pemerintahannya.

 

Untuk mencegah kemungkinan tersebut, Amulius membuat sebuah keputusan kejam yang dibalut dalam jubah kesucian. Ia memaksa Rhea Silvia untuk menjadi seorang Perawan Vesta, pendeta wanita dewi Vesta yang bersumpah untuk menjaga kesuciannya seumur hidup. Dengan menjadi Perawan Vesta, Rhea Silvia secara hukum tidak akan pernah bisa menikah atau memiliki anak, sehingga garis keturunan Numitor akan terputus selamanya. Amulius merasa aman, percaya bahwa takhtanya kini telah kokoh tanpa ada ancaman dari pewaris yang sah.

 

Namun, para dewa memiliki rencana lain. Suatu hari, ketika Rhea Silvia sedang mengambil air di hutan suci, ia didatangi oleh Mars, dewa perang Romawi. Terpesona oleh kecantikan Rhea Silvia, Mars turun dari kahyangan dan menyatu dengannya. Dari persatuan ilahi inilah, Rhea Silvia kemudian mengandung. Kehamilannya merupakan sebuah keajaiban sekaligus aib besar, karena ia telah melanggar sumpah sucinya sebagai Perawan Vesta, sebuah pelanggaran yang hukumannya adalah kematian.

 

Rhea Silvia berusaha menyembunyikan kehamilannya selama mungkin, namun pada akhirnya rahasia itu terbongkar. Ketika Raja Amulius mengetahui bahwa keponakannya telah hamil, kemarahannya meledak. Ia melihat kehamilan ini sebagai ancaman langsung terhadap kekuasaannya, persis seperti yang telah ia takuti selama ini. Meskipun Rhea Silvia mengaku bahwa ayah dari anak yang dikandungnya adalah Dewa Mars, Amulius tidak memercayainya dan menuduhnya telah berbohong untuk menutupi kesalahannya.

 

Di tengah ketakutan dan ancaman hukuman mati, Rhea Silvia melahirkan dua putra kembar yang sehat dan kuat. Mereka adalah bayi-bayi luar biasa, memancarkan aura kekuatan bahkan sejak hari pertama mereka di dunia. Rhea Silvia menamai mereka Romulus dan Remus. Kelahiran mereka bukan hanya membawa kebahagiaan bagi sang ibu, tetapi juga menjadi bukti nyata dari ancaman yang menghantui Raja Amulius. Ia tahu bahwa kedua bayi ini, sebagai cucu Numitor dan kemungkinan putra dewa Mars, suatu hari akan tumbuh besar untuk merebut kembali takhta yang telah ia curi.

 

Amulius tidak bisa membiarkan ramalan itu menjadi kenyataan. Namun, ia juga takut akan kemurkaan para dewa jika ia secara langsung membunuh anak-anak yang diyakini sebagai keturunan Mars. Oleh karena itu, ia menyusun rencana yang lebih licik. Ia tidak akan menumpahkan darah mereka dengan tangannya sendiri, melainkan membiarkan alam yang melakukannya. Ia memerintahkan seorang pelayan untuk mengambil kedua bayi tersebut dan membuang mereka ke Sungai Tiber yang sedang meluap.

 

Dengan berat hati, pelayan tersebut membawa Romulus dan Remus yang masih terbungkus kain ke tepi sungai. Ia menempatkan mereka di dalam sebuah keranjang kecil, berharap keranjang itu akan tenggelam oleh arus deras dan mengakhiri hidup kedua bayi malang itu tanpa jejak. Pelayan itu merasa kasihan, tetapi ia tidak berani menentang perintah rajanya yang kejam. Ia melepaskan keranjang itu ke dalam air yang bergejolak dan melihatnya hanyut terbawa arus, nasib kedua pangeran kecil itu kini diserahkan sepenuhnya kepada takdir.

 

Keranjang itu terombang-ambing di atas air yang ganas, sebuah kapal rapuh yang membawa harapan masa depan sebuah kekaisaran. Sungai Tiber, yang biasanya menjadi sumber kehidupan, kini diperintahkan untuk menjadi algojo. Raja Amulius kembali ke istananya, yakin bahwa ancaman terhadap kekuasaannya telah lenyap selamanya, ditelan oleh air sungai yang dingin. Ia kemudian memenjarakan Rhea Silvia untuk menjalani sisa hidupnya dalam kurungan sebagai hukuman atas sumpahnya yang terlanggar.

 

Namun, takdir sekali lagi menunjukkan kuasanya. Arus sungai yang seharusnya menenggelamkan keranjang itu justru dengan lembut membawanya ke daratan. Keranjang itu tersangkut di akar pohon ara suci yang tumbuh di kaki Bukit Palatine, salah satu dari tujuh bukit yang nantinya akan menjadi jantung kota Roma. Kedua bayi itu selamat dari amukan sungai, terbaring tanpa daya di tepi daratan, tangisan mereka yang lapar memecah kesunyian alam liar.

 

Saat fajar menyingsing di atas Bukit Palatine, tangisan lapar Romulus dan Remus terdengar oleh seekor serigala betina (dikenal sebagai Lupa dalam bahasa Latin) yang baru saja kehilangan anak-anaknya. Didorong oleh naluri keibuannya yang terluka, serigala itu mendekati sumber suara. Alih-alih melihat mereka sebagai mangsa, sang serigala justru merasakan ikatan aneh dengan kedua bayi manusia tersebut. Ia menjilati mereka hingga bersih dan dengan lembut berbaring di samping mereka, menawarkan air susunya.

 

Kejadian ini adalah sebuah keajaiban yang melampaui logika. Seekor binatang buas yang seharusnya menjadi ancaman justru menjadi penyelamat. Romulus dan Remus, yang dibuang oleh manusia, kini dirawat oleh seekor serigala di alam liar. Serigala itu dengan setia melindungi mereka dari bahaya, menjauhkan predator lain, dan memastikan mereka tetap hangat dan kenyang. Ikatan antara serigala dan kedua bayi itu menjadi simbol pertama dari perlindungan ilahi yang menyertai mereka.

 

Tidak hanya serigala, seekor burung pelatuk, hewan lain yang juga dianggap suci bagi Dewa Mars, turut membantu merawat si kembar. Burung itu akan terbang membawakan potongan-potongan kecil makanan yang bisa mereka makan, melengkapi susu yang diberikan oleh sang serigala. Perlindungan dari dua hewan suci ini semakin memperkuat keyakinan bahwa Romulus dan Remus memang berada di bawah naungan Dewa Mars, ayah mereka.

 

Hari-hari berlalu menjadi minggu, dan kedua bayi itu tumbuh semakin kuat di bawah asuhan hewan-hewan hutan. Mereka hidup di sebuah gua kecil di dekat pohon ara tempat mereka pertama kali mendarat, sebuah tempat yang kelak akan dikenal sebagai Lupercal. Gua ini menjadi rumah pertama mereka, sebuah istana alam yang jauh lebih aman daripada istana Alba Longa yang penuh dengan intrik dan kekejaman.

 

Perlindungan ajaib ini memastikan bahwa garis keturunan Numitor tidak terputus. Di alam liar, jauh dari pengawasan Amulius, kedua calon pendiri Roma itu bertahan hidup dan tumbuh. Kekuatan dan ketahanan mereka ditempa oleh kerasnya alam, sebuah pendidikan awal yang akan membentuk mereka menjadi pemimpin yang tangguh di kemudian hari. Kisah serigala yang menyusui si kembar ini kemudian diabadikan menjadi salah satu simbol paling ikonik dari kota Roma.

 

Suatu hari, seorang gembala kerajaan yang sederhana bernama Faustulus sedang menggembalakan domba-dombanya di dekat Bukit Palatine. Ia terkejut ketika melihat pemandangan yang luar biasa: seekor serigala betina sedang dengan tenang menyusui dua bayi manusia. Awalnya ia ragu dan takut, namun rasa penasarannya mengalahkan ketakutannya. Faustulus mengamati dari kejauhan dan menyadari bahwa tidak ada niat jahat dari serigala itu. Ia melihat betapa hewan itu merawat kedua bayi itu dengan penuh kasih sayang.

 

Menyadari bahwa ini adalah pertanda dari para dewa, Faustulus dengan hati-hati mendekat. Serigala itu, seolah mengerti bahwa tugasnya telah selesai, perlahan-lahan mundur dan menghilang ke dalam hutan. Faustulus mengambil kedua bayi laki-laki itu dan membawanya pulang ke gubuknya yang sederhana. Istrinya, Acca Larentia, menyambut kedua bayi itu dengan tangan terbuka, meskipun mereka hidup dalam kemiskinan.

 

Faustulus dan Acca Larentia membesarkan Romulus dan Remus seperti anak mereka sendiri. Mereka tumbuh menjadi pemuda yang kuat, tangkas, dan berani, jauh melampaui anak-anak gembala lainnya. Sejak kecil, mereka menunjukkan bakat kepemimpinan yang alami. Romulus lebih sering merenung dan menyusun strategi, sementara Remus lebih impulsif dan cepat bertindak. Bersama-sama, mereka menjadi pelindung bagi para gembala lain, melawan perampok dan binatang buas yang mengancam ternak mereka.

 

Ketenaran mereka sebagai pemimpin muda yang pemberani menyebar di antara para gembala di perbukitan Latium. Mereka mengumpulkan sekelompok pengikut setia yang mengagumi kekuatan dan keadilan mereka. Meskipun mereka dibesarkan sebagai gembala, Faustulus selalu curiga bahwa kedua anak itu memiliki darah bangsawan, terutama setelah menemukan keranjang tempat mereka dihanyutkan, yang menunjukkan tanda-tanda kemewahan. Namun, ia menyimpan rahasia ini untuk melindungi mereka.

 

Seiring berjalannya waktu, Romulus dan Remus tumbuh dewasa, tidak menyadari sama sekali asal-usul mereka yang agung. Mereka hidup sederhana, namun jiwa mereka dipenuhi dengan api ambisi dan keberanian yang diwarisi dari ayah ilahi mereka. Mereka belajar tentang keadilan bukan dari buku, tetapi dari melindungi kaum yang lemah. Kepemimpinan mereka ditempa bukan di istana, tetapi di padang rumput dan perbukitan yang keras, mempersiapkan mereka untuk takdir besar yang menanti.

 

Suatu ketika, terjadi perselisihan sengit antara para gembala yang dipimpin oleh Romulus dan Remus dengan para gembala yang melayani Raja Amulius. Dalam perkelahian tersebut, Remus yang bertindak gegabah akhirnya tertangkap oleh pasukan raja dan dibawa ke Alba Longa untuk diadili di hadapan Amulius. Para penangkapnya menuduh Remus telah melakukan penyerangan dan perampokan di tanah milik Numitor, kakeknya sendiri yang hidup dalam pengasingan di dekat Alba Longa.

 

Amulius, alih-alih menghukum Remus sendiri, menyerahkannya kepada Numitor untuk diadili, sebagai bentuk penghinaan kepada kakaknya. Ketika Remus berhadapan dengan Numitor, sang kakek tertegun melihat keberanian dan perawakan pemuda itu. Ia mulai bertanya tentang asal-usulnya. Di saat yang sama, Faustulus, yang mendengar kabar penangkapan Remus, memutuskan bahwa inilah saatnya untuk mengungkapkan kebenaran kepada Romulus. Ia menceritakan semua yang ia ketahui, tentang bagaimana ia menemukan mereka dirawat oleh serigala dan menunjukkan keranjang tempat mereka dihanyutkan.

 

Romulus, dengan hati yang terbakar oleh kebenaran, segera mengumpulkan para gembala dan pengikutnya untuk menyusun rencana penyelamatan saudaranya. Sementara itu, di hadapan Numitor, Remus menceritakan kisah hidupnya. Numitor, dengan mencocokkan usia si kembar dan cerita penyelamatan mereka, akhirnya menyadari bahwa pemuda di hadapannya adalah cucunya sendiri yang telah lama hilang. Air mata haru mengalir di wajahnya saat ia memeluk Remus. Kebenaran telah terungkap, dan benih pemberontakan pun ditanam.

 

Dengan dua kekuatan yang bergerak serentak, rencana penggulingan Amulius pun dijalankan. Romulus memimpin pasukannya menyerbu kota Alba Longa dari luar, sementara Remus dan Numitor menggalang dukungan dari dalam kota, menyebarkan berita tentang kekejaman Amulius dan hak waris si kembar yang sah. Serangan itu begitu cepat dan terkoordinasi sehingga pasukan Amulius tidak siap menghadapinya.

 

Dalam pertempuran singkat di dalam istana, Romulus berhadapan langsung dengan Amulius. Dengan kekuatan yang diwariskan oleh dewa perang, ia berhasil mengalahkan dan membunuh raja tiran tersebut. Rakyat Alba Longa, yang telah lama menderita di bawah pemerintahan Amulius, bersorak sorai menyambut kemenangan si kembar. Mereka kemudian memulihkan takhta kakek mereka, Numitor, sebagai raja Alba Longa yang sah. Keadilan akhirnya ditegakkan, dan takdir mulai berjalan sesuai alurnya.

 

Setelah menempatkan kembali kakek mereka di atas takhta, Romulus dan Remus disambut sebagai pahlawan di Alba Longa. Rakyat menawarkan mereka untuk berbagi kekuasaan dan menjadi pewaris kerajaan. Namun, jiwa kedua pemuda itu terlalu besar untuk hanya menunggu warisan. Mereka tidak ingin memerintah kota yang sudah ada; mereka berhasrat untuk membangun kota mereka sendiri dari nol, sebuah kota yang akan mencerminkan kebesaran dan visi mereka.

 

Mereka menolak tawaran untuk tinggal di Alba Longa dan meminta izin dari kakek mereka, Numitor, untuk mendirikan sebuah kota baru di lokasi tempat mereka ditemukan dan diselamatkan, yaitu di tepi Sungai Tiber di antara tujuh bukit. Numitor memberikan restunya, bangga dengan ambisi cucu-cucunya. Dengan sekelompok besar pengikut setia, yang terdiri dari para gembala, petualang, dan orang-orang buangan yang mencari awal baru, Romulus dan Remus meninggalkan Alba Longa untuk memulai babak baru dalam hidup mereka.

 

Mereka kembali ke tanah yang telah membentuk mereka, tempat serigala betina merawat mereka dan tempat Faustulus menemukan mereka. Tempat ini memiliki makna mendalam bagi keduanya. Mereka melihat potensi besar di lokasi tersebut: tanah yang subur, sungai sebagai jalur perdagangan dan pertahanan, serta bukit-bukit yang strategis untuk membangun benteng. Mereka membayangkan sebuah kota yang akan menjadi pusat kekuatan dan peradaban.

 

Visi mereka untuk kota baru ini sangatlah besar. Mereka tidak hanya ingin membangun sebuah pemukiman, tetapi sebuah pusat kekuasaan yang akan melampaui Alba Longa dan kota-kota lain di sekitarnya. Antusiasme mereka menular kepada para pengikutnya, yang siap bekerja keras untuk mewujudkan impian para pemimpin mereka. Semua orang bersemangat untuk memulai pembangunan.

 

Namun, sebelum batu pertama diletakkan, sebuah masalah fundamental muncul. Meskipun mereka berdua memiliki visi yang sama untuk mendirikan kota, mereka tidak bisa sepakat tentang detail-detail penting. Perbedaan pendapat ini, yang awalnya tampak sepele, perlahan-lahan tumbuh menjadi benih perpecahan di antara dua saudara yang selama ini tak terpisahkan.

 

Perpecahan pertama muncul terkait lokasi pasti kota tersebut. Romulus ingin membangun pusat kota di atas Bukit Palatine, tempat di mana Faustulus menemukan mereka. Ia berargumen bahwa bukit itu memiliki posisi pertahanan yang lebih baik dan merupakan tempat paling suci dalam kisah hidup mereka. Sebaliknya, Remus lebih menyukai Bukit Aventine, yang menurutnya memiliki akses lebih baik ke sungai dan lahan yang lebih datar untuk pengembangan.

 

Ketidaksepakatan ini dengan cepat meningkat menjadi persaingan sengit. Pengikut mereka pun terbelah menjadi dua kubu, satu mendukung Romulus dan yang lainnya mendukung Remus. Untuk menyelesaikan perselisihan tanpa pertumpahan darah, mereka setuju untuk meminta pertanda dari para dewa melalui augury, sebuah praktik ramalan dengan mengamati penerbangan burung. Siapa pun yang melihat pertanda yang lebih baik akan menjadi pendiri dan raja kota baru tersebut.

 

Remus menjadi yang pertama melihat pertanda. Dari atas Bukit Aventine, ia melihat enam ekor burung hering terbang melintas. Ia dan para pengikutnya bersorak, menganggap ini sebagai tanda kemenangan yang jelas dari para dewa. Namun, tak lama kemudian, sebuah pertanda yang lebih menakjubkan muncul di hadapan Romulus di Bukit Palatine. Sebanyak dua belas ekor burung hering terbang di atas kepalanya.

 

Kubu Romulus menyatakan bahwa pertanda mereka jauh lebih unggul karena jumlah burungnya dua kali lipat, yang menandakan restu yang lebih besar dari para dewa. Namun, kubu Remus berargumen bahwa merekalah yang pertama kali melihat pertanda, sehingga pertanda merekalah yang seharusnya dianggap sah. Perdebatan sengit pun tak terhindarkan. Augury yang seharusnya menyatukan mereka justru semakin mempertajam perpecahan.

 

Di tengah ketegangan yang memuncak, Romulus, yang merasa mendapat restu lebih besar dari para dewa, tidak mau lagi menunggu. Ia mulai menggali parit dan mendirikan tembok pertama untuk kotanya di Bukit Palatine, menandai batas suci yang disebut pomerium. Remus, yang merasa terhina dan marah karena klaimnya diabaikan, mendatangi pekerjaan Romulus. Dalam sebuah tindakan provokasi dan ejekan, ia melompati tembok yang baru setengah jadi itu, sebuah tindakan yang dianggap sebagai penghinaan besar dan pertanda buruk bagi keamanan kota di masa depan.

 

Kemarahan Romulus meledak saat melihat tindakan saudaranya. Baginya, tindakan Remus melompati tembok bukan hanya ejekan pribadi, tetapi sebuah pelanggaran sakral terhadap kota yang sedang ia bangun di bawah restu para dewa. Dalam puncak amarahnya, Romulus menyerang Remus. Perkelahian sengit pun terjadi antara dua saudara yang pernah saling melindungi itu. Dalam sekejap, tragedi tak terhindarkan terjadi. Romulus membunuh Remus.

 

Darah Remus membasahi fondasi kota yang mereka impikan bersama. Romulus seketika diliputi penyesalan yang mendalam. Ia meratapi kematian saudara kembarnya, orang yang telah berbagi nasib dengannya sejak dalam kandungan. Namun, apa yang telah terjadi tidak bisa diubah. Dengan hati yang berat, ia menguburkan Remus dengan upacara yang layak, namun bayang-bayang tragedi itu akan menghantuinya selamanya. Kini, ia menjadi satu-satunya pendiri dan pemimpin.

 

Dengan kematian Remus, tidak ada lagi yang menentang kepemimpinan Romulus. Ia melanjutkan pembangunan kotanya dengan semangat yang baru, didorong oleh ambisi dan rasa bersalah. Ia menamai kota itu "Roma", mengambil dari namanya sendiri. Secara resmi, kota Roma didirikan pada tanggal 21 April tahun 753 Sebelum Masehi. Romulus menjadi raja pertama Roma, sebuah kota yang lahir dari darah persaudaraan.

 

Sebagai raja, Romulus terbukti sebagai pemimpin yang cakap. Ia menciptakan legiun Romawi sebagai kekuatan militer, membentuk Senat sebagai badan penasihat yang terdiri dari para tetua, dan membuka kotanya bagi siapa saja yang mencari perlindungan, termasuk para budak yang melarikan diri dan orang-orang buangan. Hal ini membuat populasi Roma berkembang pesat. Ia memerintah dengan tangan besi dan kebijaksanaan, meletakkan dasar bagi hukum, tradisi, dan kekuatan militer yang akan membuat Roma menjadi kekaisaran adidaya.

 

Kisah Romulus dan Remus meninggalkan pesan moral yang mendalam. Ia mengajarkan bahwa ambisi yang besar dapat menciptakan hal-hal yang agung, namun jika tidak dikendalikan oleh kebijaksanaan dan kesabaran, ia dapat mengarah pada kehancuran dan tragedi. Persaingan antara dua saudara itu menjadi pengingat abadi bahwa bahkan ikatan terkuat pun bisa putus oleh hasrat akan kekuasaan. Roma, kota abadi, dibangun di atas fondasi yang kokoh, namun juga di atas kenangan pahit akan pengorbanan dan pertikaian saudara.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Legenda Putri Gunung Ledang, Cerita Rakyat Malaka

Kisah Legenda Puteri Junjung Buih, Cerita Rakyat Kalimantan

Kisah Gunung Sumbing: Sejarah, Legenda dan Cerita Mistis