LEGENDA URASHIMA TARO (JEPANG)
Di pesisir negeri Matahari
Terbit, di sebuah desa nelayan kecil yang diapit oleh pegunungan hijau dan
lautan biru tak bertepi, hiduplah seorang pemuda yang kisahnya akan terus
dibisikkan oleh deburan ombak sepanjang masa. Namanya Urashima Tarō, seorang
nelayan yang dikenal bukan karena hasil tangkapannya yang melimpah, melainkan
karena hatinya yang jauh lebih luas dari samudra itu sendiri. Kisah ini akan
membawa kita menyelami keajaiban di dasar laut, merasakan kebahagiaan tanpa
batas waktu, dan menghadapi sebuah kenyataan pahit tentang sifat waktu yang tak
kenal ampun, yang tersembunyi di dalam sebuah kotak pernis yang indah namun
terlarang.
Di sebuah desa nelayan di Provinsi
Tango, hiduplah seorang pemuda bernama Urashima Tarō. Setiap pagi, ketika kabut
masih menyelimuti permukaan air, Tarō sudah mendorong perahunya ke laut,
mencari ikan untuk menghidupi ibunya yang sudah tua. Ia adalah seorang anak
yang berbakti dan pekerja keras. Wajahnya selalu ramah, dan tangannya tak
pernah lelah menebar jala. Para penduduk desa mengenalnya sebagai pemuda yang
pendiam namun memiliki kebaikan hati yang luar biasa.
Berbeda dengan nelayan lainnya
yang hanya melihat laut sebagai sumber penghidupan, Tarō melihatnya sebagai
dunia yang penuh dengan kehidupan yang berharga. Ia tidak pernah mengambil
lebih dari yang ia butuhkan. Seringkali, jika ia menangkap ikan yang terlalu
kecil atau yang sedang bertelur, ia akan melepaskannya kembali ke dalam air.
Baginya, setiap makhluk di lautan memiliki hak untuk hidup, dan ia merasa
menjadi bagian dari alam, bukan penakluknya.
Kebaikan hatinya tidak hanya
terbatas pada ikan. Tarō memiliki rasa welas asih yang mendalam terhadap semua
makhluk hidup. Ia sering berbagi hasil tangkapannya dengan tetangga yang
kekurangan dan tak pernah ragu menolong siapa pun yang membutuhkan. Ibunya
sering menasihatinya, mengatakan bahwa kebaikan hati adalah harta yang paling
berharga, sebuah ajaran yang selalu dipegang teguh oleh Tarō dalam setiap
langkah hidupnya.
Sifatnya yang lembut dan penuh
empati membuatnya sedikit berbeda dari pemuda-pemuda lain di desanya. Sementara
teman-temannya menghabiskan waktu luang untuk bersenang-senang, Tarō lebih suka
duduk di tepi pantai, mendengarkan nyanyian ombak dan merasakan angin laut yang
membawa aroma garam. Ia merasa damai di sana, seolah laut adalah sahabat
lamanya yang selalu mendengarkan keluh kesahnya tanpa menghakimi.
Kehidupannya berjalan sederhana
dan damai. Hari-harinya diisi dengan rutinitas melaut, merawat ibunya, dan
menyebarkan kebaikan kecil di sekelilingnya. Ia tidak pernah membayangkan bahwa
sebuah perbuatan baik yang ia lakukan suatu hari nanti akan membawanya pada
sebuah petualangan yang melampaui batas imajinasi manusia, sebuah perjalanan
yang akan mengubah takdirnya selamanya.
Suatu sore yang cerah, setelah
seharian penuh melaut, Urashima Tarō kembali ke pantai dengan hasil tangkapan
yang secukupnya. Saat ia menarik perahunya ke darat, ia mendengar suara tawa
dan teriakan riuh dari sekelompok anak-anak tidak jauh dari tempatnya.
Penasaran, ia mendekati kerumunan itu dan melihat pemandangan yang membuat
hatinya miris. Anak-anak itu sedang mengelilingi seekor penyu kecil,
menyiksanya dengan tawa yang kejam.
Mereka melemparkan batu ke
cangkangnya, menusuk-nusuk kepalanya dengan tongkat, dan membalik tubuhnya
hingga penyu malang itu tak berdaya, kakinya menggapai-gapai udara dengan
panik. Melihat penderitaan makhluk kecil itu, hati Tarō yang welas asih tidak
tahan. Ia tidak bisa membiarkan kekejaman itu terus berlanjut. Dengan langkah
tenang namun tegas, ia menghampiri anak-anak itu.
"Hentikan," katanya
dengan suara lembut namun penuh wibawa. "Apa yang kalian lakukan pada
makhluk tak berdaya ini? Tidakkah kalian merasa kasihan?" Anak-anak itu
berhenti sejenak, menatap Tarō dengan tatapan menantang. Salah satu dari mereka
berkata, "Kami menangkapnya, jadi ini milik kami! Kami bisa melakukan apa
saja yang kami mau."
Tarō tahu bahwa berdebat dengan
mereka tidak akan ada gunanya. Ia kemudian mengeluarkan beberapa koin dari
sakunya. "Bagaimana jika aku membeli penyu ini dari kalian?"
tawarnya. "Ambillah uang ini dan belilah kue atau manisan. Biarkan penyu
ini pergi." Mata anak-anak itu berbinar melihat koin-koin itu. Tanpa
berpikir panjang, mereka menerima uang dari Tarō, melepaskan penyu itu, dan
berlari pergi dengan gembira.
Setelah anak-anak itu pergi, Tarō
dengan lembut mengangkat penyu kecil itu. Ia membersihkan pasir dari tubuhnya
dan memeriksa luka-lukanya. Dengan penuh kasih sayang, ia membawanya ke tepi
air dan melepaskannya kembali ke laut. Penyu itu menatap Tarō sejenak dengan
matanya yang kuno, seolah mengucapkan terima kasih, sebelum akhirnya berenang
menjauh dan menghilang di antara ombak. Tarō tersenyum, merasa lega telah
melakukan hal yang benar, lalu kembali ke rumahnya tanpa memikirkan kejadian
itu lebih jauh.
Beberapa hari setelah kejadian
itu, Urashima Tarō kembali melaut seperti biasa. Saat perahunya berada jauh di
tengah lautan yang tenang, seekor penyu yang sangat besar muncul dari dalam air
dan berenang mendekatinya. Penyu ini jauh lebih besar dari penyu mana pun yang
pernah ia lihat, cangkangnya berkilauan seperti zamrud di bawah sinar matahari.
Tarō terkejut dan kagum pada saat yang bersamaan.
Dengan suara yang dalam dan
bijaksana, penyu itu berbicara kepada Tarō. "Urashima Tarō,"
panggilnya, "aku adalah penyu yang kau selamatkan beberapa hari yang lalu.
Sebenarnya, aku bukan penyu biasa. Aku adalah abdi dari Putri Otohime, putri
dari Ryūjin, Raja Naga penguasa lautan. Sang putri sangat tersentuh oleh
kebaikan hatimu dan mengirimku untuk mengundangmu berkunjung ke istana
kami."
Tarō sangat terkejut mendengar
seekor penyu berbicara, apalagi mengaku sebagai utusan dari istana bawah laut.
Awalnya ia ragu, mengira ini hanyalah mimpi atau imajinasinya. Namun, penyu itu
berbicara dengan begitu tulus dan meyakinkan sehingga Tarō mulai percaya.
Undangan ke Ryūgū-jō, Istana Naga yang legendaris, adalah sebuah kehormatan
yang tak pernah terbayangkan.
"Istana Naga? Apakah tempat
seperti itu benar-benar ada?" tanya Tarō dengan ragu. Penyu itu
mengangguk. "Tentu saja ada. Itu adalah tempat yang sangat indah, di mana
tidak ada kesedihan dan musim semi berlangsung abadi. Sang Putri ingin
berterima kasih secara langsung kepadamu. Naiklah ke punggungku, aku akan
membawamu ke sana."
Meskipun sedikit takut, rasa
penasaran dan jiwa petualang Tarō akhirnya menang. Ia berpikir tentang ibunya
di rumah, namun kesempatan untuk melihat dunia yang tersembunyi di dasar
samudra terlalu besar untuk dilewatkan. Ia percaya bahwa ini adalah balasan
dari alam atas perbuatan baiknya. Dengan hati-hati, ia melompat dari perahunya
dan naik ke punggung penyu raksasa itu. Perahunya ia biarkan terombang-ambing,
yakin akan aman di lautan yang tenang.
Begitu Tarō duduk dengan mantap
di punggungnya, penyu raksasa itu mulai menyelam ke dalam birunya lautan.
Ajaibnya, Tarō tidak merasa basah sama sekali dan bisa bernapas dengan normal
seolah-olah ia berada di darat. Pemandangan di sekelilingnya berubah menjadi
dunia yang sama sekali baru dan memesona. Ikan-ikan berwarna-warni berenang di
sekelilingnya seperti kawanan burung, dan terumbu karang menjulang seperti
pegunungan kristal dalam berbagai bentuk dan warna.
Perjalanan itu terasa seperti
mimpi. Mereka melewati taman-taman rumput laut yang bergoyang lembut mengikuti
arus, dan melihat makhluk-makhluk laut yang aneh dan indah yang belum pernah ia
lihat sebelumnya. Semakin dalam mereka menyelam, air di sekitar mereka justru
semakin terang, diterangi oleh cahaya misterius yang berasal dari dasar
samudra. Tarō benar-benar lupa akan daratan, terpesona oleh keajaiban dunia
bawah laut.
Setelah beberapa saat, di
kejauhan, sebuah bangunan megah mulai terlihat. Semakin dekat, bangunan itu
tampak semakin besar dan menakjubkan. Itu adalah Ryūgū-jō, Istana Naga.
Gerbangnya terbuat dari karang merah jambu, atapnya dari giok hijau, dan
dindingnya dilapisi mutiara dan emas yang berkilauan. Ikan-ikan dengan sisik
perak dan emas bertindak sebagai penjaga, menyambut kedatangan mereka dengan
hormat.
Ketika mereka tiba di gerbang
istana, pintu terbuka dengan sendirinya. Tarō turun dari punggung penyu dan
melangkah masuk ke halaman istana yang lantainya terbuat dari pasir perak. Ia
disambut oleh barisan dayang-dayang ikan yang cantik, yang kemudian
mengantarnya masuk ke aula utama. Di sana, di atas singgasana yang terbuat dari
koral dan permata, duduklah seorang wanita yang kecantikannya tak terlukiskan
oleh kata-kata.
Itulah Putri Otohime, putri sang
Raja Naga. Ia mengenakan kimono yang ditenun dari benang sutra laut dan rambut
hitamnya yang panjang dihiasi oleh jepit rambut dari mutiara. Ia tersenyum
ramah kepada Tarō, sebuah senyuman yang bisa meluluhkan hati siapa pun yang
melihatnya. Tarō membungkuk dalam-dalam, merasa terpesona dan rendah hati di
hadapan keagungan sang putri dan istananya.
Putri Otohime menyambut Urashima
Tarō dengan hangat. "Selamat datang di Ryūgū-jō, Tuan Urashima Tarō,"
sapanya dengan suara merdu seperti alunan musik. "Kami sangat berterima
kasih atas kebaikan hatimu yang telah menyelamatkan salah satu abdi setiaku.
Sebagai balasannya, tinggAwloh di sini dan nikmatilah semua yang bisa kami
tawarkan. Anggaplah istana ini sebagai rumahmu."
Sejak hari itu, kehidupan Tarō
berubah menjadi sebuah perayaan tanpa akhir. Setiap hari adalah pesta. Makanan
lezat yang belum pernah ia cicipi disajikan di atas piring-piring dari kulit
kerang raksasa. Musik merdu dimainkan oleh para musisi ikan, dan para penari
dengan gerakan anggun menari untuk menghiburnya. Putri Otohime selalu berada di
sisinya, menemaninya menjelajahi setiap sudut istana yang indah.
Mereka berjalan-jalan di taman
empat musim, di mana di satu sudut bunga sakura musim semi mekar dengan
indahnya, sementara di sudut lain daun maple musim gugur berwarna merah
keemasan. Di sudut lainnya, salju musim dingin turun dengan lembut tanpa terasa
dingin. Waktu di Ryūgū-jō terasa berhenti. Tidak ada siang atau malam, tidak
ada rasa lelah, dan tidak ada kesedihan. Semuanya adalah kebahagiaan murni.
Tarō begitu terpesona oleh
keindahan istana dan kebaikan hati Putri Otohime sehingga ia benar-benar
melupakan kehidupannya di darat. Ia lupa akan perahunya, desanya, dan bahkan
ibunya yang menunggunya di rumah. Setiap hari yang ia habiskan bersama sang
putri terasa seperti satu kedipan mata. Ia merasa telah menemukan surga yang
sesungguhnya di dasar lautan.
Ia menghabiskan hari-harinya dengan
penuh sukacita, tanpa menyadari bahwa waktu di dunia bawah laut berjalan sangat
berbeda dengan waktu di dunia manusia. Tiga hari yang ia rasakan di Ryūgū-jō
sesungguhnya adalah waktu yang sangat, sangat lama di dunia atas. Kebahagiaan
telah membuatnya buta akan berlalunya waktu, sebuah kelalaian yang akan ia
sesali di kemudian hari.
Meskipun hidup dalam kebahagiaan
yang sempurna, setelah beberapa waktu yang terasa seperti tiga hari baginya,
sebuah perasaan aneh mulai menyelinap ke dalam hati Urashima Tarō. Di tengah
pesta dan tawa, tiba-tiba ia teringat akan wajah ibunya yang tua dan rumah
sederhananya di tepi pantai. Ia teringat akan aroma sup miso buatan ibunya dan
suara ombak yang biasa ia dengar dari jendela kamarnya.
Kerinduan itu datang seperti gelombang
pasang, semakin lama semakin kuat hingga menenggelamkan semua kebahagiaan yang
ia rasakan. Ia mulai merasa cemas. Bagaimana kabar ibunya? Apakah ia baik-baik
saja? Apakah ia mencarinya? Rasa bersalah karena telah meninggalkannya begitu
lama mulai menggerogoti hatinya. Wajahnya yang ceria berubah menjadi muram, dan
ia tidak lagi bisa menikmati pesta di istana.
Putri Otohime, dengan
kepekaannya, segera menyadari perubahan dalam diri Tarō. Ia mendekatinya dan
bertanya dengan lembut, "Ada apa, Tuan Tarō? Mengapa engkau terlihat
begitu sedih? Apakah ada sesuatu di istanaku yang tidak menyenangkan
hatimu?" Tarō menatap sang putri dengan mata yang berkaca-kaca.
"Maafkan aku, Putri
Otohime," jawabnya dengan suara bergetar. "Anda telah memberikan
segalanya padaku. Istana ini adalah surga. Namun, aku tiba-tiba teringat pada
ibuku yang sudah tua dan sendirian di rumah. Aku harus kembali untuk memastikan
keadaannya. Aku berjanji, aku hanya akan pergi sebentar untuk menemuinya, lalu
aku akan kembali ke sini."
Mendengar itu, wajah Putri
Otohime menjadi sangat sedih. Ia tahu apa artinya keinginan Tarō untuk kembali.
Ia tahu bahwa jika Tarō pergi, ia tidak akan pernah bisa kembali lagi ke
Ryūgū-jō. Namun, ia tidak bisa menahan Tarō yang hatinya sudah terpaut pada daratan.
Dengan berat hati, sang putri akhirnya mengabulkan permintaan tamunya yang
terhormat itu.
Dengan berat hati, Putri Otohime
mempersiapkan kepergian Urashima Tarō. Sebagai hadiah perpisahan, ia memberinya
sebuah kotak pernis yang indah, dihiasi dengan ukiran yang rumit dan diikat
dengan pita sutra berwarna-warni. Kotak itu disebut Tamatebako. "Terimalah
ini, Tuan Tarō," kata sang putri dengan suara lirih. "Kotak ini akan
melindungimu dalam perjalananmu."
"Namun," lanjutnya
dengan tatapan yang sangat serius, "engkau harus berjanji satu hal padaku.
Apapun yang terjadi, jangan pernah membuka kotak ini. Jika engkau membukanya,
sesuatu yang mengerikan akan terjadi, dan engkau tidak akan pernah bisa kembali
menemuiku lagi." Tatapan matanya penuh dengan permohonan, menekankan
betapa pentingnya janji tersebut.
Tarō menerima kotak itu dan
berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa ia tidak akan pernah membukanya. Ia
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Putri Otohime atas semua
kebaikan dan kemurahan hatinya. Dengan perasaan sedih karena harus meninggalkan
sang putri, tetapi juga bahagia karena akan segera bertemu ibunya, Tarō bersiap
untuk kembali ke dunianya.
Penyu raksasa yang dulu
membawanya kini sudah menunggunya di gerbang istana. Tarō naik ke punggungnya
sambil memegang erat Tamatebako di tangannya. Ia melambaikan tangan kepada
Putri Otohime dan para penghuni istana untuk terakhir kalinya. Sang putri
menatap kepergiannya dengan air mata yang mengalir di pipinya, tahu bahwa ia
tidak akan pernah melihat nelayan baik hati itu lagi.
Perjalanan kembali ke permukaan
terasa jauh lebih singkat. Penyu itu membawanya dengan cepat melintasi lautan
biru dan akhirnya tiba di pantai desanya. Tarō mengucapkan selamat tinggal pada
sang penyu, berterima kasih sekali lagi, lalu melangkah ke darat dengan hati
yang berdebar kencang, tidak sabar untuk memeluk ibunya kembali.
Begitu Urashima Tarō menjejakkan
kakinya di pasir pantai desanya, ia merasakan ada sesuatu yang aneh. Segalanya
tampak berbeda. Rumah-rumah yang ia kenal telah berubah, jalan setapak yang
biasa ia lalui kini tampak asing. Ia berjalan menuju tempat di mana rumahnya
seharusnya berada, namun yang ia temukan hanyalah sebidang tanah kosong yang
ditumbuhi rumput liar. Rumahnya dan ibunya telah lenyap.
Dengan panik, Tarō berlari ke
seluruh desa, tetapi ia tidak mengenali satu wajah pun. Orang-orang menatapnya
dengan aneh, seolah ia adalah orang asing. Ia mencoba bertanya kepada seorang
pria tua yang sedang duduk di depan rumahnya, "Permisi, Tuan. Apakah Anda
tahu di mana rumah Urashima Tarō?" Pria tua itu menatapnya dengan bingung.
"Urashima Tarō?" ulang
pria itu sambil berpikir keras. "Aku pernah mendengar nama itu dalam
sebuah cerita lama yang diceritakan kakekku. Konon, ada seorang nelayan bernama
Urashima Tarō yang pergi ke laut dan tidak pernah kembali. Tapi itu sudah
terjadi sekitar tiga ratus tahun yang lalu." Jantung Tarō serasa berhenti
berdetak. Tiga hari yang ia habiskan di Istana Naga ternyata adalah tiga ratus
tahun di dunia manusia.
Dalam sekejap, dunianya runtuh.
Ibunya, teman-temannya, semua orang yang ia kenal, telah lama tiada. Ia kini
sebatang kara di dunia yang terasa asing. Dalam keputusasaan yang mendalam, ia
kembali ke tepi pantai, duduk termenung sambil memandangi lautan. Hanya satu benda
yang tersisa dari petualangannya: kotak Tamatebako pemberian Putri Otohime.
Dalam kesedihannya, ia lupa akan
janjinya. Ia berpikir, mungkin di dalam kotak ini ada jawaban atau keajaiban
yang bisa mengembalikannya ke masa lalu. Dengan tangan gemetar, ia membuka
ikatan pita sutra dan mengangkat tutup Tamatebako. Seketika, segumpal asap
putih keluar dari dalam kotak dan menyelimuti tubuhnya. Dalam sekejap,
rambutnya yang hitam berubah menjadi putih, kulitnya yang kencang menjadi
keriput, dan punggungnya yang tegap menjadi bungkuk. Ia telah berubah menjadi
seorang kakek tua renta, dan umurnya yang tiga ratus tahun kini menimpanya
dalam satu waktu. Tak lama kemudian, ia pun terjatuh di atas pasir dan
menghembuskan napas terakhirnya. Kisah Urashima Tarō menjadi pengingat abadi
tentang waktu yang tak dapat kembali dan pentingnya menghargai setiap momen
yang kita miliki di dunia ini, karena waktu yang hilang tidak akan pernah bisa
dibeli kembali, bahkan dengan segala keajaiban di dasar samudra sekalipun.
Komentar
Posting Komentar